Surah Al-Lail (bahasa Arab: الليل, artinya 'Malam') merupakan salah satu surah Makkiyah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ di Makkah sebelum hijrah ke Madinah. Surah-surah Makkiyah secara umum memiliki ciri khas penekanan pada fondasi keimanan, hari kiamat, dan perbandingan antara orang-orang yang beriman dan orang-orang yang ingkar. Al-Lail, yang terletak pada urutan ke-92 dalam mushaf Al-Qur'an, adalah sebuah masterpiece ringkas yang menyajikan dualitas abadi dalam kehidupan manusia: dualitas amal dan balasan.
Inti dari Surah Al-Lail adalah penegasan bahwa setiap usaha dan tindakan manusia di dunia ini akan mengarah kepada dua hasil yang berbeda secara ekstrem. Allah SWT menggunakan sumpah demi fenomena alam yang kontras—malam dan siang—untuk menarik perhatian hamba-Nya pada kontras spiritual yang sama, yaitu antara ketakwaan dan kekikiran, antara kedermawanan dan kesombongan. Surah ini memberikan janji yang pasti bagi orang-orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan ancaman keras bagi mereka yang menahan rezeki dan mendustakan kebenaran.
Sebagai bagian dari kelompok surah pendek (disebut Al-Mufassal) yang memiliki kekuatan retorika tinggi, Al-Lail berfungsi sebagai peringatan yang mendalam bagi jiwa yang mudah terlena oleh gemerlap kehidupan duniawi. Sebelum kita melangkah lebih jauh ke dalam tafsir dan konteks historis, pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah mengenai struktur formalnya.
Pertanyaan mengenai struktur formal surah adalah hal penting dalam ilmu-ilmu Al-Qur'an (Ulumul Qur'an). Untuk menjawab pertanyaan mendasar: **Surat Al-Lail (Malam) terdiri dari 21 ayat.**
Jumlah 21 ayat ini disepakati oleh mayoritas ulama dan tercantum dalam berbagai riwayat penghitungan ayat ('Adad al-Ay) yang diakui, termasuk berdasarkan qira'ah Kufi, Madani, dan Syami. Angka ini mungkin terasa sedikit dibandingkan surah-surah Madaniyah yang panjang, namun kekayaan makna yang terkandung dalam setiap ayat pendek ini sangatlah padat.
Surah Al-Lail menempati posisi strategis di akhir Al-Qur'an, yaitu pada Juz ke-30 atau yang lebih dikenal sebagai Juz Amma. Dalam urutan mushaf, Al-Lail berada setelah Surah Asy-Syams (Matahari) dan sebelum Surah Adh-Dhuha (Waktu Matahari Sepenggalan Naik). Penempatan ini sangat signifikan karena Surah Asy-Syams juga menggunakan sumpah demi fenomena alam yang kontras (matahari dan bulan, siang dan malam) untuk menggambarkan dualitas jiwa manusia. Al-Lail kemudian meneruskan tema ini dengan fokus pada tindakan konkret manusia: memberi dan menahan.
Ilustrasi: Kontrasnya Malam dan Siang, Dasar Sumpah Ilahi dalam Surah Al-Lail.
Meskipun Surah Al-Lail secara keseluruhan membawa pesan universal, banyak mufassir (ahli tafsir) yang mengaitkan turunnya beberapa ayat dalam surah ini dengan kisah-kisah spesifik yang terjadi di Makkah, khususnya yang melibatkan perbandingan antara kedermawanan seorang sahabat mulia dan kekikiran seorang munafik atau musyrik.
Riwayat yang paling masyhur, yang dicatat antara lain oleh Imam Muslim dan Tirmidzi, menghubungkan bagian kedua Surah Al-Lail (Ayat 5 hingga akhir) dengan dua orang yang memiliki sifat yang bertolak belakang.
Perbandingan hidup nyata ini memberikan dimensi yang sangat tajam pada pesan surah: balasan surga dan neraka bukanlah janji kosong, melainkan konsekuensi logis dari pilihan fundamental manusia dalam menggunakan harta dan kekuasaan yang diberikan Allah.
Untuk memahami sepenuhnya kekayaan Surah Al-Lail, kita perlu menyelami tafsir setiap kelompok ayat. Surah ini dapat dibagi menjadi tiga bagian utama: Sumpah Ilahi (Ayat 1-4), Perbandingan Dua Golongan Manusia (Ayat 5-11), dan Konsekuensi Abadi (Ayat 12-21).
Allah SWT membuka surah ini dengan empat sumpah yang menekankan dualitas keberadaan, yang secara langsung mencerminkan dualitas amal manusia.
وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ ﴿١﴾ وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ ﴿٢﴾ وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ ﴿٣﴾ إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ ﴿٤﴾
(1) Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), (2) dan demi siang apabila terang benderang, (3) dan demi Penciptaan laki-laki dan perempuan, (4) sungguh, usaha kamu benar-benar beraneka ragam.
Ayat 1 & 2: Malam dan Siang. Malam (Al-Lail) yang menutupi (yaghshaa) seluruh bumi dengan kegelapan melambangkan ketenangan, misteri, dan masa istirahat. Siang (An-Nahar) yang terang benderang (tajallaa) melambangkan aktivitas, kejelasan, dan pergerakan. Allah bersumpah dengan kedua kontras ini untuk menunjukkan bahwa Dia, sebagai Pencipta, menguasai segala kontras. Kontras ini adalah sistem alam semesta, dan di dalamnya terdapat pelajaran bagi manusia.
Ayat 3: Penciptaan Jenis Kelamin. Sumpah ketiga mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan (dzakar wal untsaa) menegaskan bahwa dualitas tidak hanya ada di alam fisik, tetapi juga dalam struktur sosial dan biologis manusia. Ini adalah dualitas asal muasal kehidupan, yang darinya muncul generasi-generasi. Semua kontras ini adalah bukti kekuasaan Allah.
Ayat 4: Inti Pesan. Ayat keempat adalah jawaban dari sumpah tersebut. "Sungguh, usaha kamu benar-benar beraneka ragam (syattaa)." Ini berarti setiap manusia memiliki tujuan dan jalan hidup yang berbeda. Ada yang memilih jalan kebaikan dan ada yang memilih jalan keburukan. Dualitas alam (malam/siang) dan dualitas penciptaan (laki/perempuan) adalah refleksi dari dualitas moralitas dan usaha manusia yang menghasilkan balasan yang berbeda pula. Ayat ini menjadi jembatan menuju perincian dua jenis usaha tersebut.
Ayat-ayat ini menjelaskan secara rinci tentang dua kelompok manusia yang memiliki usaha yang kontras, serta janji dan ancaman bagi masing-masing kelompok.
فَأَمَّا مَن أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ ﴿٥﴾ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ ﴿٦﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ ﴿٧﴾
(5) Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, (6) dan membenarkan (adanya) balasan yang terbaik (Al-Husna), (7) maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan.
Tiga Kualitas Utama: Golongan ini dicirikan oleh tiga hal yang saling berhubungan erat:
Balasan: Allah menjanjikan kemudahan (al-yusraa) bagi mereka. Kemudahan ini mencakup kemudahan dalam beramal saleh di dunia, kemudahan saat sakaratul maut, dan kemudahan di Hari Penghisaban. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan, Allah akan menyiapkan dan memuluskan jalan mereka menuju kebahagiaan sejati.
وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ ﴿٨﴾ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ ﴿٩﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ ﴿١٠﴾ وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ ﴿١١﴾
(8) Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh pertolongan Allah), (9) serta mendustakan balasan yang terbaik (Al-Husna), (10) maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (Al-Usra). (11) Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa.
Tiga Kualitas Negatif: Golongan ini menunjukkan kebalikan mutlak dari golongan pertama:
Balasan: Allah menjanjikan kesukaran (al-'usraa) bagi mereka. Kesukaran ini bukan hanya berarti kesulitan hidup, tetapi kesulitan spiritual—kesulitan untuk berbuat baik, sulit menerima hidayah, dan puncaknya adalah kesukaran menghadapi hukuman di akhirat. Ayat 11 menegaskan kepastian azab; semua harta yang ia kumpulkan dengan kekikiran tidak akan dapat menyelamatkannya sedikit pun ketika ia jatuh (binasa/mati).
Para ulama tafsir menekankan bahwa Surah Al-Lail mengajarkan bahwa yang paling penting bukanlah seberapa besar harta yang dimiliki, tetapi bagaimana jiwa itu mengarahkan hartanya. Kedermawanan adalah indikator kepercayaan mutlak kepada Allah, sementara kekikiran adalah indikator kesombongan dan ketergantungan pada materi dunia.
Bagian terakhir dari 21 ayat ini mengalihkan fokus dari tindakan manusia ke kekuasaan mutlak Allah dalam memberikan petunjuk dan hukuman, serta menjelaskan deskripsi balasan akhir.
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ ﴿١٢﴾ وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ ﴿١٣﴾ فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ ﴿١٤﴾ لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى ﴿١٥﴾ الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ ﴿١٦﴾ وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى ﴿١٧﴾ الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ ﴿١٨﴾ وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ ﴿١٩﴾ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ ﴿٢٠﴾ وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ ﴿٢١﴾
(12) Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk. (13) Dan sesungguhnya milik Kamilah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. (14) Maka, Aku memperingatkan kamu dengan api (neraka) yang menyala-nyala, (15) tidak ada yang memasukinya kecuali orang yang paling celaka, (16) yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan). (17) Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa, (18) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya), (19) dan tidak ada suatu nikmat pun yang diberikan seseorang kepadanya yang harus dibalasnya, (20) melainkan (dia memberikan itu) hanya karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi. (21) Dan sungguh, kelak dia akan mendapatkan kepuasan.
Ayat 12 dan 13 berfungsi sebagai penutup argumen. Allah menegaskan bahwa Dia yang memegang kendali atas petunjuk (hidayah) dan bahwa kepemilikan dunia dan akhirat sepenuhnya berada di tangan-Nya. Petunjuk telah jelas diberikan, dan karena seluruh balasan adalah milik-Nya, maka peringatan-Nya harus diambil serius.
Peringatan itu adalah neraka (naaran talaẓẓā) yang bergejolak dan menyala-nyala. Neraka ini hanya akan dimasuki oleh al-asyqaa (orang yang paling celaka). Siapakah dia? Yaitu orang yang menggabungkan dua dosa besar: mendustakan ajaran (kebenaran) dan berpaling dari perintah Allah.
Ayat 17 dan seterusnya memberikan pujian tertinggi bagi al-atqaa (orang yang paling bertakwa), yang merupakan kebalikan dari al-asyqaa. Ia adalah orang yang memberikan hartanya dengan niat yatazakkaa (membersihkan dirinya) dari dosa, kekikiran, dan keterikatan pada dunia.
Fokus pada Keikhlasan (Ayat 19-20): Bagian ini secara khusus menyoroti keikhlasan Abu Bakar. Penafsir menjelaskan bahwa orang bertakwa ini memberi bukan karena ia berutang budi atau membalas nikmat dari siapapun (min ni'matin tujzaa). Artinya, perbuatannya murni tanpa motif balasan duniawi atau utang masa lalu. Motivasi tunggalnya adalah mencari Wajah (keridhaan) Tuhannya Yang Mahatinggi (ibtighaa’a wajhi rabbihil a’lā). Ini adalah definisi tertinggi dari amal saleh: tindakan yang murni tanpa pamrih.
Puncak Balasan (Ayat 21): Surah ditutup dengan janji pamungkas: "Dan sungguh, kelak dia akan mendapatkan kepuasan (yardhā)." Kepuasan di sini bukan hanya berarti Surga, tetapi juga ridha dan penerimaan dari Allah SWT. Ini adalah balasan yang melebihi segala harta dan kenikmatan dunia.
Struktur Al-Qur'an sangat teratur, dan Surah Al-Lail memiliki keterkaitan tematik yang kuat dengan surah-surah yang mendahuluinya dalam Juz Amma, khususnya Surah Asy-Syams (91).
Surah Asy-Syams dibuka dengan 11 sumpah (qasam) demi benda-benda alam (Matahari, bulan, siang, malam) dan diakhiri dengan sumpah demi jiwa manusia. Asy-Syams menyatakan bahwa Allah telah mengilhamkan kepada jiwa kefasikan (fujuraha) dan ketakwaan (taqwaha).
Al-Lail mengambil tema dualitas jiwa ini dan mengaplikasikannya ke dalam aksi konkret. Jika Asy-Syams menjelaskan potensi baik dan buruk dalam jiwa, Al-Lail menjelaskan hasil tindakan dari potensi tersebut: Siapa yang memberi dan bertakwa akan dimudahkan, dan siapa yang kikir dan mendustakan akan disulitkan. Dengan kata lain, Al-Lail adalah penerapan praktis dari prinsip psikologi moral yang diletakkan dalam Asy-Syams.
Kedua surah ini juga sama-sama diakhiri dengan contoh historis atau peringatan yang kuat. Asy-Syams mengakhiri dengan kisah penghancuran kaum Tsamud karena kedurhakaan mereka, sementara Al-Lail mengakhiri dengan peringatan neraka talaẓẓā dan janji kepuasan bagi orang yang ikhlas, memastikan bahwa ancaman dan janji tersebut bersifat abadi dan relevan bagi setiap individu.
Pilihan kata dalam Surah Al-Lail sangat spesifik dan memberikan kedalaman makna teologis:
Seperti seluruh Surah dalam Al-Qur'an, Al-Lail mengandung keutamaan besar dan pelajaran hidup yang mendalam bagi umat Islam. Intisari dari surah ini dapat dirangkum dalam empat hikmah utama:
Pelajaran terpenting dari kisah Abu Bakar yang disiratkan dalam ayat 19-20 adalah keikhlasan. Pemberian yang bernilai di sisi Allah bukanlah pemberian yang paling banyak, melainkan pemberian yang paling murni niatnya. Ketika Abu Bakar membebaskan budak tanpa mengharapkan balasan duniawi, bahkan tanpa membalas kebaikan, ia menetapkan standar bahwa semua amal harus ibtighaa’a wajhi rabbihil a’lā (hanya mencari keridhaan Wajah Allah Yang Mahatinggi). Ini menjadi kriteria pembeda antara amal saleh dan amal yang sia-sia.
Surah ini memberikan peringatan keras bahwa kekayaan duniawi adalah ilusi ketika dihadapkan pada Hari Kiamat. Ayat 11 ("Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa") menghancurkan anggapan bahwa harta dapat membeli keselamatan atau kebahagiaan abadi. Kekikiran adalah penyakit jiwa yang menyulitkan jalan menuju kebaikan dan pada akhirnya hanya akan membimbing pelakunya menuju api yang bergejolak.
Al-Lail mengajarkan hukum kausalitas spiritual. Jika seseorang memberi (a’thā), ia akan diberi kemudahan (al-yusraa). Jika seseorang menahan (bakhila), ia akan mengalami kesulitan (al-'usraa). Ini bukan hanya tentang takdir, tetapi tentang konsekuensi dari pilihan etika dan moral. Allah mempermudah jalan bagi mereka yang menunjukkan kesediaan untuk berkorban di jalan-Nya.
Penutup surah ("Dan sungguh, kelak dia akan mendapatkan kepuasan") menjanjikan lebih dari sekadar hadiah fisik Surga. Ia menjanjikan kepuasan batin dan spiritual, yaitu ridha dari Sang Pencipta. Ridha Allah adalah puncak dari segala pencarian spiritual, dan hal ini diberikan kepada mereka yang beramal dengan ketakwaan dan keikhlasan.
Di era modern ini, di mana nilai-nilai materialisme dan individualisme sering mendominasi, pesan 21 ayat Surah Al-Lail tetap relevan dan mendesak. Globalisasi telah menciptakan jurang yang lebar antara yang "memberi" dan yang "kikir" dalam skala yang lebih besar.
Sikap 'merasa cukup' (istaghnaa) yang dicela dalam Surah Al-Lail kini menjelma dalam budaya konsumerisme ekstrem, di mana kesuksesan diukur dari akumulasi harta, terlepas dari sumber dan penggunaannya. Orang modern sering kali merasa cukup dengan pencapaian material mereka sehingga mereka mengabaikan dimensi spiritual, mendustakan janji akhirat, dan menahan bantuan dari sesama yang membutuhkan.
Surah ini mengingatkan kita bahwa kekayaan bukanlah jaminan kebahagiaan. Jika kekayaan tidak digunakan sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, ia hanya akan menjadi beban dan kesulitan di dunia maupun di akhirat.
Kedermawanan yang dipuji Al-Lail harus diaplikasikan dalam bentuk yang luas, bukan hanya dalam lingkup keluarga. Ini termasuk dukungan terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan kemanusiaan bagi mereka yang menderita. Setiap tindakan memberi, sekecil apa pun, selama didasari oleh ketakwaan dan keikhlasan (ibtighaa’a wajhi rabbihil a’lā), adalah penanaman investasi spiritual menuju al-yusraa (kemudahan) yang dijanjikan Allah.
Dengan total 21 ayat yang padat, Surah Al-Lail berfungsi sebagai panduan abadi yang mendorong setiap mukmin untuk introspeksi: Di manakah posisi kita dalam dualitas abadi ini? Apakah kita berjalan di jalur kemudahan melalui kedermawanan dan ketakwaan, ataukah kita terjerumus ke jalur kesukaran karena kekikiran dan pendustaan?
Umat Islam diperintahkan untuk menjadikan Surah Al-Lail sebagai cerminan diri. Bukan hanya sekadar mengetahui jumlah ayatnya yang 21, tetapi yang jauh lebih penting adalah menghayati bagaimana janji dan ancaman di dalamnya membentuk karakter dan perilaku sehari-hari, memastikan bahwa setiap usaha (sa'yakum) adalah usaha yang membawa kita semakin dekat kepada keridhaan Ilahi.
Kajian mendalam terhadap setiap aspek surah ini mengungkap betapa ringkasnya Al-Qur'an menyampaikan pesan yang sangat fundamental. Dua puluh satu ayat ini merangkum seluruh filosofi kehidupan, etika harta, dan kepastian pembalasan di Hari Akhir. Kedermawanan adalah cinta yang dibuktikan dengan tindakan, dan tindakan itu adalah penentu akhirat.
Ayat 12 menyatakan, "Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk (al-hudaa)." Mufassir menjelaskan bahwa ada dua jenis petunjuk:
Oleh karena itu, meskipun Allah memiliki hak mutlak atas petunjuk, manusia tetap bertanggung jawab atas usahanya (sebagaimana ditegaskan di Ayat 4). Pilihan untuk memberi atau kikir adalah pilihan untuk mendekat atau menjauh dari petunjuk taufiq tersebut.
Selesai sudah pembahasan mengenai struktur dan kandungan makna dari Surah Al-Lail, yang tegak berdiri dengan 21 ayatnya, menjadi mercusuar abadi yang membimbing umat manusia menuju jalur kedermawanan dan ketakwaan sejati.
***
Dua puluh satu ayat Surah Al-Lail secara efektif memperkenalkan arketipe moral yang harus dipahami oleh setiap individu. Pembahasan ini menyoroti perbedaan mendalam antara orang yang paling bertakwa (al-atqa) dan orang yang paling celaka (al-asyqa), bukan hanya dari segi tindakan, tetapi juga dari landasan filosofis mereka.
Orang yang paling celaka (ayat 15-16) dicirikan oleh dua sifat fundamental: kekikiran dan pendustaan. Kekikiran (menahan harta) adalah manifestasi lahiriah, sementara pendustaan (terhadap Al-Husna atau akhirat) adalah akar filosofisnya. Individu ini hidup dalam kerangka pemikiran bahwa:
Jalan yang dimudahkan baginya adalah al-'usraa (kesukaran). Kesukaran yang ditawarkan Allah ini adalah kesukaran hati—kekerasan hati, kesulitan menerima nasihat, dan kegelisahan yang tak terhindarkan meskipun harta melimpah. Inilah yang disebut "kenyamanan yang menyiksa," karena pada akhirnya, harta itu tidak dapat menolongnya saat ia terjatuh dalam kematian.
Orang yang paling bertakwa (ayat 17-21) adalah kebalikan sempurna. Landasan filosofisnya adalah tauhid dan keikhlasan:
Jalan yang dimudahkan baginya adalah al-yusraa (kemudahan). Kemudahan ini mencakup ketenangan jiwa, barokah dalam rezeki, kemudahan dalam ibadah, dan yang paling utama, janji kepuasan abadi (yardhā) di sisi Allah.
Sumpah demi malam dan siang (ayat 1 dan 2) bukan sekadar latar belakang puitis; ia adalah metafora bagi siklus amal dan introspeksi dalam hidup seorang mukmin. Malam (Al-Lail) yang gelap dan menutupi adalah waktu untuk menutupi kekurangan diri, merenung, dan beribadah secara rahasia (qiyamullail, doa). Ini adalah waktu privasi antara hamba dan Tuhannya, memupuk ketakwaan batiniah.
Siang (An-Nahar) yang terang benderang adalah waktu untuk bermanifestasi dan beraksi, termasuk kedermawanan (memberi harta). Tindakan memberi di siang hari adalah bukti dari kualitas takwa yang dibangun di malam hari. Surah Al-Lail mengajarkan bahwa keseimbangan spiritual memerlukan kontras ini: introspeksi di malam hari dan tindakan kebaikan di siang hari. Tanpa keduanya, jiwa akan menjadi kering atau penuh dengan riya (pamer).
Kajian mendalam terhadap Surah Al-Lail, yang terdiri dari 21 ayat yang penuh makna ini, merupakan pondasi etika keislaman. Surah ini menetapkan bahwa nilai sejati seorang manusia tidak terletak pada apa yang ia kumpulkan, tetapi pada apa yang ia berikan dengan niat yang suci. Setiap kata dalam surah ini adalah panggilan untuk memilih jalur yang benar sebelum kegelapan malam abadi (kematian) datang menutupi kehidupan.
Penting untuk dicatat bahwa dalam kerangka tafsir yang lebih luas, ancaman neraka talaẓẓā (menyala-nyala) adalah ancaman serius yang harus dihindari oleh semua yang berakal. Keselamatan dari api ini hanya dapat diperoleh melalui kombinasi sempurna antara iman (membenarkan Al-Husna) dan amal saleh yang ikhlas (memberi dan bertakwa). Al-Lail secara ringkas menyediakan peta jalan menuju keselamatan, di mana infak menjadi kompas utama yang menunjuk ke arah ridha Allah.
Maka dari itu, 21 ayat ini adalah undangan bagi setiap mukmin untuk meninggalkan kekikiran, menanamkan keyakinan pada Akhirat, dan mengubah harta yang fana menjadi bekal abadi yang dijamin oleh janji Allah SWT.
***
Meskipun Surah Al-Lail adalah surah Makkiyah yang fokus pada akidah dan moral, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya memiliki implikasi yang signifikan dalam fiqh (hukum Islam), terutama terkait dengan harta dan infak.
Ayat 8, yang mencela orang yang kikir (bakhila), secara implisit mendukung kewajiban Zakat. Meskipun kewajiban Zakat baru dirincikan di Madinah, prinsip bahwa menahan hak orang miskin adalah perbuatan yang dicela Allah sudah ditegaskan di Makkah melalui surah-surah seperti Al-Lail. Kekikiran dalam konteks fiqh mencakup menahan Zakat yang wajib, dan dalam konteks moral, menahan infak sunnah yang mampu dilakukan.
Fiqh infak sangat bergantung pada niat. Surah Al-Lail menegaskan bahwa infak yang diterima adalah infak yang bertujuan untuk tazakka (membersihkan diri) dan ibtighaa’a wajhi rabbihil a’lā (mencari ridha Allah). Ini mendasari konsep bahwa amal rahasia (seperti memberi tanpa diketahui orang lain) sering kali lebih utama karena lebih menjamin keikhlasan, sesuai dengan semangat sumpah malam yang menutupi.
Ayat 18 menekankan bahwa memberi harta bertujuan untuk membersihkan diri. Dalam fiqh, ini melampaui sekadar membersihkan harta dari hak orang lain (zakat). Ini adalah pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) dari penyakit hati seperti cinta dunia (hubbud dunya) dan kekikiran (syuhhun nafs). Oleh karena itu, fiqh tidak hanya mengatur cara memberi, tetapi juga kondisi spiritual pemberi.
Dalam 21 ayatnya, Surah Al-Lail berhasil memadukan janji dan ancaman secara seimbang. Dimulai dengan sumpah agung demi alam semesta, surah ini menuntun pendengarnya kepada inti dari keberadaan manusia—yaitu pilihan moral antara memberi dan menahan. Surah ini adalah salah satu surah yang paling efektif dalam menegakkan prinsip pertanggungjawaban individu. Setiap individu bertanggung jawab penuh atas arah usahanya, dan tidak ada harta, kedudukan, atau kekuasaan yang dapat menyelamatkannya dari konsekuensi celaka jika ia memilih jalan kesombongan dan kekikiran.
Oleh karena itu, bagi setiap mukmin, membaca, memahami, dan mengamalkan pesan Surah Al-Lail adalah suatu keharusan. Surah ini memberikan kepastian bahwa jalan menuju kemudahan (surga) adalah jalan pengorbanan ikhlas, sementara jalan menuju kesukaran (neraka) adalah jalan kekikiran dan pendustaan. Inilah makna terdalam yang terkandung dalam setiap jengkal dari 21 ayat Surah Al-Lail.
***