Surah Al-Lail, yang berarti 'Malam', adalah salah satu surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal kenabian di Mekah, ketika tekanan terhadap kaum Muslimin masih sangat kuat dan konsep Tauhid serta Akhirat sedang ditegakkan dengan tegas. Surah ini memiliki 21 ayat yang pendek namun padat, merangkum inti ajaran moral Islam: bahwa tindakan manusia terbagi menjadi dua kelompok besar, dan setiap kelompok memiliki konsekuensi yang setimpal, baik di dunia maupun di akhirat.
Inti pesan Surah Al-Lail adalah penegasan universal mengenai dualitas kehidupan dan moralitas, serta janji Allah SWT bahwa setiap amal perbuatan akan dipermudah menuju hasil yang sesuai. Allah akan mempermudah jalan bagi orang yang berderma dan bertakwa, dan sebaliknya, akan mempersulit jalan bagi orang yang kikir dan mendustakan kebenaran. Surah ini adalah peta jalan menuju kesuksesan spiritual yang sesungguhnya.
Terjemahan: Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu benar-benar berlainan (bermacam-macam).
Allah SWT memulai surah ini dengan tiga sumpah yang sangat fundamental, merujuk pada fenomena kosmik dan penciptaan biologis. Sumpah pertama, "Demi malam apabila menutupi," (وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ) menarik perhatian pada fungsi malam sebagai penutup dan pelindung. Malam adalah waktu istirahat, ketenangan, misteri, dan introspeksi. Ketika malam datang dan kegelapan menaungi alam semesta, ia menjadi simbol kekuasaan mutlak Allah dalam mengatur rotasi kehidupan.
Dalam konteks tafsir, kegelapan malam juga seringkali dihubungkan dengan keadaan ketidakpastian atau ujian di dunia, di mana kebenaran (cahaya) tersembunyi. Sumpah ini memberikan bobot pada apa yang akan disampaikan setelahnya, menekankan pentingnya waktu dan perannya dalam siklus kehidupan manusia.
Sumpah kedua adalah antitesis sempurna dari yang pertama: "dan siang apabila terang benderang," (وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ). Siang melambangkan aktivitas, usaha, dan terutama, kejelasan. Cahaya siang menyingkap segala sesuatu yang tersembunyi oleh malam. Siang adalah waktu di mana amal perbuatan, baik maupun buruk, dilaksanakan dan disaksikan. Kontras yang tajam antara malam yang menutupi dan siang yang menyingkap ini menunjukkan dualitas yang merupakan fondasi penciptaan.
Dua sumpah ini, malam dan siang, menciptakan gambaran siklus abadi yang tidak pernah berhenti—sebuah mesin waktu raksasa yang terus mencatat perbuatan manusia. Kehadiran kontras ini adalah persiapan untuk menyampaikan bahwa kehidupan manusia itu sendiri terdiri dari kontras yang harus dipilih.
Sumpah ketiga beralih dari kosmos menuju biologi: "dan penciptaan laki-laki dan perempuan." (وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ). Ini adalah sumpah yang sangat mendalam mengenai hakikat pasangan dan polaritas dalam kehidupan. Segala sesuatu di alam semesta diciptakan berpasangan. Laki-laki dan perempuan adalah pasangan fundamental yang menjamin keberlangsungan hidup dan peradaban manusia.
Penciptaan dua jenis kelamin ini bukan sekadar fakta biologis; ia melambangkan dualitas pilihan moral yang akan menjadi fokus utama surah ini. Sebagaimana ada dua jenis kelamin, ada dua jalan: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Penekanan pada dualitas dalam penciptaan menegaskan bahwa kebebasan memilih adalah bagian integral dari eksistensi manusia.
Setelah tiga sumpah agung—Malam, Siang, dan Pasangan—datanglah pernyataan mutlak: "Sesungguhnya usaha kamu benar-benar berlainan (bermacam-macam)." (إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ). Inilah tujuan dari sumpah-sumpah tersebut. Allah menegaskan bahwa, meskipun semua manusia hidup di bawah naungan malam dan siang, serta diciptakan berpasangan, tujuan, motivasi, dan hasil akhir dari upaya mereka sangat berbeda-beda.
Dualitas kosmik dan moral yang menjadi landasan Surah Al-Lail.
Kata 'sa’yakum' merujuk pada segala jenis aktivitas dan perjuangan hidup. 'Lasysyatta' berarti berbeda-beda, bercabang-cabang, atau terpecah-pecah. Perbedaan ini bukan hanya dalam jenis pekerjaan duniawi, melainkan perbedaan hakiki dalam niat dan orientasi amal: ada yang mengarah pada kebenaran (surga) dan ada yang mengarah pada kesesatan (neraka). Ayat 4 ini adalah transisi krusial menuju penjelasan tentang dua kelompok manusia tersebut.
Dualitas yang diperkenalkan melalui sumpah-sumpah ini—Malam vs. Siang, Laki-laki vs. Perempuan—bertujuan untuk menekankan bahwa perbedaan dalam hasil upaya (Ayat 4) adalah konsekuensi logis dari dualitas yang ada dalam seluruh penciptaan. Usaha yang berlainan ini menghasilkan nasib yang berlainan.
Setelah menyatakan bahwa usaha manusia itu berbeda, surah ini kemudian merinci ciri-ciri dua kelompok manusia yang jalannya telah ditetapkan, yaitu jalan kemudahan dan jalan kesulitan.
Terjemahan: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya (balasan) yang terbaik (Al-Husna), maka Kami akan mudahkan baginya jalan kemudahan (Al-Yusra).
Ayat-ayat ini menjelaskan karakter kelompok pertama, yang memilih jalan kebaikan. Mereka ditandai oleh tiga karakteristik utama, yang semuanya harus terpenuhi secara harmonis:
Karakteristik pertama adalah kedermawanan, atau memberikan. A’thā mencakup tidak hanya pemberian materi (sedekah, zakat), tetapi juga pemberian waktu, tenaga, ilmu, dan nasihat. Sifat ini diletakkan di urutan pertama karena ia adalah bukti nyata dari penolakan terhadap cinta dunia yang berlebihan. Orang yang memberi membuktikan bahwa ia tidak diperbudak oleh hartanya.
Pemberian (infāq) yang dimaksud di sini adalah tindakan yang dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa ia adalah investasi abadi. Kekayaan dunia adalah ujian, dan cara terbaik untuk lulus ujian ini adalah dengan melepaskan sebagian darinya demi meraih keridaan Allah. Ini adalah tindakan proaktif melawan sifat dasar manusia yang cenderung mencintai harta.
Karakteristik kedua adalah takwa. Takwa adalah landasan spiritual dari segala tindakan kebaikan. Memberi tanpa takwa mungkin hanya dilakukan untuk pamer (riya), namun memberi yang didasari takwa memastikan bahwa tindakan itu murni karena takut kepada Allah dan berharap balasan dari-Nya. Takwa adalah menjauhi segala larangan dan melaksanakan perintah Allah.
Hubungan antara memberi dan takwa sangat erat. Pemberian adalah manifestasi lahiriah dari takwa yang ada di dalam hati. Seorang yang bertakwa akan senantiasa mencari cara untuk membersihkan dirinya dan hartanya, dan infāq adalah salah satu alat penyucian paling efektif.
Karakteristik ketiga adalah membenarkan Al-Husna, yang secara literal berarti 'yang terbaik' atau 'kebaikan yang sempurna'. Mayoritas mufasir mengartikan Al-Husna sebagai kalimat Tauhid (Laa Ilaaha Illallah), atau balasan terbaik di akhirat (Surga), atau janji Allah yang pasti. Menggabungkan ketiganya, membenarkan Al-Husna berarti memiliki iman yang teguh terhadap kebenaran mutlak ajaran Islam dan yakin akan adanya ganjaran yang jauh lebih besar daripada apa yang dikorbankan di dunia.
Keyakinan ini (tasdiq) adalah motivasi yang mendorong tindakan memberi dan takwa. Tanpa keyakinan teguh pada Akhirat, seseorang tidak akan rela melepaskan harta yang ia cintai di dunia ini.
Ayat 7 memberikan janji ilahi bagi mereka yang memenuhi ketiga syarat di atas: "maka Kami akan mudahkan baginya jalan kemudahan (Al-Yusra)." Kata 'Sanuyassiruhu' menggunakan bentuk masa depan, menegaskan janji yang pasti. Kemudahan (Al-Yusra) yang dijanjikan meliputi:
Ini adalah prinsip fundamental dalam Islam: amal yang benar mengarah pada kemudahan. Ketika manusia berjuang keras di jalan Allah, Allah mempermudah perjalanannya, baik di dunia yang fana maupun di akhirat yang abadi. Jalan yang paling mudah dan paling bahagia adalah jalan ketaatan dan kedermawanan.
Kontras yang sempurna disajikan pada kelompok kedua, yang memilih jalan kegelapan.
Terjemahan: Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan (balasan) yang terbaik (Al-Husna), maka Kami akan mudahkan baginya jalan kesulitan (Al-Usra).
Karakteristik pertama adalah kekikiran (bakhil). Ini adalah lawan dari memberi. Kikir bukan hanya menahan harta, tetapi juga menahan kebaikan dan kasih sayang. Kekikiran adalah penyakit hati yang mengunci tangan dan menjauhkan seseorang dari rahmat Ilahi.
Sifat kikir ini merupakan manifestasi dari kecintaan yang berlebihan dan buta terhadap dunia. Orang yang kikir gagal memahami bahwa harta hanyalah pinjaman sementara dan infāq (memberi) adalah satu-satunya cara untuk mengabadikannya.
Karakteristik kedua adalah merasa diri cukup, atau merasa tidak membutuhkan Allah dan pertolongan-Nya. Istighna adalah puncak kesombongan spiritual. Orang seperti ini merasa bahwa kesuksesan dan hartanya murni berasal dari usahanya sendiri, sehingga ia tidak merasa perlu bersedekah atau bertakwa.
Sifat ini secara otomatis menggugurkan takwa. Seseorang yang merasa cukup tidak akan pernah takut kepada Allah karena ia menganggap dirinya sudah berada di posisi aman. Padahal, kekayaan dan kekuatan duniawi adalah ilusi yang paling rapuh.
Karakteristik ketiga adalah mendustakan Al-Husna. Ini adalah lawan dari membenarkan. Mereka tidak percaya pada janji Surga, mereka meragukan kebenaran Akhirat, dan mereka tidak meyakini bahwa ada balasan yang lebih baik daripada harta yang mereka genggam di tangan.
Tanpa keyakinan pada Akhirat, kikir menjadi logis. Mengapa harus memberi jika hasilnya baru bisa dinikmati setelah kematian, padahal kenikmatan duniawi sudah nyata di depan mata? Keraguan dan pendustaan ini adalah penyebab utama kekikiran moral dan material.
Ayat 10 menjanjikan konsekuensi yang mengerikan: "maka Kami akan mudahkan baginya jalan kesulitan (Al-Usra)." Ini adalah keadilan ilahi yang kontras dengan janji di Ayat 7. Allah akan memudahkan mereka menuju kesengsaraan.
Kemudahan menuju kesulitan berarti bahwa setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh orang kikir akan semakin menjauhkan mereka dari kedamaian dan kebenaran. Mereka akan menjadi sangat ahli dalam hal-hal yang membawa mereka pada kesengsaraan, baik di dunia (kecemasan, ketidakpuasan, nafsu yang tak pernah terpuaskan) maupun di akhirat (siksaan dan azab). Jalan yang mereka anggap mudah—mengumpulkan harta—justru menjadi jalan paling sulit dalam dimensi spiritual.
Terjemahan: Dan hartanya tidak akan memberinya manfaat apabila ia telah jatuh.
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras yang menutup perbandingan antara dua kelompok. Hartanya yang ia kumpulkan dengan kekikiran tidak akan memberinya manfaat sedikit pun ketika ia ‘terjun’ (tarradā), yaitu saat ia meninggal dan dilemparkan ke dalam liang kubur atau ketika ia jatuh ke dalam api neraka.
Ini menekankan kefanaan harta duniawi. Di hari ketika segala sesuatu yang materi tidak lagi berguna, hanya amal saleh (yang diwujudkan melalui infāq dan takwa) yang dapat menyelamatkannya. Ayat 11 menghancurkan ilusi ‘merasa cukup’ yang dimiliki oleh orang kikir. Hartanya hanya berfungsi sebagai jaminan sementara di dunia, tetapi menjadi beban abadi di akhirat.
Setelah menguraikan dua jalan, surah ini kembali ke penegasan kekuasaan Allah dan konsekuensi akhir dari dua pilihan tersebut, berfokus pada peringatan terhadap Neraka.
Terjemahan: Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk.
Ayat ini menegaskan kembali bahwa Allah telah menunaikan kewajiban-Nya dengan menurunkan wahyu dan mengutus para nabi untuk menjelaskan dua jalan tersebut. Tugas Allah adalah menunjukkan jalan (Al-Huda), tetapi memilih jalan tersebut sepenuhnya merupakan tanggung jawab manusia. Allah tidak membiarkan manusia dalam kegelapan; petunjuk telah tersedia secara jelas, membedakan kemudahan dari kesulitan.
Pernyataan ini menyingkirkan alasan apa pun yang mungkin diajukan oleh orang yang sesat. Tidak ada yang bisa mengklaim bahwa mereka tidak tahu. Petunjuk (Al-Huda) telah sempurna melalui Al-Qur'an dan Sunnah.
Terjemahan: Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.
Allah SWT adalah penguasa mutlak, bukan hanya di akhirat (tempat pembalasan), tetapi juga di dunia (tempat ujian). Ayat ini memperkuat otoritas ilahi. Karena Allah memiliki keduanya, Dia berhak menetapkan hukum dan menetapkan balasan di kedua alam tersebut. Pilihan yang dibuat manusia di dunia akan sepenuhnya diadili di Akhirat, di mana kekuasaan Allah tidak terbagi.
Pernyataan ini juga berfungsi sebagai penghiburan bagi orang-orang yang berinfak dan bertakwa. Meskipun mereka mungkin menghadapi kesulitan di dunia, balasan sejati terletak pada kepemilikan Allah yang abadi di Akhirat. Bagi orang kikir, peringatan ini adalah ancaman: meskipun mereka menguasai dunia, mereka tidak dapat melarikan diri dari penguasaan Allah di Akhirat.
Terjemahan: Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (Telazzā).
Setelah memberikan janji dan ancaman, Allah kini memberikan deskripsi langsung tentang azab bagi mereka yang memilih jalan kesulitan. Kata 'Telazzā' (تَلَظَّىٰ) menggambarkan api yang berkobar hebat, bergejolak, dan siap membakar. Peringatan ini sangat eksplisit dan langsung, dirancang untuk menggugah rasa takut dan mendorong manusia untuk segera mengubah jalan hidup mereka.
Api ini, yang disebut Neraka Jahannam, adalah balasan bagi pendustaan dan kekikiran. Kekuatan visual dari ayat ini menekankan bahwa konsekuensi dari memilih jalan kesulitan bukanlah hukuman yang ringan, melainkan azab yang kekal dan menyakitkan.
Terjemahan: Tidak ada yang akan memasukinya, kecuali orang yang paling celaka (Al-Asyqā), yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling.
Neraka yang bergejolak itu bukan ditujukan kepada setiap pendosa, tetapi kepada Al-Asyqā, yaitu orang yang paling celaka atau paling sengsara. Istilah ini merujuk pada mereka yang secara sadar dan permanen memilih kesesatan dan menolaknya bahkan setelah kebenaran disampaikan.
Siapakah Al-Asyqā itu? Ayat 16 menjelaskannya: "yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling." Mendustakan (kadzdzaba) adalah dosa keyakinan, menolak kebenaran tauhid dan janji Akhirat (seperti mendustakan Al-Husna). Berpaling (tawallā) adalah dosa perbuatan, menolak untuk taat dan enggan memberi atau bertakwa.
Kombinasi antara pendustaan hati dan penolakan fisik terhadap amal saleh inilah yang menjadikan seseorang Al-Asyqā, yang layak mendapatkan jalan kesulitan dan api Neraka yang menyala-nyala. Inti dari ke-celaka-an ini adalah penolakan terhadap infāq dan taqwa.
Surah ini mengakhiri dengan membalikkan fokus dari azab menuju rahmat dan ganjaran agung bagi kelompok pertama: orang yang bertakwa dan berderma.
Terjemahan: Dan akan dijauhkan darinya (Neraka) orang yang paling bertakwa (Al-Atqā), yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya (Yatazakkā).
Ayat 17 menjanjikan keselamatan bagi Al-Atqā, yaitu orang yang paling bertakwa. Sebagaimana ada yang paling celaka (Al-Asyqā), ada pula yang paling mulia (Al-Atqā). Mereka inilah yang akan dijauhkan (sayujannabu) dari Neraka yang bergejolak.
Siapakah Al-Atqā? Ayat 18 memberikan ciri utama: "yang menafkahkan hartanya untuk membersihkannya." Tindakan infāq (memberi) sekali lagi diangkat sebagai bukti tertinggi dari ketakwaan. Frasa 'Yatazakkā' berarti menyucikan diri. Mereka memberi bukan untuk mendapat pujian, tetapi untuk membersihkan jiwa mereka dari kotoran kekikiran, dan membersihkan harta mereka dari hak orang lain.
Dalam sejarah tafsir, ayat-ayat ini sering dikaitkan dengan sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang terkenal sangat dermawan dan membebaskan banyak budak demi Allah semata. Tindakan memberi yang dilakukan oleh Al-Atqā adalah tindakan pemurnian diri yang murni. Ini adalah puncak dari jalan kemudahan (Al-Yusra).
Kedermawanan sebagai alat penyucian diri (Yatazakkā).
Terjemahan: Padahal tidak ada seorang pun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, melainkan (dia memberikan itu) semata-mata karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.
Ayat-ayat ini adalah penegasan paling penting mengenai keikhlasan niat. Al-Atqā memberikan hartanya bukan sebagai balasan budi (Ayat 19). Mereka tidak berusaha membalas kebaikan seseorang di dunia; tindakan mereka sama sekali tidak didasari oleh motivasi timbal balik atau keuntungan sosial.
Satu-satunya motivasi mereka disebutkan dalam Ayat 20: "melainkan semata-mata karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi." (ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ). Tujuan tertinggi mereka adalah ‘Wajhillah’ (Wajah Allah), yaitu keridaan dan perkenan Allah. Infāq yang sempurna adalah infāq yang murni, terlepas dari segala harapan duniawi.
Terjemahan: Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan (kebaikan yang sempurna).
Surah Al-Lail ditutup dengan janji terakhir dan paling indah bagi Al-Atqā: "Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan." (وَسَوْفَ يَرْضَىٰ). Kata 'Ridhā' (kepuasan) di sini adalah balasan yang melampaui segala ganjaran materi. Ini bukan hanya tentang Surga, tetapi tentang keadaan jiwa yang sepenuhnya puas, tenteram, dan bahagia karena mengetahui bahwa Allah telah rida kepadanya.
Janji ini mencakup kepuasan di hadapan Allah dan kenikmatan abadi di Surga. Bagi orang yang rela mengorbankan hal-hal duniawi demi mencari keridaan Allah, Allah akan membalasnya dengan kepuasan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Ayat penutup ini menyempurnakan janji kemudahan (Al-Yusra) yang diberikan pada Ayat 7.
Surah Al-Lail, meskipun singkat, berfungsi sebagai manual pengambilan keputusan moral yang luar biasa komprehensif. Tema sentralnya adalah kontras antara dua jalur kehidupan: Al-Yusra (Jalan Kemudahan) dan Al-Usra (Jalan Kesulitan). Kedua jalur ini bukan takdir yang dipaksakan, melainkan konsekuensi langsung dari pilihan yang didasari tiga faktor utama: Infāq/Bakhil, Taqwa/Istighna, dan Tasdiq/Takdzib.
Tindakan memberi, yang disebutkan pertama dalam ciri Al-Atqā, memiliki peran krusial. Dalam tradisi Islam, harta benda adalah ujian terberat. Rasulullah SAW bersabda bahwa kekikiran adalah penyakit yang membinasakan. Kekikiran secara spiritual merusak hubungan seseorang dengan Allah, karena ia menunjukkan kurangnya kepercayaan bahwa Allah adalah Al-Razzāq (Maha Pemberi Rezeki).
Orang yang memberi, sebaliknya, menunjukkan tiga hal:
Kedermawanan menghasilkan kemudahan, bukan karena alasan magis, tetapi karena Allah akan menenangkan hati orang tersebut, memberkahi hartanya, dan memudahkan urusan di hari perhitungan. Setiap koin yang diberikan dengan ikhlas adalah batu bata di jalan Al-Yusra.
Ciri kedua dari Al-Asyqā adalah Istighna, yaitu merasa cukup (وَاسْتَغْنَىٰ). Ini adalah akar dari kekafiran dan kesombongan. Manusia yang merasa cukup menganggap bahwa semua yang ia miliki adalah hasil murni dari keahliannya, gelar akademisnya, atau koneksinya, sehingga meniadakan campur tangan Ilahi. Perasaan cukup ini mencegahnya untuk bersyukur dan bertakwa.
Sebaliknya, Al-Atqā selalu menyadari kemiskinan dan ketergantungannya kepada Allah. Kesadaran ini memicu takwa (وَاتَّقَىٰ). Ketika seseorang menyadari bahwa ia tidak cukup tanpa Allah, ia akan bersedekah, bersujud, dan mencari petunjuk Ilahi. Istighna adalah ilusi yang menyebabkan orang kikir tidak hanya menolak memberi, tetapi juga mendustakan janji balasan yang terbaik (Al-Husna).
Istighna adalah jebakan psikologis yang mengubah jalan kemudahan menjadi jalan kesulitan. Seseorang yang merasa dirinya kuat tidak akan mencari pertolongan, dan pada akhirnya akan tersesat dalam kompleksitas hidup. Dalam konteks Surah Al-Lail, Istighna adalah penolakan terhadap kebutuhan untuk membersihkan diri (Yatazakkā), karena ia percaya dirinya sudah suci atau tidak memerlukan penyucian.
Surah Al-Lail berulang kali menekankan pentingnya keyakinan (Tasdiq) terhadap Al-Husna, yang merupakan janji balasan terbaik di Surga. Tanpa Tasdiq ini, infāq menjadi tindakan yang tidak rasional dalam perhitungan duniawi.
Sebaliknya, mendustakan (Takdzib) adalah pengkhianatan spiritual. Orang kikir dan merasa cukup mendustakan Surga. Mereka memprioritaskan kenikmatan yang terjamin dan terlihat di dunia ini, meremehkan janji yang gaib. Inilah yang mengunci mereka di jalan kesulitan. Ketika seseorang menolak kebenaran mutlak (Tauhid dan Akhirat), hatinya menjadi keras, dan setiap amal kebaikan terasa memberatkan, sehingga Allah memudahkan baginya jalan yang penuh kesengsaraan (Al-Usra).
Ketiga pasangan sifat ini—Memberi/Kikir, Takwa/Istighna, Membenarkan/Mendustakan—adalah trilogi moral yang menentukan nasib abadi. Jika ketiganya bertemu dalam kebaikan, hasilnya adalah Al-Yusra. Jika ketiganya bertemu dalam keburukan, hasilnya adalah Al-Usra.
Mari kita selami lebih jauh janji Allah, "maka Kami akan mudahkan baginya jalan kemudahan" (فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ). Kemudahan ini bukan berarti hidupnya bebas dari masalah; setiap manusia diuji. Namun, bagi Al-Atqā, kemudahan ini muncul dalam beberapa tingkatan:
Kemudahan yang paling utama adalah kemudahan dalam niat dan motivasi. Bagi orang yang bertakwa, beribadah dan berbuat baik terasa ringan. Sementara bagi orang lain, shalat Subuh terasa berat seperti memanggul gunung, bagi Al-Atqā, shalat menjadi kebutuhan spiritual dan istirahat dari hiruk pikuk dunia. Melakukan infāq tidak menimbulkan penyesalan atau rasa sayang terhadap harta yang dilepaskan, melainkan kegembiraan dan harapan balasan. Inilah kemudahan psikologis yang tak ternilai harganya.
Meskipun Al-Atqā seringkali memberikan hartanya, Allah menjamin bahwa rezekinya tidak akan berkurang, bahkan akan diberkahi (barakah). Ketika ia menghadapi masalah dunia, Allah akan membuka jalan keluar yang tidak terduga. Ini adalah janji yang sering diulang dalam Al-Qur'an. Kemudahan ini mungkin tidak selalu berupa kekayaan besar, tetapi berupa kecukupan yang menenangkan jiwa dan perlindungan dari kesulitan yang menghancurkan.
Puncak dari Al-Yusra adalah saat kematian dan hisab. Maut bagi Al-Atqā adalah transisi yang mulia, bukan azab yang menyakitkan. Di padang Mahsyar, ketika semua orang mengalami kesulitan besar, Al-Atqā akan dipermudah hisabnya. Para malaikat menyambutnya dengan damai. Kemudian, jalan menuju Surga (jembatan Shirath) akan menjadi jalan yang mudah dan cepat. Janji di Ayat 21 (kepuasan sempurna) adalah konklusi dari kemudahan abadi ini.
Sebaliknya, jalan kesulitan, "maka Kami akan mudahkan baginya jalan kesulitan" (فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ), adalah balasan setimpal bagi orang yang kikir, sombong, dan mendustakan. Kesulitan ini juga bermanifestasi dalam beberapa dimensi:
Orang kikir hidup dalam kesulitan batin yang konstan. Meskipun ia memiliki banyak harta, ia selalu takut miskin, tamak, dan tidak pernah merasa puas. Kekikiran menciptakan penderitaan jiwa. Ia selalu merasa hartanya kurang dan ia akan selalu bersusah payah (sa’y) untuk hal-hal yang tidak abadi. Bagi orang kikir, memberi terasa sangat sulit, bahkan untuk hak wajib seperti zakat. Allah mempersulit hatinya untuk menerima cahaya, sehingga ia semakin tenggelam dalam kesengsaraan duniawi.
Seringkali, orang yang kikir mendapati hartanya membawa masalah. Harta tersebut mungkin menjadi sumber perselisihan keluarga, atau menjadi penyebab ia harus melalui proses hukum yang rumit, atau bahkan menjadi sumber penyakit dan kecemasan. Kesulitan ini adalah peringatan duniawi bahwa harta yang dikumpulkan tanpa dasar takwa tidak memiliki keberkahan.
Kesulitan terbesar adalah di akhirat. Harta yang tidak disedekahkan akan menjadi beban dan siksaan baginya. Hisabnya akan berat, dan ia akan menghadapi Neraka yang menyala-nyala (Telazzā). Ini adalah puncak dari Al-Usra. Hartanya, yang menjadi kebanggaannya di dunia, tidak berguna sedikit pun ketika ia ‘terjatuh’ (Ayat 11).
Allah mempermudah manusia menuju hasil yang sesuai dengan pilihannya.
Ayat 4 menjadi kunci filosofis Surah Al-Lail. Usaha yang berlainan ini tidak hanya merujuk pada perbedaan pekerjaan atau profesi, tetapi pada perbedaan orientasi fundamental hidup. Surah ini mengajarkan bahwa meskipun semua manusia sama-sama bekerja keras ("sa'y"), nilai dan hasil dari kerja keras itu ditentukan oleh tiga pilar moral yang sudah dijelaskan.
Sebagai contoh, dua orang bekerja keras dalam bisnis yang sama. Orang pertama (Al-Atqā) bekerja dengan niat mencari rezeki halal, membayar zakat dengan tulus, dan menggunakan keuntungannya untuk membantu orang lain (infāq dan taqwa). Orang kedua (Al-Asyqā) bekerja keras dengan niat menimbun harta, menghindari kewajiban sedekah, dan merasa sombong dengan kekayaannya (bakhil dan istighna). Meskipun kerja keras mereka diukur dalam jam yang sama, dan mungkin menghasilkan keuntungan materi yang sama, ‘sa’y’ mereka sangat berbeda.
Bagi Al-Atqā, usahanya adalah ibadah yang membawanya menuju kemudahan. Bagi Al-Asyqā, usahanya adalah beban berat yang mengikatnya pada kesulitan abadi. Surah Al-Lail menuntut kita untuk memeriksa kembali, apakah usaha kita hari ini mengarahkan kita kepada Al-Yusra atau Al-Usra.
Kembali ke Ayat 1 dan 2, sumpah dengan Malam dan Siang memberikan kerangka waktu dan kesaksian atas pilihan manusia. Malam, dengan kegelapannya, bisa melambangkan saat-saat di mana seseorang harus berjuang melawan hawa nafsu secara tersembunyi—seperti shalat malam, berinfak secara rahasia, atau menahan diri dari dosa ketika tidak ada yang melihat. Kebaikan yang dilakukan di bawah naungan ‘malam’ memiliki nilai keikhlasan yang tinggi.
Siang, dengan cahayanya, melambangkan kehidupan sosial dan pengujian di depan publik. Siang menuntut kejujuran dalam berdagang, keadilan dalam berinteraksi, dan pelaksanaan ibadah wajib. Malam dan Siang adalah dua fase yang menguji konsistensi takwa seseorang. Baik dalam kegelapan (privasi) maupun dalam terang (publik), pilihan moral seseorang harus selaras untuk mencapai status Al-Atqā.
Kontras ini terus menerus mengingatkan bahwa hidup adalah rangkaian waktu yang dipenuhi peluang untuk memilih. Setiap detik adalah saksi atas usaha yang berbeda-beda yang kita lakukan. Ketika sumpah kosmik ini digabungkan dengan janji Akhirat (Ayat 13), manusia diingatkan bahwa pilihan yang ia buat hari ini akan memiliki gema abadi.
Konsep Al-Husna adalah poros keyakinan dalam surah ini. Membenarkan Al-Husna adalah tindakan iman yang paling rasional. Mengapa? Karena apa pun yang diberikan manusia di jalan Allah, balasannya (Al-Husna) jauh lebih besar dan kekal.
Bagi Al-Atqā, ia berdagang dengan Tuhan: ia memberikan sesuatu yang fana (harta dunia) untuk mendapatkan sesuatu yang abadi (keridaan Allah dan Surga). Inilah kesepakatan terbaik yang ada. Memahami dan membenarkan Al-Husna secara mendalam menghilangkan semua keraguan untuk berinfak dan bertakwa.
Sebaliknya, Takdzib bil Husna (mendustakan Al-Husna) adalah kegagalan perhitungan. Orang yang mendustakannya menilai bahwa harta yang ada di tangan lebih berharga daripada janji yang belum terlihat. Mereka telah memilih kekalahan abadi. Surah Al-Lail memberikan logika yang tak terbantahkan: Hanya yang buta terhadap janji Allah yang mau menukar Surga dengan sedikit harta dunia.
Secara keseluruhan, Surah Al-Lail menawarkan pelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, berulang-ulang menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang ditentukan oleh orientasi jiwanya.
Ayat 19 dan 20 adalah inti dari keikhlasan. Kedermawanan hanya bernilai jika dilakukan murni untuk mencari wajah Allah (Wajhi Rabbihil A’lā). Infāq yang diwarnai riya (pamer) atau motivasi duniawi lainnya tidak akan membawa seseorang kepada Al-Yusra. Surah ini mengajarkan bahwa Al-Atqā adalah mereka yang memberi bahkan ketika tidak ada tuntutan untuk membalas budi, karena satu-satunya ‘balasan’ yang mereka harapkan datang dari Yang Maha Tinggi.
Al-Lail menghubungkan tiga unsur secara sinergis: Hati (Tasdiq/Takdzib), Jiwa (Taqwa/Istighna), dan Tindakan (Infāq/Bukhul). Ketiga unsur ini harus selaras. Taqwa tanpa tindakan (kikir) adalah kosong. Tindakan memberi tanpa keyakinan (pamer) adalah sia-sia. Hanya ketika keyakinan pada Al-Husna mendorong takwa, dan takwa memicu kedermawanan, barulah jalan kemudahan terbuka.
Peringatan bahwa harta tidak akan berguna ketika seseorang jatuh (Ayat 11) adalah pengingat keras bahwa harta adalah alat transportasi menuju Akhirat, bukan tujuan akhir. Mereka yang menjadikan harta sebagai tujuan akan mendapati harta itu berbalik menjadi musuh di hari Kiamat. Harta yang ‘diinfakkan’ adalah harta yang sesungguhnya diabadikan.
Surah ini menggunakan metode Targhib (dorongan) dan Tarhib (ancaman). Dorongan kemudahan, Surga, dan kepuasan sempurna (Ridhā) diberikan kepada Al-Atqā. Ancaman kesulitan, Neraka yang bergejolak (Telazzā), dan kehancuran abadi diberikan kepada Al-Asyqā. Metode ini efektif untuk menggerakkan hati manusia agar segera memilih jalan yang benar sebelum terlambat.
Surah Al-Lail 1-21 adalah panggilan yang jelas bagi setiap jiwa untuk mengevaluasi ‘sa’y’ (usaha) mereka. Apakah kita sedang berinvestasi untuk Al-Husna dengan mengedepankan takwa dan kedermawanan, ataukah kita sedang menimbun kekecewaan abadi karena kekikiran dan pendustaan? Allah telah bersumpah dengan dualitas alam semesta untuk menjamin bahwa pilihan kita di dunia ini akan menentukan nasib kita secara pasti.
Jalan menuju Surga—jalan Al-Yusra—sebenarnya mudah bagi mereka yang Allah mudahkan, dan Allah memudahkannya bagi mereka yang memberikan hartanya untuk menyucikan diri, tanpa mencari balasan dari siapa pun selain keridaan-Nya Yang Maha Tinggi. Kita dituntut untuk menjadi Al-Atqā, yang akan mencapai kepuasan sempurna dan abadi (وَسَوْفَ يَرْضَىٰ).
Ketahuilah, kedermawanan, taqwa, dan keyakinan adalah satu kesatuan yang membuka pintu kemudahan di setiap aspek kehidupan, membersihkan hati, dan menjamin keselamatan dari api yang menyala-nyala. Kita harus berjuang setiap hari untuk melepaskan belenggu kekikiran, menggantinya dengan keyakinan teguh pada janji Allah, sehingga usaha kita benar-benar menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi.
Surah Al-Lail menutup perdebatan moral dengan sempurna. Tidak ada jalan tengah; hanya ada Al-Yusra dan Al-Usra. Pilihan ada di tangan manusia, dan Allah Maha Adil dalam memberikan balasan yang sesuai dengan usaha yang berbeda-beda tersebut.
Semoga kita termasuk golongan Al-Atqā yang senantiasa menafkahkan hartanya demi penyucian diri, yang Allah janjikan kepuasan abadi.
Pengulangan penekanan pada tindakan memberi (infāq) dalam Surah Al-Lail memberikan wawasan mendalam bahwa taqwa—rasa takut dan cinta kepada Allah—adalah konsep yang tidak abstrak, melainkan harus terwujud secara material. Mengapa Allah memilih kekikiran sebagai lawan utama dari takwa dan infāq?
Kekikiran (Bukhul) adalah manifestasi ketidakpercayaan terhadap janji ilahi. Seseorang yang kikir, meskipun mengaku beriman, secara praktis mendustakan Al-Husna. Ia beranggapan bahwa kepastian harta di tangan lebih unggul daripada janji Surga yang gaib. Oleh karena itu, Surah Al-Lail menggunakan infāq sebagai termometer spiritual. Seberapa mudah seseorang melepaskan harta yang ia cintai sebanding dengan seberapa kuat keyakinan hatinya terhadap Akhirat.
Jika seseorang memberikan hartanya, ia telah menunjukkan keutamaan taqwa (kecintaan kepada Allah) di atas hubb ad-dunya (kecintaan kepada dunia). Ini adalah ujian yang paling sulit karena harta adalah syahwat (nafsu) yang paling dicintai manusia setelah kekuasaan. Kemenangan dalam ujian harta adalah penanda bahwa hati telah sepenuhnya tunduk kepada kehendak Allah, yang kemudian menghasilkan Al-Yusra.
Mari kita telaah lebih lanjut konsep Istighna (merasa cukup, وَاسْتَغْنَىٰ) pada Ayat 8. Istighna adalah ilusi kemandirian. Dalam masyarakat modern, di mana kesuksesan diukur semata-mata oleh pencapaian pribadi, Istighna menjadi penyakit endemik.
Orang yang Istighna percaya bahwa mereka tidak membutuhkan siapa pun, termasuk Allah, untuk menjaga kekayaan dan posisi mereka. Keyakinan ini menghilangkan kebutuhan akan infāq dan taqwa. Jika ia merasa cukup, mengapa ia harus mencari keridaan Allah (Wajhi Rabbihil A’lā)? Jika ia merasa kuat, mengapa ia harus takut (taqwa) akan azab Neraka?
Surah Al-Lail membalikkan logika ini dengan menegaskan bahwa kepemilikan mutlak hanyalah milik Allah (Ayat 13). Manusia yang Istighna adalah manusia yang paling lemah, karena ia mengandalkan sumber daya yang fana dan sementara. Ketika ia "terjatuh" (Ayat 11), semua sumber daya duniawinya tidak berguna. Oleh karena itu, Istighna bukan hanya kesombongan moral, tetapi juga kesalahan perhitungan yang fatal.
Penting untuk memperhatikan penggunaan kata kerja dalam janji-janji Allah (Ayat 7 dan 10):
Penggunaan kata kerja dalam bentuk masa depan (sanuyassiruhu) menunjukkan janji yang pasti dan tidak dapat dibatalkan. Allah tidak mengatakan, "Kita mungkin akan memudahkan," tetapi "Kita PASTI akan memudahkan." Ini adalah kepastian ilahi yang memberikan ketenangan bagi Al-Atqā dan ancaman yang mengguncang bagi Al-Asyqā.
Yang lebih menarik adalah simetri paradoksnya: Allah "memudahkan" jalan menuju kesulitan. Ini berarti bahwa, ketika seseorang memilih jalan yang salah (bakhil, istighna, takdzib), Allah tidak menghalangi niat buruknya. Sebaliknya, Allah "mempercepat" prosesnya, seolah-olah mengesahkan pilihan orang tersebut. Kemudahan menuju kesulitan adalah metafora yang mengerikan: semakin mudah ia berbuat maksiat dan kikir, semakin cepat ia mencapai tujuan yang sengsara, yaitu Neraka.
Ayat penutup (Ayat 21) menjanjikan: "Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan" (وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ). Ini adalah puncak dari Al-Yusra. Kepuasan (Ridhā) ini harus dipahami dalam konteks Al-Qur'an sebagai balasan tertinggi yang melebihi kenikmatan Surga itu sendiri.
Dalam Surah Al-Fajr, Allah menjanjikan jiwa yang tenang: "Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai." Keadaan rida (puas dan menerima) adalah hasil dari pembersihan diri (Yatazakkā) dan tindakan mencari Wajah Allah semata (Ayat 20).
Kepuasan ini mencakup:
Ini kontras dengan kondisi Al-Asyqā. Orang yang kikir, meskipun memiliki triliunan di dunia, tidak pernah puas (Istighna). Kekikiran adalah kehausan yang tidak pernah terpuaskan. Oleh karena itu, balasan yang paling setimpal bagi orang kikir adalah ketidakpuasan abadi, sementara balasan bagi Al-Atqā adalah kepuasan yang tiada batas.
Surah ini tetap sangat relevan bagi umat manusia, terlepas dari era atau peradaban. Meskipun konteks turunnya surah ini adalah masyarakat Mekah yang kaya dan sombong, pesannya universal karena ia menyentuh sifat dasar manusia: kecenderungan untuk mencintai harta dan bahaya kesombongan.
Dalam masyarakat yang didominasi oleh konsumerisme dan materialisme, Surah Al-Lail berfungsi sebagai pengingat tajam. Ia memaksa kita untuk memilih: Apakah kita akan mengarahkan usaha (sa’y) kita pada perlombaan fana di dunia (Al-Usra), atau pada investasi kekal di akhirat (Al-Yusra)?
Surah ini mengajarkan bahwa spiritualitas sejati tidak diukur dari kata-kata yang diucapkan, melainkan dari apa yang dilepaskan dari tangan. Kemudahan atau kesulitan hidup kita—baik secara emosional, spiritual, maupun material—adalah refleksi langsung dari pilihan kita untuk memberi atau kikir, bertakwa atau sombong.
Setiap kali kita ragu untuk bersedekah, Surah Al-Lail mengingatkan kita bahwa dengan memberi, kita sedang mengaktifkan janji Allah untuk mempermudah jalan kita menuju Al-Yusra. Setiap kali kita merasa sombong atau merasa tidak membutuhkan bimbingan agama, Surah ini memperingatkan kita tentang bahaya Istighna yang mengarahkan kita pada Al-Usra dan Neraka yang bergejolak (Telazzā).
Surah Al-Lail adalah salah satu surah yang paling efektif dalam menyeimbangkan harapan dan ketakutan, mendorong manusia menuju jalan kebaikan dengan keyakinan penuh akan balasan yang tak terhingga.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan tiga sifat Al-Atqā (Memberi, Bertakwa, dan Membenarkan Al-Husna) sebagai kompas kehidupan, agar usaha kita di bawah naungan Malam dan Siang benar-benar menjadi jalan yang dipermudah, menuju keridaan Allah Yang Maha Tinggi, dan kita meraih kepuasan yang abadi.
***
Surah-surah Makkiyah seringkali dimulai dengan sumpah-sumpah kosmik untuk menarik perhatian pada keagungan penciptaan dan otoritas Sang Pencipta. Dalam Al-Lail, sumpah tersebut bukan sekadar hiasan retoris; ia adalah fondasi logis dari pernyataan di Ayat 4.
Sumpah dengan Malam (وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ) dan Siang (وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ) menyoroti siklus tak terhindarkan yang mengatur kehidupan. Malam dan siang adalah dua sisi mata uang yang sama-sama mutlak. Malam datang membawa ketenangan, tetapi juga menguji kesabaran. Siang datang membawa kejelasan, tetapi juga menuntut aktivitas. Kehadiran kontras ini menegaskan bahwa ketetapan ilahi adalah dualitas, dan manusia harus memilih posisinya di antara dua kutub tersebut.
Dalam konteks kehidupan spiritual, Malam adalah simbol dari saat-saat kelelahan atau kemalasan yang harus diatasi dengan ibadah (Qiyamullail), sementara Siang adalah ujian bagaimana kita menggunakan rezeki dan waktu yang diberikan. Sumpah ini mengaitkan tindakan spiritual kita dengan pergerakan alam semesta.
Sumpah dengan Penciptaan Laki-laki dan Perempuan (وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ) adalah sumpah mengenai hakikat pasangan dan polaritas dalam kehidupan. Seluruh eksistensi didasarkan pada pasangan: positif-negatif, baik-buruk, Surga-Neraka, dan Kemudahan-Kesulitan. Jika dualitas ini berlaku pada tingkat kosmik dan biologis, maka wajar jika dualitas yang sama berlaku pada tingkat moral (usaha manusia).
Sumpah ini memperingatkan manusia bahwa sebagaimana tubuh diciptakan berpasangan, konsekuensi dari tindakan mereka juga akan berpasangan, yaitu balasan baik atau buruk. Tidak ada ruang abu-abu dalam hasil akhir di hadapan Allah.
Meskipun kata yang digunakan dalam Surah Al-Lail adalah Bakhila (kikir), ada konsep yang lebih dalam yaitu Syuhh, yang sering diterjemahkan sebagai sifat tamak yang berlebihan atau rakus. Bukhul adalah tindakan menahan harta, sedangkan Syuhh adalah penyakit jiwa yang mendorong kekikiran.
Orang yang Bakhil (kikir) adalah orang yang menolak memberi, bahkan hak wajib. Surah Al-Lail menyerang akar dari Syuhh: perasaan Istighna (merasa cukup tanpa Allah) dan Takdzib (pendustaan). Kekikiran dalam Surah ini bukan sekadar gagal bersedekah, melainkan kegagalan sistem kepercayaan yang mendasar.
Apabila seseorang memiliki penyakit Syuhh, ia akan senantiasa mencari cara untuk menghindari infāq, bahkan jika harta itu bukan miliknya (misalnya zakat). Penderita penyakit ini akan menemukan bahwa setiap koin yang ia berikan terasa seperti kehilangan yang menyakitkan, dan setiap perintah kebaikan terasa memberatkan—inilah manifestasi praktis dari Jalan Kesulitan (Al-Usra).
Ayat 11, وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ (Dan hartanya tidak akan memberinya manfaat apabila ia telah jatuh), adalah pukulan telak terhadap obsesi duniawi.
Kata ‘tarradā’ (تردّى) bisa berarti ‘terjun’ atau ‘terjatuh’. Konteks ini membawa dua makna yang mengerikan:
Peringatan ini menjadi dorongan kuat bagi orang-orang beriman untuk menggunakan kesempatan hidup ini (saat ia belum ‘jatuh’) untuk berinvestasi melalui infāq dan taqwa, sehingga harta yang mereka tinggalkan di dunia sudah ‘dikirim’ terlebih dahulu ke Akhirat dalam bentuk amal saleh.
Pernyataan إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ (Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk) sangat penting dalam doktrin Islam mengenai kehendak bebas. Allah telah menyediakan petunjuk, menjelaskan risiko dan ganjaran, dan menunjukkan jalan kemudahan dan kesulitan. Setelah itu, pilihan dan tanggung jawab jatuh sepenuhnya kepada manusia.
Ayat ini menghilangkan argumen bahwa manusia tersesat karena kurangnya petunjuk. Petunjuk (Al-Huda) telah sempurna, disampaikan melalui Rasulullah SAW dan Al-Qur'an, yang mencakup penjelasan terperinci mengenai bahaya kekikiran dan pahala kedermawanan. Jika seseorang memilih jalan kesulitan, itu karena ia memilih untuk berpaling (كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ), bukan karena ia tidak tahu jalannya.
Surah Al-Lail, dalam keagungannya, adalah mercusuar yang memandu kita melalui kegelapan malam duniawi, menjanjikan cahaya di ujung jalan bagi mereka yang berani memberi dan bertakwa, dan memperingatkan tentang api yang bergejolak bagi mereka yang kikir dan mendustakan Al-Husna.
***