Surah Al-Lail (Malam) adalah salah satu permata Al-Qur'an yang pendek namun padat, terletak pada urutan ke-92 dalam mushaf dan termasuk dalam kelompok surah Makkiyah yang diturunkan pada periode awal kenabian di Mekkah. Surah yang hanya terdiri dari sebelas ayat ini berfungsi sebagai peringatan mendalam mengenai dualitas usaha manusia di dunia, menekankan bahwa tindakan yang kita lakukan—baik kedermawanan maupun kekikiran—akan menentukan nasib abadi kita.
Inti dari Surah Al-Lail adalah penegasan tentang kontras yang mendasar: malam dan siang, laki-laki dan perempuan, serta dua jalur kehidupan yang berlawanan. Melalui sumpah-sumpah kosmis yang agung, Allah SWT mengarahkan perhatian kita pada kenyataan bahwa takdir telah disiapkan bagi mereka yang berusaha di jalan kebajikan, dan azab telah disiapkan bagi mereka yang memilih jalan penolakan dan kekikiran.
Sebagai surah Makkiyah, fokus utamanya adalah menegakkan dasar-dasar akidah (keimanan), keesaan Allah, serta Hari Pembalasan. Pada masa-masa awal Islam, surah-surah ini diturunkan untuk membangun karakter umat Islam yang tangguh, mengajarkan mereka pentingnya pengorbanan, dan mempersiapkan mereka menghadapi penindasan. Al-Lail secara spesifik menyinggung perjuangan batin antara nafsu egois untuk menumpuk harta dan dorongan spiritual untuk memberi.
Meskipun surah ini memiliki makna universal, beberapa ulama tafsir menyebutkan bahwa bagian akhir surah ini (ayat 5 hingga 10) secara khusus merujuk pada kontras dua individu di masa Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah **Abu Bakar Ash-Shiddiq**, yang dikenal karena kedermawanannya membebaskan budak-budak Muslim yang disiksa (disebutkan dalam konteks ‘orang yang memberi dan bertakwa’). Yang kedua adalah seorang kaya raya di Mekkah yang kikir (disebutkan dalam konteks ‘orang yang kikir dan merasa cukup’). Kontras ini menyoroti bahwa tindakan, bukan status sosial, yang dihargai di sisi Allah.
Gambar 1: Kontras kosmik Malam (Al-Lail) dan Siang (An-Nahar), sumpah awal surah.
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Lail, kita harus membedah setiap ayat, memahami sumpah (qasam), tema, dan balasan yang dijanjikan Allah SWT.
Tafsir Linguistik dan Makna Sumpah: Allah memulai surah ini dengan sumpah (qasam). Sumpah ini memberikan penekanan luar biasa pada pernyataan yang akan menyusul. Kata "Al-Lail" berarti malam, dan "yaghsyā" berasal dari kata *ghasyiya*, yang berarti menutupi, menyelimuti, atau menguasai. Sumpah ini menunjuk pada momen ketika kegelapan malam total menyelimuti dan melenyapkan sisa-sisa cahaya siang. Ini adalah gambaran visual yang kuat tentang ketenangan, misteri, dan dominasi temporer kegelapan atas aktivitas.
Pelajaran Spiritual: Malam adalah waktu istirahat, kontemplasi, dan privasi. Ia juga melambangkan tirai yang menutupi kelemahan atau dosa manusia. Dalam konteks yang lebih luas, kegelapan malam ini juga melambangkan kesulitan, ujian, dan tantangan yang menyelimuti kehidupan manusia, yang kemudian akan diuji bagaimana mereka menyikapinya.
Tafsir Linguistik dan Makna Sumpah: Sumpah kedua adalah mengenai siang ("An-Nahār") ketika ia menampakkan diri ("tajallā"). Kata *tajallā* bermakna menyingkapkan diri atau menjadi jelas dan terang benderang. Siang adalah antitesis sempurna dari malam, melambangkan aktivitas, usaha, dan kejelasan. Kegelapan telah terangkat, dan segala sesuatu menjadi terlihat jelas.
Hubungan Dualitas: Allah bersumpah menggunakan kedua waktu yang berlawanan ini untuk menunjukkan kesempurnaan kuasa-Nya dalam menciptakan dualitas yang mengatur alam semesta. Setiap sumpah tentang fenomena alam semesta adalah isyarat bahwa kehidupan manusia pun diatur oleh prinsip dualitas yang serupa: kebaikan vs. keburukan, petunjuk vs. kesesatan, surga vs. neraka.
Tafsir Linguistik dan Makna Sumpah: Setelah bersumpah demi dualitas di alam kosmik (malam/siang), Allah beralih kepada dualitas dalam penciptaan biologis manusia (laki-laki dan perempuan). Ini menegaskan bahwa prinsip pasangan dan kontras tidak hanya berlaku di langit tetapi juga di bumi. Beberapa mufasir berpendapat bahwa "mā khalaqa" di sini dapat diartikan sebagai "Dia yang menciptakan" (merujuk langsung kepada Allah) atau "demi apa yang diciptakan" (merujuk pada objek ciptaan itu sendiri).
Pentingnya Keseimbangan: Sumpah ini menekankan keseimbangan dalam kehidupan. Laki-laki dan perempuan memiliki peran berbeda namun saling melengkapi, serupa dengan malam dan siang yang memiliki fungsi berbeda namun membentuk siklus kehidupan yang teratur. Semua dualitas ini menuntun pada satu kesimpulan mutlak yang menjadi jawaban dari sumpah-sumpah tersebut.
Jawaban dari Sumpah: Inilah jawaban dari ketiga sumpah agung sebelumnya. Kata "sa’yakum" berarti usaha atau upaya kalian, sementara "lasyattā" berarti beraneka ragam, berbeda-beda, atau terbagi. Setelah menunjukkan dualitas kosmik dan biologis, Allah menegaskan bahwa tindakan dan usaha manusia pun terbagi menjadi dua jalur yang jelas.
Pusat Surah: Ayat ini adalah titik sentral Surah Al-Lail. Ini adalah pengakuan akan kebebasan berkehendak (free will) manusia. Meskipun Allah menciptakan segalanya berpasangan dan teratur, manusia diberikan pilihan untuk menjalani jalannya sendiri, yang pada akhirnya akan terbagi menjadi jalan kebaikan atau jalan keburukan, jalan kedermawanan atau jalan kekikiran. Ayat-ayat berikutnya menjelaskan kedua jalur ini secara rinci.
Definisi Pemberi Sejati: Ayat ini menggambarkan karakter pertama yang sukses. "A‘ṭā" (memberi) tidak hanya berarti memberi sedekah, tetapi juga memberi secara umum: memberi dari harta, waktu, tenaga, ilmu, dan bahkan senyuman, semuanya dilakukan demi keridaan Allah. Pemberian ini harus diiringi dengan "wattaqā" (bertakwa), yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kedermawanan tanpa ketakwaan bisa didorong oleh riya (pamer); ketakwaan tanpa kedermawanan mungkin mencerminkan kekikiran. Keduanya harus berjalan beriringan.
Integrasi Iman dan Amal: Ayat ini mengajarkan bahwa iman (takwa) harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata (memberi). Takwa bukanlah konsep pasif, melainkan sebuah kekuatan yang mendorong amal saleh, terutama dalam bentuk pengorbanan harta yang dicintai.
Makna 'Al-Husnā': Kata "Al-Ḥusnā" (yang terbaik) sering ditafsirkan sebagai janji Allah tentang surga, atau pahala yang berlipat ganda, atau bahkan kalimat tauhid (Lā ilāha illallāh). Dalam konteks ini, ia berarti membenarkan kebenaran janji Allah tentang Hari Akhirat dan balasan atas amal saleh. Orang ini yakin bahwa apa yang ia berikan di dunia adalah investasi abadi untuk Akhirat.
Pendorong Kedermawanan: Keyakinan pada balasan terbaik inilah yang memungkinkan seseorang untuk berkorban tanpa ragu. Ia tahu bahwa kekayaan sejati bukanlah yang ia pegang erat di dunia, melainkan yang ia kirimkan ke Akhirat melalui sedekah dan amal saleh.
Konsep 'Taisīr' (Kemudahan): Kata "yassiruhū" berarti Kami akan memudahkannya. Balasan segera bagi orang yang memberi, bertakwa, dan membenarkan janji Allah bukanlah hanya surga di Akhirat, tetapi juga kemudahan dalam menjalani kehidupan di dunia. Allah akan membimbingnya ke jalan yang mudah ("Al-Yusrā").
Kemudahan dalam Hidup dan Ibadah: Kemudahan ini mencakup kemudahan dalam melakukan amal saleh, kemudahan dalam memahami agama, dan kemudahan dalam urusan duniawi. Setiap kali ia ingin berbuat baik, jalannya seolah terbuka. Kebaikan menghasilkan kebaikan; ketaatan membuka pintu ketaatan berikutnya. Ini adalah janji bahwa pertolongan Ilahi akan menyertai niat dan tindakan yang murni.
Kikir dan Keangkuhan: Ayat ini menjelaskan karakter kedua, yang gagal. "Bakhila" berarti kikir atau menahan harta dari kewajiban zakat, sedekah, dan hak-hak orang lain. Kekikiran ini lahir dari sikap "wastaghnā", yang berarti merasa cukup atau tidak membutuhkan Allah. Orang ini angkuh, percaya bahwa kekayaannya diperoleh semata-mata karena usahanya sendiri, sehingga ia tidak merasa perlu bersyukur atau berbagi.
Bahaya Istighnā': Perasaan cukup diri (Istighnā’) adalah penyakit spiritual yang lebih berbahaya daripada kekikiran materi. Jika seseorang merasa tidak membutuhkan Allah atau balasan Akhirat, maka tidak ada motivasi untuk berbuat baik. Sikap ini adalah akar dari kesesatan, karena ia menempatkan dirinya sendiri sebagai pusat dan sumber kekuatan, bukan Allah.
Dampak Kekafiran: Orang yang kikir dan angkuh ini otomatis akan "każżaba bil-ḥusnā" (mendustakan balasan terbaik). Ia tidak percaya bahwa ada surga atau pahala yang jauh lebih besar daripada kekayaan duniawi yang ia genggam erat. Ketidakpercayaan ini memperkuat kekikiran dan keangkuhannya, menciptakan lingkaran setan dosa dan penolakan.
Hubungan Timbal Balik: Ini menunjukkan bahwa kekikiran tidak hanya masalah finansial; ia adalah refleksi dari kekeringan spiritual dan ketidakpercayaan pada janji-janji Allah. Jika ia percaya penuh, mustahil ia akan menahan apa yang ia miliki.
Konsep 'Ta’sīr' (Kesusahan): Kontras sempurna dengan ayat 7. Allah akan memudahkannya menuju jalan yang sukar ("Al-‘Usrā"). Ini bukan berarti Allah memaksa mereka menuju neraka, melainkan bahwa Allah membiarkan mereka dalam kesesatan yang mereka pilih, sehingga semua urusan mereka—ibadah, duniawi, dan akhirat—menjadi sulit.
Kesusahan Hidup dan Akhirat: Kesusahan ini berarti pintu-pintu kebaikan menjadi tertutup, dan keburukan menjadi mudah dilakukan. Hatinya menjadi keras, mencari nafkah menjadi sulit (meski ia kaya, ia selalu merasa kurang), dan akhirnya, jalan menuju neraka menjadi seolah-olah 'dimudahkan' karena ia telah memilih dan membangun jalan itu sendiri melalui amal buruknya. Tindakan jahat menghasilkan tindakan jahat berikutnya.
Ketidakbergunaan Harta: Ayat ini memberikan kesimpulan yang tajam. Kekayaan yang ia tumpuk dengan susah payah, yang menjadi sumber keangkuhannya, sama sekali tidak akan berguna ketika ia "taraddā" (jatuh). Kata ini bisa berarti jatuh ke dalam kubur, jatuh ke dalam jurang kebinasaan, atau secara spesifik, jatuh ke dalam api neraka.
Realisasi: Ayat ini menghancurkan ilusi yang dimiliki oleh orang kikir. Semua kekayaan yang ia pegang erat-erat hanya memiliki nilai di dunia yang fana. Di momen krusial transisi menuju Akhirat, harta tersebut tidak memiliki daya untuk menyelamatkannya dari azab.
Setelah menggambarkan dua jalur yang berlawanan, surah ini menyimpulkan dengan penegasan kekuasaan mutlak Allah atas petunjuk dan azab, memberikan peringatan keras kepada mereka yang masih ragu dan tenggelam dalam kesenangan duniawi.
Hak Mutlak Allah: Ayat ini menyatakan bahwa petunjuk ("Al-Hudā") adalah hak mutlak Allah. Allah telah menetapkan petunjuk yang jelas melalui Al-Qur'an dan Rasul-Nya, membedakan antara yang benar dan yang salah. Ini adalah penegasan bahwa manusia tidak dibiarkan tanpa bimbingan; jalannya sudah terang benderang.
Interpretasi 'Kewajiban': Kata 'kewajiban' di sini harus dipahami dalam konteks janji Allah yang pasti. Allah menjamin bahwa Dia akan menunjukkan jalan yang lurus kepada hamba-hamba-Nya, asalkan hamba itu memilih untuk mencarinya. Ayat ini menafikan alasan bagi siapapun yang tersesat, karena petunjuk telah disiapkan.
Penguasaan Total: Ayat ini melengkapi pernyataan sebelumnya. Jika Allah memiliki petunjuk, maka Dia juga adalah Pemilik mutlak dari segala sesuatu yang ada ("Al-Ākhirah wal-Ūlā" - Akhirat dan Dunia). Ini adalah peringatan kepada orang-orang yang kikir dan angkuh: mengapa kalian menahan harta yang sejatinya milik Allah? Orang yang merasa cukup (wastaghnā) lupa bahwa dia tidak memiliki apa-apa, baik di dunia maupun di Akhirat.
Implikasi: Karena Allah menguasai kedua domain tersebut, maka hukuman dan balasan-Nya adalah final dan tidak dapat dihindari. Seseorang yang memilih jalan duniawi semata (kekikiran) akan kehilangan kedua-duanya, karena ia telah mendustakan Pemilik dunia dan Akhirat.
Peringatan Tegas: Kata "anżartukum" berarti Aku telah memperingatkanmu. Peringatan ini sangat keras, merujuk pada "nāran talaẓẓā", yaitu api neraka yang berkobar, sangat panas, dan menjilat-jilat. Penggambaran ini berfungsi untuk menakut-nakuti dan menyentuh hati manusia agar segera bertaubat dan memilih jalan kebaikan.
Fungsi Peringatan: Tujuan utama surah ini adalah memberikan pilihan yang jelas. Setelah janji surga bagi yang memberi dan bertakwa, kini disajikan ancaman neraka bagi yang kikir. Ini memastikan bahwa setiap manusia mengambil keputusan dengan pengetahuan penuh akan konsekuensinya.
Karakter 'Al-Asyqā': Neraka yang berkobar-kobar itu tidak dimasuki oleh semua orang, melainkan hanya oleh "Al-Asyqā", yaitu orang yang paling celaka, paling sengsara, atau yang paling gigih dalam kejahatan. Ini merujuk kepada mereka yang menolak kebenaran setelah petunjuk jelas datang kepada mereka, yaitu orang yang kikir dan mendustakan janji Allah (sebagaimana dijelaskan di ayat 8 dan 9).
Penolakan Fundamental: Orang yang celaka ini adalah orang yang memiliki kesempatan untuk menerima petunjuk, tetapi memilih untuk menolaknya, didorong oleh kekikiran dan keangkuhan duniawi. Mereka adalah yang secara sadar menukar Akhirat dengan kesenangan yang fana.
Dua Dosa Utama: Ayat ini menjelaskan dua karakteristik utama orang yang celaka (Al-Asyqā): "każżaba" (mendustakan) dan "tawallā" (berpaling). Mendustakan adalah penolakan dalam hati dan perkataan; berpaling adalah penolakan dalam tindakan. Mereka tahu kebenaran, tetapi mereka menolak untuk mengikutinya dan berpaling dari ajaran Nabi SAW.
Kekalahan Total: Inilah manifestasi dari jalan kesusahan (Al-‘Usrā) yang Allah janjikan. Orang yang menolak dan berpaling akan menemukan bahwa pintu-pintu kebaikan telah tertutup bagi mereka, dan mereka terperangkap dalam pilihan mereka sendiri yang membawa mereka menuju api neraka.
Setelah menggambarkan nasib orang yang celaka, surah ini kembali ke jalur positif, memberikan kontras dramatis dengan nasib bahagia dari "Al-Atqā" (orang yang paling bertakwa), yang merupakan puncak dari jalan kemudahan.
Karakter 'Al-Atqā': Pahlawan dari surah ini adalah "Al-Atqā", orang yang paling bertakwa. Dia akan dijauhkan ("sayujannabuhā") dari api neraka. Jika Al-Asyqā adalah orang yang paling celaka, Al-Atqā adalah lawan yang sempurna: orang yang paling sukses secara spiritual.
Identifikasi Abu Bakar: Mayoritas ulama tafsir kontemporer dan klasik setuju bahwa ayat ini diturunkan secara khusus mengenai Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau dikenal karena membebaskan budak-budak Muslim yang lemah dan miskin (seperti Bilal bin Rabah) menggunakan hartanya sendiri, tanpa mengharapkan imbalan duniawi dari mereka, semata-mata karena Allah.
Gambar 2: Timbangan amal yang menentukan jalan kemudahan (memberi) atau jalan kesukaran (kikir).
Tujuan Pemberian: Ayat ini mendefinisikan kedermawanan yang murni. Orang bertakwa adalah yang menafkahkan hartanya ("yu'tī mālahū") dengan tujuan "yatazakkā", yaitu untuk menyucikan dirinya. Penyucian ini mencakup penyucian harta dari hak orang lain, penyucian jiwa dari penyakit kekikiran, dan penyucian hati dari riya (pamer).
Penyucian Diri: Kedermawanan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang diberikan, melainkan tentang niat di baliknya. Ketika pemberian didorong oleh keinginan untuk membersihkan diri, ia menjadi ibadah yang murni. Ini kontras dengan orang kikir yang mempertahankan hartanya, tetapi justru mengotori jiwanya dengan keangkuhan dan penolakan.
Kedermawanan Ikhlas: Ini adalah deskripsi puncak dari ikhlas. Orang yang paling bertakwa memberi bukan karena ia berutang budi ("tujzā" - yang harus dibalas) kepada penerima, atau karena ia mengharapkan balasan duniawi. Tindakan pemberiannya sepenuhnya murni, tanpa ada ikatan balas jasa di antara sesama manusia.
Filosofi Pengorbanan: Jika seseorang memberi untuk membalas kebaikan masa lalu, itu adalah transaksi sosial. Namun, Al-Atqā memberi kepada mereka yang tidak dapat membalasnya, seringkali kepada yang paling miskin atau tertindas, karena hanya dengan demikian pemberian tersebut menjadi semata-mata karena Allah.
Tujuan Akhir: Inilah inti dari semua amal saleh: mencari keridaan Allah ("ibtighā'a wajhi rabbihil-a‘lā"). Ini adalah penegasan final mengenai niat murni. Motivasi Al-Atqā bukan kekaguman orang, pujian, atau balasan duniawi, tetapi hanya mencapai pandangan dan keridaan Allah SWT.
Pencapaian Spiritual Tertinggi: Semua sumpah, kontras, janji, dan ancaman dalam surah ini mengarah pada satu poin: Keberhasilan dan kemudahan hidup dicapai melalui pengorbanan ikhlas yang ditujukan hanya kepada Allah Yang Maha Tinggi.
Kepuasan Total: Surah ini berakhir dengan janji definitif (ditunjukkan dengan partikel penekanan *la* dan *saufa*) bahwa Al-Atqā akan diberi kepuasan yang total. Kepuasan ini mencakup melihat balasan amal perbuatannya di Akhirat, masuk surga, dan yang paling utama, mencapai keridaan Allah.
Surga dan Keridaan: Kepuasan ("yarḍā") ini lebih dari sekadar kebahagiaan fisik di surga; ia adalah kepuasan spiritual dan emosional karena mengetahui bahwa hidupnya di dunia telah dijalankan dengan sempurna sesuai tujuan Penciptanya.
Surah Al-Lail, meskipun singkat, memuat struktur retorika yang sempurna, menggunakan tiga sumpah kosmis untuk menjustifikasi dualitas dalam hasil upaya manusia. Struktur ini menjadikannya salah satu surah paling efektif dalam mengajarkan prinsip tauhid dan moralitas.
Tema utama Al-Lail adalah *mizan* (timbangan) atau dualitas yang kontras. Dimulai dengan malam vs. siang, laki-laki vs. perempuan, surah ini mencapai puncaknya pada kontras antara "Memberi dan Bertakwa" vs. "Kikir dan Merasa Cukup". Surah ini mengajarkan bahwa kehidupan adalah serangkaian pilihan yang seimbang, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi yang pasti.
Surah ini memberikan definisi operasional tentang Takwa yang sejati. Takwa bukan hanya perasaan takut, tetapi tindakan pengorbanan harta. Kedermawanan, terutama tanpa mengharapkan balasan duniawi, adalah alat utama untuk menyucikan jiwa (yatazakkā). Orang yang menahan hartanya tidak hanya merugikan orang lain tetapi juga meracuni jiwanya sendiri dengan keangkuhan dan keterikatan duniawi.
Penting untuk dicatat bahwa ayat-ayat tentang memberi tidak hanya merujuk pada zakat yang wajib, tetapi juga sedekah sunah yang dilakukan dengan niat ikhlas, seperti yang dicontohkan oleh Abu Bakar dalam membebaskan budak. Pemberian yang didasarkan pada keikhlasan murni, di mana penerima tidak memiliki kemampuan untuk membalas, adalah bentuk ibadah tertinggi.
Ayat 8, yang menyebutkan "wastaghnā" (merasa dirinya cukup), adalah kritik tajam terhadap mentalitas materialis. Perasaan bahwa seseorang tidak membutuhkan Allah karena kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki di dunia adalah dosa keangkuhan yang paling fundamental. Ini mengarah pada pendustaan Akhirat dan kekikiran, karena mengapa harus berinvestasi pada sesuatu yang tidak diyakini keberadaannya?
Orang yang merasa cukup ini kehilangan perspektif bahwa seluruh alam semesta dan semua yang ia miliki adalah milik Allah (sebagaimana ditegaskan di Ayat 13). Hilangnya perspektif inilah yang menjerumuskannya ke dalam "jalan yang sukar."
Surah Al-Lail mengajarkan hukum spiritual yang ketat: Allah membalas niat baik dengan kemudahan dalam beramal, dan niat buruk dengan kesulitan. Ini adalah konsep yang disebut dalam bahasa Arab sebagai Taisīr (memudahkan) bagi orang bertakwa, dan Ta’sīr (mempersulit/membawa kesukaran) bagi orang celaka.
Ketika seseorang memilih jalan yang benar, Allah membuka pintu-pintu kebaikan lainnya, menjadikan ibadah terasa manis dan mudah. Sebaliknya, ketika seseorang memilih jalan yang salah, kebaikan menjadi sulit dan berat, dan ia terjerumus lebih dalam ke dalam kesesatan. Ini menunjukkan bahwa jalan menuju surga atau neraka adalah jalan yang dibangun oleh pilihan dan tindakan kita sendiri di dunia ini, dengan pertolongan atau penahanan pertolongan dari Allah.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk menggali akar kata-kata kunci yang membentuk struktur argumen surah ini, menekankan kekayaan makna yang dibawa oleh bahasa Arab Al-Qur'an.
Kata sa’yakum (usaha kalian) berasal dari akar S-'-Y. Akar ini merujuk pada pergerakan yang cepat, perjuangan, atau upaya. Ia menunjukkan aktivitas fisik dan spiritual yang dilakukan manusia di dunia ini. Dalam Surah Al-Lail, penggunaan *sa’y* ini sangat tepat untuk menggambarkan bahwa hidup adalah sebuah perlombaan, dan hasil dari perlombaan itu dibagi menjadi dua kategori yang bertentangan (lasyattā).
Perjuangan manusia adalah inti dari pertanggungjawaban di Hari Akhir. Kualitas dan arah perjuangan itulah yang dinilai. Apakah perjuangan itu diarahkan pada penumpukan harta atau diarahkan pada keridaan Allah? Surah ini memaksa kita untuk memeriksa arah *sa’y* pribadi kita.
Kata a‘ṭā (memberi) adalah bentuk kata kerja dari akar ‘-Ţ-W. Kata ini sering kali membawa konotasi memberi secara total atau mencurahkan. Dalam konteks kedermawanan yang dibahas di sini, ia bukan hanya tentang sekadar menyisihkan, tetapi tentang pemberian yang berasal dari hati yang tulus dan pengorbanan yang substansial. Ini menekankan kualitas pemberian, yang harus mencerminkan keyakinan yang kuat pada balasan Allah.
Kata wattaqā (bertakwa) berasal dari akar W-Q-Y, yang berarti menjaga, melindungi, atau mencegah. Takwa, oleh karena itu, secara harfiah berarti melindungi diri dari siksa Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam Al-Lail, takwa menjadi landasan bagi kedermawanan. Kedermawanan tanpa takwa adalah filantropi; kedermawanan yang dilandasi takwa adalah ibadah dan investasi abadi.
Kata bakhila (kikir) adalah lawan langsung dari ‘a’ṭā. Kekikiran di sini merujuk pada penolakan untuk mengeluarkan kewajiban dan hak orang lain dari harta yang dimiliki. Dalam konteks Mekkah saat itu, kekikiran sering kali terkait dengan penolakan terhadap ajaran sosial Islam, seperti membantu yang tertindas. Kekikiran, dalam pandangan Al-Lail, adalah indikasi nyata dari kurangnya iman pada Hari Pembalasan.
Kata wastaghnā (merasa cukup) berasal dari akar GH-N-Y, yang berarti kaya atau mandiri. *Istighnā’* adalah bentuk reflektif yang berarti merasa diri mandiri atau tidak membutuhkan yang lain. Ini adalah puncak keangkuhan, di mana seseorang merasa bahwa ia tidak bergantung pada kekuatan Ilahi. Surah Al-Lail memperingatkan bahwa Istighnā’ adalah benih kesesatan yang mendorong kekikiran dan mendustakan kebenaran.
Surah Al-Lail memberikan peta jalan yang jelas menuju keberhasilan spiritual. Mengamalkan surah ini berarti menginternalisasi pesan utamanya tentang prioritas dan pengorbanan.
Pelajaran terpenting dari Al-Lail adalah bahwa memberi adalah tindakan yang harus didahulukan. Tidak menunggu sampai menjadi kaya untuk bersedekah, melainkan bersedekah untuk menyucikan kekayaan yang ada. Ini melibatkan:
Jika Allah menjanjikan kemudahan (Taisīr) bagi orang yang memberi dan bertakwa, maka kita harus secara aktif menghindari sifat-sifat yang mengarah pada Ta’sīr. Ini berarti:
Meskipun tidak ada hadis yang sangat kuat yang menyebutkan keutamaan spesifik Surah Al-Lail dibandingkan surah lain dalam hal pahala yang berlipat ganda, namun ada hadis yang menyebutkan bahwa Nabi SAW kadang-kadang membaca surah-surah pendek yang serupa (seperti Al-Lail, Adh-Dhuha, dan Al-Buruj) dalam shalat. Mengamalkan surah ini dalam shalat malam (Qiyamul Lail) sangat dianjurkan, mengingat tema utamanya yang berkaitan dengan waktu malam dan upaya kedermawanan.
Keutamaan utama surah ini terletak pada pesan moralnya yang kuat. Bagi yang merenungkannya, Al-Lail berfungsi sebagai nasihat harian untuk memastikan bahwa usahanya (sa’y) diarahkan pada jalur yang benar, jalur kemudahan, kedermawanan, dan ketakwaan, sehingga ia layak dijauhkan dari api neraka yang menyala-nyala dan mencapai keridaan Allah SWT.
Surah Al-Lail menggunakan pasangan kata yang seolah-olah berlawanan, namun saling melengkapi dalam memberikan pesan moral yang utuh. Pemahaman terhadap pasangan ini menguatkan struktur dualitas yang menjadi dasar surah.
Al-Yusrā (Kemudahan): Kata ini menunjukkan bukan sekadar kemudahan dalam urusan dunia, tetapi kemudahan dalam memperoleh taufik dan hidayah. Bagi orang yang bertakwa, Allah menjadikan ibadah itu ringan, taubat itu mudah, dan pintu rezeki terbuka. Kemudahan ini adalah hadiah awal dari Allah di dunia.
Al-‘Usrā (Kesusahan/Kesukaran): Ini adalah hukuman spiritual di dunia sebelum hukuman Akhirat. Orang yang kikir dan angkuh akan mendapati hatinya keras, ibadah terasa berat, dan segala upaya duniawinya tidak pernah membawa kepuasan sejati, karena ia jauh dari ketenangan jiwa yang diberikan oleh iman dan sedekah.
Al-Atqā (Paling Bertakwa): Bentuk superlatif ini menunjukkan bahwa balasan terbesar (dijauhkan dari neraka) adalah untuk mereka yang mencapai tingkat takwa tertinggi. Ini bukan hanya takwa biasa, tetapi takwa yang dibuktikan dengan pengorbanan ikhlas (Ayat 18-20).
Al-Asyqā (Paling Celaka): Juga bentuk superlatif, merujuk pada mereka yang telah mencapai puncak kejahatan—tidak hanya mendustakan tetapi juga berpaling. Ini menunjukkan bahwa neraka bukan diperuntukkan bagi semua orang berdosa, tetapi bagi mereka yang secara konsisten dan keras kepala menolak kebenaran dan melakukan dosa besar kekikiran serta keangkuhan.
Surah Al-Lail menyajikan janji dan ancaman secara bersamaan, memaksa kita untuk membuat pilihan yang jelas. Sebagaimana malam dan siang berganti tak terelakkan, begitu pula balasan atas amal kita akan datang. Tidak ada jalan tengah dalam iman: kita adalah hamba yang memberi dan bertakwa, atau hamba yang kikir dan merasa cukup diri. Keberhasilan hidup, baik di dunia maupun di Akhirat, ditentukan oleh seberapa besar kita rela melepaskan apa yang kita cintai—harta—demi mencari keridaan Allah Yang Maha Tinggi.
Maka, mari kita renungkan setiap sumpah dan setiap janji dalam Surah Al-Lail, dan kita jadikan ia sebagai kompas untuk mengarahkan seluruh usaha (*sa’y*) kita hanya ke jalan kemudahan dan kesucian, sebelum tiba saatnya harta yang kita kumpulkan tidak lagi dapat menyelamatkan kita dari jurang kebinasaan (Ayat 11).
Pelajaran yang dibawa oleh surah ini adalah abadi dan universal: kedermawanan adalah tiket menuju cahaya; kekikiran adalah pintu menuju kegelapan, dan Allah telah menunjukkan kedua jalur itu dengan sangat jelas.