Surah Kebinasaan dan Api yang Menghanguskan
Surah Al-Lahab, surah ke-111 dalam susunan mushaf, menempati posisi yang unik dan signifikan dalam Al-Qur'an. Ia adalah salah satu surah Makkiyah terawal yang secara eksplisit menyebutkan nama seseorang dari kalangan musuh Nabi Muhammad ﷺ dan mengutuknya dengan kebinasaan abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Surah ini terdiri dari lima ayat yang padat, penuh dengan retorika ilahi yang tegas, dan menjadi bukti nyata mukjizat kenabian.
Penamaan surah ini diambil dari julukan tokoh sentralnya, Abu Lahab, yang secara harfiah berarti "Bapak Api yang Berkobar". Julukan ini, yang dulunya mungkin digunakan karena parasnya yang cerah atau temperamennya yang keras, kini diabadikan dalam Kitab Suci sebagai predikat hukuman: ia ditakdirkan untuk menghadapi api yang sejatinya, api neraka. Inti dari Surah Al-Lahab bukan sekadar kutukan personal, melainkan manifestasi bahwa ikatan darah tidak akan pernah mengungguli ikatan kebenaran (tauhid) di hadapan Allah ﷻ.
Untuk memahami Surah Al-Lahab secara utuh, kita harus kembali ke hari-hari pertama dakwah terbuka di Makkah. Setelah menerima perintah untuk menyampaikan risalah secara terang-terangan (seperti yang diisyaratkan dalam Surah Al-Hijr: 94), Nabi Muhammad ﷺ memilih tempat yang monumental: Bukit Safa. Bukit ini adalah titik strategis, tempat di mana pengumuman penting atau peringatan bahaya selalu disampaikan kepada seluruh suku Quraisy.
Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, Nabi ﷺ kemudian menyatakan bahwa beliau adalah utusan Allah yang datang untuk memperingatkan mereka tentang azab yang pedih jika mereka tidak mengesakan Allah. Reaksi dari banyak pihak adalah keheranan dan keraguan, tetapi reaksi yang paling keras dan paling pedas datang dari paman beliau sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muttalib, yang dikenal sebagai Abu Lahab.
Ketika Nabi ﷺ menyampaikan kebenaran, Abu Lahab berdiri dan berkata dengan penuh kemarahan dan kebencian: "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Sikap permusuhan ini bukan hanya penolakan, tetapi juga penghinaan terbuka terhadap kenabian di hadapan khalayak ramai. Surah Al-Lahab kemudian turun sebagai respons langsung dan tegas dari langit terhadap makian dan penolakan yang dilakukan oleh Abu Lahab.
Surah Al-Lahab adalah masterpice retorika kenabian. Setiap kata dipilih dengan cermat untuk menggambarkan nasib tragis pasangan suami istri yang menolak kebenaran dan secara aktif menyebarkan permusuhan terhadap risalah Ilahi.
(Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb)
Terjemah: Celakalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan celaka.
Kata kunci di sini adalah "Tabbat". Dalam bahasa Arab, kata ini berasal dari akar kata *Tabb* (تَبّ) yang berarti kehancuran total, kerugian, kebinasaan, dan kemusnahan. Ini bukan sekadar kutukan verbal biasa; ini adalah proklamasi ilahi yang memastikan kerugian total. Abu Lahab tidak hanya dicela, tetapi takdirnya sebagai orang yang merugi telah ditetapkan oleh Dzat Yang Maha Kuasa.
Penggunaan frasa "yadā" (kedua tangan) adalah majas metonimia yang kuat. Tangan dalam konteks budaya Arab kuno melambangkan usaha, kerja keras, kekuatan, dan sumber rezeki seseorang. Dengan mengutuk tangannya, Surah ini mengutuk seluruh upaya dan aktivitas Abu Lahab yang digunakan untuk memerangi Nabi Muhammad ﷺ. Seluruh usaha hidupnya, harta, dan kekuatan fisiknya untuk menghalangi dakwah, semuanya dipastikan akan sia-sia.
Pengulangan frasa "wa tabb" (dan sungguh dia akan celaka/binasa) menegaskan kembali hukumannya. Yang pertama ("Tabbat yadā...") adalah doa atau prediksi atas kerugian usaha, sementara yang kedua ("wa tabb") adalah kepastian realisasi kerugian itu sendiri, yaitu kerugian diri dan jiwanya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tidak ada jalan keluar baginya; kebinasaannya adalah sebuah kepastian yang ditutup rapat.
Kajian mendalam para ahli bahasa menekankan bahwa struktur ayat ini mengandung apa yang disebut sebagai *I'jaz Qurani* (mukjizat Al-Qur'an), karena ia secara efektif meramalkan kematian dan nasib seseorang yang saat itu masih hidup. Surah ini diturunkan, dan Abu Lahab hidup selama beberapa waktu setelahnya, namun ia tidak pernah memeluk Islam—suatu hal yang akan membuktikan Surah ini salah. Kenyataannya, ia meninggal dalam keadaan kafir, mengukuhkan kebenasaan yang telah difirmankan. Ramalan definitif ini adalah salah satu bukti kenabian Muhammad ﷺ.
(Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab)
Terjemah: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang telah dia usahakan (peroleh).
Ayat kedua ini langsung menanggapi kesombongan dan ketergantungan Abu Lahab pada status sosial dan kekayaan materi. Dalam masyarakat Makkah, kekayaan (ماله) adalah simbol kekuatan, perlindungan, dan pengaruh. Ayat ini menghancurkan ilusi itu.
"Māluhū" (Hartanya) merujuk pada kekayaan, perak, emas, dan properti yang ia miliki. Sementara "mā kasab" (apa yang dia usahakan) ditafsirkan oleh para ulama dalam dua makna utama, keduanya sangat relevan:
Pesan teologisnya sangat jelas: ketika azab Allah tiba, tidak ada kekuasaan fana, tidak ada tumpukan kekayaan, dan tidak ada ikatan keluarga yang dapat berfungsi sebagai penyelamat. Kekayaan yang ia gunakan untuk membiayai permusuhannya terhadap Islam akan menjadi sia-sia. Hal ini menanamkan pelajaran universal bahwa nilai sejati seseorang tidak terletak pada apa yang ia miliki, tetapi pada amal dan imannya.
(Sayaslā nāran dhāta lahab)
Terjemah: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (memiliki nyala api yang dahsyat).
Ayat ini adalah puncak ironi ilahi. Julukan Abu Lahab, yang mungkin ia banggakan (Bapak Api yang Terang/Berkobar), kini menjadi deskripsi hukuman abadinya.
Frasa "Sayaslā nāran dhāta lahabin" berarti "Dia akan merasakan api yang memiliki lahab (nyala api yang dahsyat)." Allah menggunakan nama panggilan Abu Lahab untuk menggambarkan intensitas siksaan yang akan ia hadapi. Nyala api yang dimaksud di sini adalah api neraka yang intensitasnya jauh melampaui api dunia.
Penggunaan kata kerja "Sayaslā" (kelak dia akan masuk/terbakar) menunjukkan kepastian di masa depan (huruf 'sa' di awal). Ini bukan sekadar kemungkinan; ini adalah proklamasi definitif tentang tempat kembalinya. Ini memperkuat ramalan surah tersebut: bahkan jika Abu Lahab hidup lama, kematiannya pasti akan membawanya ke api ini.
Pelajaran yang terkandung adalah bahwa label atau identitas duniawi seseorang tidak relevan di hadapan keadilan Tuhan. Julukan yang ia sandang di dunia yang menandakan keindahan atau kekuatan justru menjadi nama dari siksaan yang menantinya. Ini adalah cerminan sempurna dari prinsip jaza'an wifāqan (balasan yang setimpal).
(Wamra'atuhū hammālatal-ḥaṭab)
Terjemah: Dan (demikian pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
Ayat keempat ini memperluas hukuman, mencakup Ummu Jamil, istri Abu Lahab, yang bernama asli Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan (yang belakangan masuk Islam). Ia bukan hanya pasif, tetapi juga kolaborator aktif dalam permusuhan terhadap Nabi ﷺ.
Secara harfiah, "ḥammālat al-ḥaṭab" berarti "pembawa kayu bakar." Para ulama tafsir mengajukan dua interpretasi yang saling melengkapi:
Ayat ini mengajarkan bahwa pertanggungjawaban di hari kiamat bersifat individu, dan tidak ada kekebalan bagi siapapun, termasuk istri dari seorang tokoh penting. Lebih jauh, ini menegaskan bahwa permusuhan terhadap kebenaran sering kali merupakan upaya timbal balik, melibatkan kedua pasangan dalam kejahatan terorganisir.
(Fī jīdihā ḥablum mim masad)
Terjemah: Di lehernya ada tali dari sabut (serat) yang dipintal.
Ayat penutup ini merinci siksaan yang akan dihadapi oleh Ummu Jamil, kontras yang sangat tajam dengan status sosialnya di dunia. Ia adalah wanita dari Bani Hasyim dan Bani Umayyah (melalui kakaknya, Abu Sufyan), yang seharusnya mengenakan perhiasan mahal dan kalung mulia.
"Masad" adalah serat kasar yang diambil dari kulit pohon kurma atau serabut kasar. Tali yang terbuat dari masad adalah tali yang keras, kasar, dan menyakitkan, sering digunakan oleh budak atau orang miskin untuk memanggul beban berat (seperti kayu bakar). Dengan demikian, hukuman ini mengandung penghinaan ganda:
Ayat ini secara retoris menghubungkan akhirat dengan perbuatan dunia. Karena ia menggunakan lidahnya untuk menyebarkan fitnah (api metaforis), ia akan dihukum dengan cara yang menghinakan dan menyakitkan di lehernya. Ayat ini menyajikan visual yang kuat dan abadi tentang nasib mereka yang memimpin permusuhan terhadap cahaya Ilahi.
Surah Al-Lahab, meskipun pendek, diakui oleh para ahli balaghah (retorika Al-Qur'an) sebagai karya seni linguistik yang luar biasa, terutama karena keakuratan prediksinya dan ironi yang mendalam.
Aspek yang paling mukjizat dari surah ini adalah sifat prediktifnya. Pada saat surah ini turun, Abu Lahab masih memiliki kesempatan untuk memeluk Islam. Jika saja ia, meskipun hanya pura-pura, mengucapkan syahadat, niscaya kebenaran surah ini akan diragukan atau minimal tafsirnya akan menjadi rumit. Namun, ia tidak melakukannya. Ia tetap teguh dalam kekafirannya hingga wafatnya, yang terjadi tujuh hari setelah Pertempuran Badr akibat penyakit ‘Adasah (semacam bisul ganas yang menular, yang membuat keluarganya enggan mendekatinya).
Prediksi ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ telah mengetahui ketetapan hati Abu Lahab untuk menolak kebenaran, dan bahwa ia telah mencapai titik di mana petunjuk tidak akan bermanfaat baginya. Ini adalah contoh langka di mana takdir kekal seorang individu diumumkan secara publik selama ia masih hidup, memberikan kepercayaan yang tak tertandingi kepada Nabi Muhammad ﷺ dan keraguan yang menghancurkan bagi para penentangnya.
Kesesuaian antara julukan Abu Lahab dan hukumannya adalah sebuah keindahan retoris. Nama dan takdirnya menjadi satu kesatuan: ia dijuluki Bapak Api, dan ia ditakdirkan untuk menghadapi Api yang sesungguhnya (Neraka). Analisis ini tidak hanya menunjukkan hukuman yang setimpal tetapi juga menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk nama dan julukan, berada dalam kendali dan skema ilahi.
Lebih jauh, surah ini menggunakan parallelism yang sempurna dalam menggambarkan hukuman: Abu Lahab dihukum dengan api yang berkobar (lahab) karena ia menggunakan kekuatannya (tangan) untuk menolak kebenaran. Sementara istrinya, Ummu Jamil, dihukum dengan tali sabut di lehernya, karena ia menggunakan lidahnya untuk menyebarkan fitnah dan hasutan (kayu bakar).
Keterangan ahli tafsir tentang Masad (serabut kasar) juga penting. Masad merupakan produk dari pohon kurma, tanaman yang sangat berharga dan melambangkan kehidupan dan kemakmuran di Arab. Namun, hanya bagian yang paling kasar dan tidak berharga dari pohon itu yang digunakan untuk mengikat leher Ummu Jamil, menunjukkan bahwa bahkan sumber kekayaan dan statusnya tidak dapat mencegah kehinaan yang menantinya. Ia dihukum dengan produk termurah dan paling menyakitkan dari lingkungan yang seharusnya memberinya kemewahan.
Surah Al-Lahab juga berfungsi untuk meluruskan pemahaman sosial di Makkah. Dalam sistem kesukuan, kekerabatan adalah segalanya; darah adalah perisai pelindung utama. Nabi Muhammad ﷺ dan Abu Lahab berbagi ikatan darah yang sangat dekat. Ketika Abu Lahab menolak Nabi, masyarakat Mekkah mungkin berasumsi bahwa ikatan darah ini akan meredakan hukuman atau setidaknya memberikan perlindungan sosial.
Surah Al-Lahab menghancurkan asumsi ini. Ia menunjukkan bahwa di hadapan kebenaran tauhid, ikatan darah menjadi tidak relevan. Kekafiran dan permusuhan yang disengaja akan memutus semua ikatan, bahkan antara paman dan keponakan, suami dan istri. Hal ini memberikan pelajaran fundamental bagi umat Islam bahwa loyalitas tertinggi harus diberikan kepada Allah dan Rasul-Nya, melampaui ikatan keluarga, suku, atau bahkan negara.
Meskipun Surah Al-Lahab secara spesifik menargetkan Abu Lahab dan istrinya, pesan dan implikasinya bersifat universal dan abadi, relevan bagi setiap generasi umat manusia.
Ayat kedua ("Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang telah dia usahakan") berfungsi sebagai peringatan keras bagi umat yang tenggelam dalam materialisme. Abu Lahab adalah gambaran arketipe manusia yang mengira bahwa kekayaan dan status dapat membelikannya kekebalan dari hukum moral dan ilahi. Ia mengira bahwa harta yang ia miliki dapat melindunginya dari azab di dunia dan akhirat. Al-Qur'an secara eksplisit menolak pandangan ini.
Penerapan kontemporer dari ayat ini adalah pengingat bahwa dalam masyarakat modern yang mendewakan kekayaan dan kesuksesan finansial, semua capaian materi ini akan menjadi nol jika tidak didasari oleh integritas spiritual dan iman yang benar. Ketika seseorang menggunakan kekayaan dan pengaruhnya untuk menyebarkan kebatilan, kekayaan itu tidak hanya akan gagal melindunginya, tetapi justru akan menjadi beban yang memberatkannya di hari perhitungan.
Surah ini tidak diturunkan hanya karena Abu Lahab tidak percaya, tetapi karena ia aktif dan agresif memusuhi dan berusaha menghancurkan dakwah. Ia adalah penghalang jalan Allah. Ia mengikuti Nabi ﷺ ke pasar-pasar dan pertemuan, merusak reputasi Nabi, dan memperingatkan orang asing agar tidak mendengarkan beliau, mengatakan bahwa Muhammad adalah tukang sihir atau penyair gila.
Pelajaran etisnya adalah bahwa permusuhan aktif terhadap kebenaran, fitnah yang disebarkan dengan sengaja (kayu bakar), dan penggunaan segala sumber daya (tangan dan harta) untuk memadamkan cahaya kebenaran, akan mendapatkan hukuman yang sangat spesifik dan setimpal dari Allah ﷻ. Surah ini menjadi peringatan bagi setiap individu yang menggunakan posisi atau kekuatannya untuk menindas atau memfitnah pembawa pesan kebenaran.
Penyertaan Ummu Jamil dalam kutukan ini sangat penting. Ini menekankan prinsip bahwa pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah murni individual, bahkan dalam konteks pernikahan. Ummu Jamil tidak dihukum karena dosa suaminya, tetapi karena dosanya sendiri: membawa kayu bakar (menyebarkan fitnah) dan secara aktif menentang Nabi. Pernikahannya dengan tokoh Quraisy terkemuka tidak memberikan kekebalan.
Ini adalah pengingat bagi setiap pasangan bahwa mereka adalah mitra dalam kebaikan atau keburukan. Suami dan istri harus saling mendukung dalam ketaatan. Jika mereka bersatu dalam kejahatan dan permusuhan terhadap kebenaran, mereka akan bersatu pula dalam hukuman. Ini kontras dengan pasangan saleh dalam Al-Qur'an (seperti Hajar, istri Ibrahim, atau Asiyah, istri Firaun) yang memilih jalan kebenaran meskipun pasangannya memilih kesesatan, sehingga mereka diselamatkan secara individu.
Penyebutan tali dari masad (serabut kasar) sebagai kalung bagi Ummu Jamil adalah klimaks dari penghinaan. Di dunia, ia mungkin adalah ratu perhiasan, tetapi di akhirat, ia akan mengenakan simbol kehinaan. Ini menegaskan bahwa kehormatan sejati bukanlah status sosial, keturunan, atau perhiasan, tetapi terletak pada kedekatan dan ketaatan kepada Allah ﷻ.
Orang-orang yang dianggap rendah oleh masyarakat Makkah, seperti Bilal bin Rabah, yang disiksa dengan batu panas, pada akhirnya menjadi mulia. Sementara Abu Lahab dan Ummu Jamil, yang berada di puncak hirarki sosial, diumumkan secara definitif sebagai orang-orang yang paling hina dan paling merugi.
Meskipun Surah Al-Lahab secara historis terikat pada Abdul Uzza bin Abdul Muttalib, para ulama tafsir kontemporer sepakat bahwa ia mewakili karakter kekafiran yang akan selalu ada di setiap era dan tempat.
Abu Lahab mewakili tipe penentang yang memiliki kedekatan dengan kebenaran (karena ia adalah paman Nabi) tetapi menolaknya karena keangkuhan dan kedengkian. Ia tidak hanya tidak percaya, tetapi ia juga iri pada keponakannya dan takut kehilangan status kekuasaannya jika menerima Islam. Sifat-sifat yang diabadikan dalam Surah Al-Lahab adalah:
Setiap kali ada seseorang yang menggunakan kedekatannya dengan komunitas agama (atau kekayaan dan kekuasaannya) untuk secara aktif menyerang dan memfitnah kebenaran, ia mewarisi semangat Abu Lahab. Surah ini adalah peringatan abadi terhadap bahaya keangkuhan, penolakan kebenaran karena kepentingan pribadi, dan pengkhianatan terhadap amanah kekerabatan atau sosial.
Mengapa surah ini begitu pedas dan diturunkan dengan nama spesifik? Hikmahnya terletak pada pendirian dan penguatan umat Islam yang kecil dan lemah di Makkah. Ketika mereka dihina dan disiksa, Surah Al-Lahab memberikan mereka kepastian dari Tuhan bahwa musuh terbesar, yang paling berkuasa, dan yang paling dekat dengan Nabi sekalipun, telah divonis kebinasaan. Hal ini memberikan ketenangan dan keyakinan bahwa perjuangan mereka akan dimenangkan, dan musuh-musuh kebenaran akan menemui kehancuran total, meskipun mereka tampak kuat di dunia.
Surah ini juga mengajarkan tentang kesinambungan. Abu Lahab dan istrinya adalah bagian dari pola yang lebih besar, mirip dengan Firaun dan Haman, atau Qārūn dan para pendusta lainnya. Setiap zaman memiliki 'Abu Lahab'-nya sendiri, yaitu mereka yang menolak cahaya demi mempertahankan kegelapan kekuasaan dan harta benda. Surah ini memberikan cetak biru universal mengenai hasil akhir yang menanti mereka semua.
Dengan demikian, Al-Qur'an melalui surah yang singkat namun padat ini, tidak hanya mencatat sepotong sejarah Arab di awal kenabian, tetapi juga merumuskan sebuah hukum universal: upaya kebinasaan terhadap kebenaran akan selalu berbalik menjadi kebinasaan bagi pelakunya sendiri. Tangan yang diulurkan untuk menolak kebenaran, akan binasa. Harta yang digunakan untuk melawan Allah, akan sia-sia. Dan lidah yang digunakan untuk memfitnah, akan diikat oleh tali penghinaan abadi.
Interpretasi yang mendalam tentang Surah Al-Lahab mengajarkan bahwa perjuangan melawan kebatilan adalah pertarungan spiritual yang abadi. Musuh-musuh kebenaran mungkin berbeda wajah, nama, atau kekayaan, tetapi takdir mereka—kebinasaan dan api yang berkobar—adalah janji yang tidak akan pernah diingkari oleh Allah ﷻ.
Surah ini menegaskan kembali pesan inti dari seluruh wahyu: kehidupan ini adalah ujian, dan kekayaan serta kekerabatan tidak memberikan perlindungan. Hanya iman yang teguh dan amal yang saleh yang dapat menyelamatkan seseorang dari api yang telah disiapkan bagi mereka yang menolak dan memusuhi jalan petunjuk. Ini adalah kesimpulan yang tegas dan peringatan yang keras, yang mendefinisikan batas antara keselamatan dan kerugian abadi dalam sejarah kemanusiaan.
***
Melanjutkan pembahasan mendalam ini, kita harus melihat bagaimana detail-detail kecil dalam surah ini memperkuat makna keseluruhan. Misalnya, struktur kalimat dalam bahasa Arab sangat efisien. Ketika Allah berfirman, “Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb,” pengulangan kata kerja *tabb* pada akhir ayat menunjukkan sebuah kaidah retorika yang dikenal sebagai *ithnain* atau penegasan yang intens. Pengulangan ini bukan redundansi, melainkan penyempurnaan makna. Kerugian yang dialami Abu Lahab adalah kerugian yang berlapis: kerugian usahanya di dunia, dan kerugian jiwanya di akhirat.
Jauh sebelum wahyu ini turun, Abu Lahab dikenal sebagai salah satu paman Nabi yang paling berpengaruh di Makkah. Dia menikah dengan Ummu Jamil, yang merupakan putri Harb bin Umayyah, dan karena itu, dia memiliki ikatan yang kuat dengan klan terkuat di Quraisy. Posisi ini seharusnya menjadi keuntungan besar bagi Nabi Muhammad ﷺ. Namun, ironisnya, ia menjadi batu sandungan terbesar. Kisah ini mengajarkan bahwa potensi kekerabatan terbesar untuk mendukung kebenaran, jika disalahgunakan, dapat menjadi potensi permusuhan terbesar.
Konteks sosial saat itu juga penting. Masyarakat Makkah sangat sensitif terhadap isu kehormatan (karamah). Ketika Nabi ﷺ memulai dakwahnya, kehormatan dan status sosial Abu Lahab digunakan sebagai senjata. Dengan terang-terangan mengutuk Nabi di Bukit Safa, Abu Lahab bermaksud menggunakan kehormatannya untuk merendahkan keponakannya di mata suku-suku lain. Surah Al-Lahab membalikkan strategi ini sepenuhnya. Allah ﷻ mengambil kehormatan Abu Lahab, merusaknya, dan menjadikannya abadi sebagai simbol kehinaan. Sejak surah itu turun, namanya bukan lagi identitas kehormatan, melainkan label dari takdir yang ditentukan oleh Tuhan.
Penyebutan harta dalam ayat kedua juga patut digali lebih dalam. “Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab.” Kekayaan Abu Lahab bukan hanya tumpukan koin, tetapi juga merupakan sumber kekuatannya dalam politik dan perdagangan Makkah. Keyakinan bahwa kekayaan melindungi dari azab adalah keyakinan yang dipegang teguh oleh banyak kaum Quraisy. Mereka percaya bahwa kemakmuran duniawi adalah tanda perkenanan Tuhan. Ayat ini menafikan dogma tersebut. Bahkan jika seseorang memiliki sumber daya untuk membeli perlindungan, menyewa pengawal, atau menyuap hakim dunia, ia tidak dapat membeli perlindungan dari vonis akhirat.
Para penafsir masa lalu sering merenungkan nasib anak-anak Abu Lahab, yang termasuk dalam frasa "wa mā kasab" (apa yang dia usahakan). Riwayat mencatat bahwa beberapa putranya (Utbah dan Mu’attab) pada akhirnya memeluk Islam setelah Penaklukan Makkah. Hal ini menunjukkan bahwa kutukan surah tersebut bersifat pribadi dan definitif hanya bagi Abu Lahab dan istrinya yang aktif memusuhi. Ini memperjelas bahwa dosa orang tua tidak diwariskan kepada anak-anak, dan pintu taubat tetap terbuka bagi keturunan mereka, asalkan mereka memilih jalan kebenaran.
***
Fokus pada Ummu Jamil dan gambaran "ḥammālat al-ḥaṭab" adalah salah satu visual paling menyakitkan dalam Al-Qur'an. Wanita bangsawan ini, yang mungkin dihiasi dengan permata, digambarkan di akhirat sebagai wanita pekerja kasar yang membawa beban. Ini menunjukkan bahwa siksaan neraka tidak hanya bersifat menyakitkan secara fisik, tetapi juga memalukan secara sosial. Penghinaan adalah bagian integral dari azab bagi mereka yang sombong di dunia.
Pencocokan antara kejahatan dan hukuman sangatlah presisi. Jika Ummu Jamil menyebar fitnah (kayu bakar) untuk menyalakan api perselisihan di antara manusia, maka ia akan dibebani dengan kayu bakar yang sesungguhnya di neraka, yang digunakan untuk menyalakan api yang akan menyiksanya. Tali dari sabut (masad) di lehernya, diikat di lehernya yang mulia, adalah simbol pengekangan dan keputusasaan, kontras yang menusuk hati bagi seseorang yang menikmati kebebasan dan kekuasaan di Makkah.
Dalam tafsirnya, banyak ulama menekankan aspek *I'jaz* (kemukjizatan) dalam surah ini terkait dengan ramalan yang mutlak. Ketika surah ini turun, Ummu Jamil begitu marah sehingga ia berusaha mencari Nabi Muhammad ﷺ di Ka'bah. Ia membawa batu di tangannya, berniat menyerang beliau. Dalam kemarahannya, ia bersumpah akan membalas dendam atas penghinaan ini. Namun, Allah ﷻ menutup pandangannya. Meskipun Nabi ﷺ dan Abu Bakar ada di sana, ia tidak melihat Nabi ﷺ, lalu ia berkata kepada Abu Bakar, “Aku dengar temanmu (Muhammad) mencela aku. Demi Tuhan, jika aku menemukannya, aku akan menghantam wajahnya dengan batu ini. Demi Tuhan, aku ini penyair!” Kisah ini menggambarkan betapa kuatnya kebencian Ummu Jamil dan betapa nyata perlindungan Ilahi yang diberikan kepada Nabi ﷺ, bahkan ketika ramalan tentang nasib buruknya telah diumumkan.
***
Surah Al-Lahab juga memiliki nilai psikologis yang besar. Bagi setiap Muslim yang menghadapi penolakan dari keluarga atau kerabat dekat karena memeluk Islam, surah ini menjadi sumber ketabahan. Ia menegaskan bahwa hubungan darah tidak menjamin keselamatan, dan bahwa penolakan dari keluarga harus dihadapi dengan keberanian, karena keputusan di hadapan Tuhan bersifat pribadi. Keimanan harus didahulukan di atas kenyamanan kekeluargaan jika keduanya bertentangan.
Perluasan makna 'Abu Lahab' ke konteks modern mencakup semua bentuk 'paman' yang menggunakan kedudukan internal mereka untuk menyerang agama. Ini bisa berupa politisi yang lahir dari komunitas Muslim tetapi aktif memerangi nilai-nilai agama demi keuntungan duniawi, atau bahkan cendekiawan yang memanfaatkan posisinya untuk menyebarkan keraguan dan fitnah terhadap sumber-sumber otentik Islam. Mereka semua adalah pewaris spiritual Abu Lahab, dan ancaman kebinasaan (tabb) berlaku sama atas usaha mereka.
Akhirnya, struktur pendek surah ini, yang hanya terdiri dari lima ayat, menunjukkan kekuatan dan efisiensi bahasa Al-Qur'an. Dalam beberapa baris saja, ia merangkum riwayat sejarah, menetapkan hukum teologis, memberikan ramalan yang definitif, menganalisis motivasi manusia, dan mengumumkan nasib akhirat dari dua individu yang berpengaruh. Keindahan ini menegaskan bahwa setiap kata dalam Kitab Suci memiliki beban makna yang tak terukur, yang dapat terus digali dan diinterpretasikan sepanjang masa.
Keseluruhan Surah Al-Lahab adalah pelajaran abadi tentang batasan materialisme dan keangkuhan. Ia adalah penutup yang sempurna bagi rangkaian surah-surah pendek yang menggarisbawahi keesaan Allah dan pertanggungjawaban individu. Ia berdiri sebagai peringatan tegas: kekuasaan duniawi akan berakhir dalam api yang berkobar, dan kehinaan di akhirat adalah balasan yang setimpal bagi permusuhan terhadap cahaya Ilahi.
***
Ketika merenungkan struktur naratif Al-Qur'an, kita menyadari bahwa Surah Al-Lahab sering kali dipelajari bersama dengan Surah An-Nasr. An-Nasr berbicara tentang kemenangan Islam dan masuknya orang-orang ke dalam agama Allah berbondong-bondong, merujuk pada Penaklukan Makkah. Sementara Al-Lahab berbicara tentang kebinasaan mutlak bagi penentang utama Nabi. Kontras ini penting: bahkan di tengah kejayaan (An-Nasr), Al-Qur'an tidak melupakan hukuman bagi mereka yang memulai permusuhan (Al-Lahab). Kemenangan risalah tidak berarti penghapusan keadilan bagi penentangnya yang keras kepala. Kedua surah ini, yang ditempatkan berdekatan dalam mushaf, menegaskan dualitas janji ilahi: kemenangan bagi yang beriman, dan kebinasaan bagi yang menolak.
Penting untuk diingat bahwa surah ini turun pada periode awal, ketika umat Islam sangat rentan. Di lingkungan di mana keselamatan fisik sering kali bergantung pada dukungan suku, kutukan publik terhadap paman Nabi dapat dilihat sebagai risiko politik yang besar. Namun, wahyu ini menunjukkan bahwa keputusan ilahi melampaui perhitungan politik Makkah. Ini adalah deklarasi kedaulatan Tuhan atas setiap struktur kekuasaan manusia. Muslim awal memperoleh keberanian luar biasa dari pengetahuan bahwa musuh utama mereka telah dikutuk dan dijamin kerugian abadi, terlepas dari kekayaan atau status mereka saat itu.
Detail anatomis penggunaan kata "yada" (kedua tangan) versus hanya "yadun" (tangan) dalam ayat pertama menambah kedalaman. Penggunaan bentuk dual (kedua tangan) menunjukkan bahwa seluruh energi, seluruh kekuatan, dan seluruh aktivitas fisik Abu Lahab diarahkan untuk melawan Nabi. Ini bukan sekadar penolakan pasif, melainkan penggunaan seluruh kapasitas dirinya untuk kebatilan. Oleh karena itu, seluruh kapasitas dirinya dihancurkan, dan seluruh usahanya dibatalkan.
Selain itu, istilah "lahab" (nyala api yang dahsyat) dalam ayat ketiga memiliki resonansi psikologis. Ini adalah api yang paling ganas dan membakar. Para ahli tafsir menekankan bahwa Neraka sendiri adalah tempat di mana api tidak hanya membakar tubuh tetapi juga jiwa. Penggunaan istilah ini memastikan bahwa hukuman yang diterima oleh "Bapak Api" akan menjadi hukuman dari api yang paling dahsyat yang ada, mencerminkan besarnya kejahatan dan permusuhan yang ia lakukan terhadap kebenaran yang paling murni.
Kesimpulannya, Surah Al-Lahab adalah sebuah karya sastra dan teologis yang padat, berfungsi sebagai catatan sejarah, ramalan, dan pernyataan prinsip. Ia menetapkan bahwa tidak ada kekebalan sosial, ekonomi, atau kekerabatan yang dapat melindungi seseorang dari keadilan ilahi jika ia secara aktif memilih jalur permusuhan terhadap cahaya. Pesannya resonansi hingga hari ini, memperingatkan setiap individu yang menggabungkan kesombongan material dengan penolakan spiritual, bahwa akhirnya adalah kehinaan dan api yang tiada akhir.