Dalam lanskap keagamaan dan kepercayaan global, figur-figur spiritual seringkali melintasi batas-batas budaya dan agama, memunculkan pertanyaan menarik tentang interpretasi dan resonansi mereka dalam tradisi yang berbeda. Salah satu figur yang sering menjadi subjek perdebatan dan kajian adalah Dewi Kwan Im. Meskipun identik dengan ajaran Buddha Mahayana dan kepercayaan rakyat Tiongkok, penjelajahan terhadap makna dan representasi Kwan Im dalam konteks agama Islam menghadirkan perspektif yang kaya akan nuansa filosofis, historis, dan teologis.
Dewi Kwan Im, atau Avalokiteśvara dalam tradisi Sanskerta, dikenal sebagai Bodhisattva Welas Asih. Ia adalah sosok yang dihormati karena komitmennya untuk menyelamatkan semua makhluk dari penderitaan. Citra Kwan Im sering digambarkan sebagai sosok wanita anggun yang memancarkan ketenangan, kebajikan, dan kepedulian mendalam. Dalam banyak ikonografi, ia memegang vas berisi embun suci atau bunga teratai, simbol pemurnian dan pencerahan.
Di Tiongkok, ia bertransformasi menjadi sosok feminin yang sangat populer, diyakini memiliki kekuatan untuk melindungi, menyembuhkan, dan memberikan perlindungan. Ia dianggap sebagai perwujudan dari kasih sayang universal dan kebijaksanaan yang tak terbatas. Pengaruhnya merambah luas, bahkan ke komunitas Tionghoa yang tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan mayoritas Muslim.
Agama Islam memiliki prinsip tauhid yang teguh, yaitu keesaan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah. Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW secara tegas melarang penyembahan terhadap makhluk atau patung apa pun, karena hal tersebut merupakan syirik, dosa terbesar dalam Islam. Dalam kerangka ini, figur Dewi Kwan Im sebagai entitas yang disembah secara langsung, tentu tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Namun, menarik untuk menelisik bagaimana umat Muslim, terutama yang memiliki latar belakang budaya Tionghoa, berinteraksi dengan kehadiran figur seperti Kwan Im. Di beberapa komunitas Muslim Tionghoa, terdapat praktik akulturasi budaya di mana elemen-elemen lokal bercampur dengan praktik keagamaan. Dalam konteks ini, figur Kwan Im mungkin tidak disembah sebagai dewa, melainkan dilihat melalui lensa yang berbeda.
Beberapa cendekiawan dan anggota komunitas Muslim Tionghoa berpendapat bahwa aspek-aspek positif yang diasosiasikan dengan Kwan Im – seperti welas asih, kebaikan, perlindungan, dan empati – sebenarnya sejalan dengan nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam Islam. Dalam Islam, Allah SWT sendiri adalah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang). Sifat-sifat ini tercermin dalam perintah kepada umat Muslim untuk senantiasa berbuat baik, saling mengasihi, dan membantu sesama.
Oleh karena itu, bagi sebagian orang, figur Kwan Im dapat diinterpretasikan secara simbolis. Ia bisa dilihat sebagai representasi dari nilai-nilai kemanusiaan universal yang digaungkan oleh berbagai tradisi spiritual, termasuk Islam. Kasih sayang, empati, dan keinginan untuk meringankan penderitaan adalah prinsip-prinsip etis yang mendasar dan dianjurkan dalam ajaran Islam melalui konsep seperti *rahmatan lil 'alamin* (rahmat bagi seluruh alam).
Pandangan ini menekankan bahwa fokus utama bukanlah pada pemujaan figur tersebut, melainkan pada penyerapan esensi nilai-nilai kebaikan yang ia wakili. Ini adalah bentuk dialog budaya dan spiritual di mana umat Muslim dapat mengidentifikasi kesamaan nilai-nilai luhur tanpa mengkompromikan prinsip tauhid mereka.
Secara historis, jalur perdagangan dan interaksi budaya antara Tiongkok dan dunia Islam telah berlangsung selama berabad-abad. Komunitas Muslim Tionghoa, seperti Hui dan Uighur, telah mengembangkan identitas budaya yang unik yang mencerminkan perpaduan antara warisan Islam dan tradisi Tionghoa. Dalam lingkungan seperti ini, ekspresi artistik dan kultural yang terinspirasi oleh figur lokal, termasuk Kwan Im, mungkin saja hadir sebagai bagian dari lanskap budaya.
Namun, penting untuk membedakan antara apresiasi budaya dan praktik keagamaan yang menyimpang. Mayoritas umat Muslim di seluruh dunia akan memandang figur Kwan Im sebagai entitas dari tradisi agama lain dan tidak akan menyembahnya. Kajian tentang "Dewi Kwan Im dalam agama Islam" lebih banyak berpusat pada bagaimana nilai-nilai universal yang mungkin diasosiasikan dengan Kwan Im dapat ditemukan atau dihubungkan dengan ajaran Islam melalui interpretasi filosofis dan budaya, bukan sebagai bentuk pengakuan teologis terhadapnya sebagai sosok ilahi.
Diskusi mengenai Dewi Kwan Im dalam konteks agama Islam membuka ruang untuk memahami keragaman ekspresi budaya dan interpretasi spiritual. Meskipun secara dogmatis Islam tidak mengakui atau menyembah figur seperti Dewi Kwan Im, eksplorasi filosofis dapat menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti welas asih dan kebaikan yang sering dikaitkan dengannya memiliki resonansi kuat dalam ajaran Islam. Ini adalah pengingat bahwa dialog antarbudaya dan antaragama dapat memperkaya pemahaman kita tentang kemanusiaan dan nilai-nilai universal yang menghubungkan kita semua, sambil tetap menjaga integritas keyakinan masing-masing.