Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, memiliki kedudukan istimewa dalam tradisi Islam, terutama anjuran membacanya pada malam Jumat atau hari Jumat. Surah ini mengandung empat kisah utama yang menjadi perlindungan dari empat jenis fitnah (ujian) terbesar dalam kehidupan: fitnah agama (kisah Ashabul Kahfi), fitnah harta (kisah pemilik dua kebun), fitnah ilmu (kisah Nabi Musa dan Khidr), dan fitnah kekuasaan (kisah Dzulqarnain).
Di antara kisah-kisah tersebut, kisah Ashabul Kahfi—pemuda-pemuda beriman yang melarikan diri dari kekejaman raja zalim—menyimpan pelajaran monumental tentang kesabaran, keyakinan, dan tawakkal (penyerahan diri). Inti dari tawakkal mereka terangkum dalam sebuah permohonan yang sederhana namun mendalam, sebuah doa yang dipanjatkan di saat-saat paling genting, saat mereka mencari perlindungan di gua: Doa Kahfi.
Doa ini bukan sekadar rangkaian kata; ia adalah cetak biru mentalitas seorang mukmin yang dihadapkan pada pilihan sulit antara mempertahankan iman atau menyerah pada kekuasaan dunia. Doa inilah yang menjadi kunci pertolongan Allah, yang membawa mereka kepada tidur panjang selama ratusan tahun, sebuah mukjizat yang membuktikan kuasa-Nya atas waktu dan takdir.
Doa Ashabul Kahfi diabadikan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Kahfi ayat 10. Inilah manifestasi dari ketidakberdayaan mereka di hadapan dunia, namun totalitas ketergantungan mereka kepada Sang Pencipta.
"Rabbana atina milladunka rahmatan wa hayyi' lana min amrina rashada."
Artinya: "Wahai Tuhan kami! Berikanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini."
Setiap frasa dalam doa ini mengandung makna teologis yang sangat kaya, mengajarkan kita bagaimana cara meminta pertolongan saat berada di bawah tekanan besar, terutama tekanan yang mengancam keimanan.
Penggunaan kata ‘Rabbana’ (Tuhan kami) menunjukkan pengakuan total atas ketuhanan dan pengasuhan Allah. Ini adalah panggilan yang bersifat intim dan kolektif, menandakan bahwa mereka bergerak sebagai sebuah komunitas kecil yang terikat oleh iman yang sama. Panggilan ini mendahului permintaan spesifik, menegaskan bahwa segala sesuatu yang mereka harapkan harus berasal dari kekuasaan dan kasih sayang-Nya.
Kata kunci di sini adalah ‘milladunka’, yang berarti "dari sisi-Mu" atau "dari sumber-Mu yang khusus." Ini adalah permintaan untuk rahmat yang istimewa, rahmat yang tidak biasa, yang tidak dapat diberikan oleh makhluk manapun, yang hanya bersumber langsung dari Ilahi. Mereka tidak meminta harta, kekuasaan, atau perlindungan fisik semata, melainkan ‘Rahmatan’—belas kasih dan perlindungan menyeluruh. Rahmat ini adalah naungan spiritual yang menjamin kedamaian batin, bahkan ketika bahaya fisik mengintai di luar gua.
Rahmat yang mereka minta adalah perlindungan dari fitnah raja, ketenangan di dalam gua, dan bekal keimanan yang cukup untuk menghadapi masa depan yang tidak diketahui. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa Rahmatan milladunka adalah jenis rahmat yang melampaui sebab-akibat duniawi; itu adalah anugerah tak terduga, yang dalam kasus mereka, diwujudkan melalui tidur panjang sebagai benteng iman.
Frasa ‘Hayyi’ berarti menyiapkan, melengkapi, atau mempermudah. Ini adalah permintaan agar Allah menyiapkan jalan keluar terbaik dan termudah dari dilema yang mereka hadapi. Mereka telah mengambil langkah pertama dengan berhijrah, namun mereka sadar bahwa berhasilnya urusan mereka—yaitu keselamatan dan kelanjutan iman—bukan berada di tangan mereka, melainkan sepenuhnya di tangan Allah.
‘Rashada’ berarti petunjuk yang lurus, kebijaksanaan, atau jalan yang benar. Ini melambangkan keinginan untuk tidak hanya selamat secara fisik, tetapi yang lebih utama adalah selamat secara spiritual. Mereka ingin memastikan bahwa langkah yang mereka ambil, pelarian ke gua, adalah langkah yang benar dan diridhai, dan bahwa Allah akan memberikan kesempurnaan petunjuk untuk sisa hidup mereka. Mereka meminta agar urusan mereka (amrina) diarahkan kepada kebijakan yang paling benar, baik itu melalui kematian, perlindungan, maupun jalan kembali ke masyarakat.
Doa ini adalah pelajaran emas dalam Tauhid: melakukan usaha (berlari ke gua), kemudian mengakui bahwa hasil, keselamatan, dan petunjuk sejati hanya datang dari Allah.
Untuk memahami kedalaman doa ini, kita harus menyelami konteks di mana doa tersebut dipanjatkan. Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) adalah sekelompok pemuda yang hidup di sebuah kota yang diperintah oleh raja tiran, yang umumnya diidentifikasi sebagai Raja Decius (Daqyanus dalam sumber Islam). Raja tersebut memaksa rakyatnya untuk menyembah berhala dan menindas siapa saja yang mempertahankan monoteisme (Tauhid).
Para pemuda ini adalah bangsawan atau orang terpandang di masyarakat mereka, namun mereka menolak kemewahan dan kekuasaan demi mempertahankan keyakinan. Ketika iman mereka terancam—bukan hanya melalui paksaan, tetapi melalui ancaman kematian dan siksaan—mereka menyadari bahwa lingkungan tersebut sudah tidak kondusif untuk mempraktikkan agama mereka. Kisah ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi fitnah besar, hijrah (perpindahan fisik) demi menyelamatkan iman mungkin merupakan satu-satunya solusi yang tersisa.
Keputusan mereka untuk lari ke gua adalah tindakan putus asa yang dihiasi dengan harapan. Mereka meninggalkan kenyamanan hidup, kekayaan, dan status sosial. Mereka hanya membawa keimanan mereka dan tekad untuk tidak tunduk pada syirik. Ini adalah manifestasi tertinggi dari Al-Walaa wal Baraa (loyalitas dan penolakan)—mereka loyal hanya kepada Allah dan menolak segala bentuk kekafiran.
Ketika mereka tiba di gua, mereka berada dalam kondisi fisik yang lelah dan mental yang tertekan. Mereka telah melakukan usaha maksimal. Pintu-pintu dunia seolah tertutup rapat. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah raja akan menemukan mereka? Apakah mereka akan mati kelaparan? Di titik inilah, antara putus asa dan harapan, mereka menyerahkan seluruh urusan mereka kepada Allah, memanjatkan doa, "Rabbana atina milladunka rahmatan..."
Imam Al-Qurtubi dan ulama tafsir lainnya menekankan bahwa momen doa ini adalah puncak dari tawakkal. Mereka tidak menetapkan bagaimana Allah harus menolong mereka; mereka hanya meminta rahmat dan petunjuk. Hasilnya, Allah memberikan mereka mukjizat berupa tidur selama 309 tahun. Rahmat Allah manifestasi dalam bentuk penangguhan waktu, melindungi tubuh mereka dari pembusukan, dan menjaga mereka dari pandangan raja yang zalim.
Meskipun kisah Ashabul Kahfi terjadi ribuan tahun lalu, doa dan pelajaran dari kisah mereka tetap relevan bagi mukmin hari ini, terutama saat menghadapi fitnah dan kesulitan yang menguji keyakinan.
Di era kontemporer, ancaman terhadap iman jarang berupa raja tiran yang memaksa penyembahan berhala secara fisik. Sebaliknya, fitnah datang dalam bentuk ideologi yang merusak, materialisme yang mengikis nilai, dan budaya sekuler yang merendahkan agama. Ketika seorang mukmin merasa tertekan untuk mengkompromikan prinsip-prinsip agamanya demi karier, status sosial, atau penerimaan publik, doa Kahfi menjadi benteng pertahanan spiritual.
Meminta Rahmatan milladunka berarti memohon keteguhan batin (tsabat) agar iman tidak goyah oleh gelombang modernitas yang menyesatkan. Kita meminta petunjuk (rashada) agar dapat membuat keputusan yang benar di tengah pilihan-pilihan yang kabur, di mana yang benar tampak salah dan yang salah tampak benar.
Doa ini adalah model bagi setiap mukmin yang berdiri di persimpangan jalan kehidupan, baik itu dalam karier, pernikahan, atau hijrah dari lingkungan yang buruk. Sebelum memanjatkan doa ini, Ashabul Kahfi telah bergerak; mereka telah berusaha. Doa ini diajarkan untuk dipanjatkan *setelah* kita telah mengerahkan seluruh upaya yang manusiawi. Ia bukan doa bagi orang yang malas, melainkan doa bagi mereka yang telah berjuang dan menyadari keterbatasan diri mereka sendiri.
Ketika kita telah melakukan shalat istikharah dan tetap merasa bimbang, kita memohon agar Allah "menyiapkan bagi kami petunjuk yang lurus" (wa hayyi’ lana min amrina rashada). Ini adalah pengakuan bahwa meskipun kita telah merencanakan, hasil terbaik hanya dapat dijamin oleh Kebijaksanaan Ilahi.
Pemuda-pemuda Kahfi mengajarkan bahwa rahmat sejati bukan terletak pada kekayaan yang mereka tinggalkan, melainkan pada ketenangan hati dan perlindungan spiritual yang mereka dapatkan di gua yang sunyi. Rahmat yang diminta adalah rahmat abadi. Ketika dunia gagal memberi kita keamanan, kita berpaling kepada Allah yang mampu memberikan keamanan melampaui logika fisik.
Doa Ashabul Kahfi tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan pesan Surah Al-Kahfi, yang menurut banyak hadis, merupakan pelindung dari fitnah Dajjal di akhir zaman. Dajjal akan menguji manusia melalui empat godaan utama yang secara simbolis diwakili oleh empat kisah dalam surah ini.
Inti ujian ini adalah ketaatan murni. Ketika Dajjal datang, ia akan mengklaim ketuhanan, memaksa manusia memilih antara keselamatan duniawi (kekayaan dan kekuasaan yang Dajjal tawarkan) dan keselamatan abadi (iman). Pemuda Kahfi menunjukkan bahwa ketika agama terancam, solusi terbaik adalah menjauh, bersembunyi, dan memohon rahmat Ilahi secara total. Doa mereka adalah senjata melawan paksaan: meminta rahmat saat semua jalan tertutup.
Kisah ini mengajarkan bahaya kesombongan yang timbul dari kekayaan. Pemilik kebun lupa bersyukur dan menyombongkan hartanya, hingga akhirnya Allah membinasakannya. Ketika menghadapi fitnah harta, mukmin harus ingat bahwa kekayaan hanyalah pinjaman. Doa Kahfi relevan di sini karena ia mengalihkan fokus dari meminta harta dunia (yang rentan kehancuran) menjadi meminta Rahmat (yang kekal dan tidak dapat dihancurkan).
Ujian ini adalah ujian kesabaran dan kerendahan hati dalam mencari ilmu. Nabi Musa, meskipun seorang Rasul besar, harus belajar dari Khidr tentang batas-batas pengetahuan manusia dan perlunya melihat hikmah di balik peristiwa yang tampak buruk. Ketika kita memohon rashada (petunjuk yang lurus), kita memohon agar Allah membuka mata hati kita sehingga kita dapat memahami kebijaksanaan-Nya, bahkan jika jalannya tampak membingungkan atau tidak adil menurut pandangan kita yang terbatas.
Dzulqarnain adalah pemimpin agung yang dianugerahi kekuasaan melintasi bumi, namun ia menggunakan kekuasaannya untuk menolong kaum yang tertindas, bukan untuk menindas. Kisah ini mengajarkan bahwa kekuasaan sejati harus disertai dengan keimanan dan keadilan. Doa Kahfi mengingatkan para pemimpin dan mereka yang berambisi kekuasaan bahwa tanpa rahmat dan petunjuk Allah, kekuasaan akan menjadi fitnah yang menghancurkan.
Kesimpulan Keterkaitan: Doa Kahfi, yang memohon Rahmat dan Petunjuk (Rashada), secara efektif berfungsi sebagai perisai spiritual terhadap semua fitnah ini. Rahmat melindungi kita dari kesombongan (harta) dan kezaliman (kekuasaan), sementara Petunjuk (Rashada) melindungi kita dari penyimpangan akidah (agama) dan kesombongan intelektual (ilmu).
Permintaan rahmat adalah tema universal dalam Islam, namun permintaan "rahmat dari sisi-Mu yang khusus" (rahmatan milladunka) memiliki konotasi khusus. Ini bukan sekadar rahmat umum (seperti hujan atau kesehatan), melainkan rahmat khusus (rahmah khassah) yang ditujukan untuk keselamatan spiritual.
Dalam tafsir, milladunka sering dihubungkan dengan ilmu Laduni (ilmu yang diberikan langsung tanpa perantara manusia, seperti yang diberikan kepada Nabi Khidr). Dalam konteks Ashabul Kahfi, ini berarti mereka meminta intervensi supernatural. Intervensi Allah inilah yang mengubah gua yang dingin dan gelap menjadi tempat peristirahatan yang aman selama tiga abad lebih.
Ketika kita memanjatkan doa ini, kita mengakui bahwa upaya manusiawi kita memiliki batas, dan di luar batas itu, kita membutuhkan sentuhan Rahmat Ilahi yang melampaui nalar dan hukum alam. Rahmat ini adalah jaminan Allah untuk hamba-Nya yang berhijrah demi iman.
Kisah Kahfi adalah kisah tentang manipulasi dan distorsi waktu sebagai ujian. Tidur 309 tahun adalah rahmat untuk melindungi iman mereka dari kerusakan yang terjadi seiring berjalannya waktu. Jika mereka tetap terjaga, mereka mungkin akan lelah, putus asa, atau akhirnya menyerah. Dengan memohon rahmat, mereka diberikan "jeda waktu" dari fitnah dunia. Ini mengajarkan bahwa kadang-kadang, cara Allah menolong kita adalah dengan menunda atau menghentikan ujian, atau bahkan memindahkan kita secara spiritual dari situasi yang merusak iman.
Petunjuk yang lurus (rashada) yang diminta oleh Ashabul Kahfi mencakup beberapa dimensi penting dalam ilmu tafsir:
Al-Baghawi menafsirkan rashada sebagai petunjuk yang membawa kepada kebaikan di dunia dan akhirat. Ketika para pemuda itu bangun, mereka menunjukkan kebijaksanaan luar biasa dalam berinteraksi kembali dengan dunia. Saat salah satu dari mereka pergi ke kota untuk membeli makanan, ia diperintahkan untuk berhati-hati dan memilih makanan yang paling bersih (azka) dan bertindak dengan lemah lembut (lutf) agar tidak diketahui orang.
Ini menunjukkan bahwa permintaan rashada mereka telah dikabulkan: Allah memberi mereka petunjuk bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk bertindak dengan bijak, tidak sembrono, dan penuh kehati-hatian dalam situasi kritis. Rashada adalah kemampuan membedakan prioritas, di mana keselamatan iman selalu di atas keselamatan raga.
Sebelum lari ke gua, Allah telah menguatkan hati mereka (QS. Al-Kahfi: 14): "Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri, lalu mereka berkata: ‘Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami tidak akan menyeru tuhan selain Dia.’" Ketegasan akidah ini adalah bentuk awal dari rashada yang diberikan Allah. Doa di ayat 10 adalah permohonan agar ketegasan ini tidak pudar, bahkan di tengah keputusasaan.
Ketegasan akidah ini penting dalam konteks Dajjal. Hanya mereka yang memiliki kejelasan akidah (rashada) yang kuat yang mampu menolak godaan dan tipu daya Dajjal yang menyesatkan.
Pada akhirnya, rashada yang sempurna bagi Ashabul Kahfi adalah diakui oleh masyarakat baru sebagai tanda kekuasaan Allah, dan kemudian kembali diwafatkan oleh Allah dengan kemuliaan (Husnul Khatimah). Mereka diselamatkan dari fitnah zaman mereka dan zaman berikutnya melalui tidur dan kebangkitan yang menjadi bukti kebenaran Hari Kebangkitan. Doa mereka dikabulkan hingga akhir hayat mereka.
Bagi kita, permintaan rashada harus selalu mencakup permohonan agar urusan hidup kita mengarah kepada akhir yang baik, di mana kita meninggal dalam keadaan beriman dan amal perbuatan kita diterima di sisi-Nya.
Keagungan doa Ashabul Kahfi terletak pada universalitasnya. Kapan pun seorang mukmin merasa terperangkap atau bingung dalam urusan hidup yang menguji iman, doa ini adalah solusi spiritual yang disyariatkan.
Dalam kehidupan modern, tekanan dapat berupa hutang yang melilit, penyakit yang parah, atau konflik keluarga yang tak kunjung usai. Situasi-situasi ini dapat terasa seperti gua sempit tanpa pintu keluar. Saat kita telah melakukan segala upaya dan tidak ada jalan keluar yang terlihat, kita harus mencontoh Ashabul Kahfi. Kita harus meninggalkan rencana dan kepastian kita sendiri, dan berseru kepada Allah:
Maknanya: "Ya Allah, berikan kami solusi yang datang dari Kekuasaan-Mu yang tak terbatas (Rahmatan Milladunka), dan arahkan semua urusan kami (Amrina) kepada keputusan yang paling benar (Rashada)."
Doa Kahfi juga merupakan doa bagi mereka yang melakukan hijrah (perpindahan atau perubahan drastis) demi Allah. Hijrah bisa berupa meninggalkan lingkungan kerja yang haram, memutuskan hubungan yang merusak iman, atau berpindah tempat tinggal demi mencari lingkungan yang lebih islami. Setiap hijrah memerlukan pengorbanan dan membawa ketidakpastian.
Mereka yang berhijrah fisik maupun spiritual harus berpegangan pada doa ini, memohon agar Allah tidak menyia-nyiakan pengorbanan mereka, dan agar ketidakpastian yang mereka hadapi diisi oleh Rahmat dan Petunjuk-Nya yang sempurna.
Meskipun ayat 10 adalah inti dari doa Kahfi, ayat-ayat di sekitarnya memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang mentalitas berdoa mereka dan balasan dari Allah:
Sebelum ayat 10, Allah berfirman bahwa kisah Ashabul Kahfi adalah salah satu dari tanda-tanda kebesaran-Nya yang menakjubkan. Hal ini mengingatkan kita bahwa keberhasilan doa bergantung pada pengakuan kita akan kekuasaan-Nya yang tak terbatas, dan bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya.
Setelah berlindung di gua, mereka saling berkata (yang merupakan bagian dari nasihat dan doa kolektif): "Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan urusanmu untuk menjadi mudah." (QS. Al-Kahfi: 16).
Ayat ini adalah konfirmasi iman mereka. Mereka yakin bahwa jika mereka meninggalkan segala sesuatu yang tidak diridhai Allah, Allah pasti akan membalasnya dengan rahmatan dan marfiqan (kemudahan fasilitas atau kehidupan). Ini menunjukkan bahwa doa mereka pada ayat 10 adalah perwujudan dari keyakinan yang mendalam ini.
Setelah kebangkitan mereka dan pengakuan masyarakat akan mukjizat itu, sebagian orang ingin membangun masjid di atas gua, sementara yang lain ingin membangun bangunan yang menutupi. Ayat ini menunjukkan bahwa gua tersebut menjadi simbol abadi. Perlindungan gua itu, yang diperoleh melalui doa dan hijrah, diabadikan sebagai pengingat akan kebenaran Hari Kebangkitan (Ba'ats).
Ini adalah penggenapan sempurna dari permintaan mereka akan rashada; bukan hanya hidup mereka yang diurus dengan benar, tetapi kisah hidup mereka sendiri dijadikan petunjuk yang lurus bagi umat manusia selanjutnya.
Doa Ashabul Kahfi, "Rabbana atina milladunka rahmatan wa hayyi' lana min amrina rashada," adalah salah satu doa terkuat yang diajarkan Al-Qur'an untuk menghadapi segala bentuk krisis yang mengancam keimanan dan ketenangan jiwa.
Inti pelajarannya adalah: Lakukan yang terbaik secara fisik (berhijrah ke gua), kemudian serahkan hasil sepenuhnya kepada Allah, memohon dua hal yang paling mendasar dan kekal:
Setiap mukmin, terutama mereka yang berjuang di tengah fitnah akhir zaman, perlu menjadikan doa ini sebagai wirid harian, mengingat bahwa di setiap tekanan dan kegelapan, Rahmat dan Petunjuk Allah selalu tersedia bagi hamba-Nya yang total menyerah dan berpegang teguh pada tauhid.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan Rahmatan Milladunka dan menganugerahkan Rashada dalam setiap urusan kehidupan kita.
***
Pembacaan Surah Al-Kahfi, yang di dalamnya terdapat doa ini, adalah sunnah yang ditekankan oleh Nabi Muhammad SAW. Hadis-hadis menyebutkan bahwa siapa yang membacanya akan disinari cahaya antara dua Jumat, dan akan dilindungi dari fitnah Dajjal. Perlindungan dari Dajjal itu sendiri adalah hadiah terbesar dari Rahmatan Milladunka yang kita mohonkan.
Kisah ini menegaskan bahwa iman bukan hanya klaim lisan, tetapi tindakan nyata untuk meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi antara diri kita dan keridhaan Allah. Gua adalah lambang isolasi dari kebatilan, dan doa Kahfi adalah suara hati yang mencari jaminan di tengah pengasingan.
Marilah kita terus merenungkan makna mendalam dari doa agung ini, menjadikannya perisai di saat kita merasa tidak berdaya, dan kompas di saat kita kehilangan arah dalam perjalanan menuju kebenaran abadi.
Ketika kesulitan datang silih berganti, dan kita merasa telah mencapai batas akhir kemampuan kita, mari kita ingat para pemuda yang berdiri di ambang pintu gua, menyerahkan takdir mereka kepada Tuhan semesta alam, dan memohon Rahmatan Milladunka wa Hayyi' lana min Amrina Rashada, dan kemudian menyaksikan bagaimana Allah mengubah tidur menjadi mukjizat, dan keputusasaan menjadi sejarah keimanan yang abadi.
Ini adalah pelajaran bahwa pertolongan Allah datang dalam cara yang paling tidak terduga, asalkan hati telah lurus dan niat telah murni untuk menyelamatkan pilar tauhid. Doa ini adalah pilar bagi keteguhan iman yang tak tergoyahkan, menghadapi musuh dari luar maupun godaan dari dalam diri. Totalitas penyerahan diri ini, didukung oleh Rahmat Ilahi, adalah kunci menuju kemenangan abadi. Ini adalah warisan Ashabul Kahfi bagi kita semua.
***
Pengulangan analisis mendalam tentang konsep rahmatan milladunka dan rashada adalah penting. Rahmat dalam konteks ini mengandung aspek pemberian perlindungan yang bersifat segera dan perlindungan yang bersifat jangka panjang. Perlindungan segera adalah diizinkannya mereka bersembunyi di gua dan dijaminnya keamanan mereka dari pencarian raja. Perlindungan jangka panjang adalah pemberian umur yang panjang dalam tidur, sehingga mereka melewati masa pemerintahan zalim dan menyaksikan kemenangan iman di masa depan.
Sementara itu, rashada bukan hanya petunjuk saat itu juga, tetapi juga petunjuk yang berkelanjutan. Ketika mereka bangun dan salah satu dari mereka pergi ke pasar, dia tahu bagaimana berinteraksi dengan orang-orang tanpa membahayakan misi mereka. Ini menunjukkan tingkat kebijaksanaan dan kehati-hatian yang luar biasa, bukti dari terkabulnya doa tersebut. Seorang mukmin yang memohon rashada berarti memohon agar Allah membimbing setiap kata, setiap transaksi, setiap interaksi sosial, agar semuanya sesuai dengan kebenaran Ilahi dan tidak mendatangkan bahaya spiritual.
Doa ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam menghadapi krisis eksistensial, solusi terbaik seringkali bukan melalui kekerasan atau konfrontasi terbuka yang didorong oleh emosi, tetapi melalui penarikan diri sementara untuk mengumpulkan kekuatan spiritual, yang dalam kasus mereka, diwujudkan oleh gua. Di sanalah, dengan hanya bertemankan harapan dan doa, mereka menemukan kekuatan untuk mengalahkan tirani zaman.
Maka, mari kita jadikan doa Kahfi sebagai teman setia di setiap langkah perjuangan kita, memastikan bahwa Rahmat dan Petunjuk Allah selalu menyertai kita, sehingga kita dapat melewati fitnah dunia ini dengan iman yang utuh, dan mencapai Husnul Khatimah yang didambakan.