Senja di Jendela Dapur

Matahari mulai condong ke barat, menebar semburat jingga di langit Jakarta. Di sebuah kontrakan sederhana di sudut kota, aroma bawang goreng bercampur dengan wangi nasi yang baru matang menguar dari dapur mungil Ibu Ani. Jemari keriputnya lincah membalikkan tempe goreng yang renyah, sementara matanya sesekali melirik ke jendela. Di sana, terlihat jalanan yang mulai ramai oleh kendaraan yang pulang kerja.

Rutinitas ini telah dijalani Ibu Ani selama bertahun-tahun. Sejak suaminya tiada, ia menjadi tulang punggung keluarga, menghidupi kedua anaknya yang masih sekolah. Pagi-pagi sekali ia sudah bangun, menyiapkan bekal sekolah, lalu bergegas ke pasar untuk berbelanja bahan makanan. Siang hari dihabiskannya dengan melayani pesanan kue dari tetangga, dan sore hari adalah waktunya untuk menyiapkan makan malam sederhana bagi keluarganya.

Anak sulungnya, Budi, kini duduk di bangku SMA. Ia anak yang rajin belajar dan bercita-cita menjadi insinyur. Sementara adiknya, Sari, masih SMP, periang dan penuh semangat. Ibu Ani selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, meski hidup tak selalu mudah. Terkadang, penghasilannya tak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan. Namun, ia tak pernah mengeluh. Baginya, melihat senyum kedua anaknya adalah pelipur lara terbesarnya.

Sore ini, Budi pulang dengan wajah sedikit muram. Ia membawa nilai ulangan matematikanya yang kurang memuaskan. Ibu Ani mendudukkannya di meja makan, bukan untuk memarahi, melainkan untuk mendengarkan. "Ada apa, Nak?" tanyanya lembut, sambil menyajikan nasi hangat dan tempe goreng. Budi menceritakan kesulitannya memahami materi, dan Ibu Ani mendengarkan dengan sabar.

Ia memang bukan seorang pendidik, tapi ia tahu bagaimana cara memberi semangat. "Tidak apa-apa kalau belum sempurna. Yang penting kamu terus berusaha. Besok Ibu bantu cari materi tambahan atau kita minta bantuan Pak RT untuk carikan guru les," katanya, menyunggingkan senyum hangat. Budi merasa lega. Dukungan ibunya selalu menjadi bahan bakar baginya untuk bangkit.

Tak lama kemudian, Sari pulang dengan riang membawa cerita tentang kemenangannya dalam lomba menggambar di sekolah. Ibu Ani tersenyum bahagia, ia memeluk erat putri bungsunya. Keriangan Sari sedikit banyak mengobati rasa lelah yang dirasakannya seharian. Malam itu, mereka makan malam bersama di meja dapur yang sederhana. Suasana hangat penuh tawa dan cerita mewarnai ruangan kecil itu.

Setelah anak-anaknya tidur, Ibu Ani duduk di tepi jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkelip. Ia memikirkan segala perjuangannya, segala pengorbanan yang telah dilakukannya. Ada rasa syukur yang mendalam di hatinya. Kehidupan memang penuh tantangan, namun kebersamaan dan cinta keluarga adalah harta yang tak ternilai harganya. Senja di jendela dapur itu bukan sekadar akhir dari sebuah hari, melainkan pengingat akan kekuatan cinta dan harapan yang selalu ada.

🏠 Homepage