Surah Al-Baqarah, ayat 197, merupakan salah satu ayat yang sarat makna dan memiliki relevansi mendalam bagi umat Islam, khususnya bagi mereka yang merencanakan atau sedang menunaikan ibadah haji. Ayat ini tidak hanya membahas aspek praktis persiapan haji, tetapi juga membingkai ibadah tersebut dalam kerangka spiritual yang lebih luas, yaitu bekal taqwa dan pentingnya menjaga kesucian niat serta amal. Mari kita selami lebih dalam kandungan ayat mulia ini.
ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌۭۢ مَّعْلُومَـٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍۢ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوٓاْ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَـٰٓأُوْلِى ٱلْأَلْبَـٰبِ
"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niat (hendak) mengerjakan haji dalam bulan itu, maka janganlah ia melakukan rafas, fasik dan berbuat fasik di masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan itu, Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal."
Ayat ini diawali dengan menegaskan bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah "beberapa bulan yang dimaklumi". Secara umum, bulan-bulan ini merujuk pada bulan Syawal, Zulkaedah, dan sebagian bulan Zulhijah. Penetapan periode ini memiliki hikmah tersendiri, memberikan ruang bagi umat Islam dari berbagai penjuru dunia untuk mempersiapkan diri, baik secara fisik, mental, maupun finansial, untuk melakukan perjalanan spiritual yang monumental ini. Ini juga menunjukkan betapa ibadah haji merupakan sebuah peristiwa yang terencana dan memiliki waktu yang spesifik dalam kalender Islam.
Selanjutnya, ayat ini secara tegas melarang beberapa hal ketika seseorang telah berniat ihram (menetapkan niat haji). Larangan tersebut meliputi:
Pelarangan ini bukan bertujuan untuk menyulitkan, melainkan untuk mengarahkan energi dan pikiran para jamaah agar sepenuhnya tercurah pada ibadah, dzikir, dan refleksi diri. Haji adalah momen untuk membersihkan diri dari dosa dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Bagian yang paling mengena dari ayat ini adalah seruannya untuk "berbekallah". Ini adalah instruksi yang sangat praktis. Dalam perjalanan haji yang jauh dan melelahkan, persiapan logistik, perbekalan fisik, dan perlengkapan lainnya tentu sangatlah penting. Namun, ayat ini tidak berhenti pada bekal fisik semata. Ia melanjutkan dengan pernyataan yang sangat mendalam: "dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa".
Taqwa adalah kesadaran diri akan pengawasan Allah SWT dalam setiap keadaan, yang mendorong seseorang untuk senantiasa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bekal taqwa ini jauh lebih berharga daripada harta benda atau perbekalan materi apa pun. Dengan taqwa, ibadah haji akan lebih bermakna, perjalanan akan lebih diberkahi, dan hati akan lebih tenteram. Taqwa adalah perlengkapan rohani yang memungkinkan seseorang menghadapi segala ujian dan godaan selama di Tanah Suci dengan sabar dan ikhlas.
Ayat ini juga mengingatkan kita bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apa pun, tidak luput dari pengetahuan Allah SWT. "Dan apa yang kamu kerjakan itu, Allah mengetahuinya." Pengingat ini bersifat memotivasi sekaligus memberikan ketenangan. Ia memotivasi kita untuk terus berbuat kebaikan karena akan ada balasan dari-Nya, dan memberikan ketenangan karena segala niat tulus dan usaha kita pasti dilihat dan dinilai oleh-Nya.
Penutup ayat ini, "Dan bertaqwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal," merupakan sebuah seruan yang ditujukan kepada mereka yang dianugerahi akal sehat dan kemampuan berpikir. Orang yang berakal akan memahami betapa pentingnya taqwa sebagai bekal utama dalam hidup, terlebih dalam perjalanan ibadah yang agung seperti haji. Mereka akan mampu membedakan antara kepentingan duniawi yang fana dan kebutuhan spiritual yang abadi.
Dengan demikian, Al-Baqarah ayat 197 memberikan panduan komprehensif bagi pelaksanaan ibadah haji. Ia tidak hanya mengatur aspek ritual dan temporal, tetapi juga menekankan pentingnya akhlak mulia, menjaga kesucian diri, dan yang terpenting, menjadikan taqwa sebagai bekal utama. Ini adalah pelajaran berharga bagi setiap mukmin, bahwa setiap ibadah harus dibarengi dengan kesadaran spiritual dan niat yang murni, demi meraih ridha Allah SWT.