Simbol keseimbangan dan pencarian pencerahan.
Dalam khazanah budaya Nusantara, Kejawen kerap disebut sebagai sebuah tradisi atau kepercayaan yang lahir dari perpaduan unsur-unsur lokal dengan ajaran agama samawi, terutama Islam. Istilah "Kejawen" sendiri merujuk pada "kewajiban" atau "ajaran" dalam bahasa Jawa, yang menggambarkan upaya masyarakat Jawa dalam mencari makna hidup dan pedoman spiritual. Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana posisi Kejawen ini jika ditelaah dari kacamata ajaran Islam. Apakah keduanya dapat berjalan harmonis, atau justru terdapat titik-titik kontradiksi yang mendasar?
Secara umum, Kejawen diyakini sebagai sebuah sistem kepercayaan yang berusaha mengintegrasikan nilai-nilai luhur, etika, moralitas, dan spiritualitas. Dalam praktiknya, Kejawen seringkali diwujudkan dalam bentuk ritual, upacara adat, seni pertunjukan, dan filosofi hidup yang menekankan pada keselarasan alam semesta, pengendalian diri (manunggaling kawula gusti), dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta. Unsur-unsur ini, jika dilihat secara superfisial, tampaknya tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang juga mengajarkan tentang tawakal, sabar, ikhlas, dan pentingnya menjaga keseimbangan hidup.
Banyak pandangan yang menyatakan bahwa Kejawen, dalam perkembangannya di kalangan masyarakat santri yang taat beragama, telah menyerap banyak ajaran Islam. Konsep manunggaling kawula gusti misalnya, dalam interpretasi yang lebih moderat, dapat dipahami sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan, dan menjadikan diri sebagai hamba yang sepenuhnya tunduk pada kehendak-Nya. Ini selaras dengan esensi Islam yang menyerukan agar manusia senantiasa mengingat dan beribadah kepada Allah.
Selain itu, penekanan Kejawen pada etika, moralitas, dan budi pekerti luhur juga sejalan dengan ajaran Islam. Nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, kerendahan hati, dan hormat kepada sesama, adalah pilar utama dalam ajaran Islam. Banyak pepatah dan petuah dalam tradisi Kejawen yang mencerminkan kebijaksanaan yang juga ditemukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (QS. Ali Imran: 190)
Ayat ini, misalnya, menjadi pengingat bagi umat Islam untuk merenungi kebesaran Allah melalui alam semesta. Tradisi Kejawen yang juga sangat menghargai alam dan segala isinya, dapat dilihat sebagai salah satu bentuk tafakur (merenung) yang dianjurkan dalam Islam, meskipun metode dan kedalamannya mungkin berbeda.
Namun, penting untuk diakui bahwa terdapat aspek-aspek dalam Kejawen yang berpotensi menimbulkan perbedaan dan bahkan kontradiksi dengan prinsip-prinsip Islam yang murni. Tantangan muncul ketika unsur-uns kepercayaan pra-Islam atau bahkan animisme, dinamisme, dan politeisme masih meresap kuat dalam praktik Kejawen. Misalnya, praktik-praktik yang melibatkan persembahan kepada roh leluhur, pemujaan terhadap kekuatan gaib di tempat-tempat tertentu, atau penggunaan jimat dengan keyakinan yang melebihi ketentuan syariat, jelas bertentangan dengan konsep tauhid (keesaan Allah) dalam Islam.
Konsep manunggaling kawula gusti itu sendiri dapat menjadi area perbedaan yang signifikan. Jika dalam Islam konsep ini diartikan sebagai kesatuan hakikat antara hamba dan Tuhan, maka itu adalah bentuk syirik yang tidak terampuni. Namun, jika dipahami sebagai puncak kedekatan spiritual dan penyerahan diri yang total, maka ia bisa selaras. Perbedaannya terletak pada interpretasi dan bagaimana praktik tersebut diwujudkan. Ajaran Islam menegaskan bahwa Allah Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan manusia adalah ciptaan-Nya yang tidak akan pernah bisa menyatu dengan Sang Pencipta dalam zatnya.
Selain itu, beberapa ritual Kejawen mungkin melibatkan unsur-uns yang berbau takhayul atau bid'ah (penyimpangan dalam agama). Hal ini tentu harus disikapi dengan kritis oleh seorang Muslim. Ajaran Islam sangat menekankan pentingnya mengikuti tuntunan wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal spiritualitas dan ritual.
Dalam menyikapi Kejawen, seorang Muslim hendaknya memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam. Hal ini penting agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman atau tergelincir dari akidah yang benar. Pertama, perlu dibedakan antara nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang berpotensi selaras dengan Islam, dengan praktik-praktik yang jelas bertentangan dengan syariat.
Kedua, jika ada elemen-elemen dalam Kejawen yang dianggap baik dan sesuai dengan ajaran Islam, maka ia bisa diadopsi sebagai bagian dari kearifan lokal yang memperkaya kehidupan berbudaya, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar agama. Namun, jika terdapat unsur-uns yang menyimpang dari tauhid, syirik, bid'ah, atau hal-hal yang dilarang oleh agama, maka ia harus ditinggalkan atau diluruskan.
Ketiga, dialog dan edukasi yang konstruktif sangat dibutuhkan. Umat Islam perlu dibekali dengan ilmu agama yang cukup agar dapat memilah mana yang sesuai dan mana yang tidak. Para ulama dan tokoh agama memiliki peran penting dalam memberikan panduan yang jelas mengenai hal ini.
Pada akhirnya, Kejawen dan Islam dapat dilihat sebagai dua entitas yang memiliki potensi untuk berdialog dan saling memperkaya, asalkan dalam koridor ajaran Islam yang murni. Harmoni dapat tercapai ketika Kejawen diposisikan sebagai ekspresi budaya yang menyerap nilai-nilai luhur Islam, bukan sebagai pengganti atau penyeimbang ajaran agama itu sendiri. Pencarian spiritual harus senantiasa mengacu pada sumber utama ajaran Islam agar tidak tersesat dalam labirin kepercayaan yang membahayakan akidah.