Dualitas Takwa dan Kesengsaraan: Tema Utama Surat Al-Lail
Surat Al-Lail, yang berarti ‘Malam’, adalah surat ke-92 dalam Al-Qur'an. Surat ini tergolong Makkiyyah, diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ. Ciri khas surat Makkiyyah, yang fokus pada penguatan tauhid, penetapan hari pembalasan (Akhirat), dan moralitas dasar, sangat kental terasa dalam 21 ayatnya.
Inti dari Surat Al-Lail adalah penegasan tentang adanya dua jalan yang kontras dalam kehidupan manusia, dan bahwa setiap usaha (amal) yang dilakukan manusia akan menghasilkan buah yang sesuai. Allah menggunakan sumpah (qasam) atas fenomena alam yang agung—malam dan siang—untuk menekan dan menegaskan kebenaran dualitas ini: jalan takwa dan jalan kesengsaraan.
Surat ini memberikan gambaran yang jelas mengenai karakteristik orang-orang yang beruntung dan orang-orang yang merugi. Ayat-ayatnya turun untuk mendidik masyarakat awal Islam mengenai urgensi kedermawanan, melawan sifat kikir (pelit), dan pentingnya membenarkan janji Allah, terutama janji Surga (Al-Husna).
Al-Lail datang segera setelah Surat Asy-Syams. Keduanya memiliki hubungan tematik yang erat, khususnya dalam penggunaan sumpah alamiah untuk menetapkan dualitas moral. Asy-Syams bersumpah atas Matahari dan Bulan, lalu membahas pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs). Al-Lail melanjutkan sumpah dengan Malam dan Siang, lalu secara spesifik membahas dua jenis usaha (amal) manusia dan konsekuensinya.
Jika Asy-Syams fokus pada internalitas jiwa yang harus dibersihkan, Al-Lail fokus pada eksternalitas amal perbuatan yang berasal dari jiwa yang bersih atau kotor, yaitu kedermawanan atau kekikiran. Kedua surat ini mengajak pendengar untuk merenungkan keajaiban ciptaan sebagai bukti kebenaran Hari Pembalasan dan keadilan ilahi.
Allah memulai surat ini dengan sumpah atas tiga pasang entitas yang menunjukkan dualitas (pasangan) dan kontras dalam alam semesta, yang merupakan refleksi dari dualitas dalam amal manusia.
Kata وَالَّيْلِ (Wal-lail) berarti 'Demi Malam'. Malam adalah simbol ketenangan, misteri, dan dalam konteks spiritual, seringkali menjadi waktu bagi ibadah rahasia dan introspeksi. Kata يَغْشَىٰ (yaghsha) berarti 'menutupi' atau 'meliputi'. Malam datang dan meliputi alam semesta dengan kegelapan. Sumpah ini menekankan kekuatan tak terbatas Allah yang mampu mengganti kegemilangan siang dengan kegelapan total.
Para mufasir, termasuk Qatadah, berpendapat bahwa sumpah dengan malam saat ia menutupi segala sesuatu adalah untuk menyoroti kontras yang akan datang, karena malam adalah waktu di mana amal buruk sering dilakukan secara tersembunyi, kontras dengan amal baik yang harusnya dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi namun dengan niat suci.
وَالنَّهَارِ (Wan-nahar) berarti 'Demi Siang'. Siang adalah lawan total dari malam, melambangkan aktivitas, kejelasan, dan kebenaran. Kata تَجَلَّىٰ (tajalla) berarti 'terang benderang' atau 'menampakkan diri'. Ketika siang menampakkan dirinya, semua hal menjadi jelas dan terlihat. Dualitas malam dan siang ini adalah bukti dari keteraturan kosmik yang ditetapkan oleh Sang Pencipta, menunjukkan bahwa jika ada keteraturan dalam alam, pasti ada keteraturan pula dalam pembalasan amal.
Ayat ini adalah sumpah ketiga, fokus pada dualitas di tingkat kehidupan manusia. Tafsir mengenai وَمَا خَلَقَ (Wa ma khalaqa) dibagi menjadi dua pandangan utama di kalangan ulama Salaf:
Bagaimanapun interpretasinya, ayat ini menegaskan bahwa dualitas adalah hukum alam yang universal, dari kosmik (malam/siang) hingga biologis (laki-laki/perempuan). Pasangan-pasangan ini ada untuk menunjukkan bahwa ada pula pasangan dalam perbuatan dan pembalasan: baik lawan buruk, takwa lawan syakwa (kesengsaraan).
Ini adalah jawab al-qasam (jawaban atas sumpah). Setelah bersumpah atas tiga dualitas agung, Allah menegaskan bahwa usaha atau amal manusia (سَعْيَكُمْ / sa’yakum) itu terpecah belah (لَشَتَّىٰ / lashattaa). Maknanya, tindakan manusia tidak seragam; ada yang menuju kebaikan dan ada yang menuju keburukan, ada yang mencari dunia dan ada yang mencari Akhirat.
Ayat ini menetapkan premis dasar: Hidup adalah tentang usaha, tetapi kualitas dan arah usaha itulah yang menentukan hasil akhir. Usaha yang terpecah ini segera dipilah menjadi dua kategori dalam ayat-ayat berikutnya.
Setelah menetapkan bahwa usaha manusia berbeda-beda, Allah membagi manusia menjadi dua golongan yang ekstrem dan memberikan janji (dan ancaman) yang spesifik untuk masing-masing golongan.
أَعْطَىٰ (A’thaa) berarti 'memberikan' atau 'berderma'. Ini menunjuk pada kedermawanan material dan spiritual. Kedermawanan adalah amal nyata yang menunjukkan pembenaran hati. وَاتَّقَىٰ (Wattaqa) berarti 'bertakwa', yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kedermawanan yang sejati harus dilandasi oleh takwa; memberi bukan karena riya (pamer), melainkan karena rasa takut dan harap kepada Allah.
وَصَدَّقَ (Wa shaddaqa) berarti 'membenarkan' atau 'mengakui kebenaran'. بِالْحُسْنَىٰ (Bil-husnaa) secara harfiah berarti 'yang terbaik'. Para mufasir memiliki tiga interpretasi utama mengenai apa itu ‘Al-Husna’:
Intinya, orang bertakwa adalah orang yang yakin sepenuhnya pada janji Akhirat, yang membuat mereka ringan tangan dalam berderma meskipun harta itu disukai. Kedermawanan (Ayat 5) adalah bukti fisik dari keyakinan batin (Ayat 6).
Kata لِلْيُسْرَىٰ (Lil-yusraa) berarti 'kemudahan' atau 'kebaikan'. Ini adalah janji ilahi. Bagi siapa pun yang memenuhi tiga kriteria (memberi, bertakwa, membenarkan), Allah akan membuat jalan hidupnya, baik di dunia maupun di Akhirat, menjadi mudah. Di dunia, amal baik menjadi kebiasaan, dan Allah memudahkan urusannya. Di Akhirat, hisabnya (perhitungannya) akan mudah. Ini adalah kaidah timbal balik: barang siapa yang memudahkan urusan orang lain melalui kedermawanannya, Allah akan memudahkannya.
Imam At-Tabari menjelaskan, ‘kemudahan’ di sini adalah kesuksesan dalam melakukan amal saleh. Semakin ia berbuat, semakin Allah membukakan pintu untuk amal saleh berikutnya.
Ayat ini adalah antitesis sempurna dari Ayat 5. بَخِلَ (Bakhila) berarti 'kikir' atau 'pelit', menahan apa yang seharusnya dikeluarkan. وَاسْتَغْنَىٰ (Wastaghnaa) berarti 'merasa cukup' atau 'merasa tidak butuh'. Ini adalah inti kesombongan spiritual: ia merasa tidak butuh pahala dari Allah karena ia yakin hartanya adalah hasil murni usahanya sendiri, atau ia merasa tidak butuh petunjuk Allah.
Orang kikir dan sombong ini secara otomatis mendustakan janji Surga atau mendustakan bahwa ada balasan yang lebih baik di sisi Allah. Kekikirannya adalah bukti nyata dari keraguan atau ketidakpercayaannya terhadap janji-janji Akhirat. Mengapa seseorang menimbun harta jika ia yakin ada balasan yang jauh lebih kekal di depan?
Ini adalah janji yang menakutkan, balasan setimpal untuk kesombongan mereka. لِلْعُسْرَىٰ (Lil-'usraa) berarti 'kesulitan' atau 'kesengsaraan'. Allah 'memudahkan' mereka menuju kesengsaraan, bukan berarti Allah memaksa, melainkan Allah membiarkan mereka dalam pilihan buruk mereka. Setiap kali mereka berniat melakukan keburukan, setan akan memudahkannya bagi mereka, sehingga mereka semakin terperosok ke dalam dosa dan kekikiran. Hidup mereka menjadi sulit, dan Akhirat mereka penuh kesengsaraan.
تَرَدَّىٰ (Taraddaa) berarti 'binasa', 'terjatuh ke dalam jurang', atau 'mati'. Ketika orang kikir itu meninggal, seluruh hartanya, yang ia kumpulkan dengan susah payah dan kekikiran, sama sekali tidak berguna. Hartanya tidak dapat menghalanginya dari kematian, dan tidak dapat membelikannya penebusan dari siksa. Ayat ini adalah pengingat keras bahwa nilai sejati harta hanya terletak pada apa yang dikeluarkan di jalan Allah.
Ayat-ayat berikutnya mengalihkan fokus dari amal individu ke kedaulatan Allah atas petunjuk dan pembalasan.
Ayat ini berfungsi sebagai penegasan bahwa Allah telah menyediakan petunjuk yang jelas melalui Al-Qur'an dan Rasul-Nya. Allah tidak pernah meninggalkan manusia dalam kegelapan. Petunjuk (Al-Huda) telah dijelaskan; kini terserah manusia untuk memilih jalan mana yang akan mereka tempuh—kemudahan (yusraa) atau kesulitan (usraa). Tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran ada pada Allah, tetapi tanggung jawab untuk menerima dan mengamalkannya ada pada manusia.
Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang sombong dan kikir yang merasa kaya. Allah menegaskan bahwa Dialah pemilik mutlak dari kedua alam. Jika Allah pemilik segalanya, lalu apa hak manusia untuk kikir atas sebagian kecil rezeki yang diberikan-Nya? Ayat ini memperkuat argumen: tidak ada tempat berlari dari Kekuasaan Allah, baik di masa sekarang maupun di masa depan.
Kata نَارًا تَلَظَّىٰ (Naaran taladhdhaa) berarti 'Api yang berkobar-kobar' atau 'Api yang menyala hebat'. Ini adalah gambaran dari siksaan Neraka yang mengerikan. Peringatan ini datang setelah klaim kepemilikan total Allah (Ayat 13). Jika seseorang menolak petunjuk dan mendustakan janji-janji Allah, maka satu-satunya konsekuensi yang menantinya adalah api yang membakar hebat ini.
Penggunaan kata kerja 'memperingatkan' (أَنذَرْتُكُمْ / Anzartukum) menunjukkan kasih sayang Allah. Peringatan diberikan agar manusia memiliki kesempatan untuk bertaubat sebelum terlambat.
Kata الْأَشْقَى (Al-Ashqaa) adalah bentuk superlatif dari ‘sengsara’ atau ‘celaka’. Neraka Al-Laza hanya ditujukan bagi mereka yang telah mencapai puncak kesengsaraan dalam kekafiran dan kekikiran, yaitu golongan kedua yang dijelaskan sebelumnya (Ayat 8-10).
Ayat ini menjelaskan karakteristik Al-Ashqa, mengulangi dan mempertegas poin-poin sebelumnya: Mereka memiliki dua dosa utama:
Orang celaka ini bukan hanya tidak percaya, tetapi juga secara aktif menolak dan berpaling dari kewajiban moral dan ibadah. Mereka menutup telinga terhadap petunjuk dan menutup tangan terhadap kedermawanan.
Kontras diakhiri dengan gambaran indah mengenai keselamatan dan ganjaran bagi golongan pertama, Al-Atqa.
Sama seperti Al-Ashqa, di sini digunakan bentuk superlatif: الْأَتْقَى (Al-Atqaa), ‘yang paling bertakwa’. Golongan pertama ini (Ayat 5-7) adalah mereka yang paling berhak atas janji kemudahan dan keselamatan. Mereka dijauhkan secara total dari kobaran api Al-Laza.
Ayat ini secara eksplisit mendefinisikan sifat utama dari Al-Atqa, yaitu: Kedermawanan yang tulus. يُؤْتِي مَالَهُ (Yu’ti maalahu): Dia memberikan hartanya. يَتَزَكَّىٰ (Yatazakka): Untuk mensucikan dirinya. Mereka tidak mencari pujian manusia atau keuntungan materi. Tujuan utama infak mereka adalah tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dari sifat kikir dan dosa. Ini adalah bukti bahwa niat (niyyah) yang benar mengubah amal duniawi (infak) menjadi ibadah spiritual tertinggi.
Mayoritas mufasir sepakat bahwa ayat-ayat tentang Al-Atqa ini, terutama Ayat 17-21, turun mengenai Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq radiyallahu ‘anhu. Beliau dikenal suka membeli budak-budak lemah yang disiksa oleh orang musyrik (seperti Bilal bin Rabah) dan membebaskan mereka. Ketika ditanya apakah ia melakukan itu karena budak-budak tersebut pernah berbuat baik padanya, Abu Bakar menjawab bahwa ia melakukannya murni demi mencari Wajah Allah. Kisah ini menjadi representasi ideal dari kedermawanan tanpa pamrih yang dicari dalam Al-Lail.
Ayat ini memperkuat niat Al-Atqa. Mereka berinfak bukan sebagai balasan hutang budi (تُجْزَىٰ / tujzaa), atau untuk mendapatkan keuntungan di dunia, melainkan murni karena dorongan takwa. Tindakan mereka benar-benar tanpa pamrih dan hanya berorientasi kepada Allah semata. Ini membedakan infak mereka dari sedekah biasa yang mungkin bertujuan sosial atau politis.
Ini adalah klimaks spiritual. Motif tunggal dari semua amal saleh dan kedermawanan adalah ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ (Ibtighaa'a wajhi Rabbihil A'laa): mencari Wajah (keridhaan) Tuhannya Yang Maha Tinggi. Wajah Allah adalah ungkapan untuk keridhaan dan kebahagiaan abadi. Selama niat utama seorang mukmin adalah mencari Wajah Allah, amal mereka tidak akan pernah sia-sia.
Sebagai penutup yang menenangkan, Allah memberikan janji pasti. Kelak, di Surga, Al-Atqa tidak hanya menerima balasan materi, tetapi yang lebih agung, mereka akan menerima Keridhaan Allah. Keridhaan Allah (Ar-Ridwan) ini adalah ganjaran terbesar, melebihi kenikmatan Surga manapun, karena ia menjamin kedamaian abadi.
Untuk memahami sepenuhnya Surat Al-Lail, kita harus menggali kedalaman istilah-istilah kuncinya, terutama yang berkaitan dengan oposisi moral.
Kata sa’yakum (usaha kalian) dalam ayat 4 mengimplikasikan aktivitas yang gigih, bukan hanya sekadar niat. Ini mencakup segala jenis upaya, baik fisik, mental, maupun spiritual. Linguistik Arab menunjukkan bahwa kata sa’y memiliki konotasi gerakan yang tergesa-gesa atau bersemangat, seperti usaha lari kecil (sa’i) antara Safa dan Marwah. Surat Al-Lail mengajarkan bahwa setiap manusia bergerak cepat, tetapi arah gerakan itulah yang membedakan. Usaha tidak dinilai dari kuantitasnya di dunia, melainkan dari niat dan kesesuaiannya dengan petunjuk ilahi.
Al-Husna muncul dua kali (Ayat 6 dan 9), mewakili balasan tertinggi. Penggunaan bentuk feminin superlatif ini menegaskan bahwa apa yang dijanjikan Allah adalah kebaikan yang tak tertandingi, melampaui segala konsep kebaikan di dunia fana. Ini adalah keyakinan fundamental yang memisahkan golongan Atqa dan Ashqa. Golongan Atqa melihat masa depan dan berinvestasi di dalamnya, sedangkan Ashqa mendustakannya karena hanya fokus pada keuntungan instan di dunia.
Kontras antara Fasanuyassiruhu lil-yusraa (Kami akan memudahkan jalan menuju kemudahan) dan Fasanuyassiruhu lil-'usraa (Kami akan memudahkan jalan menuju kesulitan) adalah puncak retorika surat ini. Kemudahan dan kesulitan di sini bersifat kausal dan internal:
Imam Ar-Razi menyoroti bahwa janji kemudahan dan kesulitan ini adalah salah satu manifestasi keadilan ilahi. Allah membalas dengan jenis perbuatan yang sama: jika seseorang memilih kemudahan dalam memberi, Allah akan memberinya kemudahan dalam menjalani hidup; jika seseorang memilih kesulitan (kekikiran), Allah memberinya kesulitan dalam segala urusan kebaikannya.
Penggunaan bentuk superlatif menunjukkan bahwa pembalasan di Neraka (Al-Laza) dan keselamatan (Jannah) hanya untuk mereka yang mencapai tingkat ekstrem dari perilaku mereka. Al-Ashqa adalah yang paling celaka, yang menggabungkan mendustakan hati (kadzdhaba) dan berpalingnya anggota badan (tawalla). Al-Atqa adalah yang paling bertakwa, yang menggabungkan kedermawanan anggota badan (a’thaa) dengan pembenaran hati (shaddaqa).
Hal ini mengajarkan bahwa Islam tidak hanya menuntut tindakan setengah-setengah. Kedermawanan harus mencapai tingkat di mana ia melampaui kewajiban (zakat) hingga infak sunnah, dan dilakukan tanpa mengharapkan balasan manusia, sebagai bentuk tazkiyah (pensucian diri) sejati.
Surat Al-Lail memberikan pedoman etika yang abadi. Dalam konteks modern, di mana materialisme dan persaingan kekayaan sangat dominan, pesan surat ini semakin relevan sebagai filter moralitas.
Ayat 8 (وَاسْتَغْنَىٰ - merasa dirinya cukup) adalah kritik terhadap mentalitas kapitalis yang ekstrem, di mana individu percaya bahwa kesuksesan finansial sepenuhnya merupakan hasil usahanya sendiri, tanpa campur tangan Ilahi. Perasaan “cukup” ini menutup hati seseorang dari kebutuhan spiritual, syukur, dan kesadaran bahwa rezeki adalah pinjaman. Sikap ini adalah pintu menuju kekikiran dan penolakan ketaatan, karena ia merasa tidak membutuhkan Allah.
Di era konsumerisme, infak (memberi) yang diserukan dalam Surat Al-Lail adalah tindakan radikal. Ia melawan dorongan alami manusia untuk menimbun (bakhil). Infak sejati, yang didefinisikan oleh ayat 19 dan 20 (tanpa pamrih dan hanya mencari Wajah Allah), adalah indikator utama keberhasilan spiritual. Hal ini mencakup kedermawanan waktu, ilmu, dan tenaga, bukan hanya harta benda. Setiap bentuk pemberian harus didorong oleh tazkiyah (pembersihan diri).
Keterkaitan antara sebab dan akibat dalam Al-Lail sangat kuat. Ia menetapkan hukum spiritual yang setegas hukum gravitasi: Jika Anda memilih jalan kedermawanan dan keyakinan, Allah akan memuluskan jalan hidup Anda menuju kebahagiaan (Yusraa). Jika Anda memilih kekikiran dan keraguan, Allah akan membiarkan Anda terperosok ke dalam jalan kesengsaraan (Usraa). Ini adalah konsep keadilan dan ketetapan (Qadar) yang memberikan manusia kebebasan memilih sekaligus konsekuensi yang pasti.
Struktur Surat Al-Lail adalah mahakarya retorika yang dikenal sebagai ‘Taktik Oposisi Kontras’ (Muqabalah). Seluruh surat dibangun berdasarkan pasangan yang berlawanan:
Pola ini menciptakan keseimbangan ritmis yang kuat dan memastikan pesan moralitas tidak bisa disalahartikan. Setiap tindakan baik memiliki antitesisnya, dan setiap balasan buruk memiliki antitesisnya pula. Surat ini berfungsi sebagai timbangan ilahi, mendefinisikan secara tepat apa yang membuat satu sisi timbangan lebih berat daripada yang lain.
Selain itu, surat ini menggunakan teknik Tafhim (pengagungan) melalui sumpah. Ketika Allah bersumpah atas ciptaan-Nya (malam, siang), Ia menarik perhatian pendengar pada pentingnya pernyataan yang akan menyusul, yaitu bahwa usaha manusia itu bercabang dan hasilnya berbeda secara fundamental.
Fokus utama surat ini adalah kedermawanan yang luar biasa (infak) sebagai tanda takwa tertinggi. Mengapa infak dipilih sebagai representasi paling jelas dari takwa?
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa harta adalah sesuatu yang paling dicintai manusia setelah dirinya sendiri. Melepaskan harta, apalagi tanpa mengharapkan balasan di dunia (Ayat 19), adalah bukti tertinggi dari keyakinan (iman) kepada Allah dan Akhirat. Infak yang ideal, seperti yang digambarkan dalam ayat-ayat terakhir, harus memenuhi tiga syarat esensial:
Infak jenis inilah yang mengantar seseorang menuju gelar Al-Atqa, karena ia telah berhasil memenangkan perang terbesar melawan hawa nafsu: cinta terhadap kekayaan duniawi.
Ayat 20 menyatakan bahwa amal dilakukan semata-mata mencari ‘Wajah Tuhannya’. Konsep ‘Wajah Allah’ (Wajhillah) dalam Al-Qur'an adalah sinonim untuk Keridhaan Ilahi, keikhlasan yang sempurna, dan tujuan tertinggi. Ketika seorang mukmin berbuat karena Wajah Allah, ia tidak terpengaruh oleh pujian atau celaan manusia, dan ia tidak mengharapkan balasan apa pun dari makhluk. Inilah rahasia amal yang kekal dan diterima, yang menjamin janji walasawfa yardhaa (dan kelak dia pasti akan memperoleh keridhaan).
Ibn Kathir, dalam tafsirnya mengenai ayat 17 hingga 21, secara tegas mengaitkannya dengan Abu Bakar As-Siddiq. Beliau meriwayatkan bahwa Muqatil bin Hayyan dan Ibn Abbas berpendapat bahwa ayat-ayat ini diturunkan untuk mengecam Umayyah bin Khalaf (yang kikir dan mendustakan) dan memuji Abu Bakar (yang dermawan dan membenarkan). Penafsiran ini menunjukkan bahwa Surat Al-Lail, meskipun ajarannya universal, juga ditujukan untuk menggarisbawahi kontras yang jelas antara dua model kepribadian yang hadir di Makkah pada saat itu: model kedermawanan (Abu Bakar) versus model kekikiran dan kekafiran (Umayyah bin Khalaf dan sejenisnya).
Perdebatan mufasir mengenai apakah ‘Ma’ dalam Ayat 3 merujuk pada Allah atau pada Penciptaan (seperti yang telah disebutkan) memiliki implikasi teologis. Jika merujuk pada Allah, ini adalah sumpah atas Dzat Allah, menunjukkan keagungan Allah. Jika merujuk pada ciptaan itu sendiri, ini adalah sumpah atas keajaiban dan hikmah penciptaan pasangan, menekankan bahwa dualitas adalah tanda kekuasaan Allah yang harusnya diakui oleh manusia.
Imam Al-Qurtubi dan Fakhruddin Ar-Razi, meskipun mencatat perbedaan pandangan, menyimpulkan bahwa tujuan akhirnya sama: Sumpah tersebut digunakan untuk menegaskan kebenaran dan keadilan yang akan disampaikan dalam jawab al-qasam (Ayat 4).
Surat Al-Lail bukan hanya tentang etika finansial; ia juga memengaruhi bagaimana seorang Muslim memandang ibadah dan pengorbanannya secara keseluruhan.
Sumpah dengan Malam (Ayat 1) membawa konotasi spiritual mendalam. Malam adalah waktu yang paling sunyi, di mana riya (pamer) paling sulit dilakukan. Ibadah di malam hari (seperti Qiyamul Lail atau Tahajjud) adalah ibadah yang paling murni, yang paling mendekati definisi takwa tanpa pamrih. Oleh karena itu, kedermawanan, jika dilakukan secara rahasia diibaratkan seperti ibadah malam, lebih berpotensi memenuhi kriteria ‘mencari Wajah Allah’.
Kontras antara ‘bertakwa’ (Ayat 5) dan ‘merasa cukup’ (Ayat 8) mengajarkan tentang tawakkal yang benar. Orang yang bertakwa selalu merasa butuh kepada Allah, meskipun ia kaya, sehingga ia berderma sebagai bentuk syukur dan ketergantungan. Sebaliknya, orang yang ‘merasa cukup’ (istighna) hatinya tertutup karena menganggap kesuksesan datang dari usahanya, yang merupakan bentuk kekafiran kecil terhadap takdir dan rezeki Allah. Kekikiran adalah manifestasi dari ketakutan yang salah tempat, yaitu takut miskin jika memberi, padahal Allah menjamin balasan terbaik.
Surat Al-Lail, melalui 21 ayatnya yang ringkas namun padat makna, memberikan peta jalan yang gamblang bagi umat manusia. Pesannya adalah seruan untuk sadar bahwa waktu hidup di dunia (seperti malam dan siang yang berganti) adalah terbatas, dan setiap usaha yang dilakukan akan tercatat dan membawa konsekuensi pasti.
Kunci menuju keselamatan abadi, yang diwakili oleh gelar Al-Atqa, terletak pada kombinasi harmonis antara keyakinan (membenarkan janji Allah) dan aksi nyata yang paling sulit: kedermawanan tanpa pamrih. Kedermawanan ini harus bebas dari keinginan untuk dibalas oleh manusia (Ayat 19) dan murni diarahkan untuk mencari keridhaan Ilahi (Ayat 20).
Sebaliknya, jalan menuju kesengsaraan abadi, yang ditujukan bagi Al-Ashqa, adalah jalan kekikiran dan kesombongan spiritual. Mereka yang menolak berbagi rezeki, sejatinya menolak mengakui kedaulatan Allah atas dunia dan akhirat. Mereka mendustakan janji terbaik, sehingga Allah membiarkan mereka berjalan di jalan yang terasa mudah menuju kesengsaraan.
Pada akhirnya, Surat Al-Lail adalah penegasan universal atas keadilan Allah: Balasan adalah cerminan dari usaha dan niat. Barang siapa memilih jalan kemudahan moralitas (kedermawanan) akan diberi kemudahan dalam hidup dan akhirat. Barang siapa memilih kesulitan moralitas (kekikiran) akan menemukan kesulitan dalam segala hal yang baik.
Inilah hikmah dari Surat Al-Lail: Petunjuk telah diberikan, konsekuensi telah diperingatkan, dan pilihan ada di tangan setiap individu untuk menentukan apakah mereka akan menjadi golongan Al-Atqa yang diselamatkan menuju keridhaan abadi, atau golongan Al-Ashqa yang terperosok ke dalam api yang menyala-nyala.
***