Memahami Surah Al-Lahab: Jawaban Inti
Visualisasi Surah Al-Lahab sebagai salah satu surah Makkiyah yang turun di awal masa kenabian.
Pertanyaan mengenai surah al lahab ada berapa ayat adalah pertanyaan fundamental dalam studi Al-Quran. Surah ini, yang juga dikenal dengan nama Al-Masad, menempati posisi yang unik dalam Mushaf karena secara spesifik mencela dua individu yang menentang keras dakwah Nabi Muhammad ﷺ.
Jawaban Tegas Mengenai Jumlah Ayat
Berdasarkan konsensus ulama tafsir dan seluruh riwayat (baik riwayat Hafs, Warsh, maupun Qalun), Surah Al-Lahab memiliki jumlah ayat yang pasti dan tidak diperdebatkan. Surah ini terdiri dari:
Surah Al-Lahab (Al-Masad) terdiri dari 5 (Lima) Ayat.
Surah ini merupakan surah ke-111 dalam susunan Mushaf Utsmani dan tergolong sebagai surah Makkiyah, yang berarti diturunkan sebelum peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ dari Mekkah ke Madinah. Letaknya berada di Juz ke-30, atau yang sering disebut sebagai Juz 'Amma.
Nama Lain dan Posisi Historis
Selain Surah Al-Lahab, surah ini juga dikenal dengan nama Surah Al-Masad, diambil dari kata terakhir dalam surah tersebut yang berarti 'tali dari sabut' atau 'tali dari serat kurma'. Perbedaan penamaan ini mencerminkan fokus tematik, di mana Al-Lahab merujuk pada takdir Abu Lahab (api yang menyala-nyala), sementara Al-Masad merujuk pada nasib istrinya (pembawa kayu bakar).
Surah ini memiliki signifikansi historis yang luar biasa karena ia adalah salah satu dari sedikit surah yang diturunkan secara langsung untuk mengutuk individu tertentu yang masih hidup pada saat wahyu itu turun. Keberanian wahyu ini menegaskan bahwa kebenaran (tauhid) jauh lebih penting daripada ikatan darah atau kekeluargaan.
Struktur Ringkas Surah Al-Lahab (Al-Masad)
- Pernyataan tentang kehancuran dan kerugian.
- Penegasan bahwa harta dan kekayaan tidak akan menyelamatkan.
- Ancaman api neraka yang menyala-nyala.
- Pencelaan terhadap istri Abu Lahab sebagai pembawa fitnah.
- Gambaran tentang nasib istri Abu Lahab di Akhirat.
Asbabun Nuzul (Latar Belakang Turunnya) Surah Al-Lahab
Untuk memahami kedalaman lima ayat Surah Al-Lahab, kita harus menelusuri konteks sejarah yang sangat spesifik, yang dikenal sebagai Asbabun Nuzul. Kisah ini berpusat pada momen-momen awal dakwah terbuka Nabi Muhammad ﷺ di Mekkah.
Awal Dakwah Terbuka di Bukit Safa
Setelah tiga tahun dakwah secara rahasia, Allah ﷻ memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memulai dakwah secara terang-terangan (QS. Asy-Syu'ara: 214). Nabi naik ke Bukit Safa, sebuah tempat yang strategis di Mekkah, dan memanggil seluruh suku Quraisy.
Nabi Muhammad ﷺ berkata, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Adiyy! Bagaimana jika aku memberitahu kalian bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?"
Mereka serempak menjawab, "Tentu, kami tidak pernah mendengar kebohongan darimu."
Kemudian Nabi ﷺ berkata, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian di hadapan azab yang pedih."
Reaksi Pedih dari Paman Sendiri
Di antara kerumunan itu, hadir paman Nabi, Abdul Uzza bin Abdul Muththalib, yang lebih dikenal dengan julukan Abu Lahab (Ayah Api yang Menyala-nyala), karena wajahnya yang rupawan dan kemerahan.
Momen konfrontasi di Bukit Safa yang memicu turunnya Surah Al-Lahab.
Mendengar pernyataan Nabi ﷺ, Abu Lahab berdiri dan mengucapkan kalimat celaan yang sangat menusuk: "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"
Berdasarkan riwayat Imam Bukhari dan Muslim, setelah celaan itu diucapkan, Allah ﷻ segera menurunkan lima ayat Surah Al-Lahab sebagai respons langsung yang tegas terhadap penolakan dan permusuhan Abu Lahab.
Peran Istri Abu Lahab: Umm Jamil
Permusuhan terhadap Nabi ﷺ tidak hanya datang dari Abu Lahab, tetapi juga dari istrinya, Umm Jamil, yang bernama asli Arwah binti Harb. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan (yang saat itu juga musuh Islam). Perannya disebutkan dalam surah tersebut sebagai 'Hammalatul Hatab' (Pembawa Kayu Bakar).
Umm Jamil dikenal suka menyebarkan fitnah, duri, dan kotoran di jalan yang dilewati Nabi Muhammad ﷺ. Perilakunya ini, baik secara harfiah (menghalangi jalan) maupun metaforis (menyebarkan gosip dan fitnah), membuatnya dijuluki 'pembawa kayu bakar'—kayu bakar neraka yang akan membakar suaminya dan dirinya sendiri.
Perkawinan dan Kekuatan Sosial Abu Lahab
Penting untuk dicatat bahwa Abu Lahab adalah figur yang sangat berpengaruh. Dia adalah paman Nabi, dan pada awalnya, setelah wafatnya kakek Nabi (Abdul Muththalib), Abu Lahab sempat menunjukkan dukungan, terutama saat Nabi masih kecil. Namun, permusuhannya mengeras setelah kenabian diumumkan. Hubungan pernikahan kedua anaknya, Utbah dan Utaibah, dengan putri-putri Nabi, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, juga diputuskan atas perintah Abu Lahab dan istrinya segera setelah surah ini diturunkan, sebagai bentuk penolakan total terhadap ajaran Islam.
Surah ini tidak hanya sekadar celaan, tetapi merupakan mukjizat profetik. Karena Abu Lahab dan istrinya disebutkan secara spesifik akan masuk neraka, mereka diberi kesempatan, selama hidup mereka, untuk membuktikan Al-Quran salah. Jika mereka menyatakan syahadat, nubuatan surah ini akan gugur. Namun, mereka mati dalam keadaan kafir, membuktikan kebenaran mutlak dari lima ayat yang diturunkan tersebut.
Tafsir Lima Ayat Surah Al-Lahab (Penafsiran Mendalam)
Kelima ayat surah ini adalah rangkaian kutukan, ancaman, dan deskripsi nasib yang saling berhubungan. Setiap ayat membawa pelajaran teologis dan linguistik yang mendalam.
Ayat 1: Kehancuran Tangan Abu Lahab
(1) Tabbat yadā Abī Lahabiw wa tabb.
Artinya: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!"
Kata kunci di sini adalah تَبَّتْ (Tabbat) yang berarti 'celaka', 'rugi', atau 'binasa'. Ini adalah doa atau pernyataan kenabian tentang kehancuran Abu Lahab. Frasa "kedua tangan Abu Lahab" (yadā Abī Lahab) secara harfiah merujuk pada anggota tubuh yang digunakan untuk bekerja dan mencari rezeki, tetapi secara metaforis, ini merujuk pada seluruh upayanya, tindakannya, dan kekuasaannya. Seolah-olah semua usahanya dalam memusuhi Islam akan sia-sia.
Pengulangan وَّتَبَّ (wa tabb) di akhir ayat ("dan benar-benar binasa dia") berfungsi sebagai penegasan (taukid). Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pengulangan ini berarti, "Kehancuran telah ditetapkan baginya, dan itu pasti terjadi." Kehancuran ini bukan hanya di dunia (hilangnya kehormatan dan kekuasaan), tetapi juga di Akhirat (kekal di Neraka).
Ayat 2: Kekayaan Tak Bermanfaat
(2) Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab.
Artinya: "Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan."
Abu Lahab adalah orang kaya dan memiliki status sosial tinggi di Mekkah. Ayat kedua ini menghancurkan ilusi bahwa kekayaan dan kekuasaan dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah ﷻ. Frasa "dan apa yang dia usahakan" (wa mā kasab) ditafsirkan oleh sebagian ulama merujuk pada keturunannya—anak-anaknya yang ia banggakan. Tafsir ini menyatakan bahwa bahkan anak-anaknya tidak akan dapat menolongnya dari azab Allah, bahkan mereka (Utbah dan Utaibah) akhirnya berpisah dengannya, meninggalkannya sendirian dalam permusuhannya.
Pelajaran Tauhid dari Ayat Kedua
Ayat ini mengajarkan pelajaran fundamental tauhid: bahwa perlindungan sejati hanya datang dari Allah ﷻ. Dalam menghadapi hukuman Ilahi, harta benda, posisi sosial, atau dukungan manusia menjadi tidak berarti sama sekali.
Ayat 3: Api yang Menyala-nyala
(3) Sayaṣlā nāran dhāta lahab.
Artinya: "Kelak dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala."
Ini adalah inti dari hukuman bagi Abu Lahab. Kata kerja سَيَصْلٰى (Sayaṣlā) adalah bentuk masa depan yang pasti, memastikan bahwa peristiwa ini pasti akan terjadi. Hal paling menarik dari ayat ini adalah penggunaan kata لَهَبٍ (Lahab), yang berarti 'api yang menyala-nyala'. Ini adalah permainan kata (paronomasia) yang luar biasa dalam bahasa Arab, menghubungkan nama panggilan Abu Lahab ("Ayah Api") dengan takdirnya: ia akan memasuki 'Api yang Menyala-nyala' (Nāran Dhāta Lahab).
Kecocokan nama dan hukuman ini bukan kebetulan, melainkan penegasan bahwa nama panggilannya, yang mungkin ia banggakan di dunia, kini menjadi simbol kehancuran dan takdirnya di Akhirat.
Ayat 4: Istri Si Pembawa Kayu Bakar
(4) Wamra'atuh, ḥammālatal ḥaṭab.
Artinya: "Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah)."
Ayat keempat ini memperluas hukuman mencakup istri Abu Lahab, Umm Jamil. Julukan حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammālatal Ḥaṭab) atau 'Pembawa Kayu Bakar' memiliki dua dimensi penafsiran yang saling menguatkan:
- Penafsiran Harfiah: Ia benar-benar membawa duri dan kayu berduri untuk diletakkan di jalur yang dilalui Nabi Muhammad ﷺ agar menyakiti beliau.
- Penafsiran Metaforis: Ia membawa fitnah, gosip jahat, dan kebohongan untuk memicu permusuhan antara kaum Muslimin dan suku Quraisy. Fitnah ini dianggap sebagai 'kayu bakar' yang akan membakar dirinya dan suaminya di Neraka.
Keterlibatan aktif Umm Jamil dalam permusuhan menjustifikasi penyebutan namanya secara tidak langsung dalam Surah ini, memastikan bahwa ia akan berbagi nasib buruk suaminya di Neraka.
Ayat 5: Tali Sabut di Lehernya
(5) Fī jīdihā ḥablum mim masad.
Artinya: "Di lehernya ada tali dari sabut/serat."
Ayat terakhir memberikan gambaran visual yang mengerikan tentang hukuman bagi Umm Jamil. Kata جِيْدِهَا (jīdihā) berarti 'leher', dan مَّسَدٍ (Masad) berarti 'tali yang terbuat dari serat atau sabut pohon kurma'.
Ayat ini melengkapi hukuman metaforis dari ayat sebelumnya. Jika di dunia ia bangga membawa kayu bakar dengan tali di lehernya (mungkin berupa kalung mahal yang ia tukar untuk membeli kayu), di Akhirat, tali itu akan menjadi tali dari sabut api Neraka, yang secara terus menerus menyiksanya. Ayat ini juga mungkin merujuk pada rantai yang akan mengikat para penghuni Neraka. Nama lain surah ini, Al-Masad, diambil langsung dari kata ini, menekankan kebalikan dari kemewahan duniawi yang ia nikmati menjadi kehinaan abadi.
Analisis Linguistik dan Mukjizat (I'jaz) dalam Lima Ayat
Keindahan dan kedalaman Surah Al-Lahab tidak hanya terletak pada pesan teologisnya, tetapi juga pada keajaiban struktural dan linguistiknya. Meskipun hanya terdiri dari lima ayat, surah ini menunjukkan kemahiran bahasa Arab yang luar biasa, menjadikannya salah satu bukti kemukjizatan Al-Quran (I'jaz Al-Quran).
Rima dan Ritme yang Kuat
Surah-surah Makkiyah, terutama yang pendek di Juz ‘Amma, sering kali memiliki rima yang bergelombang dan kuat. Rima di Surah Al-Lahab (Ayat 1-4 diakhiri dengan huruf Qalqalah atau pengucapan yang berdentum, dan Ayat 5 diakhiri dengan Dal) memberikan dampak suara yang intens, seolah-olah menggambarkan dentuman hukuman yang akan datang. Penggunaan bunyi konsonan yang kuat menciptakan atmosfer ketegangan dan kengerian yang sesuai dengan tema ancaman.
Fenomena Paronomasia (Al-Jinas)
Sebagaimana disinggung sebelumnya, hubungan antara nama Abu Lahab dan api neraka adalah contoh klasik dari paronomasia (kesamaan bunyi atau kata yang berbeda makna). Abu Lahab (Ayah Api yang Menyala) akan dilemparkan ke dalam نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Nāran Dhāta Lahab) (Api yang memiliki nyala). Ini bukan sekadar lelucon kata, tetapi penekanan bahwa bahkan identitas pribadinya di dunia telah disiapkan untuk menjadi tanda bagi takdirnya di Akhirat. Ini menegaskan bahwa hukuman Allah ﷻ sangat spesifik dan personal.
Mukjizat Profetik (I'jaz Al-Ghaib)
Aspek yang paling mencengangkan dari lima ayat ini adalah sifat profetiknya. Ketika Surah Al-Lahab diturunkan, Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan memiliki kekuatan sosial yang signifikan. Surah ini secara tegas menyatakan bahwa:
- Mereka akan binasa di dunia dan Akhirat.
- Harta mereka tidak berguna.
- Mereka pasti akan masuk Neraka.
Ini adalah tantangan terbuka. Jika saja Abu Lahab, dalam sisa hidupnya (beberapa tahun setelah surah turun), mengucapkan syahadat, nubuatan dalam Al-Quran akan menjadi salah. Namun, Abu Lahab, didorong oleh kesombongan dan kebencian, tidak pernah menyatakan keimanan. Dia meninggal dalam keadaan kafir setelah Perang Badar, dikalahkan oleh penyakit yang menjijikkan (Al-Adasa), dan jenazahnya harus diurus oleh budak dari jauh karena ketakutan masyarakat akan wabah. Kematiannya yang hina dan tanpa iman membuktikan kebenaran mutlak dari setiap kata dalam lima ayat Surah Al-Lahab. Ini adalah bukti nyata bahwa Surah ini adalah wahyu dari Zat yang Maha Mengetahui hal gaib (Al-Ghaib).
Penggunaan Tenses (Masa Depan yang Pasti)
Perhatikan penggunaan kata سَيَصْلٰى (Sayaṣlā) pada Ayat 3. Partikel 'sa' (س) di awal kata kerja menunjukkan masa depan yang pasti dan segera. Penggunaan ini menghilangkan keraguan sedikit pun mengenai nasib akhir Abu Lahab, menjadikannya sebuah keputusan yang telah ditetapkan oleh Ilahi, bukan sekadar ancaman kosong.
Ibrah dan Pelajaran Teologis dari Surah yang Berisi Lima Ayat Ini
Meskipun Surah Al-Lahab terfokus pada dua individu spesifik, pelajaran yang diambil dari lima ayat ini bersifat universal dan abadi, menyentuh isu-isu kebenaran, loyalitas, dan pertanggungjawaban individu.
1. Kebenaran Melebihi Ikatan Darah
Pelajaran terpenting adalah penegasan bahwa ikatan iman dan kebenaran (tauhid) jauh lebih mulia dan kuat daripada ikatan darah atau kekeluargaan. Abu Lahab adalah paman Nabi, figur keluarga terdekat yang seharusnya melindungi, tetapi justru menjadi musuh terkeras. Allah ﷻ tidak membiarkan kerabat Nabi lolos dari hukuman hanya karena hubungan darah. Di hadapan Allah ﷻ, yang dinilai adalah amal dan keimanan, bukan silsilah.
2. Tidak Ada Perlindungan dari Harta dan Status
Ayat kedua Surah Al-Lahab secara eksplisit menolak anggapan bahwa kekayaan, kekuasaan, atau status sosial dapat menjadi benteng melawan kebenaran ilahi. Abu Lahab adalah orang yang dihormati, memiliki banyak harta, dan disegani. Namun, di Hari Kiamat, semua itu hanya menjadi debu. Pelajaran ini relevan bagi setiap generasi yang cenderung menempatkan materialisme dan status di atas moralitas dan keimanan.
3. Konsekuensi dari Permusuhan Aktif
Surah ini memperingatkan mereka yang tidak hanya menolak kebenaran, tetapi juga secara aktif dan agresif memusuhi pembawanya dan menyebarkan fitnah. Peran Umm Jamil sebagai "Hammalatul Hatab" adalah simbol bagi semua penyebar fitnah. Mereka yang berupaya memadamkan cahaya kebenaran, baik dengan kekuatan fisik maupun dengan kebohongan verbal, akan menanggung konsekuensi yang setara dengan tindakan mereka.
4. Keadilan dan Spesifisitas Hukuman
Hukuman yang dijelaskan dalam lima ayat ini sangat spesifik, baik untuk Abu Lahab (api yang sesuai dengan namanya) maupun istrinya (tali yang sesuai dengan pekerjaannya membawa kayu bakar). Ini menunjukkan prinsip keadilan ilahi (Qisas), di mana balasan disesuaikan dengan jenis kejahatan yang dilakukan. Ini adalah motivasi yang kuat bagi umat Islam untuk memperhatikan setiap tindakan yang mereka lakukan, karena balasan yang akan datang mungkin terkait erat dengan perbuatan duniawi.
5. Kepastian Janji dan Ancaman Allah
Karena Surah ini diturunkan sebagai sebuah nubuatan yang pasti terpenuhi, ia memperkuat keyakinan Muslim terhadap kepastian janji dan ancaman Allah ﷻ yang terdapat dalam Al-Quran. Jika ancaman terhadap Abu Lahab yang masih hidup saja terwujud, maka ancaman dan janji lain yang terdapat dalam Al-Quran, termasuk surga dan neraka, adalah kepastian yang tidak bisa dihindari.
Mengapa Surah Al-Lahab begitu penting bagi dakwah?
Surah ini memberi kekuatan moril kepada Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikut awal. Ia menunjukkan bahwa Allah ﷻ secara langsung membela utusan-Nya, bahkan di hadapan ancaman dari kerabat terdekat. Ini menanamkan keberanian dan ketegasan dalam menghadapi penentangan, menegaskan bahwa kekuasaan manusia tidak dapat mengalahkan kekuatan Ilahi.
Al-Lahab dalam Konteks Juz Amma dan Surah Lain
Surah Al-Lahab terletak di akhir rangkaian surah-surah pendek dalam Juz 30. Penempatan ini memiliki hikmah tersendiri yang berkaitan erat dengan pesan fundamental yang dibawa oleh surah-surah sebelumnya, seperti Al-Kafirun dan An-Nasr.
Keterkaitan dengan Surah Al-Kafirun
Surah Al-Kafirun (surah ke-109) menyatakan pemisahan total antara Muslim dan kaum kafir: "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku." Surah Al-Lahab datang setelahnya sebagai studi kasus nyata mengenai pemisahan tersebut. Meskipun Abu Lahab adalah keluarga dekat Nabi, Surah Al-Lahab menegaskan bahwa pemisahan ideologis dan keyakinan harus terjadi jika tidak ada titik temu dalam tauhid. Hubungan darah tidak dapat menyelamatkan jika keimanan telah ditolak sepenuhnya.
Keterkaitan dengan Surah An-Nasr
Surah An-Nasr (surah ke-110) berbicara tentang pertolongan Allah ﷻ dan kemenangan yang akan datang, yang puncaknya adalah Fathu Mekkah (Penaklukan Mekkah). Surah Al-Lahab dapat dilihat sebagai kesimpulan dari era permusuhan di Mekkah. Kemenangan yang dijanjikan oleh An-Nasr tidak hanya berarti masuknya banyak orang ke dalam Islam, tetapi juga keruntuhan total para penentang utama, yang diwakili oleh kehancuran Abu Lahab.
Kedudukan Surah Al-Lahab dalam Periodisasi Makkiyah
Surah Al-Lahab tergolong dalam surah Makkiyah awal (fase pertama). Surah-surah pada periode ini memiliki fokus utama pada:
- Penegasan Tauhid (keesaan Allah).
- Ancaman dan peringatan hari kiamat.
- Penguatan hati Nabi ﷺ dalam menghadapi penolakan.
Al-Lahab berfungsi sebagai manifestasi nyata dari poin ketiga. Ia adalah penguatan psikologis bagi Nabi dan para sahabat yang lemah, meyakinkan mereka bahwa Allah ﷻ akan mengatasi musuh-musuh mereka yang paling kuat sekalipun.
Mengapa Surah Ini Tidak Disebutkan dalam Salat Wajib Secara Luas?
Beberapa ulama dan imam cenderung menghindari pembacaan Surah Al-Lahab secara rutin dalam salat wajib, meskipun tidak ada larangan mutlak. Hal ini bukan karena surah tersebut kurang penting, melainkan karena:
- Fokusnya yang terlalu personal, yang mungkin memecah fokus jemaah dari pesan universal Al-Quran.
- Mayoritas surah pendek Juz Amma dipilih untuk pesan universalitas (seperti Al-Ikhlas, An-Nas, Al-Falaq).
Namun, surah ini tetap menjadi bagian integral dari Al-Quran dan memiliki nilai pendidikan yang tinggi, terutama dalam studi Asbabun Nuzul dan sejarah Islam awal.
Kajian mendalam tentang surah yang hanya terdiri dari lima ayat ini menunjukkan betapa padatnya setiap kata dalam Al-Quran. Setiap huruf, setiap frasa, dan setiap konteks historisnya membawa makna yang berlipat ganda, menjelaskan dengan gamblang konsekuensi dari menolak kebenaran. Lima ayat ini telah mencakup sejarah, kenabian, peringatan, dan mukjizat linguistik yang tak tertandingi.
Perluasan Konsep 'Masad' (Serat Kurma)
Kata 'Masad' (serat kurma) sangat erat kaitannya dengan kehidupan Arab. Serat ini umumnya digunakan untuk tali kasar dan pekerjaan berat, kontras dengan kalung emas yang biasa dipakai oleh wanita bangsawan seperti Umm Jamil. Penggunaan 'Masad' sebagai tali siksaan di Neraka adalah bentuk penghinaan yang sempurna, mengubah simbol kekayaan duniawi menjadi alat penyiksaan abadi. Hal ini mempertegas sekali lagi prinsip bahwa segala sesuatu yang diagungkan di dunia, jika digunakan untuk menentang kebenaran, akan menjadi kehinaan di Akhirat.
Jika kita tinjau kembali pertanyaan awal: surah al lahab ada berapa ayat, jawabannya adalah lima. Namun, makna yang terkandung di dalam lima ayat ini merupakan ensiklopedia teologis, sejarah, dan profetik. Ia adalah peringatan abadi bagi mereka yang menukar kebenaran demi kepentingan duniawi atau kekerabatan yang sesat. Kelima ayat ini adalah penegasan kedaulatan Allah ﷻ atas setiap makhluk-Nya, dan bahwa tidak ada seorang pun, tidak peduli seberapa tinggi statusnya, yang luput dari perhitungan-Nya yang adil.
Implikasi Akhir Surah Al-Lahab
Sebagai penutup dari kajian ini, Surah Al-Lahab berfungsi sebagai pengingat yang kuat bahwa jalan kebenaran sering kali membutuhkan pengorbanan, bahkan memutuskan ikatan dengan mereka yang menolak Islam secara terang-terangan. Lima ayat ini memastikan bahwa meskipun permusuhan terhadap Islam mungkin tampak kuat di mata manusia, ia akan selalu berakhir dengan kehancuran dan kerugian total di hadapan Kehendak Ilahi.
Setiap umat Islam yang membaca lima ayat ini diingatkan tentang risiko menjadi musuh kebenaran, dan pentingnya menjaga hati, harta, dan perbuatan agar tidak serupa dengan nasib tragis Abu Lahab dan istrinya. Tangan mereka binasa, harta mereka tidak berguna, dan takdir mereka adalah api yang menyala-nyala, yang semuanya terangkum dalam surah yang singkat namun padat ini.
Kita kembali menggarisbawahi kejelasan jumlah ayatnya, lima ayat yang telah berdiri tegak selama berabad-abad sebagai deklarasi keadilan dan kenabian. Kelima ayat ini adalah pondasi bagi pemahaman tentang garis batas antara keimanan dan kekafiran di masa-masa awal Islam, dan relevansinya tetap utuh hingga hari ini.
Kisah ini mengajarkan bahwa status sosial tertinggi di dunia tidak berarti apa-apa jika seseorang memilih untuk berdiri di sisi kesombongan dan penolakan. Abu Lahab mewakili semua penentang keras yang menggunakan kekuasaan, sementara istrinya mewakili semua penyebar fitnah yang menggunakan lisan untuk menghancurkan kebenaran. Lima ayat ini adalah peringatan yang komprehensif terhadap kedua jenis kejahatan tersebut.
Kajian Mendalam Teks Arab: Struktur Gramatikal dan Balaghah
Untuk benar-benar menghargai kedalaman Surah Al-Lahab yang terdiri dari lima ayat, perluasan analisis tata bahasa Arab (Nahwu) dan retorika (Balaghah) menjadi krusial. Lima ayat ini adalah permata singkat yang sarat dengan teknik bahasa tingkat tinggi.
Analisis Gramatikal Ayat 1: 'Tabbat Yadā'
Frasa تَبَّتْ يَدَآ (Tabbat yadā) menggunakan kata kerja feminin (Tabbat) meskipun subjek utamanya, 'Yadā' (kedua tangan), adalah dual maskulin. Namun, dalam tata bahasa klasik, jika kata kerja diletakkan sebelum subjek, sering kali digunakan bentuk feminin tunggal jika subjeknya dual atau jamak yang tidak berakal, atau dalam kasus ini, penekanan diletakkan pada keseluruhan tindakan. 'Yadā' adalah bentuk dual yang di-rafa’ (nominatif), dan harakatnya menunjukkan makna 'kedua tangan'.
Pemisahan أَبِي لَهَبٍ (Abī Lahab) yang merupakan *Idafah* (konstruksi genitif) juga menunjukkan betapa spesifiknya target kutukan ini. Kata 'Abu' di sini adalah bentuk genitif karena didahului oleh penekanan kutukan.
Implikasi Kata 'Mā Kasab' (Ayat 2)
Ulama berbeda pendapat tentang arti persis dari وَمَا كَسَبَ (wa mā kasab). Secara gramatikal, 'mā' bisa menjadi *mā nafyiyah* (negasi) atau *mā maṣdariyyah* (bermakna sumber). Jika diartikan sebagai *nafyiyah*, maknanya: "Hartanya tidak berguna, dan dia tidak berusaha (untuk berbuat baik)." Jika diartikan sebagai *maṣdariyyah* (sebagaimana tafsir yang lebih kuat), maknanya: "Dan apa yang ia usahakan (anak-anaknya, status, pengaruhnya)." Konsensus tafsir modern cenderung mendukung makna kedua, yakni segala daya upaya dan hasil kerjanya, termasuk keturunan, tidak akan memberinya manfaat di hari perhitungan.
Ketegasan Waktu dalam Ayat 3: 'Sayaslā'
Penggunaan huruf Sīn (س) di awal سَيَصْلٰى (Sayaṣlā), seperti yang sudah dijelaskan, adalah penunjuk waktu futur yang segera dan pasti (immediate future). Ini berbeda dengan penggunaan *Sawfa* (سَوْفَ) yang menunjukkan masa depan yang lebih jauh atau memiliki jeda waktu. Pilihan Sīn secara linguistik menuntut perhatian segera, menekankan bahwa hukuman ini sudah dekat dan tak terhindarkan bagi Abu Lahab. Struktur ini merupakan elemen Balaghah yang meningkatkan efek peringatan.
Peran 'Hammālatal Ḥaṭab' (Ayat 4)
Frasa حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammālatal Ḥaṭab) adalah bentuk *Na'at* (kata sifat) atau *Badal* (pengganti) yang menjelaskan 'istrinya' (Wamra'atuh). Secara gramatikal, kata Hammālah adalah bentuk *sighah mubalaghah* (bentuk superlatif) dari *ḥāmilah* (pembawa), yang menunjukkan intensitas dan kebiasaan. Ini berarti ia bukan hanya sesekali membawa kayu bakar, tetapi ini adalah karakternya, ia terbiasa menjadi 'pembawa kayu bakar'—dalam konteks ini, penyebar fitnah yang sangat aktif.
Simbolisme 'Masad' (Ayat 5) dan Qafilah Mekkah
Kata مَّسَدٍ (Masad) tidak hanya merujuk pada tali serat kurma, tetapi juga merujuk pada simbol kekayaan tertentu di Mekkah. Tali semacam itu sering kali digunakan dalam perdagangan dan kafilah. Dengan menempatkan tali 'masad' di lehernya sebagai siksaan abadi, Al-Quran secara retoris menyingkap kepalsuan kemewahan duniawi Umm Jamil, yang mungkin bangga dengan kalung mahalnya. Siksaannya akan menjadi kebalikan dari kebanggaannya di dunia.
Secara keseluruhan, lima ayat Surah Al-Lahab adalah masterpice retorika Arab, menggabungkan: kejelasan hukum, personalisasi hukuman (jinas), dan janji nubuatan yang terbukti benar, semuanya dalam struktur yang ringkas dan ritmis. Ini adalah alasan mengapa surah ini memiliki bobot teologis yang jauh melebihi panjangnya.
Mengapa Surah Ini Dinamakan Juga Al-Masad? (Perluasan)
Meskipun dikenal luas sebagai Al-Lahab (merujuk pada Ayah Api), nama Al-Masad (merujuk pada tali sabut) juga digunakan. Pilihan nama kedua ini menggarisbawahi bahwa Surah ini adalah tentang takdir pasangan tersebut. Al-Lahab menunjukkan nasib sang suami, sementara Al-Masad menunjukkan nasib sang istri. Penamaan ganda ini memastikan bahwa pembaca tidak melupakan peran signifikan kedua individu dalam permusuhan terhadap Nabi Muhammad ﷺ.
Jika kita tinjau kembali lima ayat tersebut, dua ayat pertama fokus pada Abu Lahab (binasa dan hartanya), dua ayat berikutnya memperkenalkan istrinya (pembawa kayu bakar dan tali), dan ayat ketiga berada di tengah sebagai ancaman api neraka yang berlaku bagi keduanya. Struktur simetris ini menambah keindahan komposisi surah ini.
Kesimpulan dari analisis linguistik ini adalah bahwa kelima ayat Surah Al-Lahab adalah bukti luar biasa tentang bagaimana Al-Quran menggunakan bahasa untuk memberikan dampak psikologis, sejarah, dan spiritual yang maksimal, memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak hanya dipahami, tetapi juga dirasakan hingga ke relung hati.