Surah Al-Qadr, sebuah permata dalam Al-Qur’an, terdiri dari lima ayat yang singkat namun padat makna, membawa pesan kosmik tentang peristiwa paling monumental dalam sejarah kemanusiaan: permulaan penurunan wahyu ilahi. Ayat pertama surah ini, “Inna anzalnahu fi lailatul qadr” (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan), bukan hanya sekadar kalimat pembuka, tetapi merupakan kunci untuk memahami relasi antara waktu, ketetapan ilahi, dan kitab suci terakhir. Pemahaman yang komprehensif terhadap ayat ini memerlukan penyelaman mendalam ke dalam ilmu tafsir, linguistik Arab, dan teologi Islam.
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Setiap kata dalam ayat ini memiliki bobot makna yang luar biasa. Untuk mencapai kedalaman pemahaman, kita harus membedah komponen-komponen utamanya:
Kata Inna berfungsi sebagai penegasan atau sumpah. Penggunaannya di awal kalimat menunjukkan bahwa apa yang disampaikan setelahnya adalah fakta yang pasti dan tidak dapat diragukan. Sedangkan penggunaan kata ganti orang pertama jamak, Nā (Kami), merujuk kepada Allah ﷻ. Dalam tata bahasa Qur'an, penggunaan kata ganti jamak oleh Allah (dikenal sebagai Nūn al-‘Aẓamah) bukanlah indikasi jumlah, melainkan penekanan pada keagungan, kekuasaan, dan kemuliaan Sang Pelaku. Ini menekankan bahwa penurunan Al-Qur’an adalah tindakan kedaulatan yang mutlak, dilakukan oleh Dzat Yang Maha Kuasa.
Kata ini berasal dari akar kata Nuzūl (turun). Yang menarik adalah pilihan kata kerja yang digunakan: Anzalnā (bentuk IV atau Af’ala). Dalam bahasa Arab klasik, terdapat dua istilah utama yang sering digunakan untuk merujuk pada penurunan wahyu: Inzāl dan Tanzīl. Kedua kata ini sering kali dipisahkan maknanya oleh para ulama tafsir:
Karena ayat ini menggunakan Inzāl, sebagian besar ulama tafsir (terutama Ibn Abbas, raḍiyallāhu ‘anhu) menyimpulkan bahwa yang dimaksud adalah penurunan Al-Qur’an dari Lauḥ al-Maḥfūẓ (Luh Mahfuzh) ke Baytul Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit dunia (langit terdekat) dalam satu malam, yaitu Laylatul Qadr. Setelah itu, dari langit dunia, Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad ﷺ secara bertahap selama 23 tahun (proses Tanzīl).
Kata ganti 'hu' (nya) jelas merujuk pada Al-Qur’an, meskipun nama Al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit. Hal ini menunjukkan betapa masyhurnya kitab ini di kalangan audiens pertama sehingga penyebutan namanya tidak lagi diperlukan.
Fī (pada) adalah preposisi waktu yang menandakan batasan kejadian. Laylah berarti malam. Bagian paling krusial adalah Al-Qadr. Istilah ini adalah inti teologis surah ini dan memiliki tiga makna utama yang saling terkait dan dibahas secara ekstensif oleh para mufassir:
Ini adalah makna yang paling dominan dalam pandangan teologis. Malam ini adalah malam di mana Allah ﷻ menetapkan dan merinci takdir (ketetapan) tahunan yang akan terjadi bagi seluruh makhluk, termasuk rezeki, ajal, kelahiran, dan bencana. Ibnu Kathir, mengutip Mujahid, menjelaskan bahwa pada malam ini dipindahkanlah rincian takdir dari Luh Mahfuzh kepada para Malaikat pencatat (seperti Mika’il dan Izrail). Ini adalah malam perencanaan kosmik tahunan.
Malam ini disebut malam Qadr karena nilai dan martabatnya yang sangat tinggi di sisi Allah, jauh melampaui malam-malam lainnya. Ia menjadi mulia karena wahyu Allah yang paling agung diturunkan padanya. Seseorang yang beribadah pada malam ini juga akan diangkat derajatnya (Qadr-nya).
Sebagian mufassir menafsirkan Qadr dalam arti sempit. Mereka merujuk pada banyaknya malaikat yang turun pada malam itu, yang sedemikian banyaknya sehingga membuat ruang di bumi terasa sempit. Hal ini selaras dengan ayat 4, "turun para malaikat dan Rūḥ (Jibril) padanya..."
Kesimpulannya, frase "Inna anzalnahu fi lailatul qadr" secara harfiah berarti: "Sesungguhnya, Kami yang Maha Agung telah menurunkan Al-Qur'an secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuzh ke langit dunia, pada malam yang penuh kemuliaan, penetapan takdir, dan keagungan."
Ayat pertama Surah Al-Qadr ini adalah salah satu bukti utama yang digunakan para ulama untuk menjelaskan bagaimana Al-Qur’an diturunkan. Konsep penurunan ganda (sekaligus dan bertahap) adalah hal fundamental dalam Ushuluddin (dasar-dasar agama).
Mayoritas ulama ahli tafsir, berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas, meyakini bahwa Al-Qur’an pertama kali diturunkan secara keseluruhan dari Luh Mahfuzh ke Baytul Izzah, sebuah tempat di langit dunia. Ini terjadi pada Laylatul Qadr. Hikmah dari penurunan sekaligus ini adalah untuk menunjukkan keagungan Al-Qur’an. Allah ﷻ ingin memuliakan Al-Qur’an dan memperdengarkannya kepada para malaikat di langit dunia, menunjukkan bahwa inilah kitab terakhir yang membatalkan semua syariat sebelumnya.
Penurunan ini memastikan bahwa Al-Qur'an telah 'ditempatkan' pada posisi yang mudah diakses oleh Jibril untuk memulai tugasnya. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan, sebagaimana difirmankan dalam Surah Al-Baqarah ayat 185: "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur’an." Ayat ini memperkuat bahwa Laylatul Qadr (yang terletak di Ramadhan) adalah malam di mana permulaan totalitas wahyu terjadi.
Setelah diamanahkan di Baytul Izzah, penurunan kedua dimulai. Ini adalah proses Tanzīl yang bertahap, memakan waktu 23 tahun. Proses ini sesuai dengan konteks dan kebutuhan umat, menjawab pertanyaan, menyelesaikan perselisihan, menguatkan hati Nabi, dan menetapkan hukum secara progresif. Jika Al-Qur’an diturunkan sekaligus kepada Nabi, akan sangat sulit bagi hati manusia untuk menerimanya dan mengamalkannya dalam satu waktu.
Dengan membedakan Inzāl dan Tanzīl, para ulama berhasil mendamaikan dua ayat yang tampak bertentangan: Surah Al-Qadr (diturunkan sekaligus) dan kenyataan sejarah bahwa wahyu turun sedikit demi sedikit (seperti dijelaskan dalam Surah Al-Isra' ayat 106). Surah Al-Qadr membahas kemuliaan waktu ditetapkannya wahyu secara kosmik, sementara sejarah mencatat proses penyampaiannya kepada manusia.
Laylatul Qadr, secara bahasa, adalah malam keagungan dan ketetapan. Untuk memahami signifikansinya yang melampaui keutamaan ibadah, kita harus mengkaji tiga dimensi teologis utama dari kata Qadr.
Dimensi ini adalah yang paling sering dihubungkan dengan ayat ini. Menurut Tafsir Ath-Thabari dan Al-Qurtubi, pada malam ini, Allah ﷻ menampakkan kepada para malaikat-Nya detail-detail ketetapan yang telah tertulis secara umum di Luh Mahfuzh. Rincian ini mencakup:
Ini bukan berarti takdir baru dibuat, karena takdir telah ditetapkan di masa Azali (keabadian masa lalu). Namun, malam ini adalah malam manifestasi, di mana ketetapan tersebut dipindahkan dari catatan umum (Luh Mahfuzh) ke catatan operasional malaikat (suhuf) untuk dilaksanakan selama satu tahun ke depan. Malam ini adalah titik pertemuan antara kehendak ilahi yang absolut dan manifestasi duniawi.
Malam ini memegang kedudukan tertinggi di antara malam-malam sepanjang tahun. Keagungan ini disebabkan oleh:
A. Keagungan Wahyu: Malam yang dipilih untuk menurunkan wahyu paling mulia (Al-Qur’an) kepada Nabi yang paling mulia (Muhammad ﷺ) melalui Malaikat yang paling mulia (Jibril), secara otomatis menjadi malam yang paling mulia.
B. Keagungan Ibadah: Nilai ibadah di malam ini setara dengan seribu bulan, atau kurang lebih 83 tahun 4 bulan. Ini adalah bonus spiritual yang luar biasa, memberikan kesempatan kepada umat Muhammad yang usia rata-ratanya pendek untuk mencapai pahala yang setara dengan umur panjang umat terdahulu.
Para ulama seperti Az-Zamakhsyari menekankan bahwa keagungan (Qadr) ini adalah hadiah eksklusif bagi umat Islam. Seribu bulan (alfu shahr) ini dijelaskan oleh beberapa riwayat sebagai perbandingan dengan pemimpin Bani Israil yang berjuang selama seribu bulan. Allah menganugerahkan kepada umat Muhammad kesempatan yang setara hanya dalam satu malam.
Penafsiran ini, meskipun kurang populer dibandingkan dua yang pertama, juga memiliki dasar linguistik. Istilah qadr dalam beberapa konteks berarti sempit. Malam ini menjadi 'sempit' karena kepadatan spiritual yang luar biasa:
Pemahaman ayat pertama baru sempurna jika dihubungkan dengan empat ayat berikutnya dalam Surah Al-Qadr, yang menggambarkan detail dari malam agung ini.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
Ayat ini berfungsi sebagai pertanyaan retoris yang menggugah. Dalam bahasa Qur'an, ketika pertanyaan diajukan dengan frasa 'wa mā adrāka', ini menunjukkan bahwa jawabannya akan segera diberikan, tetapi yang ditanyakan memiliki keagungan yang tidak mungkin dijangkau sepenuhnya oleh akal manusia. Ini adalah cara ilahi untuk menakjubkan pendengar, mempersiapkan mereka untuk menerima kabar yang luar biasa.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Ini adalah jantung dari janji ilahi. Khayrun min alfi shahr (lebih baik dari seribu bulan) berarti ibadah sunnah yang dilakukan pada malam itu—seperti shalat, zikir, membaca Al-Qur’an, atau beristighfar—memiliki pahala yang melebihi total ibadah selama seribu bulan (83,3 tahun) yang tidak terdapat Laylatul Qadr di dalamnya. Para ulama sepakat bahwa 'seribu bulan' tidak dimaksudkan sebagai batasan angka yang kaku, melainkan perumpamaan untuk menunjukkan keunggulan yang tidak terhitung, keutamaan yang tak terhingga.
Ini adalah insentif yang luar biasa. Allah ﷻ tidak hanya memberikan pahala yang berlipat ganda, tetapi memberikan umur spiritual tambahan kepada umat Nabi Muhammad ﷺ. Seribu bulan ini juga diperkirakan merujuk pada rentang waktu kedudukan Bani Israil yang kuat. Malam ini menjadi penyeimbang spiritual antara usia umat terdahulu yang panjang dan usia umat ini yang relatif pendek.
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
Ayat ini menjelaskan aktivitas spiritual pada malam tersebut. Kata Tannazalu (turun berulang kali) menunjukkan kesinambungan dan intensitas. Dua entitas disebutkan turun:
A. Al-Malā’ikah (Para Malaikat): Mereka turun dalam jumlah besar, membawa rahmat, berkah, dan melaksanakan penetapan takdir tahunan.
B. Ar-Rūḥ (Ruh): Menurut mayoritas mufassir, Ar-Rūḥ di sini merujuk secara spesifik kepada Malaikat Jibril AS. Disebutkan secara terpisah dari malaikat lainnya menunjukkan keutamaan dan kedudukannya yang sangat tinggi. Jibril, sebagai pembawa wahyu dan utusan utama Allah, memiliki peran sentral dalam malam yang menandai awal penurunan wahyu.
Frase min kulli amrin (untuk mengatur segala urusan) kembali memperkuat aspek Qadr sebagai penetapan takdir. Para malaikat, di bawah kepemimpinan Jibril, menerima tugas dan petunjuk spesifik untuk pelaksanaan kehendak ilahi selama setahun ke depan hingga Laylatul Qadr berikutnya.
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Kata Salām (keselamatan, kedamaian) memiliki makna yang sangat luas di sini. Malam ini adalah malam penuh kedamaian, bebas dari segala kejahatan, bencana, dan godaan setan. Ibnu Abbas RA menafsirkan bahwa pada malam itu, setan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kerusakan atau mengganggu manusia, berbeda dengan malam-malam lainnya.
Kedamaian ini juga merujuk pada:
Keselamatan ini berlangsung ḥattā maṭla'il fajr (sampai terbit fajar). Ini adalah batasan waktu bagi kemuliaan Laylatul Qadr. Begitu fajar tiba dan waktu Shalat Shubuh masuk, keutamaan spesifik Laylatul Qadr berakhir.
Meskipun Al-Qur'an secara tegas menyatakan bahwa Laylatul Qadr ada, Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah menyebutkan tanggal pasti malam tersebut, kecuali bahwa ia berada di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam ganjil (21, 23, 25, 27, 29). Para ulama mengajukan beberapa hikmah mendasar mengapa malam ini dirahasiakan oleh Allah ﷻ.
Jika tanggalnya diketahui, manusia cenderung akan beribadah hanya pada malam itu saja dan mengabaikan malam-malam Ramadhan lainnya. Dengan dirahasiakannya, umat Islam didorong untuk bersungguh-sungguh dalam ibadah sepanjang sepuluh malam terakhir Ramadhan, memastikan kontinuitas dan keikhlasan amal tanpa motivasi yang terbatas pada satu malam.
Ketika seseorang menghidupkan seluruh sepuluh malam terakhir Ramadhan dengan ibadah, ia tidak hanya mendapatkan Laylatul Qadr, tetapi juga pahala penuh dari ibadah di sembilan malam sisanya. Ini adalah perluasan rahmat dan pahala.
Merahasiakan Laylatul Qadr adalah cara Allah menghargai upaya dan kesungguhan hamba-hamba-Nya yang bersedia menempuh kesulitan dan kelelahan (masyaqqah) demi mencari ridha-Nya. Mereka yang menghabiskan malam-malam ganjil dalam keadaan berdiri (shalat) menunjukkan tingkat ketakwaan yang lebih tinggi.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat yang luas di kalangan sahabat dan tabiin, malam yang paling sering dicari dan diyakini oleh banyak ulama mazhab (terutama mazhab Syafi'i) adalah malam ke-27. Argumen ini didukung oleh beberapa hadits, namun kehati-hatian tetap dianjurkan untuk tidak mengabaikan malam ganjil lainnya.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam Fathul Bari, mengumpulkan lebih dari 40 pendapat mengenai tanggal pastinya, tetapi ia menyimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat adalah malam itu berpindah-pindah (mutanaqqilah) dari tahun ke tahun, meskipun ia sering jatuh pada malam ganjil.
Tujuan utama dari memahami "Inna anzalnahu fi lailatul qadr artinya" adalah untuk mendorong amal. Keutamaan malam ini mensyaratkan ibadah yang intensif, yang dikenal sebagai Ihyā’ul Layl (menghidupkan malam).
I’tikaf adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) yang dilakukan Nabi ﷺ setiap sepuluh hari terakhir Ramadhan. I’tikaf berfungsi sebagai isolasi spiritual (karantina rohani), memutus hubungan dengan urusan duniawi, dan fokus sepenuhnya pada ibadah demi mencari Laylatul Qadr.
Tujuan I’tikaf adalah murni ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan tinggal di masjid, seorang hamba secara otomatis akan menghabiskan waktu malamnya untuk shalat, zikir, dan munajat, sehingga ia pasti akan mendapatkan Laylatul Qadr, terlepas dari tanggal pastinya.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Barangsiapa mendirikan shalat pada Lailatul Qadr karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun Alaih). Shalat malam (termasuk Tarawih dan shalat sunnah lainnya) adalah amalan sentral pada malam ini.
Umat Islam dianjurkan untuk memperpanjang ruku' dan sujud, serta meningkatkan kekhusyu’an, karena pahala setiap gerakan dan bacaan dilipatgandakan melebihi 83 tahun ibadah.
Mengingat bahwa malam ini adalah malam penurunan Al-Qur’an (Inna anzalnahu), membaca dan mentadabburi (merenungkan) maknanya menjadi amalan yang sangat tepat. Setiap huruf yang dibaca akan dilipatgandakan, yang mana ganjaran ini semakin berlipat di malam kemuliaan.
Aisyah RA pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, doa apa yang harus diucapkan jika ia tahu kapan Laylatul Qadr tiba. Beliau mengajarkan doa yang singkat namun mendalam:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau mencintai kemaafan, maka maafkanlah aku."
Doa ini menekankan aspek pengampunan (‘Afw) yang merupakan puncak dari rahmat Allah. Permintaan maaf (‘afw) lebih tinggi daripada pengampunan dosa (maghfirah). Maghfirah berarti dosa ditutup dan tidak disiksa. Sementara ‘Afw berarti dosa dihilangkan sama sekali dari catatan, seolah-olah tidak pernah ada.
Pemahaman mengenai Laylatul Qadr memaksa kita untuk merenungkan konsep waktu (Zamān) dalam Islam, yang tidak bersifat linear dan homogen. Ada waktu-waktu yang diciptakan lebih utama dari waktu lainnya. Laylatul Qadr adalah contoh utama dari ‘waktu yang dimuliakan’.
Dalam pandangan teologis, waktu bukanlah aliran konstan yang sama nilainya. Allah ﷻ menciptakan beberapa ruang dan waktu dengan keutamaan istimewa (Faḍā’il al-Azminah wa al-Amkinah). Mekah lebih mulia daripada kota lain, hari Jumat lebih mulia daripada hari lain, dan Laylatul Qadr lebih mulia daripada malam lain. Keutamaan ini diberikan untuk memotivasi ibadah dan menunjukkan bahwa karunia Allah tidak terbatas pada perhitungan matematis biasa.
Ayat "Khayrun min alfi shahr" secara efektif memecahkan konsep waktu linear, menawarkan lompatan kuantum spiritual, memungkinkan seseorang yang mungkin baru beribadah sebentar untuk mencapai kedudukan orang-orang yang beribadah seumur hidup.
Malam ini menjadi manifestasi tahunan dari Qadr (ketetapan). Ini menimbulkan pertanyaan filosofis: jika takdir telah ditetapkan pada malam ini, lalu di mana peran usaha (ikhtiar) manusia?
Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah menjelaskan bahwa penetapan takdir pada Laylatul Qadr tidak meniadakan ikhtiar. Bahkan, dalam catatan yang diturunkan kepada malaikat pada malam itu, sudah termasuk catatan tentang bagaimana pilihan bebas manusia akan memengaruhi hasilnya. Lebih jauh lagi, doa yang dipanjatkan seorang hamba pada malam itu sendiri adalah bagian dari ikhtiar yang telah ditetapkan Allah untuk mengubah takdir tahunan yang bersifat mu’allaq (tergantung), bukan mubram (pasti mutlak).
Doa yang tulus di malam Qadr memiliki kekuatan untuk mengubah ketetapan tahunan, selama perubahan itu telah tertulis di Luh Mahfuzh sebagai prasyarat bagi doa tersebut. Inilah mengapa doa menjadi amalan terpenting; ia adalah interaksi langsung antara ikhtiar hamba dan ketetapan Ilahi.
Penurunan Ruh (Jibril) dan para malaikat adalah bukti adanya koneksi intensif antara alam malakut (malaikat) dan alam nasut (manusia) pada malam itu. Kehadiran mereka membawa Salām (kedamaian).
Kedamaian ini merupakan tanda nyata dari penerimaan ibadah dan kemuliaan malam tersebut. Bagi seorang mukmin, kedamaian bukan hanya ketiadaan konflik fisik, tetapi ketiadaan konflik batin, ketenangan jiwa, dan ketenteraman dalam mengingat Allah ﷻ. Malam Qadr adalah pembersihan rohani dari kekacauan dunia, membuka portal komunikasi spiritual yang lebih murni antara hamba dan Penciptanya.
Meskipun makna dasar "Inna anzalnahu fi lailatul qadr" diterima secara universal, detail implementasi dan makna yang lebih dalam telah melahirkan interpretasi yang kaya dalam tradisi tafsir Islam.
Imam Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari, dalam Jami’ al-Bayan, sangat fokus pada aspek Taqdir (penetapan). Beliau menekankan bahwa malam Qadr adalah malam penetapan urusan. Ath-Thabari mengumpulkan banyak riwayat dari Mujahid dan Qatadah yang menyatakan bahwa pada malam ini diputuskan segala urusan hamba untuk tahun mendatang. Penekanannya adalah pada kekuasaan Allah yang mutlak dalam mengatur segala hal, serta korelasi Laylatul Qadr dengan Surah Ad-Dukhan ayat 3-4, yang juga berbicara tentang malam yang diberkahi di mana semua urusan yang bijaksana ditetapkan.
Imam Al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an membahas secara ekstensif perbedaan pendapat mengenai alasan penamaan malam tersebut. Ia menyajikan ketiga makna (keagungan, penetapan, dan kesempitan) dan cenderung menguatkan makna penetapan takdir. Al-Qurtubi juga sangat fokus pada isu fiqih seputar ibadah i’tikaf dan jumlah pahala seribu bulan. Beliau menjelaskan bahwa seribu bulan adalah rentang waktu di mana ibadah dilakukan secara terus-menerus tanpa henti. Laylatul Qadr menawarkan kesempatan unik untuk mendapatkan keutamaan ibadah yang terakumulasi selama waktu yang sangat panjang.
Ibnu Katsir sangat bergantung pada riwayat (atsar). Dalam tafsirnya, beliau menggunakan hadits-hadits untuk menguatkan konsep dualitas penurunan Al-Qur’an (sekaligus ke langit dunia dan bertahap kepada Nabi). Fokus utamanya adalah pada keutamaan Laylatul Qadr bagi umat Muhammad ﷺ dan menekankan bahwa malam ini bersifat eksklusif bagi umat ini.
Ibnu Katsir juga memberikan perhatian khusus pada identifikasi waktu, mengutip riwayat-riwayat yang menyebutkan tanda-tanda Laylatul Qadr, seperti malam yang cerah, tidak terlalu panas atau dingin, dan matahari pagi yang terbit tanpa sinar menyengat.
Mufassir kontemporer cenderung melihat Laylatul Qadr dengan penekanan pada aspek spiritual dan psikologis. Sayyid Qutb dalam Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Di Bawah Naungan Al-Qur’an) melihat Surah Al-Qadr sebagai ledakan cahaya kosmik yang tidak hanya menandai penurunan Kitab, tetapi juga perubahan total dalam sejarah umat manusia. Bagi Qutb, malam Qadr adalah malam takdir karena ia menentukan jalan hidup umat manusia, beralih dari kebodohan (jahiliyah) menuju cahaya wahyu. Fokusnya bergeser dari penetapan takdir individu menuju penetapan takdir peradaban.
Pertanyaan yang muncul dari ayat "Inna anzalnahu fi lailatul qadr" adalah mengapa Allah ﷻ memilih waktu spesifik ini, dan bukan waktu atau bulan lain, untuk memulakan penurunan Al-Qur'an secara kosmik?
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang memengaruhi takdir (Qadr) manusia. Dengan diturunkan pada Malam Qadr, terjadi penyatuan simbolis antara sumber bimbingan (Al-Qur’an) dan sumber ketetapan (Qadr). Pesan yang disampaikan adalah: meskipun takdir telah ditetapkan, Allah telah memberikan alat (Al-Qur’an) bagi manusia untuk merespons dan memengaruhi takdir tersebut melalui ikhtiar dan doa.
Malam penetapan takdir ini menjadi sempurna dengan adanya petunjuk ilahi. Seolah-olah Allah berfirman: "Aku tetapkan segala urusanmu tahun ini, dan Aku berikan pula pedoman sempurna (Al-Qur’an) agar kamu melalui ketetapan ini dengan sebaik-baiknya."
Pemilihan Laylatul Qadr—yang terletak di bulan Ramadhan—meningkatkan status Ramadhan itu sendiri, menjadikannya 'bulan Al-Qur’an'. Hal ini mendorong umat Islam untuk mengintensifkan tilawah (pembacaan) dan interaksi dengan Kitab Suci selama bulan ini, meneladani sunnah Nabi Muhammad ﷺ dan Jibril yang saling mengulang hafalan Al-Qur’an di setiap Ramadhan.
Menurunkan Al-Qur’an secara sekaligus (Inzāl) ke langit dunia pada malam termulia memberikan legitimasi kosmik yang tak tertandingi kepada kitab ini. Peristiwa ini bukan hanya masalah lokal di Mekah atau Madinah, tetapi peristiwa yang disaksikan oleh para malaikat di seluruh lapisan langit. Hal ini menetapkan Al-Qur’an sebagai firman terakhir dan paling penting, di atas kitab-kitab suci sebelumnya.
Walaupun penurunan kepada Nabi baru dimulai setelah malam ini (di Gua Hira), peristiwa Laylatul Qadr adalah persiapan rohani dan peningkatan status kenabian secara kosmik. Nabi Muhammad ﷺ dimuliakan di hadapan penghuni langit sebelum beliau dimuliakan di bumi.
Penghargaan bahwa Laylatul Qadr lebih baik daripada seribu bulan adalah salah satu aspek yang paling menakjubkan dari Surah Al-Qadr. Angka seribu (1000) dalam konteks ini telah ditafsirkan dalam beberapa cara oleh para mufassir dan ahli bahasa.
Sebagian besar ulama tafsir kontemporer dan klasik setuju bahwa angka 1000 digunakan dalam bahasa Arab untuk menunjukkan jumlah yang sangat besar, kelebihan yang tak terukur, atau kelipatan maksimum. Sama seperti kata '70' yang sering digunakan untuk menunjukkan banyak atau 'tak terhitung' (misalnya, jika Nabi beristighfar 70 kali), 1000 di sini menunjukkan keunggulan yang jauh melampaui rentang waktu yang wajar bagi manusia. Artinya, kualitas satu malam ibadah jauh melampaui kuantitas ibadah yang dilakukan selama bertahun-tahun.
Salah satu riwayat populer (walaupun diragukan otentisitasnya oleh beberapa ahli hadits) menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ merasa khawatir karena usia umatnya lebih pendek dibandingkan usia umat terdahulu yang bisa beribadah dalam rentang waktu ratusan tahun. Disebutkan pula bahwa seorang pejuang dari Bani Israil berperang di jalan Allah selama seribu bulan tanpa henti.
Laylatul Qadr menjadi kompensasi dan anugerah bagi umat ini. Seribu bulan (sekitar 83 tahun) hampir menyamai umur rata-rata umat Muhammad. Dengan satu malam, Allah memberi kesempatan untuk mendapatkan pahala ibadah sepanjang hidup, bahkan melampauinya.
Keutamaan "lebih baik dari seribu bulan" ini sangat bergantung pada niat (niyyah). Seseorang harus beribadah pada malam itu imanan wa ihtisaban (karena iman dan mengharap pahala dari Allah). Jika ibadahnya hanya kebiasaan atau dipaksakan tanpa niat yang kuat, ia mungkin mendapatkan pahala, tetapi ia mungkin kehilangan keutamaan Laylatul Qadr yang dijanjikan.
Oleh karena itu, I’tikaf menjadi amalan yang sangat kuat, karena ia memurnikan niat, memisahkan diri dari gangguan, dan memaksa fokus tunggal pada Allah ﷻ.
Memahami "Inna anzalnahu fi lailatul qadr artinya" adalah panggilan untuk bertindak, bukan sekadar pengetahuan. Ayat ini merangkum tiga pilar utama keberadaan manusia di hadapan Tuhannya: Wahyu, Waktu, dan Takdir.
Karena Al-Qur’an diturunkan pada malam Qadr, penghormatan terbaik untuk malam ini adalah dengan kembali kepada Al-Qur’an. Laylatul Qadr harus menjadi titik balik di mana seorang mukmin memperbaharui hubungannya dengan Kitab Suci: membacanya dengan tartil, merenungkan maknanya (tadabbur), dan berupaya keras mengamalkan isinya. Al-Qur’an adalah manifestasi petunjuk Allah yang paling agung, yang diturunkan pada malam penetapan takdir, menjadikannya panduan utama untuk menghadapi segala ketetapan hidup.
Keutamaan Laylatul Qadr mengajarkan bahwa kesempatan tidak selalu datang dua kali dan waktu yang dimuliakan harus dimanfaatkan secara maksimal. Keterbatasan waktu menjadi insentif untuk beribadah dengan intensitas tinggi, menyadari bahwa beberapa jam itu setara dengan puluhan tahun.
Penghargaan terhadap waktu ini harus diterjemahkan menjadi praktik ibadah yang terencana selama sepuluh hari terakhir Ramadhan. Jangan biarkan malam-malam berharga ini berlalu tanpa merasakan ketenangan (Salām) yang dibawakan oleh para malaikat.
Malam Qadr adalah momen untuk menerima ketetapan Allah, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Namun, lebih dari sekadar menerima, malam ini adalah kesempatan untuk memohon takdir terbaik. Doa yang dipanjatkan di malam ini bukan hanya didengar, tetapi ia berinteraksi langsung dengan proses penetapan takdir tahunan. Meminta ‘Afw (kemaafan total) adalah pengakuan akan kelemahan diri dan harapan mutlak pada kemurahan Allah.
Kesimpulannya, Surah Al-Qadr, yang diawali dengan penegasan kosmik tentang penurunan Kitab Suci pada malam agung, adalah undangan tahunan bagi seluruh umat Islam untuk kembali kepada esensi penciptaan mereka. Ini adalah malam di mana langit terbuka, kedamaian merajalela, dan satu tindakan ikhlas dapat mengubah seluruh catatan hidup. Laylatul Qadr adalah puncak spiritual Ramadhan, janji ilahi yang terus berulang bagi mereka yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan-Nya.
Semoga Allah ﷻ memudahkan kita untuk mendapatkan keutamaan Laylatul Qadr dan menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang diampuni.