Dalam kekayaan budaya Indonesia, tersimpan banyak kearifan lokal yang menjadi pondasi kehidupan masyarakat. Salah satu yang menarik untuk dibahas adalah "Carakan Ana Rong Puluh". Frasa ini, yang berasal dari bahasa Jawa, secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "Aksara Ada Dua Puluh" atau "Cara Baca Ada Dua Puluh". Meskipun terdengar sederhana, di balik ungkapan ini tersimpan makna mendalam tentang sistem penulisan dan pembelajaran aksara Jawa, sebuah warisan budaya tak benda yang patut dilestarikan.
Aksara Jawa, atau yang dikenal juga sebagai Hanacaraka, memiliki sistem penulisan yang kompleks namun indah. Setiap karakter mewakili suku kata tertentu dan memiliki bentuk visual yang khas. Tradisi mengajarkan dan mempelajari aksara Jawa ini sering kali dibagi menjadi beberapa tahapan. "Carakan Ana Rong Puluh" secara umum mengacu pada set aksara dasar dalam aksara Jawa yang berjumlah 20 buah. Aksara-aksara ini merupakan fondasi utama yang harus dikuasai oleh setiap pembelajar sebelum melangkah ke aksara yang lebih kompleks seperti aksara murda, swara, atau rekan.
Dua puluh aksara dasar inilah yang sering disebut sebagai "carakan" dalam konteks pembelajaran awal. Mereka membentuk inti dari kosakata dasar dan struktur kalimat sederhana dalam bahasa Jawa yang ditulis menggunakan aksara Jawa. Penguasaan 20 aksara ini adalah gerbang awal untuk dapat membaca dan menulis teks-teks sederhana dalam bahasa Jawa kuno maupun modern. Proses pembelajaran ini biasanya diawali dengan menghafal nama dan bentuk setiap aksara, kemudian dilanjutkan dengan praktik menyusunnya menjadi suku kata dan kata.
Mengapa jumlah 20 menjadi begitu penting dalam konteks ini? Angka ini merepresentasikan blok bangunan fundamental dari sistem penulisan aksara Jawa. Tanpa penguasaan yang kokoh terhadap 20 aksara dasar ini, seseorang akan kesulitan untuk memahami dan mengapresiasi lebih dalam lagi seluk-beluk aksara Jawa. Dalam tradisi pendidikan Jawa, penguasaan "carakan ana rong puluh" sering kali menjadi tolok ukur awal bagi seorang siswa.
Setiap aksara memiliki nilai fonetiknya sendiri. Misalnya, aksara yang dilambangkan dengan 'Ha' akan berbunyi /ha/, 'Na' berbunyi /na/, 'Ca' berbunyi /ca/, 'Ra' berbunyi /ra/, dan seterusnya hingga 20 karakter dasar tersebut. Kombinasi dari aksara-aksara ini, ditambah dengan penggunaan tanda-tanda diakritik (sandhangan), memungkinkan terbentuknya ribuan kata dalam bahasa Jawa. Inilah keindahan dan efisiensi sistem penulisan aksara Jawa yang telah dikembangkan selama berabad-abad.
Di era digital yang serba cepat ini, kelestarian aksara Jawa menghadapi tantangan tersendiri. Banyak generasi muda yang kurang familiar dengan sistem penulisan tradisional ini, lebih memilih menggunakan aksara Latin yang sudah umum digunakan. Namun, semangat untuk menjaga warisan budaya tetap hidup terus diperjuangkan. Berbagai inisiatif telah dilakukan, mulai dari pengenalan aksara Jawa di sekolah-sekolah, penyelenggaraan workshop, hingga pengembangan aplikasi pembelajaran digital.
Konsep "Carakan Ana Rong Puluh" menjadi titik masuk yang strategis dalam upaya pelestarian ini. Dengan fokus pada penguasaan 20 aksara dasar, pembelajaran menjadi lebih terarah dan tidak terasa mengintimidasi. Ketika fondasi sudah kuat, barulah para pembelajar dapat didorong untuk menjelajahi lapisan-lapisan yang lebih dalam dari kekayaan aksara Jawa. Inisiatif ini membantu memastikan bahwa pengetahuan tentang cara membaca dan menulis aksara Jawa tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi tetap menjadi keterampilan yang hidup dan relevan.
Lebih dari sekadar sistem penulisan, aksara Jawa juga merefleksikan filosofi dan pandangan hidup masyarakat Jawa. Setiap bentuk aksara, setiap susunan kalimat, dapat mengandung makna yang lebih luas, berkaitan dengan etika, moralitas, dan pandangan kosmik. Oleh karena itu, mempelajari aksara Jawa, dimulai dari "carakan ana rong puluh", berarti membuka jendela untuk memahami lebih dalam tentang jiwa dan kearifan leluhur.
Upaya untuk menjaga "Carakan Ana Rong Puluh" agar tetap dikenal dan dipelajari oleh generasi mendatang adalah investasi budaya yang sangat berharga. Ini bukan hanya tentang menghafal bentuk aksara, tetapi tentang menjaga kesinambungan tradisi, identitas, dan kekayaan intelektual yang telah diwariskan turun-temurun. Dengan semangat kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas budaya, dan masyarakat luas, kita dapat memastikan bahwa keindahan dan kearifan aksara Jawa akan terus bersinar.