Mengupas Tuntas Makna, Hukum, dan Keutamaan Istia'dzah dan Basmalah
Setiap tindakan besar dalam Islam diawali dengan persiapan. Persiapan ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah penyesuaian batin, pembersihan niat, dan deklarasi diri untuk memasuki ranah kesucian. Dalam konteks membaca Al-Qur'an, dan khususnya Surah Al-Fatihah—yang merupakan rukun utama shalat dan inti sari seluruh kitab suci—persiapan ini menjadi sangat krusial.
Pertanyaan fundamental yang sering muncul adalah: Apa "doa" atau ucapan yang wajib atau dianjurkan diucapkan sebelum kita memulai pembacaan Ummul Kitab (Induk Kitab) ini? Jawaban utamanya terbagi menjadi dua praktik esensial yang dikenal sebagai Istia'dzah (memohon perlindungan) dan Basmalah (menyebut nama Allah). Kedua praktik ini berfungsi sebagai benteng spiritual dan deklarasi tauhid, memastikan hati siap berdialog langsung dengan Sang Pencipta.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa persiapan ini tidak bisa diabaikan, bagaimana hukumnya dalam berbagai kondisi (terutama dalam shalat), serta kedalaman spiritual yang terkandung di dalamnya. Memahami persiapan ini berarti memahami kunci menuju kekhusyukan sejati dalam ibadah.
Istia'dzah, yang lebih dikenal sebagai Ta’awwudh, adalah bacaan utama yang disyariatkan sebelum memulai pembacaan Al-Qur'an. Ini merupakan inti dari "doa sebelum membaca Al-Fatihah" dalam konteks umum membaca Al-Qur'an.
Perintah Istia'dzah secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an:
Artinya: "Apabila kamu membaca Al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk."
Mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah "fas-ta'idhz" (maka mintalah perlindungan) dalam ayat ini mengarah kepada hukum sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan) bagi setiap pembaca Al-Qur'an. Beberapa ulama, seperti Atha' bin Abi Rabah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahkan berpendapat hukumnya adalah wajib, namun pendapat jumhur (mayoritas) lebih mengarah pada sunnah yang sangat kuat.
Lafadz yang paling masyhur dan disepakati adalah:
(A’uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim)
Makna: "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk."
Kalimat ini adalah deklarasi total bahwa manusia tidak memiliki daya dan kekuatan sendiri untuk menolak godaan setan, kecuali dengan perlindungan dari Allah SWT. Tujuan utama Istia'dzah adalah membersihkan hati dan pikiran dari bisikan-bisikan (waswas) yang dapat merusak kualitas ibadah dan tadabbur (perenungan) terhadap ayat-ayat suci.
Meskipun ayat tersebut berbunyi "Apabila kamu membaca Al-Qur'an...", para ulama menjelaskan bahwa Istia'dzah diucapkan sebelum memulai bacaan. Ini adalah tindakan persiapan, bukan tindakan yang dilakukan di tengah bacaan. Ini seperti membersihkan ladang sebelum menanam benih. Jika seseorang membaca beberapa surah berturut-turut, ia cukup ber-Istia'dzah sekali di awal, kecuali jika ia menghentikan bacaan untuk waktu yang lama atau beralih ke topik yang sama sekali berbeda.
Langkah spiritual kedua, dan yang paling terkait langsung dengan Al-Fatihah, adalah Basmalah (membaca Bismillaahirrahmaanirrahiim).
Secara umum, memulai setiap pekerjaan baik dengan Basmalah adalah sunnah. Namun, saat memulai pembacaan Al-Qur'an, hukumnya bergantung pada posisi surah tersebut:
Isu Basmalah menjadi sangat penting ketika membahas Al-Fatihah karena perbedaan pendapat yang mendalam di kalangan empat mazhab fiqih mengenai status Basmalah (ayat pertama) di dalamnya, terutama dalam konteks shalat.
Surah Al-Fatihah memiliki tujuh ayat. Terdapat perbedaan signifikan mengenai apakah Basmalah (بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ) termasuk ayat pertama dari Surah Al-Fatihah atau bukan. Perbedaan ini memengaruhi rukun shalat, karena membaca Al-Fatihah adalah rukun (pilar) shalat yang harus sempurna.
Menurut Mazhab Syafi'i, Basmalah adalah ayat pertama dari Surah Al-Fatihah dan merupakan bagian integral dari surah tersebut. Konsekuensinya, membaca Basmalah secara jelas dan lisan adalah wajib dalam setiap rakaat shalat fardhu maupun sunnah, baik shalat sirr (diam) maupun jahr (nyaring), agar rukun Al-Fatihah terpenuhi secara sempurna.
Dalil mereka adalah hadits dari Ummu Salamah dan riwayat para sahabat yang menghitung Basmalah sebagai ayat pertama, serta penempatan Basmalah dalam mushaf Utsmani yang menunjukkan bahwa ia tidak hanya menjadi pemisah antar surah, tetapi juga bagian dari Al-Fatihah.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa Basmalah BUKAN bagian dari Surah Al-Fatihah, maupun surah lainnya. Oleh karena itu, Maliki menghukumi makruh membaca Basmalah, terutama pada shalat fardhu, dan sunnah untuk ditinggalkan sama sekali kecuali jika dibaca sebagai permulaan pembacaan di luar shalat atau dalam konteks tertentu.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa Basmalah BUKAN bagian dari Al-Fatihah. Namun, mereka berpendapat bahwa membaca Basmalah di awal setiap rakaat sebelum Al-Fatihah adalah sunnah, namun harus dibaca secara sirr (perlahan) meskipun dalam shalat jahr (seperti Maghrib, Isya, Subuh).
Mazhab Hanbali memiliki dua riwayat utama. Riwayat yang paling kuat menganggap Basmalah BUKAN bagian dari Al-Fatihah, namun mereka sangat menganjurkan Basmalah sebagai sunnah muakkadah yang dibaca secara jahr (nyaring) di awal shalat jahr.
Dalam praktik shalat, Al-Fatihah dibaca setelah takbiratul ihram dan doa iftitah. Bagaimana kombinasi Istia'dzah dan Basmalah diposisikan?
Para ulama sepakat bahwa Istia'dzah (Ta’awwudh) dalam shalat diucapkan hanya pada rakaat pertama, setelah doa Iftitah dan sebelum Basmalah/Al-Fatihah.
Hukumnya adalah sunnah. Meskipun perintah Al-Qur'an (An-Nahl: 98) bersifat umum, Istia'dzah berfungsi sebagai pembersihan awal sebelum memulai komunikasi suci (bacaan Al-Qur'an). Mengucapkannya pada rakaat kedua dan seterusnya tidak disyariatkan karena kekhusyukan dan perlindungan awal sudah didapatkan.
Penting dicatat: Istia'dzah dalam shalat selalu diucapkan secara sirr (pelan/diam), meskipun imam sedang memimpin shalat jahr.
Urutan Bacaan di Rakaat Pertama (Pandangan Jumhur/Syafi'i):
Meskipun keduanya adalah persiapan, fungsi spiritual keduanya berbeda:
Dalam membaca Al-Fatihah, seorang Muslim menggabungkan kedua fungsi ini: pertama, membersihkan jalur komunikasi dari gangguan (Istia'dzah), dan kedua, membuka komunikasi itu dengan nama dan berkah Allah (Basmalah).
Persiapan spiritual sebelum Al-Fatihah, khususnya Istia'dzah, adalah pondasi untuk mencapai Khushu' (kekhusyukan) dalam shalat. Tanpa pembersihan hati ini, pembacaan Al-Fatihah akan menjadi ritual mekanis tanpa روح (roh) dan ruhaniyah (spiritualitas).
Setan (Syaithan) memiliki misi utama, yaitu mengganggu hubungan manusia dengan Tuhannya. Titik serangan paling efektif adalah saat manusia berdiri dalam shalat. Godaan setan bisa berupa: lupa jumlah rakaat, pikiran melayang, atau bahkan kesalahan dalam melafalkan ayat.
Istia'dzah adalah permohonan bantuan ilahi, mengakui kelemahan diri di hadapan musuh yang tidak terlihat. Ketika seseorang mengucapkan "Aku berlindung kepada Allah...", ia secara sadar menempatkan dirinya di bawah benteng Allah, menjadikan shalatnya kebal terhadap waswas (bisikan jahat) setan.
Basmalah mengandung tiga nama agung: Allah (Dzat yang Maha Agung), Ar-Rahman (Maha Pengasih, rahmat universal), dan Ar-Rahim (Maha Penyayang, rahmat khusus bagi Mukmin). Memulai Al-Fatihah dengan Basmalah berarti mendeklarasikan bahwa pembacaan ini hanya untuk Allah, dengan bersandar pada sifat Rahmat-Nya yang tak terbatas.
Hal ini mempersiapkan hati untuk memahami inti Al-Fatihah, yaitu Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), menjadikan ibadah tersebut murni tauhid.
Hadits Qudsi yang terkenal menjelaskan bahwa Al-Fatihah adalah dialog (munajat) antara hamba dan Tuhannya. Setiap ayat dibagi menjadi dua bagian: satu untuk Allah, satu untuk hamba.
Jika kita memasuki dialog suci ini tanpa persiapan (Istia'dzah dan Basmalah), kita berisiko merusak kualitas dialog tersebut. Persiapan ini memastikan bahwa hamba memasuki majelis dialog dalam keadaan sadar, hormat, dan dilindungi.
Kata A’uudzu berasal dari akar kata 'awdz yang berarti kembali, bergantung, dan mencari perlindungan. Ketika seseorang berkata A’uudzu billah, ia sedang menyatakan, "Aku menjauhi segala kekuatan dan berlindung serta berpegang teguh pada kekuatan Allah Yang Maha Kuasa." Ini adalah penolakan terhadap hawl dan quwwah (daya dan upaya) diri sendiri, dan penyerahan total kepada Allah.
Meskipun bentuk "A’uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim" adalah yang paling umum, terdapat riwayat lain yang juga sah dan dianjurkan, yang menunjukkan kedalaman permohonan perlindungan:
Semua bentuk ini menunjukkan bahwa inti dari persiapan adalah menanggapi perintah Allah dalam Surah An-Nahl. Dalam shalat, para ulama umumnya menyarankan bentuk yang ringkas untuk menjaga kelancaran rukun shalat.
Para ahli qira'ah dan fuqaha menjelaskan bahwa Istia'dzah diulang dalam dua kondisi utama:
Istia'dzah merupakan pengakuan akan kerentanan spiritual manusia, dan pengakuan bahwa sumber kekuatan sejati hanya ada pada Dzat Allah SWT.
Persiapan dengan Istia'dzah dan Basmalah menjadi krusial karena Al-Fatihah adalah satu-satunya surah yang ditetapkan sebagai Rukun Qauli (rukun ucapan) dalam shalat. Tanpa Al-Fatihah yang sah, shalat seseorang tidak sah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (pembukaan kitab).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika Basmalah adalah bagian dari Al-Fatihah (menurut Syafi'i), maka melafalkannya harus dengan hukum Tajwid yang benar. Melanggar Tajwid dapat mengubah makna, yang berpotensi merusak rukun shalat.
Oleh karena itu, persiapan bukan hanya tentang ucapan, tapi juga tentang kualitas ucapan. Istia'dzah membantu membersihkan hati agar lidah dapat fokus melafalkan ayat-ayat suci dengan benar.
Persiapan ini juga relevan dalam shalat berjamaah:
Persiapan diri ini berlaku secara individu, memastikan setiap Muslim memiliki komunikasi yang utuh dengan Allah SWT, bahkan saat ia berada dalam jamaah.
Tuntutan untuk membaca Al-Fatihah adalah tuntutan untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Tuntutan untuk ber-Istia'dzah dan Basmalah adalah jaminan untuk mencapai kesempurnaan Khushu'.
Hati manusia adalah wadah. Untuk menerima cahaya Al-Qur'an dan firman Allah, wadah tersebut harus kosong dari kotoran. Istia'dzah adalah proses pengosongan. Setan berusaha memenuhi hati dengan waswas, dunia, dan keangkuhan. Ketika kita meminta perlindungan, kita mengakui bahwa wadah kita penuh dan hanya Allah yang bisa membersihkannya.
Syeikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan bahwa Istia'dzah adalah pengakuan seorang hamba akan ketidakmampuan dirinya, dan kepasrahan kepada Allah agar Dia membantunya mengusir musuh yang tidak terlihat ini. Ini adalah kesadaran spiritual tertinggi sebelum memasuki ibadah yang paling utama.
Setelah wadah dikosongkan (Istia'dzah), ia diisi dengan berkah melalui Basmalah. Basmalah bukanlah sekadar kata pembuka, melainkan sebuah jaminan. Ketika kita membaca "Dengan nama Allah," kita meminta agar seluruh proses pembacaan kita—dari pelafalan hingga perenungan—ditemani dan diberkahi oleh nama-nama-Nya yang Maha Agung dan Maha Penyayang.
Basmalah menjadi jembatan antara persiapan (Istia'dzah) dan inti ibadah (Al-Fatihah), menanamkan optimisme bahwa ibadah yang dilakukan akan diterima karena dilakukan di bawah naungan rahmat dan kekuasaan Ilahi.
Kedua persiapan ini secara simultan membentuk landasan yang kokoh. Istia'dzah menghapus risiko kerugian spiritual (godaan setan), sementara Basmalah menjamin potensi keuntungan spiritual (keberkahan dan penerimaan). Keduanya adalah kunci untuk membuka pintu Ummul Kitab.
Meskipun Istia'dzah dan Basmalah adalah bacaan utama, terdapat adab-adab (etika) tambahan yang berfungsi memperkuat persiapan spiritual sebelum masuk ke ayat-ayat Al-Fatihah.
Niat shalat (niat untuk melaksanakan rukun shalat) sudah dilakukan saat Takbiratul Ihram. Namun, sebelum membaca Al-Fatihah, dianjurkan untuk memperbarui niat batin, yaitu niat untuk melakukan tadabbur (merenungkan) Al-Qur'an, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Ini adalah niat internal yang membantu kekhusyukan.
Taharah fisik (wudu dan kebersihan pakaian) adalah wajib untuk shalat. Namun, persiapan juga mencakup taharah batin. Menghindari amarah, kekecewaan, atau pikiran duniawi sebelum memulai Al-Fatihah adalah taharah hati yang disyaratkan oleh kekhusyukan.
Perenungan singkat setelah Istia'dzah dan sebelum Basmalah dapat meningkatkan kualitas ibadah. Pikirkan sejenak: "Aku sekarang berdiri di hadapan Allah, dan Dia akan menjawab setiap ayat yang aku bacakan." Perenungan ini memastikan transisi dari urusan duniawi ke komunikasi ilahi berjalan mulus.
Dalam shalat, posisi berdiri (Qiyam) harus tegak, pandangan tertuju pada tempat sujud, dan anggota badan tenang. Ketenangan fisik mencerminkan ketenangan batin, yang merupakan prasyarat untuk menghayati setiap kata dalam Al-Fatihah.
Seluruh rangkaian persiapan, mulai dari Istia'dzah, Basmalah, hingga adab-adab batin, adalah manifestasi dari pemahaman bahwa Al-Fatihah adalah inti shalat. Jika fondasi (persiapan) kuat, maka bangunannya (shalat) akan kokoh.
Meskipun fokus utama adalah shalat, penting untuk mengulas hukum Basmalah sebelum Al-Fatihah dalam konteks non-shalat (membaca Al-Qur'an secara umum), karena ini membentuk landasan pemahaman Istia'dzah dan Basmalah sebagai "doa sebelum baca Al-Fatihah".
Kecuali Surah At-Taubah (Bara'ah), para ulama sepakat bahwa membaca Basmalah saat memulai Surah Al-Fatihah dan surah-surah lainnya adalah sunnah muakkadah. Hikmahnya adalah mengikuti jejak Rasulullah SAW yang senantiasa memulai segala urusan penting dengan nama Allah.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Basmalah diletakkan di awal surah (selain At-Taubah) untuk menunjukkan bahwa surah tersebut diturunkan sebagai rahmat, kasih sayang, dan petunjuk. Ini sangat relevan bagi Al-Fatihah, yang dikenal sebagai Asy-Syifaa' (Penyembuh) dan Ar-Ruqyah (Jampi), menunjukkan sifat rahmat Allah yang mendominasi.
Dalam ilmu Tajwid, terdapat empat cara menyambung bacaan dari akhir satu surah ke surah berikutnya. Misalnya, menyambung Surah An-Nas ke Al-Fatihah. Empat cara yang diizinkan (Wujuh Al-Qira’ah) saat memulai Al-Fatihah setelah surah lain (di luar shalat) adalah:
Perhatian terhadap detail ini menegaskan bahwa Basmalah bukan sekadar bacaan, tetapi sebuah batas yang menandai transisi ke dalam ranah Al-Fatihah yang sakral.
Dalam menutup kajian ini, kita harus melihat Istia'dzah dan Basmalah bukan sebagai dua entitas terpisah, melainkan sebagai satu kesatuan proses penyerahan diri (Tawakkal) yang mendahului rukun utama shalat.
Ketika seorang Muslim berdiri di hadapan Allah, dia menyadari bahwa dia berada dalam posisi rentan. Istia'dzah adalah pengakuan kerentanan dan permohonan perlindungan dari musuh batin. Basmalah adalah deklarasi kepercayaan mutlak bahwa hanya dengan nama Allah—sumber segala kekuatan dan rahmat—dia dapat menyelesaikan ibadah ini dengan baik.
Ini adalah penggabungan Na’budu (Kami menyembah) dan Nasta’iin (Kami memohon pertolongan) dalam praktik nyata. Kami menyembah melalui pelaksanaan rukun (membaca Al-Fatihah), dan kami memohon pertolongan melalui Istia'dzah dan Basmalah.
Persiapan spiritual yang diterapkan sebelum membaca Al-Fatihah sejatinya adalah model untuk setiap tindakan Muslim. Setiap tindakan baik (makan, bepergian, bekerja) harus didahului oleh Basmalah untuk meminta berkah dan perlindungan. Namun, membaca Al-Fatihah, karena merupakan Kalamullah (firman Allah) dan rukun shalat, memerlukan lapisan perlindungan tambahan, yaitu Istia'dzah.
Mengamalkan persiapan ini secara sadar—bukan hanya menggugurkan sunnah—membentuk karakter mukmin yang senantiasa sadar akan kehadiran setan dan senantiasa bersandar pada Rahmat Allah.
Al-Fatihah adalah permata mahkota dalam ibadah shalat dan bacaan Al-Qur'an. Agar permata ini memancarkan cahayanya secara maksimal, ia harus ditempatkan di atas wadah yang suci dan dilindungi dari kotoran. Istia'dzah (doa perlindungan) membersihkan kotoran, dan Basmalah (doa pembukaan) menyucikan niat.
Dengan menunaikan persiapan ini secara sempurna—memahami hukumnya, meresapi maknanya, dan mengucapkannya dengan penuh kekhusyukan—kita telah menyiapkan diri untuk berdialog langsung dengan Allah SWT, menjadikan shalat kita bukan sekadar gerakan fisik, melainkan mi’raj (kenaikan spiritual) yang sesungguhnya.