Bacaan Surat Al-Fil (Gajah)

Kajian Komprehensif Tafsir, Asbabun Nuzul, dan Ibrah Ilahi

Simbol Gajah dan Burung Ababil

Ilustrasi visual Peristiwa Gajah: Kekuatan yang Hancur oleh Kuasa Ilahi

Pendahuluan: Kedudukan Surat Al-Fil

Surat Al-Fil (Arab: الفيل) adalah surat ke-105 dalam Al-Qur'an, terdiri dari lima ayat yang pendek namun sarat makna. Ia tergolong sebagai surat Makkiyah, diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ. Namun, kekhususan surat ini terletak pada waktu penurunannya yang sangat awal, bahkan terkait erat dengan kelahiran Nabi, karena menceritakan peristiwa yang terjadi pada tahun yang sama dengan kelahirannya, yang kemudian dikenal sebagai Tahun Gajah (Âm al-Fîl).

Surat ini berfungsi sebagai pengingat abadi akan kekuatan absolut Allah ﷻ yang tidak tertandingi oleh kekuatan material manapun. Ia mengabadikan kisah tentang bagaimana upaya besar, yang didukung oleh teknologi militer terkuat pada masa itu—pasukan gajah—untuk menghancurkan Ka’bah di Makkah, digagalkan secara spektakuler oleh intervensi Ilahi yang paling sederhana dan tak terduga: sekumpulan burung kecil. Al-Fil bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga landasan teologis yang menegaskan bahwa penjaga sejati Ka'bah bukanlah manusia atau tembok, melainkan Allah sendiri.

Membaca dan merenungkan Al-Fil adalah mempelajari salah satu mukjizat terbesar yang mendahului kenabian, yang mempersiapkan panggung bagi risalah Islam. Ini adalah bukti nyata yang disaksikan oleh generasi awal Makkah, termasuk kakek Nabi, Abdul Muttalib, yang menjadi saksi mata kehancuran pasukan Abraha. Oleh karena itu, surat ini menawarkan pelajaran mendalam tentang kesombongan, perlindungan, dan rencana Tuhan yang melampaui perhitungan manusia.

Teks Bacaan Surat Al-Fil dan Terjemahnya

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
(١) أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَٰبِ ٱلْفِيلِ
(1) Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
(٢) أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِى تَضْلِيلٍ
(2) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) sia-sia?
(٣) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
(3) Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
(٤) تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ
(4) Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
(٥) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ
(5) Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

Asbabun Nuzul: Peristiwa Tahun Gajah

Untuk memahami kedalaman Surat Al-Fil, kita harus kembali ke latar belakang sejarahnya yang sangat spesifik, yang dikenal sebagai Âm al-Fîl (Tahun Gajah), sekitar tahun 570 atau 571 Masehi, tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Kisah ini berpusat pada seorang penguasa dari Yaman, yang saat itu berada di bawah pengaruh Kekaisaran Aksum (Ethiopia), bernama Abraha al-Ashram.

Ambisi Abraha dan Pembangunan Al-Qullais

Abraha adalah seorang raja muda yang ambisius. Ia membangun sebuah katedral besar dan megah di Sana'a, Yaman, yang dinamainya Al-Qullais. Tujuan utama pembangunan ini adalah untuk mengalihkan perhatian dan aliran ziarah seluruh bangsa Arab, yang saat itu berpusat pada Ka'bah di Makkah, menuju Yaman. Abraha ingin Yaman menjadi pusat keagamaan dan ekonomi yang dominan di Semenanjung Arab.

Namun, upaya ini mendapat perlawanan keras dari bangsa Arab Quraisy, yang sangat menghormati Ka'bah. Sebagai bentuk penghinaan terhadap ambisi Abraha, sekelompok orang Quraisy (atau menurut riwayat lain, satu orang Badui) pergi ke Sana'a dan buang hajat di dalam Al-Qullais, merusak kesuciannya. Kejadian ini membuat Abraha murka tak terkira. Ia bersumpah akan menghancurkan Ka'bah di Makkah sampai rata dengan tanah sebagai pembalasan dan penegasan dominasinya.

Ekspedisi Militer dan Gajah Mahmūd

Abraha memimpin pasukan yang sangat besar menuju Makkah. Yang membedakan pasukan ini dari ekspedisi militer lainnya adalah kehadiran gajah-gajah perang, sebuah simbol kekuatan militer tak tertandingi pada masa itu. Gajah-gajah ini berfungsi sebagai ‘tank’ kuno yang mampu merobohkan dinding dan menebar ketakutan. Gajah terbesar dan yang memimpin formasi dinamai Mahmūd.

Ketika pasukan Abraha tiba di pinggiran Makkah, mereka menjarah ternak penduduk, termasuk 200 unta milik kakek Nabi, Abdul Muttalib bin Hasyim. Abdul Muttalib kemudian menemui Abraha, bukan untuk meminta keselamatan Makkah, melainkan hanya menuntut pengembalian untanya. Jawaban Abdul Muttalib kepada Abraha—bahwa unta itu miliknya, sedangkan Ka’bah memiliki Tuhannya yang akan menjaganya—menjadi salah satu pernyataan keyakinan paling heroik dalam sejarah Islam awal.

Peristiwa Mukjizat

Ketika Abraha memerintahkan penyerangan, Gajah Mahmūd dan gajah-gajah lainnya menolak bergerak menuju Ka'bah, meskipun dipukul dan dipaksa. Namun, saat diarahkan ke arah lain, mereka bergerak dengan cepat. Ini adalah pertanda pertama intervensi ilahi. Setelah itu, Allah mengirimkan tanda yang lebih dahsyat lagi.

Saat fajar menyingsing, langit dipenuhi oleh sekumpulan burung kecil, yang dalam Al-Qur'an disebut Tayran Ababil. Setiap burung membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di cakarnya. Batu-batu ini, yang ukurannya tidak lebih besar dari kacang atau kerikil, dilemparkan tepat di atas kepala setiap prajurit. Dampak dari batu-batu ini sangat fatal; mereka menembus helm, tubuh, dan menyebabkan kehancuran total. Pasukan Abraha hancur, dan Abraha sendiri berhasil melarikan diri namun mati dalam perjalanan kembali ke Yaman dengan tubuh yang membusuk.

Analisis Linguistik dan Tafsir Mendalam (Ayat per Ayat)

Surat Al-Fil, meskipun singkat, merupakan contoh puncak dari keindahan bahasa Al-Qur'an dan kedalaman makna teologisnya. Setiap frasa dan kata dalam surat ini dipilih dengan cermat untuk menyampaikan pesan kekuasaan dan pelajaran yang abadi.

Analisis Teks Qur'an ق و ل ك ي د

Menganalisis Akar Kata dalam Surat Al-Fil

Ayat 1: Pertanyaan Retoris tentang Pengamatan

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَٰبِ ٱلْفِيلِ

(1) Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?

أَلَمْ تَرَ (Alam Tara): Frasa ini adalah pertanyaan retoris yang kuat, yang secara harfiah berarti 'Tidakkah kamu melihat?' atau 'Tidakkah kamu mengetahui?'. Meskipun ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang lahir di tahun kejadian itu dan mungkin tidak 'melihat' dengan mata kepala sendiri, makna Tara di sini meluas menjadi 'memperhatikan', 'merenungkan', atau 'mengetahui' melalui kesaksian dan pengetahuan umum yang tak terbantahkan.

Penekanan pada 'melihat' menunjukkan bahwa peristiwa ini adalah fakta publik yang sangat terkenal di Makkah. Al-Qur'an tidak perlu membuktikan kisahnya, karena orang-orang Quraisy adalah saksi mata atau setidaknya pewaris ingatan kolektif dari peristiwa tersebut. Pertanyaan ini memaksa audiens untuk mengakui realitas sejarah dan implikasi teologisnya.

كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ (Kaifa Fa’ala Rabbuka): 'Bagaimana Tuhanmu telah bertindak'. Penggunaan kata Rabbuka (Tuhanmu) sangat penting. Ini menekankan hubungan khusus antara Allah dan Nabi Muhammad, serta antara Allah dan kota Makkah. Kata 'Rabb' (Pemelihara/Tuan) menyiratkan kepemilikan dan perlindungan. Allah menunjukkan tindakan-Nya tidak hanya sebagai Tuhan Semesta Alam, tetapi sebagai Pelindung khusus (Rabb) dari Nabi dan Rumah-Nya.

Kata Fa'ala (telah bertindak) merujuk pada tindakan yang definitif, dramatis, dan sangat efektif. Perbuatan Tuhan ini adalah tandingan mutlak terhadap rencana jahat Abraha.

بِأَصْحَٰبِ ٱلْفِيلِ (Bi Ashābil-Fīl): 'Terhadap pasukan bergajah'. Ashāb berarti 'pemilik', 'pendamping', atau 'pasukan'. Penyebutan mereka sebagai 'Pasukan Gajah' menggarisbawahi identitas mereka yang didasarkan pada kekuatan material yang mereka banggakan. Gajah adalah simbol kesombongan militer, dan Al-Qur'an menamakan mereka berdasarkan simbol kekuatan yang pada akhirnya tidak berguna di hadapan Kekuatan Ilahi.

Ayat 2: Pembatalan Rencana Jahat

أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِى تَضْلِيلٍ

(2) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) sia-sia?

كَيْدَهُمْ (Kaidahum): 'Tipu daya mereka', 'rencana licik mereka'. Kata Kaid (كيد) dalam bahasa Arab seringkali merujuk pada rencana jahat yang disusun dengan penuh perhitungan dan niat buruk. Rencana Abraha bukan hanya serangan militer, tetapi juga upaya strategis untuk menghancurkan pusat spiritual dan ekonomi Arab. Tipu daya ini mencakup logistik, persenjataan (gajah), dan strategi psikologis untuk menaklukkan Jazirah Arab.

Tafsir klasik, seperti yang diutarakan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi, menekankan bahwa meskipun Abraha beroperasi dengan kekuatan terbuka (gajah), rencana intinya adalah licik—yaitu memindahkan pusat keagamaan. Allah membalas Kaid ini dengan intervensi tak terduga.

فِى تَضْلِيلٍ (Fī Taḍlīl): 'Sia-sia', 'tersesat', 'dalam kesesatan'. Taḍlīl berasal dari akar kata Ḍ-L-L (ض ل ل) yang berarti tersesat atau menyimpang. Allah menjadikan rencana mereka tersesat dari tujuannya, tidak mencapai hasil yang diinginkan, dan berujung pada kehancuran total. Rencana mereka bukan hanya gagal, tetapi dibatalkan sedemikian rupa sehingga tidak ada jejak keberhasilan yang tersisa. Ini adalah penghinaan ilahi terhadap ambisi manusia yang sombong.

Analisis Qira’at (Bacaan): Sebagian ahli bahasa menekankan bahwa ayat ini menegaskan bahwa setiap strategi manusia, sehebat apa pun perhitungannya, akan menjadi kacau dan hilang arah (fi tadlil) jika bertentangan dengan kehendak Ilahi.

Ayat 3: Utusan Tak Terduga

وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ

(3) Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,

وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ (Wa Arsala ‘Alaihim): 'Dan Dia mengirimkan atas mereka'. Penggunaan kata Arsala (mengirimkan) menunjukkan tindakan yang disengaja dan terencana oleh Allah. Pengiriman ini bukan kebetulan alam, melainkan utusan yang ditugaskan secara spesifik untuk menghukum mereka.

طَيْرًا أَبَابِيلَ (Ṭayran Abābīl): Ini adalah inti dari mukjizat tersebut dan subjek perdebatan tafsir yang panjang, menghasilkan ratusan halaman diskusi para ulama.

Ṭayran (طَيْرًا): Berarti 'burung'. Kata ini digunakan dalam bentuk tidak tentu (nakirah), menunjukkan bahwa jenis burung tersebut mungkin tidak dikenal atau tidak penting untuk disebutkan. Yang penting adalah mereka adalah makhluk kecil yang secara fisik tidak signifikan.

Abābīl (أَبَابِيلَ): Inilah kata yang paling sulit diterjemahkan secara harfiah. Hampir semua mufassir sepakat bahwa Abābīl bukanlah nama jenis burung tertentu, melainkan deskripsi dari cara burung-burung itu datang. Maknanya mencakup:

  1. Berbondong-bondong/Kelompok-kelompok: Mereka datang dalam formasi yang besar, terus menerus, dan terpisah-pisah.
  2. Dari Segala Arah: Menyerang dari setiap penjuru, tanpa memberikan kesempatan pasukan Abraha untuk bersembunyi atau melawan.
  3. Dalam Keanekaragaman: Beberapa riwayat menyebutkan bahwa burung-burung tersebut berbeda-beda jenis dan warnanya, menambah kesan menakutkan dan supranatural.

Linguistik mendalam dari kata Abābīl menunjukkan ketidakmungkinan manusia untuk menghitung atau mengukur jumlahnya; sebuah ketidakberaturan yang teratur, diorganisir oleh Kuasa Ilahi. Keindahan pemilihan kata ini terletak pada kontrasnya: kekuatan militer yang terorganisir (Pasukan Gajah) dihancurkan oleh kekacauan terorganisir dari alam (Tayran Ababil).

Ayat 4: Senjata yang Menghancurkan

تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ

(4) Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,

تَرْمِيهِم (Tarmīhim): 'Mereka melempari mereka'. Kata kerja ini menunjukkan aksi yang sedang berlangsung dan berulang-ulang, menggambarkan hujan batu yang intens dan berkelanjutan hingga tugas selesai.

بِحِجَارَةٍ (Bi Ḥijāratin): 'Dengan batu-batu'. Sekali lagi, digunakan dalam bentuk nakirah (tidak tentu), menekankan bahwa batu-batu ini tidak istimewa dari segi ukuran, hanya kerikil. Namun, dampaknya adalah keajaiban.

مِّن سِجِّيلٍ (Min Sijjīl): Frasa inilah yang mengandung misteri dan kekejaman hukuman. Sijjīl adalah gabungan dua kata dalam bahasa Persia yang diadopsi ke bahasa Arab, yaitu Sang (batu) dan Gil (tanah liat). Secara umum, Sijjīl diartikan sebagai 'tanah liat yang dibakar keras' atau 'batu dari neraka'.

Penggunaan Sijjīl mengingatkan pada kisah Nabi Luth (Lut), di mana kota-kota kaumnya juga dihujani batu Sijjīl, menunjukkan bahwa hukuman ini adalah pola Ilahi untuk memusnahkan kesombongan yang melampaui batas.

Ayat 5: Akhir yang Memalukan

فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ

(5) Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

فَجَعَلَهُمْ (Fa Ja’alahum): 'Maka Dia menjadikan mereka'. Kata kerja ini menegaskan hasil akhir yang pasti dan tidak dapat dihindari dari tindakan Ilahi.

كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ (Ka’aṣfim Ma’kūl): Ini adalah metafora yang paling kuat dan menjijikkan dalam surat ini, menggambarkan kehancuran total dan memalukan.

Metafora ini melukiskan pembalikan nasib yang sempurna: Pasukan yang baru saja menjadi simbol kekuatan dan arogansi (Gajah) kini direduksi menjadi sampah organik yang hancur, tidak berharga, dan dimakan. Mereka tidak dibunuh dalam pertarungan mulia, tetapi diubah menjadi bubur busuk. Ini adalah hukuman yang tidak hanya menghancurkan secara fisik tetapi juga merendahkan secara moral dan psikologis di mata sejarah. Kehancuran ini berfungsi sebagai peringatan bahwa kekuatan materi hanyalah ilusi di hadapan keagungan Allah.

Implikasi Teologis dan Ibrah (Pelajaran Abadi)

Kisah Al-Fil lebih dari sekadar sejarah; ia adalah prinsip teologis yang terus berlaku. Surat ini mengajarkan beberapa pelajaran fundamental tentang sifat Allah ﷻ, kenabian, dan nasib kesombongan.

1. Tauhid Rububiyyah dan Perlindungan Ilahi

Inti dari Al-Fil adalah penegasan tentang Tauhid Rububiyyah (Keesaan Allah dalam Tindakan-Nya sebagai Pemelihara dan Pencipta). Surat ini menunjukkan bahwa Allah adalah Pengatur Mutlak alam semesta. Pasukan Gajah mengandalkan kekuatan teknologi dan fisik mereka, sementara Ka'bah tidak memiliki pertahanan militer sama sekali. Namun, Allah membuktikan bahwa Dia adalah Pelindung sejati (Al-Hafizh).

Pelajaran mendalam ini menegaskan bahwa nilai sejati sebuah tempat atau lembaga—seperti Ka'bah—bukanlah pada strukturnya, tetapi pada ikatan spiritualnya dengan Sang Pencipta. Ketika umat Islam membaca Al-Fil, mereka diingatkan bahwa perlindungan tidak datang dari kekuatan manusia, tetapi dari kemahakuasaan-Nya. Perlindungan ini bersifat pasti dan seringkali datang melalui cara yang paling tidak terduga, melampaui semua hukum sebab akibat yang dipahami manusia.

2. Kontras Kekuatan dan Kelemahan

Seluruh narasi dibangun di atas kontras dramatis:

Allah memilih yang paling lemah untuk menghancurkan yang paling kuat. Ini adalah penegasan bahwa ukuran, berat, dan jumlah tidak berarti di hadapan perintah Ilahi. Para mufassir kontemporer sering membandingkan peristiwa ini dengan teknologi modern: betapa pun canggihnya rudal atau senjata manusia, mereka tetap tidak akan bisa menandingi rencana Tuhan. Kekuatan Abraha, yang didukung oleh kerajaan besar, hanya memerlukan kerikil kecil untuk dihancurkan menjadi seperti ‘daun yang dimakan ulat’.

3. Korelasi dengan Kenabian (Tahun Gajah)

Fakta bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ bukanlah kebetulan, melainkan takdir yang disengaja. Dengan melindungi Ka'bah secara mukjizat tepat sebelum Nabi lahir, Allah secara efektif membersihkan panggung dan mempersiapkan lingkungan bagi risalah terakhir. Ka'bah dipertahankan kemurniannya, bukan untuk penyembahan berhala yang ada saat itu, tetapi untuk menjadi Kiblat universal bagi umat Islam di masa depan.

Kehancuran Abraha juga memiliki efek psikologis yang besar bagi orang Quraisy. Mereka melihat keajaiban ini dan meskipun mereka belum menerima Islam, mereka menghormati dan memuja Ka'bah dan keluarga Hasyim (karena peran Abdul Muttalib). Peristiwa ini memberikan legitimasi dan aura perlindungan khusus kepada Makkah dan klan di dalamnya, yang kemudian memfasilitasi penerimaan kenabian ketika wahyu pertama datang empat puluh tahun kemudian.

4. Konsekuensi Kesombongan dan Niat Buruk

Kesombongan Abraha adalah pendorong utama tindakannya. Ia tidak hanya ingin membangun pusat ibadah, tetapi ingin menggusur dan menghancurkan simbol keagamaan yang sudah ada. Niat buruknya—untuk memecah belah komunitas dan merendahkan Ka'bah—dihukum dengan cepat dan total. Surat Al-Fil adalah peringatan keras bahwa niat jahat, terutama yang ditujukan untuk menghancurkan rumah ibadah atau merusak kesucian, akan dibalas dengan hukuman yang setimpal, bahkan jika kekuatan pelakunya terlihat tak terjangkau.

Para ulama tafsir menekankan bahwa kisah ini mengajarkan bahwa Allah tidak akan membiarkan kezaliman dan kesombongan merajalela, terutama ketika kezaliman itu diarahkan pada simbol-simbol tauhid. Meskipun saat itu Ka'bah dikotori oleh berhala, posisinya sebagai rumah pertama yang dibangun untuk menyembah Allah (Baitullah) tetap dihormati dan dilindungi oleh-Nya.

Kajian Usul Fiqih dan Keutamaan Bacaan

Meskipun Surat Al-Fil sebagian besar bersifat kisah sejarah dan teologis, implikasinya merambah ke dalam kajian usul fiqih (prinsip hukum Islam) dan keutamaan spiritual bagi pembacanya.

1. Prinsip Hukum dari Peristiwa Gajah

Peristiwa ini sering dijadikan dalil dalam pembahasan Qada' dan Qadar (Ketentuan dan Takdir). Ia menunjukkan bahwa meskipun manusia memiliki kehendak bebas untuk merencanakan (seperti yang dilakukan Abraha), hasil akhir mutlak berada di bawah Kehendak (Iradah) dan Ketetapan (Qada) Allah. Rencana Abraha (Kaidahum) dibatalkan oleh Qada Ilahi yang tak terelakkan.

Selain itu, peristiwa Gajah menjadi tolok ukur penentuan kalender sebelum munculnya Kalender Hijriah. Bahkan di masa awal Islam, tahun kejadian penting sering dihitung berdasarkan patokan Tahun Gajah. Ini menunjukkan pengakuan universal bangsa Arab terhadap dahsyatnya mukjizat ini sebagai penanda waktu yang monumental.

Beberapa ulama juga menggunakan Al-Fil sebagai dalil dalam pembahasan Diyat (ganti rugi). Jika Ka'bah yang saat itu menjadi fokus penyembahan berhala saja dilindungi karena asal usulnya sebagai Baitullah, maka betapa lebih wajibnya umat Islam melindungi dan memuliakan rumah-rumah Allah yang lain (masjid) dan segala sesuatu yang suci dalam Islam.

2. Keutamaan Membaca Al-Fil dalam Shalat

Surat Al-Fil, seperti surat-surat pendek lainnya, memiliki keutamaan besar dalam pembacaan shalat. Karena ia adalah surat yang pendek, Al-Fil sering dibaca bersama dengan surat berikutnya, Surat Quraisy, dalam satu rakaat. Ini dikenal sebagai Al-Fil wa Quraisy.

Hubungan antara Al-Fil dan Quraisy sangat erat:

  1. Al-Fil menceritakan bagaimana Allah menghancurkan musuh-musuh Quraisy (Abraha).
  2. Quraisy menceritakan bagaimana Allah memberikan nikmat keamanan (Al-Amn) dan rezeki (Riḥlatash-Shitā’i waṣ-Ṣaīf) kepada Quraisy sebagai hasil langsung dari perlindungan Ka'bah di Al-Fil.

Membaca kedua surat ini secara berurutan memberikan pemahaman spiritual yang utuh: Allah melindungi Baitullah (Al-Fil), dan sebagai hasilnya, Dia menganugerahkan kehidupan yang nyaman dan aman bagi penduduk di sekitarnya (Quraisy). Ini adalah pelajaran tentang hubungan timbal balik antara ibadah dan kesejahteraan.

Para sufi dan ahli tafsir isyari (simbolik) juga melihat Al-Fil sebagai pertarungan antara Nafsu Ammarah (diri yang mengajak pada kejahatan, diwakili oleh kesombongan Abraha) dan Roh Ilahi. Gajah melambangkan ego yang besar, yang hanya bisa dihancurkan oleh intervensi spiritual yang ringan namun mematikan (batu dari Sijjil yang dilemparkan oleh burung kesadaran).

Penyelaman Lanjut: Kekuatan Retorika Qur'ani dalam Al-Fil

Untuk benar-benar menghargai Surat Al-Fil, kita harus memahami bagaimana struktur retorikanya berfungsi. Surat ini menggunakan teknik naratif yang canggih yang memaksimalkan dampak psikologis dan teologisnya dalam hanya lima baris.

1. Penggunaan Tenses dan Waktu

Ayat 1 menggunakan kata kerja lampau (Fa’ala), merujuk pada peristiwa yang telah terjadi. Namun, konteks Alam Tara membawanya ke masa kini, seolah-olah peristiwa itu masih segar dalam ingatan. Peristiwa masa lalu digunakan untuk membangun argumen yang relevan di masa kini dan masa depan. Ini adalah metode Qur'ani untuk menjadikan sejarah sebagai pelajaran abadi, bukan hanya catatan kering.

Pada ayat 5, penggunaan Fa Ja’alahum ('Maka Dia menjadikan mereka') menunjukkan hasil yang segera dan permanen. Tidak ada proses transisi yang berlarut-larut; penghancuran itu cepat, definitif, dan merupakan kesimpulan logis dari kemarahan Ilahi.

2. Makna Ganda dari 'Sijjil' dalam Kosmologi

Diskusi tentang Sijjīl seringkali berulang dalam tafsir. Menurut Al-Qurtubi, kata ini menghubungkan dunia ini dengan dunia berikutnya (akhirat). Batu dari Sijjīl bukanlah batu biasa, melainkan materi yang membawa sifat hukuman dari api neraka. Hal ini berarti bahwa hukuman yang ditimpakan pada pasukan Abraha adalah hukuman duniawi yang memiliki kualitas hukuman akhirat, mempercepat proses kehancuran dan azab.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Sijjīl adalah manifestasi dari takdir Allah, materi yang diciptakan secara khusus untuk tujuan penghancuran. Ini mengajarkan bahwa Allah tidak memerlukan senjata yang dikenal manusia untuk menghukum; Dia dapat menciptakan media penghukuman yang spesifik dari bahan paling mendasar (tanah liat yang terbakar) dan menggunakannya dengan presisi yang sempurna.

3. Analisis Mendalam Metafora ‘Asfim Ma’kul

Metafora ini sangat kaya. Selain makna literal 'daun dimakan ulat', para mufassir menekankan aspek penghinaan dan pembalikan siklus kehidupan. Pasukan Abraha bertujuan untuk menghancurkan, tetapi merekalah yang dihancurkan dan dikembalikan ke kondisi organik paling rendah—seperti ampas makanan.

Dalam bahasa Arab, istilah ‘Asf juga merujuk pada batang gandum setelah biji-bijian diambil—sisa yang tidak berguna. Menghubungkan jerami ini dengan tindakan 'dimakan' (Ma’kūl) menekankan pemusnahan total. Tubuh-tubuh mereka hancur berkeping-keping, terurai dengan cepat, dan dimusnahkan. Tidak ada kesempatan untuk pemulihan, penguburan yang layak, atau bahkan pengakuan akan kegagahan perang; mereka hanya menjadi sisa-sisa yang menjijikkan.

Metafora ini berfungsi sebagai kontras tajam terhadap kekuatan gajah (Fīl), yang merupakan simbol monumentalitas dan kekokohan. Kekokohan tersebut dilebur menjadi kelemahan yang rapuh, hanya dalam beberapa jam di hari itu.

4. Peran Abdul Muttalib sebagai Saksi Kunci

Meskipun surat ini tidak menyebut nama Abdul Muttalib, kehadirannya dan dialognya dengan Abraha sangat vital bagi asbabun nuzul. Ketika Abraha meremehkan unta Abdul Muttalib dibandingkan dengan Ka'bah, jawaban sang kakek ('Unta itu milikku, dan Baitullah itu memiliki Tuhannya yang akan menjaganya') mencerminkan pemahaman Tawakkal (berserah diri) dan keyakinan akan Ghayb (hal gaib).

Kisah ini menegaskan bahwa bahkan sebelum Islam formal datang, benih-benih tauhid murni sudah ada, diwakili oleh keyakinan orang-orang yang jujur seperti Abdul Muttalib. Kemenangan di Al-Fil adalah hadiah bagi keyakinan murni ini.

Selain itu, Abdul Muttalib dan Quraisy menyaksikan bahwa Allah tidak menggunakan pahlawan manusia, malaikat, atau bencana alam biasa (seperti banjir atau gempa) yang bisa dijelaskan secara ilmiah, melainkan menggunakan agen yang paling tidak mungkin (burung). Ini memastikan bahwa tidak ada yang dapat mengklaim kemenangan itu selain Allah sendiri, memurnikan peristiwa tersebut dari klaim heroik manusia.

5. Tafsir Sufi: Perjuangan Batin

Dalam tafsir sufi, kisah Al-Fil adalah alegori untuk perjuangan hati. Gajah melambangkan nafsu yang besar, ego yang mencoba menghancurkan hati (Ka'bah batin) tempat Allah bersemayam. Burung-burung Ababil melambangkan intuisi, ilham, atau ketaatan yang kecil namun berulang (seperti dzikir). Batu Sijjīl adalah hukuman batin atau rasa malu yang menghancurkan ego. Ketika hati dihujani dengan kesadaran akan dosa dan penyerahan diri, ego (gajah) hancur dan menjadi tidak berdaya, seperti ampas yang dimakan ulat.

Surat ini mengajarkan kepada para salik (penempuh jalan spiritual) bahwa kesombongan, bahkan dalam bentuk yang paling halus, harus dihancurkan oleh intervensi yang mungkin terlihat remeh dari luar, tetapi dahsyat kekuatannya di sisi Allah.

Debat Historis dan Konsensus Ulama

Meskipun kisah Al-Fil diterima secara universal dalam sejarah Islam, terdapat beberapa perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama tafsir dan sejarawan mengenai detail spesifik peristiwa tersebut, yang menambah dimensi kajian yang kompleks.

1. Sifat Mukjizat dan Penjelasan Alamiah

Sebagian kecil sarjana, terutama dari kalangan modernis, mencoba memberikan penjelasan naturalistik untuk peristiwa Al-Fil. Mereka berargumen bahwa Sijjīl mungkin merujuk pada wabah penyakit menular yang dibawa oleh burung (seperti cacar atau campak) yang melanda pasukan Abraha, terutama dalam kondisi logistik yang buruk.

Namun, mayoritas ulama salaf dan khalaf menolak totalitas penjelasan naturalistik. Mereka menegaskan bahwa penggunaan frasa seperti Ṭayran Abābīl dan Ḥijāratin min Sijjīl secara jelas mengindikasikan peristiwa yang berada di luar hukum alam biasa. Keajaiban bukan hanya pada alat penghancur, tetapi pada presisi dan kecepatan kehancuran itu. Jika itu hanya wabah, mengapa hanya pasukan Abraha yang terpengaruh, sementara penduduk Makkah yang berlindung di perbukitan tidak? Kenapa gajah Mahmūd menolak bergerak menuju Ka'bah?

Konsensusnya adalah bahwa Al-Fil adalah mukjizat sensori (hissiyah) yang berfungsi sebagai bukti nyata Kehadiran dan Kekuatan Allah, yang harus diakui sebagai intervensi supranatural.

2. Identitas Burung Ababil

Beberapa ulama mencoba mengidentifikasi jenis burung Abābīl. Ada yang mengatakan mereka mirip burung layang-layang (swallow), ada yang mengatakan mereka sejenis merpati laut, dan ada pula yang mengatakan mereka memiliki paruh seperti binatang buas kecil. Namun, konsensus terkuat tetap bahwa Abābīl adalah deskripsi formasi atau cara kedatangan mereka, bukan spesies. Allah sengaja menjaga identitas mereka tetap umum (Ṭayran) untuk menyoroti bahwa yang penting bukanlah makhluk itu sendiri, melainkan tugas yang mereka jalankan atas perintah Ilahi.

3. Detail Kekalahan Abraha

Riwayat yang paling kuat, seperti yang dicatat oleh Ibnu Ishaq dalam Sirah Nabawiyyah, menyebutkan bahwa Abraha tidak mati di tempat. Ia melarikan diri kembali ke Yaman dengan tubuh yang mulai membusuk akibat efek batu Sijjīl, jari-jarinya copot satu per satu. Ia tiba di Sana'a dalam kondisi mengenaskan dan meninggal tak lama setelah itu. Detail ini menambah dimensi hukuman: kematian yang lambat, menyakitkan, dan memalukan, sebagai penghinaan terakhir atas arogansinya.

Peristiwa ini memastikan bahwa Abraha dan pasukannya tidak hanya hancur, tetapi juga menjadi contoh bagi seluruh Jazirah Arab tentang akhir dari mereka yang berani menentang Allah dan Rumah-Nya. Kehancuran tersebut menjadi dasar bagi rasa hormat dan bahkan ketakutan yang mendalam terhadap Makkah, yang secara efektif mengamankan kota itu selama beberapa dekade ke depan, hingga era penaklukan Islam.

Seluruh kajian mendalam terhadap Al-Fil, dari linguistik hingga sejarah dan spiritualitas, menegaskan bahwa Surat ke-105 ini adalah salah satu tonggak utama dalam sejarah kenabian. Ia merupakan proklamasi awal tentang kedaulatan Allah yang absolut, sebuah kisah yang kebenarannya diakui bahkan oleh musuh-musuh Islam, dan menjadi dasar keyakinan bagi setiap muslim yang membaca dan merenungkan maknanya.

Kita menutup renungan ini dengan kesadaran bahwa Al-Fil mengajarkan kepada kita untuk tidak pernah merasa gentar menghadapi kekuatan duniawi yang zalim, selama hati kita terikat pada Rabb pemilik Ka'bah. Karena tipu daya terhebat sekalipun dapat diubah menjadi kehinaan seperti daun yang dimakan ulat, hanya dengan satu perintah dari Langit.

🏠 Homepage