Surat Al-Lahab, atau dikenal juga sebagai Surat Al-Masad (Tali Sabut), adalah salah satu surat Makkiyah terpendek dalam Al-Qur'an, menempati urutan ke-111. Meskipun singkat, surat ini mengandung kedalaman historis, linguistik, dan teologis yang luar biasa. Ia bukan sekadar kutukan, melainkan sebuah proklamasi ilahi yang memprediksi dan memastikan nasib salah satu penentang Islam paling keras di masa awal kenabian.
Ketika kita berbicara tentang "gambar" dari Surat Al-Lahab, kita tidak merujuk pada ilustrasi visual fisik dalam konteks seni Islam, melainkan pada gambaran puitis dan definitif tentang kepastian azab yang disajikan oleh lima ayat ini. Surat ini melukiskan potret tragis dari keangkuhan yang berujung pada kehancuran total di dunia dan akhirat. Untuk memahami kekuatan gambar ini, kita harus menyelam jauh ke dalam konteks sejarah (Asbabun Nuzul) dan analisis linguistik (Tafsir) dari setiap kata.
Surat Al-Lahab diturunkan pada periode awal dakwah di Mekah, ketika Nabi Muhammad ﷺ mulai menyampaikan risalah secara terbuka kepada kaumnya. Penentangan yang dihadapi Nabi sangat keras, namun penentangan yang paling dekat dan menyakitkan datang dari pamannya sendiri, Abu Lahab.
Abu Lahab memiliki nama asli Abdul Uzza bin Abdul Muththalib. Ia adalah paman Nabi Muhammad ﷺ, yang ironisnya seharusnya menjadi salah satu pelindung terdekatnya. Nama panggilannya, Abu Lahab (Ayah Api yang Bergejolak), bukanlah nama yang diberikan Al-Qur'an sebagai ejekan, tetapi merupakan julukan yang ia miliki sejak lama karena wajahnya yang tampan, cerah, dan kemerah-merahan. Namun, Al-Qur'an menggunakan nama ini dengan makna metaforis yang baru dan mengerikan, menghubungkan julukan fisiknya dengan takdir spiritualnya: api Jahannam.
Penentangan Abu Lahab sangat vokal. Berbeda dengan paman Nabi lainnya, Abu Thalib, yang memberikan perlindungan fisik meskipun tidak menerima Islam, Abu Lahab secara aktif berusaha menggagalkan dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Ia sering mengikuti Nabi ke pasar-pasar dan tempat-tempat pertemuan, berteriak, "Wahai manusia, jangan dengarkan dia! Dia adalah pendusta yang keluar dari agamanya!" Keberaniannya menentang Nabi di depan umum menjadikannya simbol utama penolakan dan permusuhan terhadap risalah Ilahi di lingkungan keluarga Quraisy.
Peristiwa yang secara langsung memicu turunnya Surah Al-Lahab diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Ketika turun ayat yang memerintahkan Nabi untuk memberi peringatan kepada kerabat terdekatnya (QS. Asy-Syu'ara: 214), Nabi Muhammad ﷺ naik ke Bukit Safa. Beliau memanggil kabilah-kabilah Quraisy. Setelah mereka berkumpul, beliau bertanya, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu bahwa ada pasukan berkuda di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong."
Nabi kemudian berkata, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang pedih."
Reaksi Abu Lahab sangat tegas dan penuh kemarahan. Ia berdiri dan berkata, "Celakalah engkau! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?" Atau dalam riwayat lain, "Semoga kedua tanganmu celaka (binasa)!"
Kata-kata penuh kebencian dan penolakan dari Abu Lahab inilah yang kemudian direspons langsung oleh Allah SWT melalui wahyu, menegaskan bahwa kutukan yang ia ucapkan justru akan kembali menimpa dirinya sendiri. Respons ilahi ini memastikan bahwa kekalahan Abu Lahab bukanlah sekadar kutukan manusiawi, melainkan sebuah ketetapan takdir yang telah diumumkan.
Surah ini berfungsi sebagai pembalikan total. Ketika Abu Lahab mengutuk Nabi, Allah membalikkan kutukan itu dan menjadikannya sebuah nubuat yang pasti. Ini menunjukkan betapa seriusnya perlawanan terhadap kebenaran, bahkan jika datang dari kerabat terdekat. Kehancuran yang diumumkan di sini bersifat dua lapis: kehancuran upaya duniawi dan kehancuran nasib abadi di akhirat.
Visualisasi Kehancuran (Tabbat Yada)
Surah Al-Lahab memiliki lima ayat yang sangat padat. Setiap ayatnya memberikan gambaran yang jelas mengenai kepastian hukuman, tidak hanya bagi Abu Lahab tetapi juga bagi istrinya, Ummu Jamil.
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
Kalimat pembuka, "Tabbat yada Abi Lahabin," adalah respons langsung dan paralel terhadap ucapan Abu Lahab sendiri. Kata تَبَّتْ (Tabbat) berarti ‘hancur’, ‘celaka’, atau ‘binasa’. Kata ini biasanya merujuk pada kegagalan total dan kerugian abadi. Penggunaan kata يَدَا (Yada), yang berarti 'kedua tangan', memiliki dua penafsiran utama:
Bagian kedua, وَتَبَّ (wa tabb), adalah penegasan kembali yang penting. Ayat ini tidak hanya mendoakan kehancuran (seperti yang dilakukan Abu Lahab kepada Nabi), tetapi menegaskan bahwa kehancuran itu sudah terjadi dan pasti. Ini adalah nubuat yang menjamin bahwa Abu Lahab akan mati dalam keadaan kufur dan bahwa segala rencana jahatnya akan gagal total. Banyak ulama tafsir, seperti Qatadah dan Mujahid, menekankan bahwa penegasan ini adalah keajaiban (I'jaz) Al-Qur'an, karena ini diucapkan saat Abu Lahab masih hidup dan memiliki kesempatan untuk berpura-pura masuk Islam, namun ia tidak melakukannya, membenarkan prediksi ilahi ini.
"Tidaklah bermanfaat baginya hartanya dan apa yang ia usahakan."
Ayat ini menyasar sumber utama keangkuhan Abu Lahab: kekayaan (ماله) dan usaha (ما كسب). Abu Lahab dikenal sebagai orang kaya dan memiliki status sosial tinggi di Mekah. Ia percaya bahwa kekayaan, status, dan anak-anaknya (sebagai hasil usahanya) akan melindunginya dari azab Allah atau bahkan dari konsekuensi penentangannya terhadap Nabi.
Kalimat مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ (Maa aghnaa 'anhu) berarti "tidak sedikit pun memberinya manfaat atau perlindungan." Ini adalah pernyataan tegas bahwa dalam menghadapi murka ilahi, materialisme dan kekuatan duniawi sama sekali tidak bernilai. Konteks "apa yang ia usahakan" (ما كسب) ditafsirkan oleh sebagian ulama sebagai merujuk pada anak-anaknya—sebab anak laki-laki sering dianggap sebagai aset terbesar dan benteng pertahanan di masyarakat Arab pra-Islam. Namun, bahkan anak-anaknya, yang seharusnya mewarisi kehormatan, tidak dapat melindunginya dari azab.
Surah ini mengajarkan bahwa pondasi kekuasaan yang dibangun di atas penolakan terhadap kebenaran akan runtuh tanpa sisa, meninggalkan pelakunya tanpa pertolongan di hari perhitungan.
"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Lahab)."
Ayat ini adalah puncak korelasi antara julukan Abu Lahab dan takdirnya. Kata لَهَبٍ (Lahab) berarti lidah api, nyala api yang murni, atau kobaran api yang kuat. Allah menggunakan nama panggilannya sendiri—yang ia terima karena kecerahannya—untuk menggambarkan neraka yang akan menelan dirinya. Ini adalah kontras yang sangat tajam: ia cerah di dunia karena kekayaan dan rupa, tetapi ia akan binasa dalam kecerahan api abadi di akhirat.
Penggunaan huruf سَ (Sa) di awal kata سَيَصْلَىٰ (Sayaslaa) menunjukkan kepastian di masa depan yang dekat. Ini adalah penekanan ilahi: tidak ada keraguan, tidak ada penangguhan; hukuman ini pasti datang. Gambaran visual (gambar) dari surah ini mencapai intensitas tertinggi di sini, melukiskan kobaran api yang tak terpadamkan, sebuah janji azab yang menunggu.
Visualisasi Api yang Bergejolak (Naaran Dzaata Lahab)
"Dan (demikian pula) istrinya, pembawa kayu bakar. * Di lehernya ada tali dari sabut."
Istri Abu Lahab bernama Arwa binti Harb, yang dikenal dengan julukan Ummu Jamil. Ia adalah saudara perempuan Abu Sufyan (yang kala itu juga memusuhi Islam). Ayat ini mencakupnya dalam hukuman karena ia secara aktif berpartisipasi dalam permusuhan suaminya.
Frasa حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammalatal hathab), "pembawa kayu bakar," memiliki dua interpretasi yang saling melengkapi:
Ayat terakhir, فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Fii jiidihaa hablun min masad), melengkapi gambaran penderitaan. جِيدِهَا (Jiidihaa) berarti 'lehernya', dan حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Hablun min masad) berarti 'tali dari sabut' (serabut kasar/tali palem).
Penggunaan tali sabut sangat signifikan. Sabut adalah material yang kasar dan murah, kontras dengan kalung mewah yang biasa dipakai wanita bangsawan Quraisy. Ummu Jamil adalah wanita kaya, tetapi di neraka, kalung kebanggaannya akan diganti dengan tali sabut api yang kasar, yang akan menariknya ke dalam azab. Gambaran ini sangat merendahkan dan definitif, menunjukkan bahwa status dan perhiasan duniawi tidak akan menyelamatkannya, dan bahwa ia akan tersiksa dengan alat yang paling hina, diikat pada lehernya seperti budak atau ternak.
Surah Al-Lahab, secara keseluruhan, menyajikan gambaran yang tidak hanya menghukum individu, tetapi juga menghukum kemitraan kejahatan. Suami bertindak dengan kekuasaan dan harta, istri bertindak dengan fitnah dan penghinaan, dan keduanya menerima hukuman yang setara dalam kepastian kehancuran.
Salah satu aspek yang paling menakjubkan dari Surah Al-Lahab adalah fungsinya sebagai nubuat yang mutlak—sebuah keajaiban yang membuktikan kebenaran kenabian Muhammad ﷺ. Keajaiban ini terletak pada prediksinya bahwa Abu Lahab dan istrinya akan mati dalam keadaan kufur dan akan binasa di neraka (Ayat 1 dan 3).
Pada saat Surah ini diturunkan, Abu Lahab masih hidup. Teorinya, jika ia ingin menggagalkan kenabian Muhammad, yang harus ia lakukan hanyalah mengikrarkan syahadat, meskipun hanya pura-pura (munafik). Jika ia melakukan itu, Surah Al-Lahab akan terbukti salah, karena Allah telah memastikan ia akan masuk api yang bergejolak.
Namun, Abu Lahab tidak pernah beriman, bahkan tidak secara munafik. Ia mati dalam keadaan kafir setelah Perang Badar, menderita penyakit menular yang menjijikkan (disebut Al-'Adasah) yang membuat keluarganya enggan mendekatinya, hingga ia membusuk dan hanya dikubur dengan cara didorong ke liang lahat menggunakan tongkat. Kematiannya yang hina dan terisolasi ini adalah pemenuhan total dari nubuat: kehancuran kedua tangan dan kegagalan segala usaha.
Para ulama seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Quran menekankan bahwa Surat Al-Lahab adalah tantangan terbuka yang menunjukkan bahwa sumber wahyu ini adalah Ilahi, karena tidak ada manusia yang berani membuat prediksi mutlak tentang takdir spiritual seseorang tanpa mengetahui masa depan.
Pilihan kata dalam Surah ini sangat kuat dan menghancurkan. Setiap kata adalah pukulan yang terukur:
Struktur Surah Al-Lahab menunjukkan bahwa azab yang menimpa mereka adalah proporsional dengan kejahatan mereka. Mereka menggunakan status, kekuasaan, dan lidah mereka untuk menyakiti Nabi, maka Allah menghancurkan status, kekuasaan, dan nasib akhirat mereka secara total.
Untuk konteks pencarian "gambar surat al lahab," kita perlu memperdalam pemahaman tentang bagaimana Surah ini menciptakan gambaran yang membekas di benak pendengarnya—sebuah visualisasi yang lebih kuat daripada lukisan.
Surah Al-Lahab menggunakan kontras tajam untuk menghasilkan gambar yang kuat:
Gambaran kehancuran ini melayani tujuan ganda: menghibur Nabi Muhammad ﷺ yang disakiti oleh keluarganya sendiri, dan memberikan peringatan keras bagi siapa pun yang menggunakan kekuasaan, kekayaan, atau kedekatan keluarga untuk menghalangi jalan kebenaran.
Dalam tradisi Islam, penggambaran visual sering kali ditransmisikan melalui deskripsi yang detail. Surat Al-Lahab adalah deskripsi visual yang sangat rinci tentang nasib orang yang sombong. Ini adalah pelajaran bahwa penentangan terhadap Nabi atau kebenaran Ilahi—sekecil apapun tindakan (seperti menaruh duri di jalan)—akan dibalas dengan azab yang sesuai dan memalukan.
Penggambaran tali sabut yang melilit leher bukanlah gambaran abstrak; itu adalah visualisasi nyata yang membuat pendengarnya merinding. Abu Lahab dan istrinya tidak hanya dihukum, tetapi mereka dihukum dengan cara yang menghapus semua kemuliaan dan status sosial mereka.
Meskipun Surah Al-Lahab secara spesifik menargetkan individu, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan relevan hingga hari ini. Surat ini memberikan panduan filosofis tentang nilai-nilai abadi dan bahaya kesombongan.
Surat Al-Lahab menunjukkan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari keadilan ilahi jika ikatan tersebut digunakan untuk menentang kebenaran. Abu Lahab, sebagai paman Nabi, memiliki otoritas sosial yang besar, tetapi otoritas itu runtuh. Ini mengajarkan pentingnya integritas spiritual di atas loyalitas kesukuan atau keluarga. Kehancuran Abu Lahab adalah peringatan bagi semua pemimpin, klan, dan keluarga yang menggunakan kekuasaan mereka untuk menindas kebenaran.
Dalam konteks modern, hal ini dapat diinterpretasikan sebagai peringatan bagi mereka yang menggunakan koneksi, koneksi politik, atau kekayaan warisan untuk menindas keadilan atau menghalangi dakwah yang benar. Kekuasaan duniawi, betapapun luasnya, adalah fana, dan hanya perbuatan yang dilandasi kebenaran yang akan bertahan.
Hukuman yang dijatuhkan tidak hanya kepada Abu Lahab tetapi juga kepada Ummu Jamil menyoroti konsep tanggung jawab bersama dalam kejahatan. Ummu Jamil adalah mitra aktif dalam permusuhan. Ia tidak hanya diam, tetapi ia menyebarkan fitnah (membawa kayu bakar) dan mendukung suaminya secara moral dan material.
Surat ini mengajarkan bahwa orang yang mendukung, memfasilitasi, atau menyebarkan kebohongan (kayu bakar) untuk tujuan penindasan akan berbagi azab dengan pelaku utama. Ini adalah cerminan tentang betapa pentingnya peran pasangan dalam membentuk moralitas dan takdir seseorang.
Frasa "tidaklah bermanfaat baginya hartanya dan apa yang ia usahakan" (مَا كَسَبَ) adalah teguran terhadap etos kerja yang terlepas dari nilai-nilai moral. Meskipun Abu Lahab mungkin bekerja keras, semua usahanya sia-sia karena tidak dilandasi oleh iman yang benar. Dalam skala yang lebih luas, ini adalah kritik terhadap kapitalisme atau materialisme yang mengabaikan dimensi spiritual.
Seorang individu mungkin membangun kerajaan bisnis, mencapai kekuasaan politik tertinggi, atau mengumpulkan harta yang tak terhitung, tetapi jika kekayaan dan kekuasaan itu digunakan untuk menindas kebenaran atau menolak Allah, maka semua "usaha" itu akan menjadi nol. Di hari kiamat, yang dibawa adalah amalan, bukan aset duniawi.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk melihat bagaimana ulama tafsir klasik dan modern memperluas makna dari setiap ayat.
Imam At-Tabari, dalam Jami' al-Bayan, berfokus pada sifat dari kata Tabbat. Ia menjelaskan bahwa penggunaan bentuk pasif (Tabbat) dan kemudian penegasan aktif (wa tabb) menunjukkan bahwa celaka itu tidak hanya terjadi di masa lalu atau saat ini (doa), tetapi merupakan ketetapan abadi. At-Tabari mengaitkannya dengan kehinaan yang dialami Abu Lahab di dunia, ketika ia dikucilkan bahkan oleh keluarganya karena penyakit menular, sebelum hukuman yang lebih besar di akhirat datang.
Lebih jauh, At-Tabari mencatat bahwa ketika Ummu Jamil mendengar tentang turunnya Surah ini, ia datang ke Masjidil Haram dengan membawa batu, mencari Nabi Muhammad ﷺ sambil bersumpah. Namun, Allah menghalanginya melihat Nabi yang sedang duduk bersama Abu Bakar, menunjukkan perlindungan Ilahi dan kebenaran wahyu yang baru diturunkan.
Imam Al-Qurtubi menekankan pada ayat kedua (Maa aghnaa 'anhu maalahu wa maa kasab). Ia menjelaskan bahwa harta adalah sumber kebanggaan yang utama bagi orang kafir Mekah. Harta yang mereka miliki dianggap sebagai bukti keberkahan dari dewa-dewa mereka. Surah Al-Lahab mematahkan klaim ini dengan menegaskan bahwa kekayaan bukanlah perisai. Dalam pandangan Al-Qurtubi, hukuman ini sangat spesifik karena Abu Lahab adalah orang yang paling bangga dengan kekayaannya dan menggunakannya sebagai alat penindasan.
Al-Qurtubi juga memberikan perhatian khusus pada maa kasab yang ditafsirkan sebagai anak-anak. Jika anak adalah usaha terbesar seseorang di dunia, Surah ini meniadakan nilai anak-anak Abu Lahab, terutama karena beberapa putranya kemudian beriman kepada Islam, secara efektif meninggalkan warisan kekafiran ayahnya.
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an melihat Surah Al-Lahab sebagai pembebasan Nabi Muhammad ﷺ dari beban permusuhan keluarga. Qutb menggambarkan Surah ini sebagai pemisahan total antara ikatan keimanan dan ikatan darah. Bagi Qutb, gambar surah ini adalah pemandangan di mana ikatan keluarga runtuh, dan Nabi dapat melangkah maju tanpa terbebani oleh pengkhianatan kerabat terdekatnya.
Sementara itu, Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyoroti aspek moral dari hukuman Ummu Jamil. Hamka menjelaskan bahwa hukuman yang menimpa istri Abu Lahab adalah karena ia tidak hanya menyebarkan api fitnah di dunia, tetapi juga karena ia tidak menjalankan perannya sebagai istri yang mendukung suaminya menuju kebaikan, melainkan mendukungnya menuju kejahatan. Tugas seorang istri adalah membawa kayu bakar (beban kebutuhan) untuk keluarga, tetapi Ummu Jamil justru membawa kayu bakar keburukan untuk kebinasaan suaminya.
Visualisasi Kepastian Wahyu (Al-Masad)
Gambaran kehancuran total yang dilukiskan oleh Surah Al-Lahab memberikan pelajaran mendalam bagi umat manusia di setiap zaman. Ini bukan hanya kisah sejarah tentang dua individu, tetapi sebuah prinsip universal tentang konsekuensi menolak kebenaran dengan kesombongan dan kekerasan.
Pelajaran pertama yang kuat adalah penolakan mutlak terhadap kesombongan. Abu Lahab menggunakan kekuasaan, kekayaan, dan kedekatannya dengan Nabi untuk mencoba menggagalkan misi kenabian. Kesombongan (kibr) adalah dosa yang fatal, karena ia menghalangi seseorang dari melihat kebenaran. Surah ini menunjukkan bahwa sumber kesombongan (harta, status, koneksi) justru akan menjadi saksi kehancurannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, ini mengingatkan kita bahwa tidak peduli seberapa sukses atau berkuasa kita, merendahkan orang lain atau menolak kebenaran karena rasa superioritas adalah jalan menuju kegagalan total, baik di dunia maupun di akhirat.
Surah ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ berada di bawah perlindungan Ilahi yang sempurna. Ketika Abu Lahab mencoba mengutuk Nabi ("Celakalah engkau!"), Allah dengan segera membalikkan kutukan itu kepada si pengucap. Ini memberikan keyakinan bagi setiap orang beriman yang menghadapi penindasan atau permusuhan, bahwa Allah adalah pelindung sejati dan akan membalas setiap kejahatan dengan keadilan yang setimpal.
Bagi orang-orang yang berjuang di jalan kebenaran, gambaran dari Surah Al-Lahab adalah sumber ketenangan: musuh-musuh kebenaran, meskipun kuat dan kaya, pada akhirnya akan melihat upaya mereka binasa (tabbat yada).
Pelajaran dari Ummu Jamil sangat spesifik: bahaya dari fitnah, gosip, dan penyebaran keburukan. Ia adalah "pembawa kayu bakar"—orang yang menyulut api perselisihan di tengah masyarakat. Di era informasi, di mana fitnah dan berita bohong dapat menyebar dalam hitungan detik, peran Ummu Jamil menjadi sangat relevan. Setiap orang yang menggunakan lidahnya atau sarana komunikasi modern untuk menyebarkan kebencian, kebohongan, atau permusuhan, secara metaforis sedang membawa kayu bakar untuk membakar dirinya sendiri.
Hukuman yang spesifik—tali sabut di leher—adalah simbol beban yang mereka pikul: beban dosa dari lidah mereka. Ini adalah peringatan keras untuk menjaga lisan dan integritas dalam berinteraksi sosial.
Surah Al-Lahab menawarkan bukti nyata dari janji Allah. Karena nubuat tentang kematian Abu Lahab dalam kekafiran terbukti benar secara historis, maka janji tentang azab neraka (sayaslaa naaran dzaata lahab) juga harus diterima sebagai kepastian. Surah ini mengikis keraguan apa pun mengenai janji Allah tentang Hari Pembalasan. Setiap tindakan permusuhan dan keangkuhan di dunia ini memiliki balasan yang pasti di akhirat.
Dengan demikian, "gambar" Surat Al-Lahab dan artinya adalah sebuah manifestasi dari keadilan absolut. Ia melukiskan dengan kata-kata api, penghinaan, dan kehancuran total bagi mereka yang dengan sadar menolak cahaya kebenaran, menjadikan surat yang ringkas ini salah satu peringatan paling tajam dan terperinci dalam Al-Qur'an.
Struktur retorika Surah Al-Lahab juga patut disoroti karena menunjukkan kesempurnaan Al-Qur'an. Surah ini menggunakan teknik retoris yang disebut i’tirad (interjeksi) dan mujazaah (pembalasan setimpal).
Seluruh Surah adalah pembalasan yang setimpal (mujazaah) terhadap serangan Abu Lahab. Ia mengutuk Nabi, dan Allah mengutuknya. Ia bangga dengan hartanya, dan Allah meniadakan manfaat hartanya. Ia dan istrinya menyebarkan api (fitnah), dan Allah menjanjikan mereka api neraka.
Pembalasan ini tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga linguistik. Penggunaan nama 'Abu Lahab' dalam konteks azab 'Lahab' adalah puncak dari retorika pembalasan yang sempurna, mengubah julukan kebanggaan menjadi simbol kehinaan abadi.
Penggunaan kata kerja dalam bentuk lampau (Tabbat) dan masa depan yang pasti (Sayaslaa) memberikan kesan kepastian yang tak terhindarkan. Tabbat memberikan efek seolah-olah kehancuran itu sudah terjadi, menunjukkan bahwa keputusan Allah sudah final. Sementara Sayaslaa, dengan partikel 'sa', menegaskan bahwa peristiwa itu akan terjadi dalam waktu dekat tanpa keraguan. Kepastian gramatikal ini menguatkan gambaran visual azab yang sudah menanti di depan mata.
Fokus pada Masad (tali sabut) menunjukkan betapa pentingnya detail kecil dalam Al-Qur'an. Sabut dikenal tidak hanya kasar, tetapi juga membusuk dan mudah terbakar. Dalam api neraka, tali ini bukan tali biasa, melainkan tali api yang diciptakan dari bahan yang paling hina. Ini menggambarkan bahwa penyiksaan tidak hanya berat, tetapi juga memalukan. Siksaan itu bersifat degradatif, menghapus sisa-sisa martabat sosial yang mungkin pernah dimiliki Ummu Jamil.
Sebagai kesimpulan, Surat Al-Lahab adalah sebuah monumen peringatan abadi. Ia menyajikan "gambar" yang jelas dan rinci tentang nasib para penentang kebenaran yang sombong. Gambaran kehancuran tangan, harta yang sia-sia, api yang bergejolak, dan tali sabut api di leher, semuanya bersatu padu membentuk sebuah narasi kenabian yang terbukti kebenarannya, menegaskan bahwa keadilan Ilahi akan selalu terwujud, terlepas dari kekuasaan atau kekayaan duniawi seseorang.
Surah ini, dalam lima ayatnya yang singkat, berhasil memvisualisasikan seluruh siklus dari kesombongan, penolakan, hingga konsekuensi abadi, menjadikannya salah satu surat Al-Qur'an yang paling kuat dan penuh pelajaran etis dan teologis bagi umat manusia.