Surat Al-Fatihah, yang dijuluki sebagai Ummul Kitab (Induknya Al-Qur’an), memiliki kedudukan yang sangat fundamental dalam kehidupan seorang Muslim. Setiap ayat di dalamnya adalah mutiara hikmah yang wajib dipahami, diresapi, dan diamalkan. Dari tujuh ayat yang membentuknya, Ayat kelima—إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in)—merupakan titik sentral, jembatan penghubung antara pujian kepada Allah dan permohonan hamba. Inilah deklarasi inti Tauhid, sebuah perjanjian agung antara Pencipta dan ciptaan.
Pengamalan ayat ini jauh melampaui pembacaan lisan dalam salat. Ia adalah peta jalan menuju kesempurnaan iman, yang menuntut integrasi total antara ibadah (penyembahan) dan isti’anah (memohon pertolongan) dalam setiap detik kehidupan. Mengamalkan Ayat 5 berarti menempatkan seluruh eksistensi, tindakan, harapan, dan keputusasaan hanya pada satu Dzat Yang Maha Tunggal.
(Alt text: Ilustrasi Simbolis Ibadah dan Isti'anah)
I. Tafsir Struktural Ayat Kelima: Pemisahan dan Penggabungan Pilar
Untuk memahami bagaimana mengamalkannya, kita harus membedah dua frasa utama yang dihubungkan oleh kata sambung 'waw' (dan). Ayat ini secara harfiah berarti: "Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan."
A. Prioritas 'Iyyaka Na’budu' (Hanya Kepada Engkau Kami Menyembah)
Dalam kaidah bahasa Arab, peletakan kata ganti orang kedua (Iyyaka - Hanya Kepada Engkau) di awal kalimat berfungsi sebagai hasyr atau pembatasan eksklusif. Ini menegaskan penolakan mutlak terhadap penyembahan selain Allah. Ini adalah fondasi Tauhid Uluhiyah (ketuhanan). Prioritas ibadah mendahului isti’anah (pertolongan) mengajarkan sebuah prinsip fundamental:
- Kesempurnaan Hamba: Ibadah adalah tujuan penciptaan manusia. Kebutuhan Allah untuk disembah tidak bergantung pada kebutuhan kita akan pertolongan. Sebaliknya, kita beribadah karena kita diciptakan untuk itu.
- Syarat Pertolongan: Pertolongan Allah (Nasta’in) hanya akan turun secara optimal jika hamba telah memenuhi syarat utama: melaksanakan ibadah (Na’budu) dengan benar dan ikhlas. Siapa yang menanamkan ibadah yang tulus, ia akan menuai pertolongan yang hakiki.
- Motivasi Murni: Jika kita meletakkan ibadah terlebih dahulu, motivasi kita beribadah adalah karena kecintaan dan pengagungan (Na’budu), bukan semata-mata karena ingin mendapatkan manfaat duniawi atau kemudahan (Nasta’in).
B. Keterkaitan 'Wa Iyyaka Nasta’in' (Dan Hanya Kepada Engkau Kami Memohon Pertolongan)
Setelah menyatakan janji ibadah total, kita beralih ke permohonan pertolongan. Isti’anah mencakup segala jenis dukungan yang dibutuhkan manusia, baik yang bersifat fisik (rezeki, kesehatan, kekuatan) maupun spiritual (keteguhan iman, hidayah, ampunan). Ayat ini menunjukkan bahwa setelah mengerahkan segala upaya dalam ibadah, segala hasil dan kekuatan untuk melanjutkan upaya tersebut tetap bersumber dari Allah.
Mengapa Isti’anah dihubungkan dengan Ibadah? Karena ibadah itu sendiri adalah tugas yang berat. Untuk melaksanakan salat dengan khusyuk, berpuasa dengan penuh keikhlasan, berdakwah tanpa kenal lelah, kita membutuhkan energi dan keteguhan yang mustahil dicapai tanpa dukungan Ilahi. Isti’anah adalah kesadaran bahwa kita lemah, dan tanpa bantuan Allah, ibadah kita akan rapuh dan mudah diganggu syaitan.
II. Praktik Iyyaka Na’budu: Memperluas Makna Ibadah
Ibadah dalam konteks Ayat 5 tidak hanya terbatas pada ritual formal (salat, puasa, zakat, haji). Ibadah adalah segala hal yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tersembunyi maupun yang nyata. Pengamalan Na’budu harus mencakup tiga dimensi utama:
A. Dimensi Ibadah Formal (Ibadah Mahdhah)
Pengamalan Na’budu dimulai dari komitmen untuk melaksanakan rukun Islam dengan kualitas terbaik (Ihsan). Ini berarti:
1. Khusyuk dalam Salat sebagai Puncak Penghambaan
Salat adalah mikrokosmos dari seluruh kehidupan seorang hamba. Mengamalkan Na’budu dalam salat berarti totalitas jiwa, fikiran, dan raga. Saat kita mengucapkan Ayat 5 dalam Al-Fatihah, kita harus merasakan perjanjian tersebut secara langsung. Praktiknya meliputi:
- Persiapan Hati: Membersihkan hati dari urusan dunia sebelum takbiratul ihram.
- Kesadaran Lafaz: Meresapi setiap kalimat, terutama Ayat 5, sebagai dialog langsung. Merasakan getaran Tauhid saat mengucapkan "Iyyaka Na'budu".
- Menjaga Gerakan: Melakukan gerakan salat dengan tumaninah (tenang) sempurna, bukan sekadar menggugurkan kewajiban, melainkan menikmati momen pertemuan.
2. Konsistensi Waktu dan Kualitas
Na’budu menuntut konsistensi. Jika ibadah dilakukan hanya saat senang atau saat butuh, itu menunjukkan fluktuasi penghambaan. Konsistensi adalah tanda kejujuran iman. Ini berlaku untuk salat sunnah (Rawatib, Tahajjud) dan puasa sunnah (Senin-Kamis) yang menopang ibadah wajib.
B. Dimensi Ibadah Non-Formal (Ibadah Ghairu Mahdhah)
Bagian terbesar dari pengamalan Na’budu terjadi di luar ritual. Ini adalah upaya untuk mengubah setiap aktivitas duniawi menjadi ibadah yang bernilai di sisi Allah. Kuncinya adalah Niat.
- Bekerja sebagai Ibadah: Mencari rezeki yang halal (kasab) adalah ibadah, asalkan dilakukan dengan etika Islami, niat untuk menafkahi keluarga, dan menghindari kecurangan. Ayat 5 diamalkan saat kita menolak mengambil jalan haram, meskipun jalan haram itu tampak mudah.
- Belajar sebagai Ibadah: Menuntut ilmu, baik agama maupun sains, adalah ibadah jika niatnya adalah untuk menghapus kebodohan, bermanfaat bagi umat, dan mengenal keagungan Allah melalui ciptaan-Nya.
- Tidur dan Istirahat: Bahkan tidur dapat bernilai ibadah jika niatnya adalah mengumpulkan energi agar dapat bangun dan melaksanakan salat malam atau salat Subuh tepat waktu.
C. Dimensi Ibadah Tersembunyi (Sirr)
Ibadah yang paling murni dari pengamalan Na’budu adalah ibadah yang hanya diketahui oleh kita dan Allah (rahasia). Ibadah rahasia adalah tameng terkuat melawan penyakit riya (pamer).
- Sedekah Rahasia: Memberi tanpa perlu dipuji, bahkan berusaha agar tangan kiri tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanan.
- Tangisan di Malam Hari: Muhasabah (introspeksi) dan istighfar (memohon ampun) saat sepi, saat tidak ada mata manusia yang melihat.
- Kesabaran dalam Diam: Menahan amarah, menanggung hinaan, atau melewati kesulitan tanpa mengeluh kepada manusia, karena menyadari bahwa pengaduan yang paling berharga hanya kepada Allah.
Dalam ketiga dimensi ini, pengamalan Na’budu menuntut Ikhlas, yaitu membersihkan niat dari segala bentuk kepentingan pribadi, pujian manusia, atau tujuan duniawi, kecuali mencari wajah Allah semata.
III. Praktik Wa Iyyaka Nasta’in: Sintesis Usaha dan Tawakkal
Mengamalkan Wa Iyyaka Nasta’in adalah manifestasi dari keyakinan bahwa segala sebab-akibat di alam semesta ini hanyalah alat (asbab), sementara kekuatan penggerak (Musabbib) hanyalah Allah. Isti’anah bukan berarti berdiam diri menunggu keajaiban, melainkan kombinasi sempurna antara usaha maksimal yang disertai penyerahan hati total.
A. Membedakan Isti’anah, Tawakkal, dan Tawakal Negatif
Seringkali, umat Muslim salah memahami istilah ini:
- Tawakal Negatif (Berputus Asa/Pasrah Tanpa Usaha): Ini adalah kesalahan fatal. Mengamalkan Nasta’in harus didahului dengan Na’budu, dan Na’budu mencakup usaha yang sungguh-sungguh. Misalnya: seorang siswa yang berharap lulus ujian tetapi tidak belajar, itu bukan tawakkal, melainkan kelalaian.
- Isti’anah (Memohon Pertolongan): Ini adalah tindakan hati, doa, dan kesadaran bahwa kita membutuhkan dukungan Ilahi untuk berhasil dalam usaha yang telah kita lakukan.
- Tawakkal (Penyerahan): Ini adalah fase akhir, di mana setelah usaha maksimal dan permohonan pertolongan, hati menyerahkan hasil sepenuhnya kepada ketetapan Allah. Ini menghasilkan ketenangan jiwa, baik saat sukses maupun saat gagal.
B. Langkah-langkah Pengamalan Isti’anah Praktis
Pengamalan Nasta’in diterapkan dalam setiap proyek kehidupan, besar maupun kecil:
1. Tahap Perencanaan (Istikharah dan Syura)
Sebelum memulai usaha atau mengambil keputusan besar (pekerjaan, pernikahan, pindah rumah), langkah pertama Isti’anah adalah meminta petunjuk (Istikharah). Ini adalah perwujudan Nasta’in, mengakui bahwa pengetahuan kita terbatas, dan kita membutuhkan pengetahuan Allah yang tak terbatas. Isti’anah juga diwujudkan melalui Syura (musyawarah) dengan orang yang berilmu, karena Allah menempatkan keberkahan dalam proses ini.
2. Tahap Eksekusi (Ittiba’ al-Asbab)
Ini adalah tahap "Na’budu" dalam tindakan. Kita menggunakan semua sebab yang diizinkan syariat, bekerja keras, disiplin, dan profesional. Seorang yang mengamalkan Nasta’in tidak akan menggunakan jalan pintas, suap, atau curang, karena ia meyakini bahwa hasil sejati datang dari pertolongan Allah, bukan dari tipu daya manusia.
3. Tahap Penyerahan dan Penerimaan (Qana'ah)
Setelah usaha selesai, kita wajib Tawakkal. Jika hasilnya sesuai harapan, kita bersyukur (Syukur). Jika hasilnya tidak sesuai, kita bersabar dan menerima (Qana’ah). Di sinilah keindahan Nasta’in terlihat. Orang yang benar-benar mengamalkannya tidak akan terjerumus ke dalam kesedihan yang berkepanjangan atau kebanggaan yang berlebihan, karena ia tahu bahwa baik keberhasilan maupun kegagalan adalah ujian dan pertolongan dalam bentuk yang berbeda.
IV. Penerapan Ayat 5 dalam Berbagai Aspek Kehidupan
Pengamalan Ayat 5 harus menjadi kerangka berpikir (mindset) yang meliputi seluruh interaksi kita dengan Allah, diri sendiri, dan orang lain.
A. Dalam Menghadapi Godaan dan Dosa
Dosa adalah ujian terbesar bagi pengamalan Na’budu. Saat dihadapkan pada godaan (korupsi, zina, gibah), pengamalan Ayat 5 bertindak sebagai benteng mental:
- Na’budu: Mengingat bahwa kita telah berjanji untuk menyembah hanya kepada-Nya, dan dosa adalah pelanggaran janji tersebut. Rasa malu kepada Allah harus lebih besar daripada dorongan syahwat.
- Nasta’in: Menyadari kelemahan diri untuk melawan godaan sendirian. Saat itu juga, kita memohon pertolongan Allah (isti’anah) untuk menguatkan hati dan memberikan perlindungan dari Syaitan. Doa perlindungan adalah manifestasi Nasta’in yang paling mendasar.
B. Dalam Membangun Akhlak (Etika Sosial)
Akhlak yang baik adalah buah dari ibadah yang benar. Na’budu tidak sempurna jika tidak menghasilkan akhlak yang mulia. Ayat 5 dalam konteks sosial mengajarkan:
- Kerendahan Hati (Na’budu): Menghindari kesombongan dalam interaksi sosial. Kesombongan adalah salah satu bentuk syirik tersembunyi, karena kita mengagungkan diri sendiri. Ibadah yang benar menghasilkan kerendahan hati.
- Memberi Pertolongan (Nasta’in terbalik): Kita memohon pertolongan Allah (Nasta’in) agar kita dapat menjadi alat pertolongan bagi sesama (khidmah). Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah akan menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya." Jadi, Nasta’in kita diperkuat saat kita membantu orang lain.
- Kejujuran dalam Muamalah: Jujur dalam bisnis, menepati janji, dan menghindari penipuan adalah manifestasi Na’budu yang diiringi Nasta’in. Kita memohon pertolongan Allah agar mampu menjauhi keuntungan haram.
C. Dalam Menghadapi Musibah dan Kesulitan
Musibah adalah momen paling krusial untuk menguji seberapa dalam pengamalan Ayat 5 kita. Kebanyakan manusia ingat Allah saat susah, tetapi lupa saat senang. Ayat 5 mengajarkan keseimbangan:
1. Kepatuhan Saat Musibah (Na’budu)
Ketika musibah datang, kewajiban ibadah kita tidak gugur. Na’budu menuntut kita untuk tetap salat, tetap berzikir, dan tetap menjaga lisan dari keluh kesah yang berlebihan. Ini adalah penyerahan tertinggi, mengakui kekuasaan Allah dalam menetapkan takdir.
2. Kesabaran dan Doa (Nasta’in)
Nasta’in adalah obat penawar keputusasaan. Kita meminta kekuatan, kesabaran, dan jalan keluar. Doa Nabi Yunus (La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz zhalimin) adalah contoh Isti’anah murni dalam kegelapan yang absolut. Ia tidak meminta untuk segera dikeluarkan, melainkan meminta pertolongan agar diampuni dan dikuatkan.
V. Penghambaan Mutlak: Mendalami Falsafah Tauhid 'Iyyaka'
Keajaiban Ayat 5 terletak pada penempatan kata ‘Iyyaka’ (Hanya kepada Engkau) sebanyak dua kali. Pengulangan ini adalah penekanan linguistik yang memiliki makna spiritual mendalam. Ini bukan sekadar Tauhid lisan, melainkan Tauhid total, baik dalam peribadatan (Uluhiyah) maupun dalam kepasrahan (Rububiyah).
A. Tauhid dalam Ibadah (Pengulangan Pertama)
Pengulangan "Iyyaka" pada Na’budu menghilangkan semua bentuk syirik, baik syirik akbar (menyembah selain Allah) maupun syirik asghar (riya dan sum’ah – ingin didengar orang lain).
- Menghilangkan Penghambaan pada Harta dan Pangkat: Orang yang mengamalkan Na’budu sejati tidak akan menjadikan pekerjaannya sebagai Tuhannya. Ia bekerja untuk Tuhannya. Ia tidak akan merendahkan diri demi jabatan atau uang, karena penghambaan sejatinya hanya untuk Allah.
- Kebebasan Sejati: Filosofi Na’budu adalah pembebasan. Barangsiapa yang menjadi hamba Allah (Maha Kuat), ia akan terbebas dari penghambaan kepada manusia (yang lemah). Ini adalah kebebasan hati yang tidak dapat dibeli dengan materi.
B. Tauhid dalam Kebutuhan (Pengulangan Kedua)
Pengulangan "Iyyaka" pada Nasta’in menghilangkan ketergantungan hati kepada makhluk. Meskipun kita menggunakan sebab-akibat (dokter, uang, pekerjaan), hati kita tidak boleh bergantung pada sebab-sebab tersebut. Ketergantungan penuh hanya kepada Allah.
Ini memecahkan masalah kecemasan modern. Kegelisahan (anxiety) dan kekhawatiran berlebihan sering muncul karena hati bergantung pada hal yang tidak stabil: kekayaan yang bisa hilang, kesehatan yang bisa menurun, atau janji manusia yang bisa diingkari. Orang yang mengamalkan Nasta’in, hatinya bergantung pada Yang Maha Kekal, sehingga ia mendapatkan kedamaian abadi (thuma'ninah).
VI. Metodologi Pengembangan Keimanan melalui Ayat 5
Pengamalan Ayat 5 bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan yang terus-menerus ditingkatkan. Proses ini memerlukan muhasabah (introspeksi) dan mujahadah (perjuangan).
A. Refleksi Harian (Muhasabah)
Setiap malam, luangkan waktu untuk merenungkan sejauh mana kita telah memenuhi janji Ayat 5 hari itu:
- Cek Na’budu: Apakah ibadah formal saya dilakukan dengan ikhlas? Apakah ada riya? Apakah saya membuang waktu dalam kesia-siaan (melalaikan janji Na’budu)?
- Cek Nasta’in: Apakah saya panik atau mengeluh saat kesulitan datang, menunjukkan bahwa hati saya belum sepenuhnya bergantung pada Allah? Apakah saya telah berusaha maksimal sebelum meminta pertolongan?
- Cek Keseimbangan: Apakah saya terlalu fokus pada ritual (Na’budu) tanpa berusaha mencari rezeki yang halal (bagian dari Na’budu yang membutuhkan Nasta’in)? Atau sebaliknya, apakah saya sibuk mencari duniawi tanpa memperhatikan kualitas salat?
B. Langkah Peningkatan Kualitas Ibadah (Mujahadah)
Peningkatan kualitas Na’budu dilakukan melalui:
- Tadabbur Al-Qur’an: Membaca dan merenungkan makna Al-Qur’an secara rutin, karena Al-Qur’an adalah sumber utama ibadah kita.
- Mempelajari Fiqih Ibadah: Memastikan ibadah kita sah dan sesuai sunnah. Ibadah yang tidak sesuai tuntunan adalah cacat dalam Na’budu.
- Mendalami Sifat-Sifat Allah (Asmaul Husna): Mengenal Allah dengan nama-nama-Nya menumbuhkan rasa takut (khauf) dan harapan (raja’), yang merupakan inti dari penghambaan (Na’budu).
C. Penguatan Keyakinan (Yaqin) melalui Isti’anah
Peningkatan kualitas Nasta’in menghasilkan keyakinan (Yaqin) yang kokoh:
- Mencari Pengalaman Iman: Mengingat kembali saat-saat di mana Allah telah menolong kita dari kesulitan. Setiap pertolongan adalah bukti nyata dari janji Nasta’in.
- Hidup Sederhana (Zuhud): Mengurangi keterikatan hati pada duniawi. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan memegang dunia di tangan, bukan di hati. Ini membuat Tawakkal lebih mudah.
- Memperbanyak Doa di Waktu Mustajab: Secara aktif menggunakan doa sebagai alat utama Isti’anah, terutama saat sujud, sepertiga malam terakhir, dan antara azan dan iqamah.
VII. Dampak Spiritual Ayat 5: Mencapai Maqam Ihsan
Puncak pengamalan Ayat 5 adalah mencapai Maqam Ihsan (tingkat keunggulan spiritual). Ihsan didefinisikan sebagai beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat-Nya, dan jika kita tidak bisa melihat-Nya, ketahuilah bahwa Dia melihat kita.
A. Ihsan dalam Na’budu
Ketika Na’budu dilakukan dengan Ihsan, ibadah tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan kebutuhan dan kenikmatan. Seseorang mencapai tingkat di mana ia merasa tidak betah jika terputus dari ketaatan. Ini adalah penyingkapan rasa manisnya iman (Halawatul Iman).
Ihsan dalam Na’budu mencegah kita melakukan dosa tersembunyi. Jika seseorang merasa Allah melihatnya saat ia sedang sendirian, ia tidak akan berani melanggar perintah-Nya, bahkan dalam hal yang kecil, karena ia benar-benar menghayati janji penghambaan mutlak.
B. Ihsan dalam Nasta’in
Ketika Nasta’in dilakukan dengan Ihsan, Tawakkal menjadi murni. Seseorang tidak lagi khawatir berlebihan tentang masa depan (rezeki, jodoh, kematian) karena ia telah menyerahkan segala urusan kepada Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengatur. Ia tetap berusaha dengan gigih, namun hatinya damai, meyakini bahwa ketentuan Allah adalah yang terbaik, meskipun tampak pahit di permukaan.
Ihsan adalah sintesis akhir dari Ayat 5: melayani Allah dengan standar tertinggi (Na’budu) dan menyerahkan semua hasil kepada-Nya dengan keyakinan tertinggi (Nasta’in), menyadari bahwa dalam setiap keadaan, kita berada di bawah pengawasan dan pertolongan-Nya.
VIII. Menghidupkan Ayat 5 dalam Setiap Napas
Jangkauan Ayat 5 begitu luas sehingga ia harus menjadi program hidup (dustur al-hayat). Pengamalan sejati ayat ini menuntut revolusi mental dan spiritual yang berkelanjutan.
A. Sikap Menghadapi Kenikmatan (Syukur)
Saat mendapatkan nikmat, pengamalan Ayat 5 mewajibkan kita untuk bersyukur. Syukur adalah ibadah (Na’budu) yang diwujudkan dengan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak Allah. Misalnya, jika diberi kekayaan, digunakan untuk sedekah; jika diberi waktu luang, digunakan untuk beribadah.
Syukur juga mencakup kesadaran (Nasta’in) bahwa nikmat ini datang murni dari pertolongan Allah, bukan semata-mata karena kecerdasan atau usaha kita. Hal ini mencegah kesombongan dan keangkuhan.
B. Sikap Menghadapi Kritik dan Pujian
Na’budu yang ikhlas menjadikan hati kebal terhadap kritik negatif dan pujian yang berlebihan. Kritikan tidak menjatuhkan semangatnya untuk beribadah, dan pujian tidak membuatnya terlena. Mengapa? Karena ia hanya mencari ridha Allah (Na’budu), dan pertolongan (Nasta’in) untuk mempertahankan keikhlasan tersebut.
Jika ibadah dilakukan karena pujian (syirik asghar), maka pujian adalah berhala, dan kita telah melanggar 'Iyyaka Na’budu'. Pengamalan Ayat 5 menjadikan kita stabil emosional, karena standar nilai kita hanya satu: pandangan Allah SWT.
C. Menjadikan Ayat 5 sebagai Pilihan Sadar
Di setiap persimpangan jalan kehidupan—saat ada pilihan antara kejujuran dan kecurangan, antara malas dan bekerja, antara sabar dan marah—kita harus secara sadar memilih jalan yang menegaskan Na’budu dan Nasta’in. Ini adalah implementasi harian dari janji tersebut.
Pilihan sadar untuk mengamalkan Na’budu dan Nasta’in dalam segala lini kehidupan inilah yang membedakan seorang Muslim yang beriman kuat dari sekadar menjalankan tradisi agama.
Inilah yang dimaksud dengan kehidupan yang terstruktur oleh Tauhid. Setiap pergerakan, setiap keheningan, setiap janji, dan setiap harapan, semuanya diarahkan kepada satu entitas tunggal. Ini adalah makna sesungguhnya dari penghambaan total dan keyakinan mutlak.
Kesimpulan: Kontrak Abadi
Surat Al-Fatihah Ayat 5, إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ, adalah kontrak abadi antara hamba dan Rabb-nya. Kontrak ini menuntut dua hal utama: pertama, membersihkan semua ibadah dari segala bentuk syirik, riya, dan kepentingan duniawi (Na’budu); dan kedua, membersihkan hati dari segala bentuk ketergantungan kepada makhluk, menetapkan keyakinan bahwa semua kekuatan dan pertolongan sejati hanya datang dari Allah (Nasta’in).
Pengamalan Ayat 5 secara totalitas akan menghasilkan pribadi Muslim yang berakhlak mulia, teguh dalam cobaan, rendah hati dalam nikmat, dan damai dalam menjalani kehidupan, karena ia telah menemukan poros kehidupannya yang sejati: Tauhid.