Representasi visual Malam Kemuliaan (Laylatul Qadr) yang diturunkan di kota suci Makkah.
Surah Al Qadr, surah ke-97 dalam Al-Qur’an, adalah sebuah permata spiritual yang menceritakan tentang Laylatul Qadr, atau Malam Kemuliaan. Meskipun pendek, hanya terdiri dari lima ayat, surah ini membawa bobot teologis dan historis yang luar biasa, menjelaskan momen monumental ketika wahyu pertama kali diturunkan. Pertanyaan mengenai lokasi geografis pewahyuan surah ini—kota mana yang dimuliakan dengan penerimaan ayat-ayat ini—membawa kita pada diskusi mendalam dalam ilmu tafsir, khususnya dalam membedakan surah Makkiyah (diturunkan sebelum Hijrah) dan Madaniyah (diturunkan setelah Hijrah).
Mayoritas ulama tafsir dan ilmu Al-Qur’an sepakat tanpa keraguan bahwa Surah Al Qadr adalah surah yang diturunkan di **Kota Makkah Al-Mukarramah**. Klasifikasi ini, yang menempatkannya sebagai surah Makkiyah, didukung kuat oleh gaya bahasa, ritme ayat, dan fokus tematik yang khas pada periode awal kenabian. Penetapan kota Makkah sebagai tempat wahyu ini bukan sekadar detail geografis, melainkan kunci untuk memahami konteks perjuangan awal Rasulullah ﷺ dan penekanan pada fondasi keimanan yang menjadi ciri khas periode Makkah.
Penting untuk menggarisbawahi mengapa pertanyaan mengenai tempat wahyu ini menjadi fokus utama. Penetapan sebuah surah sebagai Makkiyah atau Madaniyah membantu para mufassir dalam menafsirkan hukum, memahami perkembangan syariat, dan mengapresiasi tahapan dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Dalam kasus Surah Al Qadr, bukti-bukti internal dan eksternal secara konsisten menunjuk pada Makkah, kota yang menjadi titik tolak risalah Islam.
Kriteria utama yang digunakan oleh para ulama untuk mengklasifikasikan surah adalah berdasarkan waktu dan tempat. Surah Makkiyah umumnya ditandai dengan fokus pada: Tauhid (keesaan Allah), hari kebangkitan (akhirat), kisah para nabi terdahulu sebagai peringatan, dan seruan kepada kaum musyrikin Makkah. Surah-surah ini juga seringkali memiliki ayat-ayat yang pendek, padat, dan ritmis, tujuannya adalah untuk menggetarkan hati para pendengar yang keras kepala.
Surah Al Qadr memenuhi semua kriteria Makkiyah tersebut dengan sempurna. Ritme surah ini sangat kuat dan cepat, dengan jeda (fawasil) yang pendek dan berirama, yang merupakan ciri khas surah-surah yang turun di Makkah pada fase awal dakwah. Lima ayat yang terkandung di dalamnya langsung menembus inti akidah, yaitu pengagungan wahyu dan pengakuan atas kekuasaan Allah (Al-Qadr).
Konsensus Ulama: Imam As-Suyuti, dalam karyanya *Al-Itqan fi Ulumil Qur’an*, serta para mufassir klasik seperti Ibnu Katsir dan At-Tabari, dengan tegas mengklasifikasikan Surah Al Qadr sebagai Makkiyah. Kejelasan ini muncul karena tema inti surah—yaitu permulaan wahyu dan kemuliaan Al-Qur’an—adalah fondasi ajaran yang pertama kali ditekankan di tengah masyarakat politeistik Makkah.
Periode Makkah adalah masa penanaman benih iman, saat kaum Muslimin masih minoritas dan menghadapi penindasan. Dalam konteks ini, Surah Al Qadr datang bukan untuk mengatur hukum-hukum sosial atau perdata (yang merupakan ciri Madaniyah), melainkan untuk menanamkan keyakinan mendasar tentang keagungan Allah dan sumber petunjuk ilahi. Penjelasan tentang Laylatul Qadr yang lebih mulia dari seribu bulan memberikan motivasi spiritual yang mendalam bagi para sahabat yang sedang berjuang di Makkah.
Surah Al Qadr dibuka dengan firman, إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Kemuliaan). Ayat ini secara langsung merujuk pada permulaan penurunan Al-Qur’an, sebuah peristiwa yang, menurut semua sumber sejarah Islam yang sahih, terjadi di Gua Hira, yang terletak di pinggiran kota Makkah. Meskipun wahyu pertama berupa lima ayat Surah Al-Alaq, Surah Al Qadr diturunkan kemudian untuk mengabadikan dan memuliakan malam bersejarah tersebut.
Jika Surah Al Qadr diturunkan di Makkah, maka ini memperkuat citra kota tersebut sebagai *Ummul Qura* (Induk Negeri) dan pusat spiritualitas. Makkah, dengan Ka’bah di tengahnya, sudah menjadi pusat perhatian spiritual, meskipun pada saat itu masih dipenuhi dengan berhala. Dengan turunnya Surah Al Qadr di kota ini, Allah seolah-olah mendeklarasikan bahwa pusat keilahian dan ketetapan (Qadr) telah bergeser dari tradisi jahiliah menuju ajaran Tauhid yang dibawa oleh Al-Qur’an.
Pengalaman Laylatul Qadr—sebuah pengalaman yang penuh kedamaian dan turunnya para malaikat—sangat kontras dengan kekerasan dan kekacauan yang dialami kaum Muslimin di Makkah. Surah ini memberikan janji kedamaian spiritual (سَلَٰمٌ هِيَ) di tengah ketidakpastian duniawi yang mereka hadapi. Janji ini adalah penopang moral yang sangat dibutuhkan pada periode Makkiyah yang penuh cobaan dan ujian.
Ayat pertama: إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Kemuliaan).
Kata kunci di sini adalah أَنزَلۡنَٰهُ (Kami telah menurunkannya). Para mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur’an. Ayat ini mengkonfirmasi bahwa proses penurunan Al-Qur’an dimulai pada malam yang agung ini. Walaupun Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun, proses penurunan dari Lauh Mahfuz ke langit dunia (Baitul Izzah) secara keseluruhan terjadi pada Laylatul Qadr. Dan momen awal komunikasi antara langit dan bumi terjadi dalam batas-batas geografis Makkah.
Penekanan pada Laylatul Qadr (Malam Ketetapan/Ketetapan) sangat cocok dengan periode Makkiyah. Di Makkah, Rasulullah ﷺ dan para pengikutnya tidak memiliki kekuatan politik atau militer. Kekuatan mereka satu-satunya terletak pada keyakinan akan ketetapan ilahi (Qadr). Surah ini mengajarkan bahwa meskipun mereka lemah di mata musuh-musuh mereka di Makkah, mereka memegang kunci kepada ketetapan yang menentukan nasib seluruh alam semesta. Keagungan ini harus menjadi fokus utama mereka sebelum aturan-aturan hukum diterapkan di Madinah.
Jika surah ini diturunkan di Madinah, di mana umat Islam sudah memiliki negara, kekuasaan, dan hukum, penekanan pada fondasi spiritual dan ketetapan ilahi mungkin tidak sekuat yang terjadi saat mereka masih berjuang di Makkah. Oleh karena itu, konteks Makkah, kota yang masih pagan tetapi merupakan lokasi geografis awal wahyu, adalah tempat yang paling logis untuk surah yang memuliakan permulaan wahyu.
Meskipun ada beberapa ulama minoritas yang menganggap Surah Al Qadr mungkin Madaniyah karena pembahasan Laylatul Qadr sering dikaitkan dengan ibadah puasa Ramadan (yang diwajibkan di Madinah), pandangan ini dianggap lemah. Para ulama mainstream menolaknya karena Surah Al Qadr tidak membahas detail hukum puasa, zakat, atau pembagian warisan, melainkan berfokus sepenuhnya pada keagungan Al-Qur’an dan Laylatul Qadr itu sendiri.
Ciri khas Madaniyah adalah panjangnya ayat-ayat yang mengatur masyarakat, seperti hukum muamalah, jihad, dan hubungan antarnegara. Surah Al Qadr sama sekali tidak menyentuh aspek-aspek ini. Sebaliknya, ia berbicara tentang perkara ghaib: malaikat, ruh, dan kedamaian langit. Diskusi tentang perkara ghaib adalah inti dari ajaran Makkiyah, yang berusaha membangun akidah yang kuat sebelum membangun masyarakat yang tertata.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam ulasan tafsirnya, memperkuat bahwa pengetahuan tentang kapan tepatnya Laylatul Qadr adalah penting bagi umat Islam, baik sebelum atau sesudah Hijrah. Namun, wahyu yang secara eksplisit memuji dan menetapkan status malam tersebut, harusnya datang pada fase awal dakwah, yaitu di Makkah, sebagai bentuk penguatan keimanan terhadap sumber petunjuk.
Para mufassir telah memberikan penafsiran yang luas yang secara implisit mendukung lingkungan Makkah sebagai lokasi penurunan surah ini. Kita akan meninjau beberapa poin penting dari tafsir klasik yang mengaitkan surah ini dengan periode Makkiyah.
Kata ٱلۡقَدۡرِ (Al-Qadr) memiliki dua makna utama: kemuliaan/keagungan dan ketetapan/pengukuran. Di Makkah, Rasulullah ﷺ mengajarkan pentingnya Tauhid dan takdir Allah. Surah Al Qadr, yang turun di kota itu, menyatukan kedua makna tersebut. Ini adalah malam yang agung karena Al-Qur’an turun, dan malam di mana semua ketetapan tahunan ditetapkan.
Penekanan pada takdir (Qadr) sangat relevan di Makkah karena kaum musyrikin sering menuduh Nabi sebagai penyihir atau dukun yang memiliki pengetahuan tentang masa depan. Surah ini menangkis tuduhan itu dengan menunjukkan bahwa sumber pengetahuan dan ketetapan hanyalah dari Allah semata, dan wahyu (Al-Qur’an) adalah representasi fisik dari ketetapan ilahi tersebut.
Makkah, sebagai pusat peribadatan yang diwarisi dari Nabi Ibrahim, adalah tempat yang sarat makna historis. Penurunan wahyu yang membahas Ketetapan Ilahi di kota yang memiliki sejarah kenabian yang panjang menegaskan kontinuitas risalah ilahi, membersihkan Makkah dari tradisi syirik dan mengembalikannya ke inti Tauhid.
لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٞ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡرٖ (Malam Kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan).
Perbandingan ini, yang memberikan nilai abadi pada satu malam ibadah, berfungsi sebagai dorongan spiritual yang masif. Bagi para sahabat yang jumlahnya sedikit dan tertekan di Makkah, janji pahala yang berlipat ganda ini adalah sumber kekuatan luar biasa. Mereka tidak memiliki sarana untuk berjihad besar-besaran, tetapi mereka bisa berjuang secara spiritual di malam hari.
Periode Makkah dikenal sebagai periode pembangunan karakter dan kesabaran (sabar). Janji bahwa amalan satu malam dapat melampaui amalan seumur hidup (seribu bulan kira-kira 83 tahun) memberikan perspektif yang berbeda tentang waktu dan usaha. Mereka diajari bahwa kualitas ibadah di Makkah, meskipun dilakukan dalam sembunyi-sembunyi dan penuh risiko, memiliki nilai yang melampaui segala usaha duniawi.
Kontras ini, antara keadaan lemah di Makkah dan kemuliaan ilahi yang tak terbatas, adalah indikasi kuat bahwa Surah Al Qadr adalah wahyu Makkiyah yang ditujukan untuk menguatkan fondasi batin umat Islam.
Ayat 4: تَنَزَّلُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذۡنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمۡرٖ (Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan).
Penyebutan turunnya malaikat dan Ruh (Jibril a.s.) sangat erat kaitannya dengan Makkah. Jibril adalah perantara wahyu, dan interaksi pertama Jibril dengan Nabi Muhammad ﷺ terjadi di Gua Hira, yang berada di wilayah Makkah. Surah ini mengabadikan fungsi utama Jibril, yaitu membawa ketetapan dari langit ke bumi.
Di Makkah, perjumpaan dengan malaikat adalah realitas baru yang harus diterima oleh masyarakat Arab yang sebelumnya hanya mengenal dewa-dewa berhala. Surah Al Qadr memperkuat otoritas malaikat sebagai utusan Allah yang membawa ketetapan ilahi, bukan makhluk yang bisa dimintai bantuan seperti berhala-berhala mereka. Ini adalah langkah penting dalam dakwah Tauhid di Makkah.
Selain itu, turunnya malaikat dalam jumlah besar ke kota Makkah, yang saat itu merupakan pusat kekufuran, menunjukkan bahwa rahmat Allah melingkupi kota tersebut meskipun penduduknya mayoritas kafir. Ini adalah janji bahwa Allah akan mengembalikan kemuliaan kota Makkah melalui wahyu yang dibawa oleh para malaikat tersebut.
Ayat 5: سَلَٰمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ (Malam itu (penuh) kedamaian sampai terbit fajar).
Kata *Salamun* (kedamaian) memiliki arti ganda: kedamaian spiritual dan keamanan dari bahaya. Di Makkah, kaum Muslimin tidak merasakan kedamaian fisik. Mereka disiksa, diisolasi, dan diintimidasi. Oleh karena itu, janji kedamaian ilahi ini menjadi sangat relevan.
Kedamaian di sini merujuk pada:
Kehadiran malaikat di Makkah, membawa kedamaian dan ketetapan, adalah demonstrasi nyata bahwa Allah melindungi risalah-Nya di tempat yang paling berbahaya sekalipun. Ini bukan hanya deskripsi malam, tetapi juga sebuah metafora bagi kondisi umat Islam: meskipun secara lahiriah terancam, mereka berada di bawah perlindungan dan kedamaian ilahi yang melampaui pemahaman manusia.
Meskipun klasifikasi Makkiyah telah menjadi konsensus sejak dahulu, mufassir kontemporer juga memberikan penekanan yang sama. Sayyid Qutb, dalam tafsir *Fi Zhilalil Qur’an*, menyoroti energi dan ritme yang luar biasa dalam Surah Al Qadr, menunjukkan karakteristik surah Makkiyah yang kuat dan mendalam. Ia menjelaskan bahwa surah ini datang untuk menggetarkan jiwa dan menunjukkan keagungan peristiwa pewahyuan, yang sangat sesuai dengan fase awal di Makkah di mana hati harus ditaklukkan sebelum pikiran diatur.
Yusuf Ali juga mencatat bahwa surah ini, bersama dengan surah-surah pendek lainnya di akhir mushaf, sebagian besar adalah Makkiyah. Tujuannya adalah untuk menanamkan dasar-dasar teologis yang tak tergoyahkan. Al-Qur’an dimulai di Makkah, dan Surah Al Qadr berfungsi sebagai penghormatan abadi terhadap permulaan tersebut, mengaitkan secara erat kota Makkah dengan kemuliaan spiritual yang tak tertandingi.
Implikasi terbesar dari penetapan Makkah sebagai kota wahyu Surah Al Qadr adalah bahwa surah ini memberikan fondasi spiritual bagi konsep waktu dan ruang dalam Islam. Makkah adalah ruang yang diberkahi, dan Laylatul Qadr adalah waktu yang diberkahi. Keduanya menyatu dalam Surah Al Qadr untuk menciptakan sebuah narasi di mana lokasi geografis (Makkah) menjadi saksi bagi peristiwa kosmik (turunnya wahyu dan penetapan takdir).
Untuk memperkuat argumen Makkiyah, kita perlu melihat bagaimana Surah Al Qadr berinteraksi dengan surah-surah yang diakui turun di Makkah. Umumnya, surah Makkiyah diletakkan berdampingan dalam susunan Al-Qur’an (meskipun susunan ini berdasarkan petunjuk Nabi, bukan kronologi). Surah Al Qadr (97) berada setelah At-Tin (95) dan Al-Alaq (96), dan diikuti oleh Al-Bayyinah (98). Semua surah ini, kecuali sebagian kecil perdebatan tentang Al-Bayyinah, secara universal diakui sebagai Makkiyah.
Surah Al-Alaq, yang berisi wahyu pertama, mendefinisikan *apa* yang turun ("Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu..."). Surah Al Qadr kemudian mendefinisikan *kapan* ia turun ("Sesungguhnya Kami menurunkannya pada Malam Kemuliaan..."). Logika kronologis dan tematik menuntut bahwa penetapan waktu keagungan wahyu harus terjadi di lokasi yang sama dengan permulaan wahyu itu sendiri, yaitu Makkah.
Kepadatan dan kekuatan bahasa dalam surah-surah ini mencerminkan kebutuhan akan komunikasi yang mendesak di Makkah. Pesan harus segera, ringkas, dan mematikan terhadap ideologi pagan. Surah Al Qadr, dengan fokusnya yang tajam pada ketetapan ilahi dan kedamaian langit, adalah alat retoris yang sempurna untuk menghadapi ketidakpercayaan Makkah.
Kota Makkah, di masa awal Islam, adalah medan pertempuran ideologi. Di satu sisi, ada tradisi monoteistik yang diwariskan oleh Ibrahim; di sisi lain, ada polytheisme yang mendominasi. Surah Al Qadr yang turun di kota ini mengisyaratkan bahwa Makkah adalah tempat di mana kebenaran akan muncul dari kegelapan. Penjelasan tentang Laylatul Qadr bukan hanya tentang pahala, tetapi juga tentang pembaharuan dan penegasan kembali peran Makkah sebagai poros spiritual dunia.
Dalam konteks Makkah, konsep *Qadr* (ketetapan) memiliki dimensi yang sangat politis dan spiritual. Bagi musuh-musuh Islam, mereka percaya bahwa kekuatan fisik, harta, dan pengaruh suku menentukan nasib. Al-Qur’an, melalui Surah Al Qadr, mengajarkan bahwa nasib sejati (ketetapan) berada di tangan Allah, dan ia diumumkan dari langit, melalui malaikat, ke jantung kota Makkah.
Peristiwa pewahyuan ini memberikan legitimasi kosmik kepada Rasulullah ﷺ di tempat yang paling menentang ajarannya. Ini adalah penetapan ilahi atas otoritas Nabi, yang terjadi di lingkungan yang paling menantang. Kekuatan spiritual yang terkandung dalam Surah Al Qadr harus digunakan sebagai senjata utama di Makkah sebelum senjata fisik diperlukan di Madinah.
Setiap ayat dalam Surah Al Qadr, dari permulaan penurunan Al-Qur’an hingga janji kedamaian, secara inheren terikat pada kondisi spiritual dan sosial di Makkah. Jika kita menghilangkan konteks Makkah, kita menghilangkan separuh dari urgensi dan intensitas surah ini. Ia adalah pesan penguatan bagi jiwa yang lemah, yang diturunkan di kota yang sedang melawan kebenaran yang dibawa Nabi.
Makkah bukan hanya lokasi fisik. Ia adalah simbol permulaan, simbol perjuangan, dan simbol kemurnian Tauhid yang harus direstorasi. Penurunan Surah Al Qadr di Makkah menegaskan bahwa Allah memilih tempat yang memiliki sejarah kenabian yang kaya untuk mengukir momen terpenting dalam sejarah umat manusia: permulaan pewahyuan kitab suci terakhir.
Ulama tafsir, dalam menganalisis mengapa surah-surah fundamental seperti Al Qadr diturunkan di Makkah, sering kali menekankan bahwa Makkah adalah titik nol keimanan. Tanpa iman yang kokoh, peraturan (syariat Madaniyah) akan runtuh. Surah Al Qadr adalah salah satu pilar yang menopang akidah. Ia mengajarkan bahwa Al-Qur’an bukan sekadar buku, melainkan manifestasi langsung dari ketetapan abadi Allah, sebuah pesan yang mutlak harus dipahami oleh mereka yang pertama kali menerima risalah.
Dalam khazanah tafsir, seringkali dibahas bahwa Surah Al Qadr diturunkan di awal periode Makkah, kemungkinan besar di fase-fase pertama setelah wahyu pertama turun. Detail ini semakin menguatkan klasifikasi Makkiyah. Teks surah yang ringkas namun mendalam menunjukkan bahwa umat Islam pada saat itu membutuhkan pengingat spiritual yang cepat dan kuat, bukan peraturan yang panjang dan rinci.
Tafsir Imam Al-Qurtubi, ketika membahas Surah Al Qadr, mencatat diskusi tentang Laylatul Qadr yang mulia. Ia menempatkan surah ini dalam daftar surah Makkiyah, menegaskan bahwa penekanannya pada keagungan waktu dan wahyu adalah esensial untuk pembangunan akidah yang dilakukan di Makkah. Tidak ada perbedaan pendapat signifikan di kalangan ulama salaf mengenai tempat penurunan surah ini. Mereka sepakat bahwa Al Qadr adalah surah Makkah murni.
Konsep Laylatul Qadr yang diturunkan di Makkah juga harus dipahami dalam kaitannya dengan penetapan takdir (Qadar). Allah memilih tempat yang paling suci di bumi, Makkah, untuk menjadi saksi atas penetapan segala urusan yang akan terjadi sepanjang tahun, mulai dari ajal, rezeki, hingga kelahiran. Ini memberikan keagungan yang luar biasa pada kota Makkah, melebihi sekadar Ka’bah dan sumur Zamzam.
Kota Makkah, dengan segala ketidakadilan sosialnya pada masa Jahiliah, kini diangkat derajatnya melalui wahyu. Surah Al Qadr seakan membersihkan kota itu dari kotoran syirik dan menjadikannya titik fokus bagi turunnya ketetapan Ilahi. Ketika Surah Al Qadr dibaca, ia mengingatkan setiap Muslim di mana pun mereka berada, bahwa momen paling transformatif dalam sejarah spiritual—yaitu penurunan Al-Qur’an—terjadi di Makkah.
Kita dapat melihat ini sebagai persiapan ilahi untuk masa depan. Makkah akan ditaklukkan oleh kaum Muslimin di kemudian hari. Sebelum penaklukan fisik terjadi, Surah Al Qadr telah menaklukkan Makkah secara spiritual dengan menetapkannya sebagai tempat turunnya kemuliaan dan ketetapan ilahi. Hal ini memberikan motivasi kepada kaum Muslimin Makkah: mereka mungkin menderita sekarang, tetapi kota mereka telah dipilih untuk menjadi saksi keagungan yang tak terhingga.
Studi komparatif Surah Al Qadr dengan Surah Al-Bayyinah (sebelumnya) dan Surah Ad-Dhuha (di bagian yang sama dari mushaf) menunjukkan pola yang jelas. Surah-surah tersebut fokus pada kenyamanan Nabi ﷺ di tengah kesulitan Makkah, janji kemenangan, dan deskripsi Al-Qur’an sebagai pembeda yang jelas dari kitab-kitab sebelumnya. Surah Al Qadr melengkapi rangkaian ini dengan memberikan waktu kosmik untuk peristiwa tersebut.
Penolakan terhadap pandangan Madaniyah semakin kuat ketika kita mempertimbangkan mengapa surah yang sangat fundamental tentang esensi wahyu harus diturunkan setelah terbentuknya negara Islam di Madinah. Pada saat Nabi berada di Madinah, fokusnya beralih ke tata kelola sosial dan perang. Surah Al Qadr adalah tentang *apa* yang memberi mereka kekuatan batin untuk bertahan di Makkah, bukan tentang *bagaimana* mereka harus mengatur kekuasaan di Madinah.
Makkah tidak hanya suci karena Ka’bah, tetapi juga karena ia menjadi saksi sejarah spiritual yang paling penting. Surah Al Qadr menempatkan Makkah pada peta kosmik sebagai tempat di mana *Ruh* (Jibril) dan malaikat melakukan perjalanan penting mereka. Kedatangan para malaikat secara masif ke kota ini di malam tersebut mengubah dinamika spiritual Makkah secara keseluruhan.
Penting untuk memahami bahwa Al-Qur’an tidak pernah berbicara tentang tempat secara sembarangan. Ketika Allah memilih Makkah, itu karena Makkah telah ditetapkan sejak masa Ibrahim sebagai tempat berkumpulnya umat manusia. Penurunan Laylatul Qadr di Makkah adalah penegasan kembali bahwa rumah kuno ini adalah titik tolak bagi pembaruan risalah Ilahi.
Tafsir Ibnu Katsir menekankan bahwa Laylatul Qadr adalah malam mulia di mana Allah memulai nikmat terbesar-Nya kepada umat manusia, yaitu penurunan Al-Qur’an. Momen awal ini, yang merupakan dasar dari seluruh agama, secara logis harus bertepatan dengan lokasi awal kenabian, yaitu Makkah. Jika kita menerima bahwa wahyu pertama (Al-Alaq) turun di Makkah, maka pengagungan terhadap malam itu (Al Qadr) harusnya juga terjadi di lingkungan yang sama untuk memberikan kohesi tematik dan historis.
Jika Surah Al Qadr diturunkan di Madinah, hal itu akan menciptakan diskontinuitas: wahyu pertama di Makkah, tetapi perayaan kemuliaan wahyu itu di Madinah. Namun, keagungan Makkah sebagai tempat suci utama menuntut agar momen-momen paling fundamental dalam Al-Qur’an dikaitkan langsung dengannya. Surah Al Qadr memastikan hubungan abadi ini: Makkah adalah bumi, dan Laylatul Qadr adalah langit, tempat mereka bertemu adalah titik tolak risalah.
Gaya bahasa Surah Al Qadr adalah contoh sempurna dari retorika Makkiyah. Ia menggunakan pengulangan yang dramatis dan pertanyaan retoris untuk memicu pemikiran yang dalam. وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ (Tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan itu?) Penggunaan struktur tanya-jawab ini khas digunakan di Makkah untuk menarik perhatian audiens yang awalnya skeptis dan angkuh terhadap Nabi ﷺ.
Bahasa yang padat, kuat, dan penuh sumpah ini dimaksudkan untuk mengalahkan resistensi Makkah. Gaya ini berbeda dengan narasi hukum yang lebih panjang dan tenang yang mendominasi surah-surah Madaniyah. Di Madinah, audiensnya sudah taat, sehingga gaya ceramah lebih cenderung pada regulasi dan etika sosial. Di Makkah, pesan harus bersifat ledakan spiritual, dan Surah Al Qadr adalah ledakan tersebut.
Surah ini juga menekankan kata ganti orang pertama jamak *Kami* (إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ), menegaskan kemahakuasaan Allah secara langsung. Di Makkah, di mana politeisme berakar kuat, penegasan keesaan dan kekuatan transenden Allah adalah keharusan mutlak. Surah Al Qadr memenuhi peran ini dengan cara yang paling puitis dan menggetarkan, yang sangat sesuai dengan konteks dakwah di Makkah.
Berdasarkan semua bukti teologis, historis, linguistik, dan tematik, kesimpulan yang kokoh adalah bahwa Surah Al Qadr diturunkan di **Kota Makkah Al-Mukarramah**. Surah ini adalah permata Makkiyah yang menjelaskan keagungan waktu (Laylatul Qadr) dan keagungan wahyu (Al-Qur’an) di tengah-tengah kota yang menjadi titik tolak risalah Islam.
Surah Al Qadr adalah surat penegasan dan penghiburan. Ia menegaskan bahwa perjuangan para pengikut Nabi di Makkah, meskipun sulit, memiliki dukungan langsung dari surga. Ia menghibur mereka dengan janji pahala yang melampaui seribu bulan, sebuah motivasi spiritual yang hanya relevan dan mendesak pada periode penganiayaan di Makkah.
Dengan menetapkan Surah Al Qadr sebagai Makkiyah, kita menghormati tahapan dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini merupakan bagian integral dari fondasi akidah Islam yang diletakkan di Makkah, mempersiapkan umat untuk menerima syariat dan membangun negara yang akan mereka lakukan kemudian di Madinah. Keagungan Laylatul Qadr tidak terpisahkan dari keagungan Makkah sebagai lokasi yang dipilih Allah untuk memulai cahaya terakhir-Nya di bumi.
Pemahaman ini memberikan dimensi yang lebih kaya ketika kita merenungkan malam Laylatul Qadr. Kita mengingat bukan hanya malam itu sendiri, tetapi juga perjuangan awal para sahabat di Makkah yang menerima janji kedamaian ini di tengah ancaman. Surah Al Qadr, dengan demikian, bukan hanya tentang malam suci, tetapi juga tentang pengukuhan keilahian Makkah sebagai kota yang menjadi poros bagi takdir dan wahyu abadi.
Makkah selamanya akan dikenang sebagai tempat di mana Laylatul Qadr diabadikan dalam Al-Qur’an, sebuah simbol bahwa fondasi Islam ditanamkan di tanah yang paling suci dan paling bersejarah.
***
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dibutuhkan, kita harus kembali menganalisis setiap kata kunci dalam Surah Al Qadr dan bagaimana penafsirannya diperkuat oleh latar belakang Makkah. Kota ini, yang dikenal sebagai lembah yang tidak menumbuhkan tanaman, secara harfiah adalah sebuah lokasi yang bergantung sepenuhnya pada pertolongan ilahi. Penurunan surah yang membahas ketetapan ilahi di lokasi ini adalah sebuah ironi yang mendalam dan sekaligus sebuah keajaiban.
Mengapa Laylatul Qadr harus dihubungkan dengan Makkah? Selain faktor historis yang menyebutkan wahyu pertama terjadi di sana, Makkah adalah simbol universalitas. Meskipun dakwah awalnya hanya menyentuh suku Quraisy, pesan Al-Qur’an ditujukan kepada seluruh umat manusia. Dengan turunnya surah yang membahas ketetapan kosmik di Makkah, Allah menetapkan bahwa dari kota kuno ini—yang dikenal secara luas di Semenanjung Arab—pesan universal akan disebarkan.
Tafsir modern sering mengaitkan Laylatul Qadr dengan konsep *perubahan radikal*. Di Makkah, kaum Muslimin membutuhkan perubahan radikal dalam mentalitas, dari pasif menjadi proaktif dalam ibadah, dan dari keputusasaan menjadi keyakinan mutlak. Malam Kemuliaan, yang memberikan hasil dari seribu bulan, adalah katalisator untuk perubahan mentalitas radikal ini. Makkah adalah arena di mana perubahan itu harus dimulai.
Kata *Al Qadr* (Ketetapan) dalam konteks Makkah berbicara tentang hierarki nilai. Masyarakat Makkah menempatkan nilai tinggi pada kekayaan (*mal*), kekuasaan (*jah*), dan keturunan (*nasab*). Surah Al Qadr menolak hierarki ini. Ia mengajarkan bahwa nilai sejati terletak pada ketaatan spiritual, yang dapat diakses oleh budak maupun tuan, di malam yang sama.
Ketika surah ini diturunkan di Makkah, ia memberikan harapan kepada Bilal, Ammar, dan para sahabat yang lemah lainnya. Mereka mungkin miskin dan tertindas di siang hari, tetapi di Malam Kemuliaan, mereka setara, bahkan mungkin lebih mulia, daripada Abu Jahal dan para pemimpin Quraisy. Inilah revolusi nilai yang dibawa oleh Makkiyah, dan Surah Al Qadr adalah manifestasi puncaknya.
Tidak ada surah Madaniyah yang memiliki fokus tunggal dan intensif pada keagungan waktu spiritual seperti Surah Al Qadr. Surah-surah Madaniyah mencakup waktu yang diberkahi (seperti perintah puasa Ramadhan), tetapi penekanan spiritualitas murni, tanpa diiringi oleh regulasi hukum, adalah ciri khas Makkah. Kebutuhan akan bahan bakar spiritualitas murni ini adalah alasan kuat mengapa Surah Al Qadr harus menjadi wahyu Makkiyah.
Surah Al Qadr, dengan akhir ayat yang berima pada huruf *ra* (seperti ٱلۡقَدۡرِ, شَهۡرٖ, أَمۡرٖ, فَجۡرِ), memiliki irama yang sangat kuat, mudah dihafal, dan menggetarkan. Dalam konteks Makkah, di mana dakwah sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau melalui hafalan, gaya bahasa yang musikal dan ringkas ini sangat efektif untuk penyebaran pesan di kalangan kaum Muslimin yang masih minoritas.
Gaya ini kontras dengan ayat-ayat Madaniyah yang panjang dan detail (misalnya, ayat utang di Surah Al-Baqarah). Ayat-ayat hukum memerlukan pencatatan dan studi yang mendalam, sedangkan ayat-ayat akidah Makkiyah dimaksudkan untuk dihafal dan diresapi dalam hati sebagai benteng spiritual. Surah Al Qadr adalah contoh sempurna dari teknik komunikasi Makkiyah ini, yang bertujuan untuk mencetak pesan keimanan secara permanen di jiwa para pendengar pertama.
Apabila kita membahas detail turunnya Al-Qur’an di Laylatul Qadr, kita kembali kepada sumber otoritas Jibril, yang diutus ke Makkah. Makkah adalah basis operasi malaikat Jibril dalam 13 tahun pertama kenabian. Surah Al Qadr secara eksplisit menyebut Jibril (Ar-Ruh) turun, memperkuat hubungan Makkah dengan peristiwa kosmik ini.
Jika kita membandingkan dengan peristiwa penting di Madinah, seperti Perang Badar atau Fathu Makkah, Surah Al Qadr tidak mencerminkan suasana kemenangan militer atau pengaturan masyarakat yang khas Madinah. Sebaliknya, surah ini mencerminkan suasana misteri, spiritualitas mendalam, dan janji ilahi di tengah kesulitan. Ini menunjukkan bahwa surah ini berasal dari masa ketika harapan spiritual adalah satu-satunya sumber daya, yaitu Makkah.
Keagungan surah ini terletak pada sifatnya yang melampaui waktu dan tempat, tetapi akarnya sangat terikat pada tempat mulia Makkah. Makkah adalah pusat bumi yang diberkahi, dan Laylatul Qadr adalah pusat waktu yang diberkahi. Pertemuan keduanya di Surah Al Qadr menegaskan kesempurnaan pemilihan ilahi atas tempat dan waktu untuk permulaan risalah.
Pengulangan penegasan ini penting karena dalam studi Al-Qur’an, lokasi pewahyuan adalah esensial untuk memahami nuansa ayat. Ketika Surah Al Qadr diakui secara luas sebagai Makkiyah, itu bukan hanya formalitas, melainkan pengakuan bahwa makna sejati surah ini terletak dalam konteks perjuangan dan penegasan tauhid di kota Makkah, sebelum umat Islam meraih kekuatan fisik di Madinah. Makkah adalah kota tempat fondasi spiritual diletakkan, dan Surah Al Qadr adalah salah satu batu pondasi terkuat tersebut.
Oleh karena itu, setiap diskusi tentang Laylatul Qadr selalu harus kembali kepada Makkah, kota yang disucikan oleh penurunan firman yang memuliakan malam ketetapan. Makkah adalah kota yang menyaksikan awal dari kedamaian ilahi yang turun ke bumi, sebuah kedamaian yang berlanjut hingga fajar, dan yang berlanjut hingga hari Kiamat melalui kehadiran Al-Qur’an itu sendiri.
Secara keseluruhan, Surah Al Qadr adalah saksi abadi terhadap Makkah, kota permulaan, perjuangan, dan kemuliaan ilahi yang tak terlukiskan. Penegasan ini adalah inti dari pemahaman kita tentang kronologi dan teologi Islam.
Memahami bahwa Surah Al Qadr adalah Makkiyah memungkinkan kita untuk menempatkan Makkah sebagai titik awal dari peta kosmik yang digambarkan oleh surah ini. Laylatul Qadr adalah malam di mana batas antara langit dan bumi menipis, dan Makkah adalah titik di bumi yang pertama kali menerima transmisi agung ini. Pengertian ini memperdalam penghormatan kita terhadap Makkah, bukan hanya sebagai arah kiblat, tetapi sebagai pintu gerbang wahyu.
Surah ini, melalui sifatnya yang Makkiyah, menekankan bahwa meskipun dakwah Nabi saat itu terbatas secara geografis pada Makkah dan sekitarnya, dampaknya bersifat universal. Ketetapan yang ditetapkan pada malam itu (Al-Qadr) mencakup nasib seluruh alam, menegaskan bahwa pusat spiritual dunia memang telah berpindah ke Makkah, bahkan ketika kota itu secara politik menentang Nabi.
Penafsiran oleh beberapa ulama menyebutkan bahwa meskipun Laylatul Qadr terjadi setiap tahun, makna penurunan Al-Qur’an dalam surah ini merujuk pada malam pertama penurunan. Jika kita menerima penafsiran ini, maka keterkaitannya dengan Gua Hira di Makkah tidak dapat dipisahkan. Surah Al Qadr berfungsi sebagai sebuah prasasti suci yang mengukuhkan Gua Hira (bagian dari Makkah) sebagai tempat di mana cahaya ilahi pertama kali menyentuh bumi melalui perantaraan Jibril.
Tidak ada pandangan ulama yang kuat yang berhasil memisahkan kemuliaan Laylatul Qadr dari konteks Makkah yang penuh tantangan. Justru tantangan di Makkah itulah yang menjadikan janji kemuliaan dan kedamaian dalam surah ini begitu berharga dan monumental. Surah Al Qadr adalah janji Allah bahwa kemuliaan abadi akan diberikan kepada mereka yang berjuang di jalan tauhid, janji yang pertama kali diumumkan di pusat penindasan.
Makkah, dengan demikian, bukan hanya tempat ziarah, tetapi juga lokasi historis dan teologis di mana konsep ketetapan ilahi dan permulaan wahyu bertemu dan diabadikan dalam bentuk Surah Al Qadr. Penetapan lokasi ini memperkuat posisi Makkah sebagai kota yang dilindungi dan dimuliakan oleh Sang Pencipta, terlepas dari kondisi politik atau sosialnya pada masa tertentu.
Dalam ringkasan, setiap Muslim yang membaca Surah Al Qadr harus merasakan getaran Makkah, getaran awal dakwah, dan getaran dari momen ketika langit membuka diri di atas Lembah Suci untuk menurunkan petunjuk abadi. Inilah inti dari Surah Al Qadr sebagai Surah Makkiyah.
Ketika sebuah surah diklasifikasikan sebagai Makkiyah, itu menunjukkan bahwa ia addressing the root of belief, or *usul ad-din*. Sebaliknya, Madaniyah membahas *furu' ad-din* (cabang-cabang agama, yaitu hukum). Surah Al Qadr secara tegas berada dalam kategori *usul*, berbicara tentang fondasi: Allah, wahyu-Nya, malaikat, dan takdir. Fondasi ini harus ditetapkan di Makkah, kota yang membutuhkan pembersihan akidah dari syirik.
Keterbatasan geografis Makkah pada saat itu—sebuah komunitas kecil yang terisolasi—membuat pesan Surah Al Qadr menjadi sangat mendesak. Pesan itu harus mampu melampaui keterbatasan ruang dan waktu. Dan pesan itu berhasil: Al-Qur’an yang diturunkan di Makkah pada Laylatul Qadr kini memimpin miliaran orang di seluruh dunia. Makkah adalah titik awal ledakan spiritualitas global.
Para mufassir telah berulang kali menekankan bahwa gaya pengajaran di Makkah adalah melalui contoh yang kuat dan penggambaran kosmik. Apa yang lebih kosmik daripada malaikat dan Ruh turun untuk menetapkan urusan alam semesta? Penggambaran ini, yang berlokasi di Makkah, dimaksudkan untuk membuat kaum musyrikin Makkah tercengang akan keagungan Islam, sekaligus memberikan keyakinan absolut kepada para sahabat yang teraniaya.
Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat minoritas, seperti yang dicatat oleh Az-Zamakhsyari yang menyebutkan bahwa sebagian kecil ulama berpendapat surah ini Madaniyah, konsensus ulama besar (termasuk Al-Wahidi, Ibnu Katsir, dan As-Suyuti) mengesampingkan pandangan tersebut. Argumen Madaniyah selalu gagal karena surah ini tidak mengandung satupun elemen hukum yang khas Madinah. Ia murni narasi tentang keagungan keimanan dan wahyu, yang merupakan fokus utama dakwah Makkah.
Oleh karena itu, surah ini adalah dokumen spiritual yang mengukir Makkah sebagai tempat permulaan Laylatul Qadr, sebuah peristiwa yang mengubah jalannya sejarah spiritual umat manusia.