Kajian Komprehensif Surat Al-Lail (Malam)

Mengupas Teks Arab, Terjemah, dan Tafsir Ayat 1 hingga 21

Pendahuluan: Mengenal Surat Al-Lail

Surat Al-Lail (bahasa Arab: الليل, yang berarti Malam) adalah surat ke-92 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 21 ayat. Surat ini tergolong dalam kelompok surat Makkiyah, yang diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ. Ciri khas surat Makkiyah, termasuk Al-Lail, adalah penekanannya pada konsep dasar keimanan, hari akhir, dan pertentangan moral antara kebaikan dan kejahatan.

Tema sentral dari Surat Al-Lail adalah kontras tajam antara dua jenis usaha manusia (amal) dan dua takdir yang berlawanan. Allah ﷻ bersumpah dengan fenomena alam (malam dan siang) serta penciptaan laki-laki dan perempuan untuk menegaskan bahwa usaha manusia di dunia ini sangat beragam, dan keberagaman usaha tersebut akan menentukan kemudahan atau kesulitan takdir yang akan mereka hadapi di akhirat.

Surat ini memberikan motivasi mendalam bagi orang beriman untuk memilih jalan memberi, bertakwa, dan membenarkan kebenaran (al-husnā), sekaligus memberikan peringatan keras bagi mereka yang bakhil (kikir), merasa cukup diri (istighnā), dan mendustakan janji Allah. Kontras ini membentuk struktur narasi yang kuat, membagi manusia menjadi dua kelompok utama: kelompok yang dimudahkan menuju kebaikan, dan kelompok yang dipersulit menuju kesengsaraan.

Kajian Mendalam Surat Al-Lail Ayat 1-21

Ayat 1 & 2: Sumpah dengan Malam dan Siang

وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ

*(Wal-laili iżā yaghsyā)*

Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).

وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ

*(Wan-nahāri iżā tajallā)*

Dan demi siang apabila terang benderang.

Tafsir dan Analisis Lughawi (Ayat 1-2)

Allah ﷻ memulai surat ini dengan dua sumpah yang fundamental: demi malam ketika ia menyelimuti (yaghsyā) dan demi siang ketika ia menampakkan diri (tajallā). Sumpah ini bukan sekadar retorika, melainkan penegasan akan pentingnya dualitas dalam eksistensi. Malam melambangkan ketenangan, istirahat, dan kegelapan, sedangkan siang melambangkan aktivitas, pencarian rezeki, dan cahaya.

Analisis Bahasa: Kata يَغْشَىٰ (yaghsyā) berasal dari akar kata *ghasyiya* yang berarti menutupi, menyelimuti, atau meliputi. Ini menggambarkan bagaimana kegelapan malam secara bertahap menelan sisa-sisa cahaya siang. Sebaliknya, kata تَجَلَّىٰ (tajallā) berarti menampakkan diri, menunjukkan kejelasan, atau bersinar terang. Kontras antara yaghsyā dan tajallā adalah inti dari surat ini, yang mencerminkan dualitas perbuatan manusia: perbuatan yang tersembunyi (seperti sedekah rahasia di malam hari) dan perbuatan yang tampak jelas (aktivitas di siang hari), yang mana keduanya akan dihisab.

Pentingnya sumpah ini terletak pada fakta bahwa fenomena kosmik ini adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang mengatur alam semesta dengan kesempurnaan. Setiap sumpah dalam Al-Qur’an mengarahkan perhatian pendengar kepada sesuatu yang memiliki nilai keagungan dan keteraturan yang menunjukkan keberadaan dan kekuasaan Pencipta. Keteraturan siklus malam dan siang merupakan analogi sempurna bagi keteraturan moral: sebagaimana malam dan siang pasti berganti, demikian pula balasan atas perbuatan manusia pasti akan datang.

Secara spiritual, malam sering dihubungkan dengan kerahasiaan dan ujian (tersembunyi dari pandangan manusia), sementara siang dihubungkan dengan manifestasi dan kejelasan. Oleh karena itu, sumpah ini mempersiapkan pikiran pembaca untuk menerima premis utama surat ini: bahwa perbuatan manusia, baik yang tersembunyi maupun yang terlihat, akan dibalas secara adil.

Ayat 3: Demi Penciptaan Laki-laki dan Perempuan

وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰٓ

*(Wa mā khalaqaż-żakara wal-unṡā)*

Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan.

Tafsir dan Analisis Lughawi (Ayat 3)

Sumpah ketiga ini menyentuh aspek penciptaan manusia itu sendiri—penciptaan lawan jenis, yaitu laki-laki (ٱلذَّكَرَ) dan perempuan (وَٱلْأُنثَىٰٓ). Dualitas ini melengkapi dualitas kosmik (malam/siang). Ayat ini menegaskan bahwa keberadaan spesies manusia, sebagaimana keteraturan alam, dibangun di atas sistem berpasangan yang merupakan tanda kekuasaan Allah.

Dalam interpretasi lain, khususnya yang dipegang oleh sebagian mufasir seperti Al-Qurthubi, kata وَمَا خَلَقَ (Wa mā khalaqa) dapat diterjemahkan sebagai ‘Demi Dzat yang menciptakan.’ Jika diartikan demikian, sumpah ini adalah sumpah langsung kepada Allah ﷻ sebagai Pencipta. Namun, makna yang lebih populer dan sering digunakan adalah sumpah demi ciptaan itu sendiri—yaitu lawan jenis—yang merupakan pondasi bagi keberlangsungan hidup manusia dan masyarakat.

Penyebutan dualitas manusia ini sangat relevan dengan inti surat. Mengapa? Karena semua amal perbuatan, baik yang mengarah kepada kemudahan (kebajikan) maupun kesulitan (kekikiran), dilakukan oleh manusia—laki-laki dan perempuan. Kedua jenis ini memiliki tanggung jawab moral yang sama di hadapan Allah. Keseimbangan ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi dalam tuntutan moral dan balasan amal, baik bagi laki-laki maupun perempuan, sebagaimana ditegaskan di banyak ayat Al-Qur'an lainnya.

Keterhubungan antara Ayat 1, 2, dan 3 sangat erat. Keteraturan alam (malam dan siang) dan keteraturan penciptaan manusia (laki-laki dan perempuan) menjadi landasan mutlak bagi kebenaran pernyataan yang akan disampaikan selanjutnya.

Ayat 4: Perbedaan Usaha Manusia

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ

*(Inna sa‘yakum lashattā)*

Sesungguhnya usaha kamu memang beraneka macam.

Tafsir dan Analisis Lughawi (Ayat 4)

Ayat inilah yang menjadi jawaban (jawab al-qasam) dari tiga sumpah sebelumnya. Setelah bersumpah dengan tanda-tanda kebesaran-Nya, Allah menegaskan suatu kebenaran universal: إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ (Inna sa‘yakum lashattā). Kata سَعْيَكُمْ (sa‘yakum) berarti ‘usaha, amal, atau kerja keras kalian.’ Kata لَشَتَّىٰ (lashattā) berarti ‘beraneka ragam, berbeda-beda, atau terpisah-pisah.’

Pernyataan ini bukan hanya menggambarkan bahwa manusia memiliki pekerjaan yang berbeda-beda (dokter, petani, pedagang), tetapi yang jauh lebih penting adalah bahwa tujuan, niat, dan kualitas moral dari usaha-usaha tersebut sangat berbeda. Ada usaha yang bertujuan mencari ridha Allah, dan ada usaha yang hanya bertujuan mencari keuntungan duniawi semata atau bahkan kebatilan.

Menurut Tafsir Ibn Katsir dan At-Thabari, perbedaan usaha ini adalah perbedaan mendasar dalam orientasi hidup. Ada yang berusaha menuju surga (dengan memberi dan bertakwa), dan ada yang berusaha menuju neraka (dengan kikir dan mendustakan). Keberagaman takdir yang diakibatkan oleh keberagaman usaha ini adalah inti dari sistem pembalasan ilahi. Allah menciptakan manusia dan alam secara berpasangan dan teratur (malam/siang, laki-laki/perempuan), tetapi Dia memberikan kebebasan kehendak kepada manusia, yang menghasilkan *sa’y* yang sangat bervariasi.

Penegasan ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan premis (sumpah kosmik) dengan kesimpulan moral yang akan datang (pembagian manusia menjadi dua kelompok utama).

Ayat 5, 6, & 7: Jalan Kemudahan (Yusra)

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ

*(Fa ammā man a‘ṭā wattaqā)*

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,

وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ

*(Wa ṣaddaqa bil-ḥusnā)*

Dan membenarkan adanya balasan yang terbaik (Surga).

فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ

*(Fa sanuyassiruhū lil-yusrā)*

Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Tafsir Komprehensif (Ayat 5-7)

Tiga ayat ini mendeskripsikan ciri-ciri kelompok pertama yang usahanya di dunia akan menghasilkan kemudahan (al-yusrā) di akhirat. Terdapat tiga pilar utama yang harus dipenuhi oleh kelompok ini, yang membentuk karakter seorang mukmin sejati:

1. Memberi (أَعْطَىٰ - A‘ṭā)

Memberi di sini mencakup seluruh bentuk kedermawanan, baik materi maupun non-materi. Ini adalah lawan dari kekikiran yang akan dibahas di kelompok kedua. Makna a‘ṭā adalah mengeluarkan harta, menunaikan zakat, bersedekah sunah, dan membantu orang lain semata-mata karena Allah. Tindakan memberi ini merupakan manifestasi konkret dari keyakinan dan melepaskan keterikatan hati terhadap dunia.

2. Bertakwa (وَٱتَّقَىٰ - Wattaqā)

Taqwa adalah fondasi spiritual. Ia berarti takut kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedermawanan (a‘ṭā) tanpa taqwa bisa menjadi riya (pamer); taqwa tanpa memberi mungkin menunjukkan kurangnya pengorbanan. Keduanya harus berjalan beriringan. Taqwa memastikan bahwa tindakan memberi dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai syariat.

3. Membenarkan Al-Husnā (وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ - Wa ṣaddaqa bil-ḥusnā)

Kata ٱلْحُسْنَىٰ (Al-Husnā) secara harfiah berarti ‘yang terbaik’ atau ‘balasan yang paling indah.’ Para mufasir menafsirkannya sebagai: (a) Kalimat Tauhid (La Ilaha Illallah), (b) Janji Surga, (c) Balasan terbaik dari amal kebajikan, atau (d) Segala kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Secara umum, ini merujuk pada keyakinan teguh bahwa Allah akan memberikan ganjaran terbaik bagi hamba-Nya. Orang yang membenarkan al-husnā percaya sepenuhnya pada Hari Kebangkitan dan bahwa pengorbanan mereka di dunia tidak akan sia-sia. Keyakinan inilah yang membedakan memberi berdasarkan kepatuhan (iman) dan memberi berdasarkan motif sosial atau politik (duniawi).

Konsekuensi: Jalan Kemudahan (فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ - Fa sanuyassiruhū lil-yusrā)

Bagi mereka yang memenuhi tiga kriteria di atas, Allah menjanjikan ٱلْيُسْرَىٰ (Al-Yusrā), yaitu jalan yang mudah. Kemudahan ini memiliki dua dimensi:

  1. Kemudahan di Dunia: Allah mempermudah mereka melakukan amal shaleh, menjauhkan dari dosa, memberikan pemahaman agama, dan meringankan urusan duniawi mereka.
  2. Kemudahan di Akhirat: Dimudahkan hisabnya, dimudahkan melewati sirat, dan dimudahkan masuk surga. Ini adalah puncak dari pembalasan yang dijanjikan.

Penyebutan kata kerja ‘Kami kelak akan menyiapkan’ (فَسَنُيَسِّرُهُۥ) menunjukkan kepastian janji Allah yang akan terjadi di masa depan, baik dalam kehidupan ini maupun setelahnya.

Ayat 8, 9, & 10: Jalan Kesulitan (Usrā)

وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسْتَغْنَىٰ

*(Wa ammā mam bakhila wastagnā)*

Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah),

وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ

*(Wa każżaba bil-ḥusnā)*

Serta mendustakan balasan yang terbaik,

فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ

*(Fa sanuyassiruhū lil-‘usrā)*

Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar (kesulitan).

Tafsir Kontras dan Peringatan (Ayat 8-10)

Tiga ayat ini secara paralel dan kontras mendeskripsikan sifat-sifat kelompok kedua yang usahanya akan menghasilkan kesulitan (al-‘usrā). Perhatikan bagaimana sifat-sifat ini adalah kebalikan mutlak dari kelompok pertama:

1. Kikir (بَخِلَ - Bakhila)

Ini adalah antonim dari ‘a‘ṭā (memberi). Orang kikir adalah mereka yang menahan hartanya dari kewajiban (zakat) dan kedermawanan sukarela. Kekikiran ini merupakan penyakit hati yang menunjukkan cinta berlebihan terhadap dunia dan tidak percaya pada balasan di akhirat. Kekikiran bukan hanya menahan harta, tetapi juga menahan kemampuan, waktu, atau ilmu yang seharusnya dibagikan.

2. Merasa Cukup Diri (وَٱسْتَغْنَىٰ - Wastagnā)

Ini adalah kebalikan dari taqwa. Istighnā berarti merasa diri sudah kaya atau mampu, sehingga tidak membutuhkan bantuan atau petunjuk dari Allah ﷻ. Orang yang merasa cukup diri cenderung sombong, menolak nasihat, dan lupa bahwa segala yang dimilikinya berasal dari karunia Ilahi. Mereka berpikir kekayaan dan usaha mereka sendiri sudah cukup untuk menyelamatkan mereka, sehingga mengabaikan perintah agama.

3. Mendustakan Al-Husnā (وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ - Wa każżaba bil-ḥusnā)

Mereka mendustakan janji balasan terbaik dari Allah, yang berarti mereka meragukan atau menolak kebenaran Hari Pembalasan dan Surga. Karena mereka tidak percaya pada ganjaran abadi, motivasi mereka hanya terbatas pada keuntungan segera di dunia ini. Inilah yang mendorong mereka untuk kikir dan enggan berkorban di jalan Allah.

Konsekuensi: Jalan Kesulitan (فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ - Fa sanuyassiruhū lil-‘usrā)

Bagi mereka yang memilih jalan ini, Allah menjanjikan ٱلْعُسْرَىٰ (Al-‘Usrā), yaitu kesulitan atau kesukaran. Sama seperti al-yusrā, al-‘usrā juga terjadi dalam dua fase:

  1. Kesulitan di Dunia: Allah mempersulit jalan mereka menuju kebaikan. Mereka merasa berat untuk shalat, malas bersedekah, dan cenderung melakukan maksiat. Harta yang mereka kumpulkan tidak membawa ketenangan, bahkan menjadi sumber kecemasan.
  2. Kesulitan di Akhirat: Mereka akan menghadapi hisab yang sulit dan pada akhirnya, neraka. Ini adalah balasan yang adil bagi mereka yang memilih jalan yang menyimpang dan mendustakan kebenaran.

Perlu dicatat, janji Allah untuk ‘menyiapkan’ (sanuyassiruhū) baik untuk jalan mudah maupun jalan sukar menunjukkan bahwa pilihan manusia (amal) adalah sebab, dan takdir (kemudahan/kesulitan) adalah akibat yang diizinkan dan ditetapkan oleh Allah. Ini adalah prinsip kausalitas spiritual dalam Islam.

Ayat 11: Harta Tidak Berguna di Akhir Hayat

وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰ

*(Wa mā yughnī ‘anhu māluhū iżā taraddā)*

Dan hartanya tidak akan bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.

Tafsir dan Konteks (Ayat 11)

Ayat ini berfungsi sebagai kesimpulan yang tajam terhadap nasib orang kikir (kelompok kedua). Ini adalah teguran langsung kepada mereka yang menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama dan merasa cukup dengannya, mengabaikan akhirat.

Kata يُغْنِي (yughnī) berarti ‘memberi manfaat’ atau ‘menyelamatkan.’ Kata تَرَدَّىٰ (taraddā) memiliki makna yang kuat, yaitu ‘jatuh ke dalam jurang,’ ‘binasa,’ atau ‘jatuh ke dalam neraka.’

Maknanya jelas: Ketika seseorang (yang kikir dan mendustakan) meninggal dunia dan menghadapi pembalasan (taraddā), kekayaan yang ia kumpulkan dengan susah payah dan ia pertahankan dengan kekikiran itu sama sekali tidak akan menolongnya. Harta hanya berfungsi sebagai alat di dunia. Jika alat itu tidak digunakan untuk mengumpulkan bekal akhirat, ia akan menjadi tidak bernilai pada saat kematian dan Hari Penghisaban.

Ayat ini menekankan bahwa kekayaan yang ditimbun tanpa dasar iman dan taqwa adalah beban, bukan penyelamat. Sebaliknya, harta yang dikeluarkan di jalan Allah akan terus memberikan manfaat (amal jariyah) bahkan setelah kematian.

Ayat 12: Kewajiban Allah Memberi Petunjuk

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ

*(Inna ‘alainā lal-hudā)*

Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk.

Tafsir dan Prinsip Hidayah (Ayat 12)

Setelah membagi manusia menjadi dua kelompok berdasarkan pilihan mereka, Allah menegaskan peran-Nya sebagai pemberi hidayah. إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ (Inna ‘alainā lal-hudā). Ungkapan عَلَيْنَا (di atas Kami) menunjukkan suatu kepastian, seolah-olah Allah mewajibkan diri-Nya (sebagai rahmat) untuk menyediakan petunjuk.

Hidayah di sini merujuk pada dua jenis:

  1. Hidayatul Irsyad wa ad-Dalalah (Hidayah Petunjuk): Yaitu pengiriman Rasul, penurunan Kitab Suci, dan penetapan jalan yang benar dan salah (seperti yang dijelaskan pada Ayat 5-10). Ini adalah kewajiban Allah untuk menjelaskan mana jalan yang lurus.
  2. Hidayatul Taufiq (Hidayah Taufik): Kemampuan untuk memilih dan mengikuti petunjuk tersebut. Meskipun petunjuk telah diberikan, taufik (kemampuan untuk mengamalkan) tetap berada di tangan Allah.

Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi manusia untuk tersesat, karena petunjuk (kitab dan rasul) telah tersedia secara gamblang. Pilihan untuk mengikuti atau menolak petunjuk itulah yang menghasilkan perbedaan nasib (سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ).

Ayat 13: Kepemilikan Akhirat

وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَٱلْأُولَىٰ

*(Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā)*

Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.

Tafsir: Menguatkan Janji dan Peringatan (Ayat 13)

Setelah menegaskan bahwa Dia adalah Pemberi Petunjuk, Allah menegaskan bahwa Dia adalah Penguasa mutlak atas kedua alam: ٱلْآخِرَةَ وَٱلْأُولَىٰ (al-ākhirah dan al-ūlā - akhirat dan dunia).

Penegasan ini sangat penting karena berfungsi sebagai fondasi bagi sistem balasan. Karena Allah memiliki segala sesuatu di kedua alam, janji-Nya tentang Surga (al-husnā) dan ancaman-Nya tentang Neraka (‘usrā) adalah janji yang pasti terlaksana. Orang kikir (ayat 8-10) menahan hartanya karena takut miskin di dunia, dan mereka mendustakan akhirat. Ayat 13 menghancurkan logika ini dengan menyatakan bahwa Allah, yang menguasai dunia, juga menguasai akhirat. Kekayaan di dunia yang mereka takuti hilang tidaklah sebanding dengan kerugian di akhirat yang dikuasai penuh oleh Allah.

Ayat 14, 15, & 16: Ancaman Neraka Lahab

فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًۭا تَلَظَّىٰ

*(Fa anżartukum nāran talaẓẓā)*

Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (Neraka Lahab).

لَا يَصْلَىٰهَآ إِلَّا ٱلْأَشْقَى

*(Lā yaṣlāhā illal-asyqā)*

Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,

ٱلَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

*(Allażī każżaba wa tawallā)*

Yaitu yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan).

Tafsir Mendalam: Identitas Orang Celaka (Ayat 14-16)

Setelah menyatakan kepemilikan-Nya, Allah mulai memperingatkan tentang balasan bagi kelompok yang memilih jalan kesukaran. نَارًۭا تَلَظَّىٰ (Nāran talaẓẓā) adalah api yang berkobar-kobar hebat, yang menunjukkan intensitas panas yang luar biasa. Peringatan ini ditujukan kepada semua manusia, tetapi khususnya kepada orang-orang kikir dan mendustakan kebenaran.

Siapa ‘Al-Asyqā’?

Ayat 15 menyebutkan bahwa tidak ada yang akan merasakan panasnya api itu kecuali ٱلْأَشْقَى (Al-Asyqā), yang berarti ‘yang paling celaka.’ Kata ini adalah bentuk *isim tafḍil* (superlatif), menunjukkan tingkat kecelakaan yang paling ekstrem. Ini merujuk pada orang-orang yang sepenuhnya menolak kebenaran dan memilih kesesatan.

Ayat 16 kemudian mendefinisikan siapa Al-Asyqā ini melalui dua tindakan utama:

  1. Mendustakan (كَذَّبَ - Każżaba): Mendustakan janji Allah, Nabi, dan Hari Akhir (melanjutkan makna كَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ dari Ayat 9). Ini adalah penolakan dalam hati.
  2. Berpaling (وَتَوَلَّىٰ - Wa Tawallā): Berpaling dari amal shalih dan ketaatan setelah kebenaran disampaikan kepada mereka. Ini adalah penolakan dalam tindakan.

Seorang yang celaka adalah orang yang menggabungkan penolakan doktrinal (mendustakan) dengan penolakan praktis (berpaling dari amal). Kombinasi inilah yang menjamin mereka berada di jalan yang sukar (al-‘usrā) dan berakhir di api yang menyala-nyala (talaẓẓā).

Dalam konteks sejarah, banyak mufasir menyebutkan bahwa ayat ini secara khusus ditujukan kepada tokoh-tokoh Quraisy yang sangat kikir dan menentang Nabi Muhammad ﷺ, seperti Walid bin Al-Mughirah, namun maknanya berlaku universal bagi siapa pun yang memiliki sifat-sifat tersebut.

Ayat 17, 18, 19, & 20: Keselamatan Bagi Al-Atqā

وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلْأَتْقَى

*(Wa sayujannabuhal-atqā)*

Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa,

ٱلَّذِي يُؤْتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ

*(Allażī yu`tī mālahū yatazakkā)*

Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya,

وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعْمَةٍۢ تُجْزَىٰٓ

*(Wa mā li`aḥadin ‘indahū min ni‘matin tujzā)*

Padahal tidak ada seorang pun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,

إِلَّا ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ

*(Illabtigā`a wajhi rabbihil-a‘lā)*

Tetapi (ia memberikan itu) semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi.

Tafsir Mendalam: Karakteristik Al-Atqā (Ayat 17-20)

Setelah mendeskripsikan yang paling celaka (al-asyqā), Allah mendeskripsikan kebalikannya: ٱلْأَتْقَى (Al-Atqā), yaitu ‘orang yang paling bertakwa.’ Ini adalah orang yang dimudahkan menuju jalan kemudahan (al-yusrā).

Penyucian Diri melalui Harta (Ayat 18):

Al-Atqā adalah orang yang menafkahkan (يُؤْتِي) hartanya untuk يَتَزَكَّىٰ (yatazakkā), yaitu membersihkan diri. Kata *tazkiyah* (penyucian) menunjukkan bahwa tujuan memberi bukan sekadar amal sosial, tetapi merupakan proses pemurnian jiwa dari kekikiran, keterikatan dunia, dan dosa. Harta adalah ujian; hanya dengan menafkahkannya di jalan yang benar, jiwa dapat mencapai kesucian.

Keikhlasan Murni (Ayat 19 & 20):

Dua ayat ini membahas aspek paling krusial dari amal Al-Atqā: keikhlasan. Menafkahkan harta dilakukan tanpa adanya kewajiban balas jasa (مِن نِّعْمَةٍۢ تُجْزَىٰٓ). Artinya, ia tidak memberi karena orang yang dibantu pernah berbuat baik kepadanya di masa lalu, atau agar orang tersebut membalasnya di masa depan.

Satu-satunya motivasi (إِلَّا - kecuali) adalah mencari keridhaan Wajah Allah Yang Mahatinggi (ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ). Ini adalah definisi tertinggi dari ikhlas. Orang yang paling bertakwa memberi bukan karena dorongan utang budi (sosial), tetapi karena dorongan cinta dan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini menyingkirkan semua unsur riya (pamer) dan motivasi duniawi dari amalnya.

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq:

Sebagian besar mufasir, seperti As-Suyuthi dan At-Thabari, sepakat bahwa ayat-ayat ini (17-21) diturunkan secara khusus mengenai Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat terdekat Nabi. Abu Bakar terkenal sebagai orang yang sangat dermawan, membebaskan banyak budak Muslim yang disiksa (seperti Bilal bin Rabah) tanpa mengharapkan balasan dari mereka. Ketika para musuh Islam menuduh ia berbuat baik karena ingin membalas budi masa lalu, Allah menurunkan ayat ini untuk menegaskan bahwa amal Abu Bakar murni karena mencari Wajah Allah.

Ayat 21: Balasan yang Memuaskan

وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ

*(Wa lasaufa yarḍā)*

Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.

Tafsir Penutup dan Janji Ilahi (Ayat 21)

Ayat terakhir ini adalah klimaks dari deskripsi orang yang paling bertakwa. وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ (Wa lasaufa yarḍā). Kata لَسَوْفَ (lasaufa) adalah penegasan yang berarti ‘pasti dan akan segera’ (meskipun mungkin di masa depan yang jauh). Kata يَرْضَىٰ (yarḍā) berarti ‘ia akan puas’ atau ‘ia akan merasa senang.’

Kepuasan ini meliputi segala hal:

  1. Kepuasan atas balasan di Surga (Surga itu sendiri adalah balasan).
  2. Kepuasan karena Allah ridha kepadanya.
  3. Kepuasan karena amal perbuatannya di dunia tidak sia-sia, melainkan menghasilkan kebahagiaan abadi.

Janji kepuasan ini adalah kontras terakhir yang sempurna bagi orang kikir (al-asyqā) yang hartanya tidak bermanfaat baginya (وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُۥٓ). Sementara harta orang kikir sia-sia, amal orang bertakwa menghasilkan kepuasan abadi yang melampaui segala kenikmatan duniawi.

Rangkuman Inti Pelajaran Surat Al-Lail

Surat Al-Lail, meskipun singkat, memuat ajaran moral dan eskatologis yang sangat padat. Struktur surat ini dibangun di atas dualitas dan pertentangan yang mencolok:

Tiga Pilar Kebahagiaan (Yusrā):

Untuk mencapai kemudahan (Al-Yusrā) dan menjadi Al-Atqā, manusia harus mengintegrasikan tiga prinsip inti:

1. Kedermawanan dan Pengorbanan (A‘ṭā): Mengeluarkan harta di jalan Allah, bukan karena mengharapkan balasan manusia, melainkan untuk menyucikan diri (yatazakkā).

2. Taqwa dan Kesadaran Ilahi: Menjaga hubungan dengan Allah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Ini adalah filter moral yang memandu kedermawanan.

3. Iman pada Akhirat (Tashdīq bil-Husnā): Keyakinan teguh bahwa ada balasan yang lebih baik (Surga) dan bahwa Allah adalah Pemilik dunia dan akhirat. Keyakinan ini menghilangkan rasa takut miskin saat memberi.

Tiga Penyebab Kecelakaan (‘Usrā):

Sebaliknya, jalan menuju kesulitan (Al-‘Usrā) ditandai dengan:

1. Kekikiran (Bakhila): Menahan hak Allah dan hak orang lain atas harta.

2. Keangkuhan (Istagnā): Merasa cukup diri dan tidak memerlukan petunjuk atau rahmat Allah.

3. Kedustaan (Każżaba bil-Husnā): Menolak kebenaran dan janji pembalasan abadi, yang membuat pengorbanan di jalan Allah terasa tidak berarti.

Secara keseluruhan, Surat Al-Lail mengajak kita untuk merenungkan kualitas dari usaha kita. Bukan kuantitas usaha yang dihitung, melainkan arah dan niatnya. Kehidupan ini adalah ladang amal yang terbagi menjadi dua jalur; pilihan yang kita ambil hari ini akan menentukan apakah kita akan berjalan menuju kemudahan yang memuaskan atau kesulitan yang membinasakan.

Janji Allah dalam surat ini bersifat mutlak: barangsiapa memberi, bertakwa, dan beriman, Allah akan mempermudah jalannya. Dan barangsiapa kikir, angkuh, dan mendustakan, Allah akan mempersulit jalannya. Ini adalah hukum kausalitas spiritual yang tidak pernah berubah.

Kajian ini menegaskan kembali urgensi Tauhid dan Ikhlas sebagai prasyarat utama diterimanya amal. Ketika harta disalurkan (يُؤْتِي مَالَهُۥ) semata-mata mencari keridhaan Wajah Rabb Yang Maha Tinggi (إِلَّا ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ), itulah puncak ketaqwaan yang menjamin keselamatan dari api yang menyala-nyala.

🏠 Homepage