Surah Al-Fil adalah salah satu surah pendek yang menempati urutan ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Surah ini termasuk golongan Surah Makkiyah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ di Makkah sebelum hijrah ke Madinah. Meskipun hanya terdiri dari lima ayat, kandungan sejarah, teologis, dan pelajaran moral di dalamnya sangatlah padat, memberikan ilustrasi nyata mengenai kekuasaan absolut Allah SWT dan perlindungan-Nya terhadap rumah suci-Nya, Ka'bah.
Nama 'Al-Fil' sendiri berarti 'Gajah'. Surah ini secara tunggal menceritakan peristiwa monumental yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai 'Tahun Gajah' (Amul Fil), sebuah kejadian yang terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini bukan sekadar anekdot sejarah, melainkan sebuah mukjizat besar yang menegaskan status Ka'bah sebagai pusat ibadah yang dijaga secara langsung oleh kekuatan Ilahi, jauh sebelum Islam datang membawa risalah kenabian yang sempurna.
Untuk memahami kedalaman surah ini, penting kiranya kita meninjau kembali rangkaian ayat-ayat suci tersebut secara berurutan:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
Ayat 1: Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
Ayat 2: Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
Ayat 3: Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ
Ayat 4: Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ
Ayat 5: Sehingga Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat).
Kandungan utama Surah Al-Fil tidak dapat dipahami tanpa menengok kembali latar belakang historisnya yang luar biasa, yaitu serangan terhadap Makkah oleh Raja Abrahah al-Ashram, gubernur Yaman yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum (Habasyah/Etiopia).
Abrahah adalah seorang penguasa yang ambisius. Ia melihat bahwa Ka'bah di Makkah menjadi pusat ziarah yang sangat menguntungkan secara ekonomi dan spiritual bagi suku-suku Arab. Untuk mengalihkan perhatian dan kekayaan ziarah ke wilayah kekuasaannya, Abrahah membangun sebuah gereja megah di Sana'a, Yaman, yang dinamai Al-Qulais. Ia ingin menjadikannya sebagai 'Ka'bah' baru bagi Bangsa Arab.
Ilustrasi simbolis Gajah Abrahah.
Ketika gereja Al-Qulais selesai dibangun, ia mengumumkan tujuannya untuk mengalihkan ziarah. Reaksi Bangsa Arab, yang memiliki ikatan spiritual yang dalam dengan Ka'bah, sangatlah negatif. Salah satu pemuda Quraisy, sebagai bentuk penghinaan, dilaporkan memasuki gereja tersebut pada malam hari dan mengotorinya. Tindakan ini memicu kemarahan besar Abrahah, yang kemudian bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah di Makkah hingga rata dengan tanah sebagai balas dendam dan penegasan dominasinya.
Abrahah mempersiapkan pasukan yang sangat besar, dilengkapi dengan gajah-gajah tempur yang gagah. Gajah-gajah ini merupakan simbol kekuatan militer yang tak tertandingi di Semenanjung Arab pada masa itu. Gajah paling besar dan terdepan dalam pasukan tersebut dikenal dengan nama Mahmud.
Ketika pasukan Abrahah mendekati Makkah, penduduk Makkah, yang dipimpin oleh kakek Nabi Muhammad ﷺ, Abdul Muththalib, merasa tidak mampu melawan kekuatan militer sebesar itu. Abdul Muththalib, yang merupakan pemimpin Quraisy dan penjaga Ka'bah, memutuskan untuk mengevakuasi penduduk ke perbukitan di sekitar Makkah dan menyerahkan urusan penjagaan Ka'bah sepenuhnya kepada Allah SWT.
Dikisahkan bahwa ketika Abrahah memerintahkan pasukannya untuk bergerak menuju Ka'bah, gajah yang bernama Mahmud secara ajaib menolak bergerak ke arah kiblat. Setiap kali gajah itu diarahkan ke Makkah, ia berlutut atau berbalik arah. Namun, ketika diarahkan ke arah lain (Yaman atau timur), ia akan bergerak dengan cepat. Kejadian ini sudah merupakan tanda awal kekuasaan Ilahi yang menghalangi niat jahat tersebut, meskipun Abrahah tetap ngotot melanjutkan rencana penyerangannya.
(Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?)
Ayat ini dibuka dengan pertanyaan retoris, "Alam tara" (Tidakkah engkau melihat/memperhatikan?). Pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang lahir pada tahun peristiwa tersebut dan menyaksikan sisa-sisa kehancuran tersebut di kemudian hari, tetapi juga kepada setiap pembaca Al-Qur'an. Ini adalah cara Allah untuk menarik perhatian pada keagungan dan ketidakmungkinan peristiwa yang akan diceritakan.
Penggunaan kata 'Rabbuka' (Tuhanmu) menekankan hubungan khusus antara Allah dan Rasul-Nya, serta menunjukkan bahwa tindakan ini dilakukan sebagai bentuk pemeliharaan dan perlindungan atas agama yang pada akhirnya akan dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini adalah mukadimah kenabian.
Peristiwa 'Ashabul Fil' (Pasukan Gajah) begitu terkenal di kalangan Bangsa Arab sehingga tidak perlu dirinci lebih lanjut. Semua orang Makkah saat itu, termasuk kaum musyrikin yang menyembah berhala, mengakui bahwa Ka'bah diselamatkan oleh kekuatan yang lebih tinggi, bukan oleh usaha manusia.
(Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?)
Kata kunci di sini adalah 'kaidahum' (tipu daya mereka) dan 'fi tadhlil' (sia-sia, tersesat, atau gagal total). Meskipun Abrahah datang dengan kekuatan material yang luar biasa dan rencana yang matang (yaitu menghancurkan pusat spiritual Makkah), Allah menegaskan bahwa semua rencana jahat tersebut telah Dia arahkan menuju kegagalan.
Tipu daya Abrahah bukan hanya kegagalan militer, tetapi kegagalan moral dan spiritual. Niatnya adalah merampas status Ka'bah, tetapi hasilnya justru mengukuhkan kesucian Ka'bah di mata seluruh dunia Arab. Kegagalan ini merupakan manifestasi bahwa kekuatan manusia, meskipun didukung oleh teknologi dan jumlah, tidak akan mampu mengatasi Kehendak Ilahi. Ini mengajarkan bahwa niat jahat yang diarahkan kepada hal-hal suci akan selalu berujung pada kehancuran diri sendiri.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa kegagalan strategi Abrahah terjadi dalam dua fase: fase pertama adalah pembangkangan gajah Mahmud, dan fase kedua adalah intervensi alam yang menghancurkan keseluruhan pasukan. Allah memastikan bahwa tipu daya mereka tidak mencapai tujuannya, bahkan ketika mereka sudah berada di ambang keberhasilan fisik. Ini merupakan perlindungan yang sangat presisi.
(Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,)
Ini adalah titik balik dramatis dalam kisah tersebut. Allah tidak menggunakan malaikat bersenjata atau bencana alam besar seperti gempa bumi, melainkan mengirimkan makhluk yang tampak remeh dan lemah: 'thairan ababil' (burung-burung Ababil).
Gambaran Burung Ababil yang Berbondong-bondong.
Kata 'Ababil' tidak merujuk pada jenis burung tertentu, melainkan kondisi mereka, yang berarti 'berbondong-bondong', 'berkelompok-kelompok', atau 'dari segala penjuru'. Ini menunjukkan jumlah yang sangat besar, menutupi langit, dan datang secara terorganisir, sebuah pasukan udara alami yang dikerahkan oleh Tuhan. Pemilihan burung, makhluk yang rapuh, untuk mengalahkan pasukan gajah, makhluk yang perkasa, adalah penekanan sempurna pada kontras antara kekuasaan Ilahi dan kelemahan manusia.
(Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,)
Burung-burung Ababil tersebut membawa 'hijaaratim min sijjil', yaitu batu dari sijjil. Para ahli tafsir sepakat bahwa sijjil merujuk pada tanah liat yang telah dibakar atau dipanaskan hingga menjadi sangat keras, seperti batu bata atau tembikar. Batu-batu kecil ini, meskipun ukurannya mungkin tidak lebih besar dari kerikil, memiliki daya hancur yang luar biasa.
Menurut riwayat tafsir, setiap burung membawa tiga buah batu: satu di paruhnya dan dua di cengkeraman kakinya. Batu-batu ini mengenai pasukan Abrahah dengan akurasi yang mematikan. Dikatakan bahwa begitu batu itu mengenai seorang prajurit atau gajah, ia akan menyebabkan luka bakar dan pembusukan yang cepat, menembus baju besi, dan menghancurkan organ dalam.
Ayat ini mengajarkan bahwa Allah mampu mengubah benda yang paling sederhana menjadi senjata paling mematikan jika Dia berkehendak. Kekuatan sebuah objek tidak terletak pada sifat intrinsiknya, tetapi pada qudratullah (kekuasaan Allah) yang mengendalikannya.
(Sehingga Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat).)
Ayat penutup ini menggambarkan akibat final dari intervensi Ilahi. 'Asf ma'kul' secara harfiah berarti 'daun yang dimakan ulat' atau 'batang tanaman yang dimakan ternak' yang telah dipotong dan diinjak-injak hingga hancur. Ini adalah gambaran visual tentang kehancuran total dan mutlak.
Pasukan yang gagah, perkasa, dan penuh kesombongan, dengan gajah-gajah raksasa mereka, tiba-tiba berubah menjadi sisa-sisa yang tidak berarti, seperti ampas makanan ternak yang telah dikunyah dan dikeluarkan. Perubahan status ini sangat kontras: dari simbol kekuasaan (gajah) menjadi simbol kerapuhan dan kehinaan (sisa-sisa daun). Ini adalah akhir yang memalukan bagi tirani dan kesombongan Abrahah, menegaskan prinsip bahwa kesombongan akan selalu dihancurkan oleh Kebesaran Allah.
Di luar narasi sejarah, Surah Al-Fil memuat pilar-pilar penting dalam keyakinan (aqidah) Islam yang relevan sepanjang masa. Kekayaan kandungan surah ini menjadikannya salah satu dalil kuat tentang Tauhid Rububiyah dan Asma' wa Sifat.
Kisah Abrahah adalah bukti nyata bahwa Allah adalah satu-satunya Pengatur alam semesta, yang mengendalikan takdir, sejarah, dan bahkan elemen alam seperti burung dan batu. Ketika kekuatan manusia mencapai batas maksimalnya, perlindungan Ilahi bekerja dengan cara yang paling tidak terduga.
Peristiwa ini mengajarkan bahwa manusia, betapapun kuatnya ia membangun pasukan atau merancang strategi, tidak dapat lepas dari kendali Sang Pencipta. Pasukan Gajah mewakili puncak kekuatan militer duniawi saat itu, tetapi mereka dilumpuhkan oleh intervensi yang sangat sederhana. Ini mengokohkan keyakinan bahwa kekuatan absolut (Rububiyah) hanya milik Allah SWT.
Fakta bahwa Allah memilih tahun ini sebagai kelahiran penutup para nabi, Muhammad ﷺ, menunjukkan bahwa Dia telah membersihkan panggung dan menegakkan Rumah Suci-Nya sebagai persiapan bagi risalah terakhir. Ini adalah penetapan geografis dan historis yang krusial.
Surah Al-Fil menegaskan status Ka'bah sebagai Baitullah (Rumah Allah) yang memiliki perlindungan khusus. Meskipun pada saat itu Ka'bah masih dipenuhi berhala oleh suku Quraisy, Allah tetap melindunginya karena Ka'bah adalah fondasi tauhid yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS.
Kisah ini menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang berniat jahat terhadap tempat suci, bahkan jika para penjaganya saat itu belum berada dalam kondisi iman yang sempurna. Perlindungan Allah terhadap Ka'bah bersifat abadi, memastikan bahwa Ka'bah akan selalu menjadi kiblat bagi umat manusia yang beriman, sebuah simbol persatuan dan ketauhidan.
Nilai historis Ka'bah sebelum Islam adalah sebagai monumen yang dihormati secara universal oleh Bangsa Arab. Penyelamatannya dari tangan Abrahah, yang bukan dilakukan oleh kekuatan manusia melainkan oleh mukjizat, memberikan legitimasi ilahi yang mendalam bagi Ka'bah, menjadikannya tak tersentuh di mata generasi Quraisy yang akan datang.
Kisah Abrahah adalah cerminan dari kesudahan yang buruk bagi setiap penguasa yang bertindak sewenang-wenang dan didorong oleh arogansi. Abrahah ingin memaksa manusia untuk mengubah kiblat dan merendahkan kesucian Ka'bah demi kekuasaan pribadinya. Kehancuran pasukannya secara total berfungsi sebagai Sunnatullah (Hukum Allah) bahwa kezaliman dan kesombongan pasti akan dihancurkan. Tidak ada kekuasaan duniawi yang dapat melawan keadilan dan kehendak Tuhan.
Pesan ini universal: kekuatan militer, kekayaan, dan ambisi tidak dapat menjamin keabadian atau kemenangan spiritual jika niatnya adalah kezaliman. Penghinaan Abrahah, yang mayat pasukannya dibiarkan menjadi seperti 'dedaunan yang dimakan ulat', adalah pelajaran abadi bagi setiap tiran di dunia.
Keindahan dan ketelitian Surah Al-Fil juga terletak pada pemilihan kata-kata Arab yang sangat kaya makna, di mana setiap istilah membawa beban teologis dan deskriptif yang mendalam. Analisis terhadap beberapa istilah kunci menunjukkan kedalaman retorika surah ini.
Penggunaan ungkapan retoris ini adalah teknik sastra Arab yang kuat. Meskipun Nabi Muhammad ﷺ secara fisik tidak hadir sebagai orang dewasa yang menyaksikan peristiwa tersebut (karena beliau baru lahir), frasa ini bermakna 'Tidakkah engkau mengetahui melalui berita yang sangat mutawatir?' atau 'Tidakkah engkau mengamati akibat-akibatnya?' Ini menuntut perhatian penuh dan pengakuan atas kebenaran historis yang tidak terbantahkan oleh masyarakat Makkah saat itu. Pertanyaan retoris ini menggarisbawahi kejelasan bukti yang ada di depan mata para pendengar pertama Al-Qur'an.
Kata 'kaid' tidak hanya berarti rencana, tetapi lebih spesifik pada 'strategi jahat' atau 'muslihat licik'. Abrahah datang bukan sekadar menyerang, tetapi merencanakan kehancuran total terhadap fondasi spiritual Makkah. Al-Qur'an secara tepat menggunakan 'kaid' untuk menunjukkan bahwa yang dihancurkan Allah bukanlah sekadar pasukan, tetapi juga niat jahat dan ambisi tersembunyi yang mendasarinya. Allah menggagalkan rencana tersebut (fi tadhlil), yang berarti rencana itu menjadi sesat dan kehilangan arah, tidak mampu mencapai sasaran utamanya.
Para mufassir telah lama mendiskusikan sifat dari sijjil. Secara umum, ia dihubungkan dengan batu dari neraka (seperti yang disebutkan dalam kisah kaum Nabi Luth) atau batu vulkanik. Dalam konteks Surah Al-Fil, sijjil menunjukkan material yang tidak berasal dari Makkah atau Yaman, melainkan material yang telah diolah secara supernatural. Kekuatan batu tersebut tidak proporsional dengan ukurannya. Setiap batu disebutkan memiliki efek yang spesifik, menghancurkan individu secara cepat dan mengerikan. Ini adalah demonstrasi bahwa hukuman Allah dapat datang melalui sarana yang paling tidak terduga dan mematikan.
Metafora ini sangat kuat dalam budaya gurun. 'Asf' adalah sisa-sisa tanaman yang telah dipotong dan kering. Ketika ternak memakannya dan mengeluarkannya, ia menjadi ampas yang menjijikkan dan tidak berguna. Perumpamaan ini adalah puncak dari penghinaan. Pasukan yang tadinya megah dan menakutkan, kini direduksi menjadi sampah organik. Ini bukan hanya kehancuran fisik, tetapi juga penghancuran reputasi, prestise, dan kesombongan militer mereka. Abrahah dan pasukannya menjadi pelajaran yang tercatat selamanya dalam sejarah Arab, bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai korban dari keangkuhan mereka.
Meskipun Surah Al-Fil menceritakan peristiwa yang terjadi sebelum kenabian, dampak dan relevansinya bagi dakwah Nabi Muhammad ﷺ sangatlah fundamental dan strategis.
Pada saat Surah Al-Fil diturunkan, kaum Quraisy di Makkah adalah kelompok yang kuat namun masih musyrik (politeis). Namun, mereka semua tumbuh besar dengan kisah Tahun Gajah sebagai fakta sejarah yang tak terbantahkan. Ketika Nabi Muhammad ﷺ membacakan Surah Al-Fil, beliau tidak menceritakan sesuatu yang baru, melainkan mengingatkan mereka tentang sejarah terdekat yang menunjukkan siapa Pelindung Ka'bah yang sebenarnya.
Surah ini berfungsi sebagai hujah (argumen): Jika Allah mampu melindungi Ka'bah dari kekuatan super seperti pasukan gajah, Dia pasti mampu melindungi Rasul-Nya dan mewujudkan janji-janji-Nya. Ia membangun kredibilitas pesan tauhid di tengah masyarakat yang masih menghormati mukjizat tahun tersebut.
Tahun Gajah adalah titik balik penting. Tanpa intervensi Ilahi, Ka'bah akan hancur, dan pusat spiritual Arab akan beralih ke Yaman. Hal ini mungkin akan mengubah seluruh alur sejarah Semenanjung Arab, menjadikannya lebih mudah ditaklukkan oleh kekuatan luar. Perlindungan Allah memastikan bahwa Makkah dan Ka'bah tetap menjadi entitas independen dan suci, pusat yang stabil, siap menerima risalah Islam.
Dengan kata lain, Allah telah merapikan panggung global dan lokal. Dia menyingkirkan kekuatan besar yang zalim (Abrahah) tepat pada saat Nabi terakhir akan lahir, memastikan bahwa awal Islam dimulai dari fondasi yang dilindungi dan independen.
Surah ini sering kali dibacakan di Makkah ketika kaum musyrikin menuduh Nabi sebagai tukang sihir atau penyair. Surah Al-Fil adalah bukti bahwa Allah, yang menyelamatkan Ka'bah dari kehancuran Abrahah, kini memilih seorang rasul dari suku Quraisy yang sama, yang lahir di tahun mukjizat tersebut, untuk membawa risalah-Nya. Hal ini mengaitkan kenabian Muhammad ﷺ dengan sejarah suci yang diakui semua orang.
Surah ini juga memberikan harapan besar bagi kaum Muslimin yang minoritas dan tertindas di Makkah. Mereka diajarkan bahwa meskipun mereka lemah secara fisik, Allah, yang menghancurkan pasukan gajah hanya dengan burung, pasti akan membela hamba-hamba-Nya yang beriman melawan para penindas Quraisy.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Surah Al-Fil, kita harus terus merenungkan bagaimana kisah ini berulang kali memberikan penekanan pada tema-tema yang sama, namun dari sudut pandang yang berbeda, menunjukkan kesempurnaan pesan Qur'ani.
Tema sentral yang ditekankan berulang kali adalah kontras antara kekuatan yang dipamerkan (gajah, jumlah pasukan) dan kelemahan yang dipilih Allah sebagai alat hukuman (burung dan batu). Pengulangan kisah ini dalam berbagai khutbah dan pengajaran para ulama selalu menyoroti bahwa kekuatan sejati bukanlah pada apa yang dimiliki manusia, tetapi pada siapa yang manusia sembah.
Gajah, yang merupakan simbol ketangguhan dan ukuran, tidak berdaya melawan batu kecil. Ini adalah pelajaran bahwa musuh terbesar umat Islam di sepanjang zaman bukanlah musuh fisik, tetapi musuh spiritual: kesombongan dan ketergantungan pada kekayaan duniawi. Surah Al-Fil secara halus mempersiapkan kaum Muslimin untuk mengabaikan intimidasi kekuatan besar dan berpegang teguh pada janji Allah.
Surah ini berfungsi ganda: sebagai peringatan keras (wa'id) bagi siapa pun yang berani menyerang kesucian agama atau simbol-simbolnya, dan sebagai janji (wa'd) bagi kaum mukmin bahwa Allah adalah Penjaga yang Maha Kuat.
Kandungan peringatan ini berlanjut dalam Surah-surah yang datang kemudian, mengancam kaum musyrikin Quraisy dengan nasib yang mirip jika mereka terus menolak risalah kenabian. Bahkan di masa modern, surah ini menjadi sumber inspirasi bahwa kezaliman global, sekuat apa pun ia terlihat, pasti memiliki batas dan akhir yang telah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kisah ini dimaksudkan untuk diambil ibrahnya, bukan sekadar dikenang. Ibrah terpenting adalah tentang kerendahan hati. Abrahah tidak dihancurkan karena ia kafir (karena banyak orang kafir yang hidup damai), tetapi karena ia sombong, zalim, dan mencoba merusak sesuatu yang suci. Bagi para penguasa Muslim di masa depan, Surah Al-Fil adalah cermin yang mengingatkan mereka bahwa kekuasaan hanya pinjaman dan harus digunakan untuk melindungi, bukan menghancurkan. Kegagalan untuk mengambil ibrah ini akan mengakibatkan mereka menerima nasib yang serupa.
Secara ringkas, Surah Al-Fil, dengan lima ayatnya yang ringkas, menyajikan salah satu narasi paling kuat tentang intervensi supranatural dalam sejarah manusia. Ia mengukuhkan Ka'bah, menegaskan Tauhid Rububiyah, meramalkan kemenangan kenabian, dan memberikan penghinaan abadi bagi kesombongan tiran. Kandungan surah ini adalah fondasi keimanan yang kokoh, menjamin bahwa kekuasaan absolut milik Allah, dan hanya Dia-lah Pelindung sejati bagi hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan Rumah Suci-Nya.
Refleksi atas surah ini mengajak kita untuk selalu mengingat bahwa kekuatan material dan perencanaan manusia seringkali tidak berarti di hadapan strategi tak terduga yang dicanangkan oleh Al-Mudabbir (Sang Pengatur Segala Urusan). Keselamatan dan kehancuran, keduanya berada dalam genggaman-Nya.
***
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai kandungan Surah Al-Fil, kita perlu menelusuri lebih jauh dimensi geopolitik yang melatarbelakangi peristiwa ini. Kekuatan Abrahah tidak muncul di ruang hampa; ia adalah perpanjangan dari persaingan kekuatan global di Semenanjung Arab pada abad ke-6 Masehi.
Pada masa itu, Yaman merupakan titik strategis dalam perdagangan rempah-rempah antara Afrika, India, dan Mediterania. Yaman telah ditaklukkan oleh Kekaisaran Kristen Aksum (Etiopia modern/Habasyah). Abrahah sendiri adalah seorang wakil (Gubernur) yang kuat, dan agamanya adalah Kristen. Ambisinya untuk menghancurkan Ka'bah didorong oleh dua faktor utama: faktor agama (mengangkat Al-Qulais sebagai pusat ziarah Kristen) dan faktor ekonomi (mengalihkan kekayaan perdagangan dari Makkah ke Sana'a).
Kisah ini menunjukkan benturan antara dua kekuatan spiritual dan ekonomi: tradisi pagan Arab kuno yang memegang Ka'bah, dan kekuatan monoteistik besar yang didukung militer (Kristen Etiopia). Ironisnya, Allah melindungi Ka'bah (yang saat itu diselimuti paganisme) dari tangan monoteis yang zalim, menegaskan bahwa perlindungan Allah didasarkan pada tujuan akhir Ka'bah sebagai fondasi Tauhid yang akan datang, bukan pada kondisi iman para penjaganya saat itu.
Setelah kehancuran pasukan Abrahah, Makkah dan suku Quraisy mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi (prestise) di mata seluruh suku Arab. Peristiwa ini dikenal sebagai ‘Hari Kemenangan’ (يوم النصر). Suku-suku Arab percaya bahwa Quraisy adalah Ahlullah (Keluarga Allah) dan penjaga Rumah-Nya yang diberkati.
Peningkatan prestise ini, meskipun membawa manfaat politik, juga meningkatkan kesombongan Quraisy. Surah Al-Fil kemudian datang untuk mengingatkan Quraisy bahwa prestise ini bukan karena kekuatan mereka sendiri, tetapi karena intervensi Allah semata. Ini menjadi dasar kritik Al-Qur'an terhadap arogansi pemimpin Quraisy di masa-masa awal dakwah Nabi ﷺ.
Para sejarawan kontemporer meninjau bahwa jika Abrahah berhasil, Semenanjung Arab akan jatuh lebih cepat di bawah kekuasaan asing (Habasyah atau Persia), yang mungkin akan menunda atau mengubah total peta penyebaran Islam. Allah memastikan lingkungan yang relatif otonom dan stabil bagi munculnya kenabian.
Kandungan Surah Al-Fil juga kaya akan pelajaran moral dan etika yang relevan bagi kehidupan individu dan kolektif umat manusia, jauh melampaui konteks sejarahnya.
Sikap Abdul Muththalib mengajarkan prinsip penting dalam menghadapi tirani. Ketika ia tidak mampu melawan kekuatan fisik Abrahah, ia tidak menyerah pada keputusasaan, melainkan memilih tawakal (berserah diri) total kepada Allah. Ia mengambil langkah manusiawi untuk melindungi rakyatnya (mengevakuasi mereka ke bukit) dan langkah spiritual untuk menyerahkan yang ilahi kepada Sang Pemilik.
Pelajaran ini adalah: dalam menghadapi musuh yang secara material lebih kuat, seorang mukmin harus menggabungkan usaha terbaik (ijtihad) dengan keyakinan penuh (tawakal). Kekuatan spiritual yang muncul dari tawakal ini seringkali menjadi penentu nasib akhir.
Ayat kedua, Alam yaj'al kaidahum fi tadhlil (Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka sia-sia?), menekankan pentingnya niat. Niat Abrahah adalah jahat: menghancurkan dan mengalihkan. Karena niatnya fasik, maka meskipun metodenya canggih (pasukan gajah), hasilnya adalah kegagalan. Ini adalah cerminan dari prinsip Islam: amal perbuatan dinilai berdasarkan niatnya. Niat yang korup akan merusak seluruh proyek, betapapun megahnya proyek tersebut.
Mukjizat dalam Surah Al-Fil dicapai melalui burung dan batu. Ini mengajarkan umat Islam untuk tidak meremehkan apa pun yang diciptakan Allah. Makhluk yang paling sederhana sekalipun dapat menjadi agen perubahan yang besar. Ini menanamkan rasa hormat terhadap seluruh ciptaan dan menolak pandangan materialistik bahwa hanya hal-hal besar dan mahal yang memiliki kekuatan.
Dalam praktik sehari-hari, Surah Al-Fil adalah surah yang sering dibaca karena pendek dan kuat maknanya. Pembacaannya bukan hanya ritual, tetapi pengingat konstan akan lima nilai inti:
***
Secara keseluruhan, Surah Al-Fil adalah salah satu surah yang paling kuat dalam Juz Amma. Ia adalah epik singkat yang merangkum pelajaran abadi tentang iman, tawakal, keadilan Ilahi, dan akhir yang menyedihkan bagi para tiran. Kisah pasukan gajah yang dihancurkan oleh burung kecil adalah bukti nyata bahwa Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung, dan Dia tidak memerlukan sarana manusiawi untuk mewujudkan kehendak-Nya. Kandungan surah ini terus menjadi mercusuar cahaya, membimbing umat Islam untuk selalu bersandar pada Kekuatan Yang Maha Tinggi dalam menghadapi segala bentuk arogansi dan kezaliman di dunia.
Dari kejelasan sejarah yang disajikan oleh Surah Al-Fil, hingga detail linguistik yang memperkuat pesan hukuman, setiap kata dan setiap ayat dirancang untuk meninggalkan kesan yang mendalam dan mengubah perspektif pembaca tentang batas kemampuan manusia versus kekuasaan tak terbatas Sang Pencipta. Ini adalah esensi dari Surah Al-Fil: pengagungan terhadap kekuasaan Allah dan janji kehancuran bagi setiap pihak yang berupaya menantang-Nya.
Kisah Abrahah, yang didokumentasikan dalam Al-Qur'an, tetap menjadi peringatan kolektif bagi umat manusia tentang bahaya absolutisme kekuasaan dan keharusan untuk mengenali batas-batas intervensi manusia terhadap hal-hal yang ditetapkan oleh Yang Maha Suci. Pembacaan dan perenungan Surah Al-Fil adalah gerbang menuju peningkatan ketakwaan dan pengakuan total atas keesaan dan kekuasaan Allah SWT.