Rahasia Ilahi di Balik Tiga Peristiwa: Hikmah Pembangunan Dinding Retak
Gambar: Representasi Dinding yang Menutupi Harta Karun (Kanz) sebagai amanah Ilahi.
Kisah pertemuan Nabi Musa AS dengan Khidir (seorang hamba yang dianugerahi ilmu khusus dari sisi Allah) adalah salah satu narasi paling kaya dalam Al-Qur'an, yang terangkum dalam Surah Al-Kahfi. Perjalanan ini didasarkan pada pencarian ilmu dan pemahaman akan batas kemampuan akal manusia dalam menilai suatu peristiwa. Musa, yang pada awalnya menuntut penjelasan instan atas setiap tindakan Khidir, dihadapkan pada tiga ujian besar: perusakan perahu, pembunuhan anak muda, dan pembangunan kembali dinding yang hampir roboh.
Ayat 78 sampai 82 menandai klimaks dan penutup dari narasi ini. Di sinilah Khidir memberikan penjelasan komprehensif atas semua tindakannya yang sekilas tampak zalim atau bertentangan dengan syariat Musa. Bagian ini mengajarkan prinsip fundamental bahwa di balik setiap takdir, terdapat perencanaan ilahi yang melampaui dimensi pemahaman kita. Fokus utama dari ayat-ayat terakhir ini adalah pembeberan rahasia, yang puncaknya terletak pada hikmah di balik pembangunan dinding retak—sebuah tindakan yang dilakukan tanpa pamrih, demi melindungi hak dua anak yatim.
Ayat ini berfungsi sebagai jembatan penutup. Setelah Musa melanggar janjinya untuk ketiga kalinya (dengan mempertanyakan pembangunan dinding), Khidir menyatakan bahwa waktu perpisahan telah tiba. Kata kunci di sini adalah "تَأْوِيلِ" (ta’wil), yang berarti penafsiran, penjelasan tersembunyi, atau hakikat terdalam dari suatu peristiwa. Ini menegaskan bahwa tindakan Khidir bukanlah berdasarkan nafsu, melainkan berdasarkan ilmu khusus yang diberikan Allah, yang penjelasannya (ta’wilnya) kini harus dibeberkan.
Pernyataan Khidir mengakui keterbatasan Musa (dan manusia pada umumnya) dalam kesabaran. Manusia cenderung menilai hanya berdasarkan zahir (tampilan luar) tanpa mampu menembus hakikat takdir yang sedang berlangsung.
Sebelum sampai pada penjelasan dinding (Ayat 82), Khidir secara sistematis menjelaskan dua peristiwa sebelumnya. Repetisi ini bukan sekadar pengulangan, melainkan penegasan metodologi Ilahi dalam mengatur urusan makhluk-Nya.
Khidir menjelaskan bahwa perusakan perahu secara fisik (aib) adalah tindakan preventif demi menyelamatkan esensi kepemilikannya. Jika perahu itu tetap sempurna, ia pasti dirampas oleh raja zalim yang mengikuti mereka. Tindakan buruk yang tampak di mata Musa justru merupakan kebaikan jangka panjang bagi pemiliknya yang miskin.