Kajian Mendalam Surah Al-Lahab: Mengungkap Arti dan Kepastian Hukuman Ilahi

Surah Al-Lahab, yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad, adalah salah satu surah Makkiyah terpendek dalam Al-Qur'an, menempati urutan ke-111. Meskipun pendek, pengaruh dan kedalaman maknanya sangat besar, menjadikannya salah satu manifestasi paling jelas dari kepastian janji dan ancaman Ilahi. Surah ini secara langsung menunjuk dan mengutuk salah satu penentang Nabi Muhammad ﷺ yang paling keras, yaitu pamannya sendiri, Abu Lahab, dan istrinya. Memahami surah al lahab artinya bukan sekadar menerjemahkan kata per kata, melainkan menyelami konteks historis yang ekstrem di masa-masa awal dakwah Islam di Makkah.

I. Identitas Surah: Al-Lahab dan Al-Masad

Nama "Al-Lahab" merujuk pada ayat ketiga surah ini yang berarti "nyala api yang bergejolak". Sedangkan nama "Al-Masad" (tali dari sabut atau serat palma) diambil dari ayat terakhir. Meskipun kedua nama tersebut sering digunakan, inti surah ini adalah peringatan tentang kehancuran total bagi mereka yang menentang kebenaran dengan permusuhan yang melampaui batas kekeluargaan.

Surah ini memiliki keunikan yang luar biasa: ia adalah satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebut nama seseorang yang ditakdirkan untuk celaka di neraka, dan hal ini diwahyukan ketika orang tersebut masih hidup. Ini berfungsi sebagai mukjizat kenabian yang tak terbantahkan, karena Abu Lahab memiliki kesempatan untuk menyangkal klaim kenabian Muhammad dengan sekadar berpura-pura masuk Islam—tindakan yang tidak pernah ia lakukan hingga akhir hayatnya, membuktikan kepastian nubuat Al-Qur'an.

Api Kehancuran (Al-Lahab)

II. Teks Arab dan Terjemahan Al-Lahab

  1. تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ

    Terjemah: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!

  2. مَآ أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ

    Terjemah: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa (usaha) yang dia usahakan.

  3. سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

    Terjemah: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Al-Lahab).

  4. وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ

    Terjemah: Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.

  5. فِى جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍۭ

    Terjemah: Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal (Al-Masad).

III. Asbāb an-Nuzūl (Sebab Turunnya Ayat)

Konteks turunnya surah ini sangat spesifik dan dramatis. Ayat ini diwahyukan setelah insiden terkenal di mana Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk memulai dakwah secara terbuka kepada kaumnya. Beliau naik ke bukit Safa dan memanggil Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, dan seluruh kabilah Quraisy.

Nabi bertanya, "Jika aku memberitahukan kepada kalian bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?" Mereka menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berdusta." Kemudian Nabi berkata, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan azab yang pedih."

Pada momen penting ketika seluruh kabilah Quraisy diam mendengarkan, muncul suara nyaring yang memecah keheningan. Orang yang berbicara itu adalah Abu Lahab, paman Nabi, yang bernama asli Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Dengan penuh kebencian, ia berteriak, "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Abu Lahab kemudian mengambil batu dan berusaha melempar Nabi. Tindakan verbal dan fisik ini adalah pengkhianatan kekeluargaan yang ekstrem, memicu turunnya Surah Al-Lahab sebagai respons langsung dari Allah SWT atas penghinaan yang tidak hanya ditujukan kepada Muhammad sebagai pribadi, tetapi juga kepada risalah Ilahi yang dibawanya.

IV. Tafsir Ayat per Ayat (Analisis Linguistik dan Teologis)

Ayat 1: تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ (Tabbat yadā Abī Lahabin wa tabb)

Linguistik "Tabbat": Kata Tabbat (تبت) berasal dari akar kata T-B-B, yang berarti rugi, celaka, binasa, atau gagal total. Kata ini mengandung konotasi kehancuran dan kerugian yang tidak dapat diperbaiki. Pengulangan kata kerja ini di akhir ayat ("...wa tabb" - dan benar-benar binasa dia) memberikan penegasan yang mutlak. Bentuk past tense yang digunakan di awal (Tabbat), walaupun merujuk pada masa depan, menunjukkan kepastian tak terhindarkan seolah-olah kehancuran itu sudah terjadi. Ini adalah bentuk retorika Qur'ani untuk menekankan bahwa hukuman itu adalah sebuah kepastian yang telah ditetapkan.

"Yadā Abī Lahab": Mengapa "kedua tangan"? Tangan adalah simbol dari usaha, pekerjaan, kekuatan, dan kekuasaan. Ketika Al-Qur'an mengatakan "binasalah kedua tangan Abu Lahab," ini bukan hanya harapan agar tangannya lumpuh secara fisik, tetapi penghancuran total terhadap segala upaya, rencana, harta, dan pengaruh yang ia gunakan untuk melawan Islam. Semua usahanya sia-sia, dan kekuasaannya sebagai pemimpin Quraisy akan hilang nilainya.

Ayat 2: مَآ أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ (Mā aghnā 'anhu māluhū wa mā kasab)

Ayat ini adalah jawaban langsung terhadap kesombongan Abu Lahab. Abu Lahab adalah orang kaya dan berkuasa di Makkah. Dalam pandangan masyarakat jahiliah, harta dan kekayaan adalah indikator kebenaran dan kesuksesan. Ayat ini menghancurkan anggapan tersebut.

"Māluḥu wa mā kasab": Hartanya dan apa yang dia usahakan. Para mufassir seperti Ibnu Katsir menafsirkan 'mā kasab' (apa yang dia usahakan) dalam dua makna utama:

  1. Usaha Duniawi: Yakni, semua hasil pekerjaannya, kekayaan, status sosial, dan pengaruh yang ia kumpulkan sepanjang hidupnya. Semua itu tidak akan menyelamatkannya dari siksa neraka.
  2. Anak-anak: Dalam konteks Arab, anak-anak, terutama anak laki-laki, dianggap sebagai 'kasab' (hasil usaha) yang paling berharga dan merupakan sumber kekuatan kabilah. Bahkan anak-anaknya tidak akan dapat menolongnya. Ironisnya, sebagian anak-anak Abu Lahab, seperti Durrah, justru masuk Islam dan meninggalkan ayahnya.

Poin teologisnya: Kekuatan material dan ikatan duniawi tidak bernilai sedikit pun di hadapan kebenaran Ilahi. Permusuhan terhadap kebenaran menghapus semua manfaat dari kekayaan dan status.

Tangan yang Binasalah (Kegagalan Usaha) Gagal

Ayat 3: سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Sayaṣlā nāran dhāta lahab)

Ini adalah pengumuman hukuman yang akan datang. Kata Sayaṣlā (سَيَصْلَى) menggunakan awalan "Sa" (سَ), yang dalam bahasa Arab menunjukkan masa depan yang dekat dan pasti (futur proksimal). Ini memperkuat elemen kenabian: Abu Lahab, yang saat itu masih hidup, dipastikan akan masuk neraka.

"Nāran dhāta Lahab": Api yang bergejolak. "Lahab" adalah nyala api murni yang panas, tidak bercampur asap, atau api yang memiliki intensitas yang sangat tinggi. Nama "Abu Lahab" (Ayah Api yang Bergejolak) yang diberikan kepadanya karena wajahnya yang cerah dan kemerahan, kini menjadi ironi tragis. Di dunia, ia adalah 'ayah api' dalam artian kemuliaan duniawi (atau rupa), tetapi di Akhirat, ia akan menjadi penghuni api neraka yang nyata dan bergejolak, sesuai dengan julukannya yang kini berubah fungsi menjadi cap kehinaan abadi.

Ayat 4: وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ (Wamra'atuhū ḥammālata al-ḥaṭab)

Istri Abu Lahab, yang bernama Umm Jamil binti Harb (saudari Abu Sufyan), juga ditakdirkan celaka. Peranannya dalam permusuhan terhadap Nabi sangat signifikan.

"Ḥammālata al-Ḥaṭab" (Pembawa Kayu Bakar): Frasa ini memiliki dua interpretasi utama, yang keduanya diterima oleh para mufassir, menunjukkan kedalaman makna Al-Qur'an:

  1. Makna Metaforis (Penyebar Fitnah): Ini adalah penafsiran yang paling umum. Kayu bakar adalah metafora untuk fitnah, gosip, dan hasutan. Umm Jamil dikenal sebagai penyebar desas-desus jahat dan kebohongan tentang Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya. Dia sering menyalakan api permusuhan di antara orang-orang dengan perkataannya. Ia "membawa kayu bakar" untuk memanaskan api permusuhan terhadap Islam.
  2. Makna Harfiah (Penghuni Neraka): Dalam neraka, ia akan diberi tugas yang paling hina, yaitu mengumpulkan kayu bakar untuk menyalakan api yang akan membakar suaminya—dan dirinya sendiri. Ini adalah siksaan yang bertentangan dengan kemuliaan yang ia nikmati di dunia, dan sekaligus merupakan balasan setimpal atas perbuatannya di dunia. Ia yang menyalakan api fitnah di dunia, akan menyalakan api neraka di akhirat.

Ayat 5: فِى جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍۭ (Fī jīdihā ḥablun min masad)

Ayat terakhir ini menggambarkan detail siksaan bagi Umm Jamil.

"Fī Jīdihā": Di lehernya. Leher adalah tempat perhiasan bagi wanita bangsawan, dan Umm Jamil adalah wanita terhormat dari Quraisy.

"Ḥablun min Masad" (Tali dari Sabut): Masad adalah tali kasar yang dipintal dari serat pohon kurma atau palma. Tali ini keras, kasar, dan menyakitkan, sangat berbeda dengan kalung mutiara atau emas yang biasa dikenakan oleh wanita terpandang sepertinya di dunia.

Penafsiran hukuman ini adalah balasan kebalikan (kontra-pembalasan) yang sempurna. Di dunia, Umm Jamil sering mengenakan kalung yang mahal dan bersumpah bahwa ia akan menjual perhiasan terindahnya untuk membiayai permusuhan terhadap Muhammad. Di akhirat, kalung kemuliaan itu diganti dengan tali kasar yang akan mencekiknya, simbol kehinaan dan siksaan fisik yang tak terhindarkan. Para mufassir klasik menambahkan bahwa tali itu akan menyeretnya masuk ke dalam api neraka yang bergejolak.

Hablu min Masad (Tali Sabut) Masad

V. Analisis Mendalam Mengenai Kekuatan Nubuat dan Kepastian

Surah Al-Lahab menempati posisi unik dalam khazanah teologi Islam karena aspek kenabiannya yang eksplisit dan tidak dapat disangkal. Surah ini diwahyukan di Makkah, jauh sebelum penaklukan, pada masa-masa paling sulit bagi Nabi Muhammad ﷺ.

Mukjizat Kepastian Kenabian

Ketika Surah Al-Lahab turun, Abu Lahab masih hidup selama kurang lebih sepuluh tahun. Selama periode tersebut, ia memiliki peluang emas untuk membuktikan Muhammad sebagai pendusta. Yang harus ia lakukan hanyalah mengumumkan keislamannya—bahkan jika hanya pura-pura (munafik). Jika ia melakukan hal itu, maka nubuat Al-Qur'an bahwa ia pasti masuk neraka akan terbantahkan di mata masyarakat, karena seorang Muslim, bahkan munafik, secara lahiriah tidak dapat dikutuk secara permanen dalam kitab suci. Namun, Abu Lahab tidak pernah melakukan hal itu.

Ia tetap dalam kekafiran dan permusuhannya yang membara hingga ia meninggal, sekitar seminggu setelah Pertempuran Badar, karena penyakit menular yang menjijikkan (disebut Al-Adasah). Bahkan setelah kematiannya, masyarakat Quraisy meninggalkannya karena takut tertular penyakit, dan jenazahnya dibuang dan ditimbun dengan batu dari kejauhan. Kehinaannya di dunia sejalan sempurna dengan hukuman yang dijanjikan dalam Surah Al-Lahab.

Surah ini, oleh karena itu, berfungsi sebagai bukti nyata bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang Maha Mengetahui masa depan. Kepastian takdir Abu Lahab ditegaskan sebelum takdir itu terwujud, menghilangkan keraguan tentang kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ.

Permusuhan Melampaui Batas Darah

Surah ini juga mengajarkan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari hukuman Allah jika ia memilih jalan kekafiran dan permusuhan terhadap kebenaran. Abu Lahab adalah paman Nabi, anggota keluarga terdekat yang seharusnya menjadi pelindung, tetapi ia memilih menjadi musuh yang paling ganas. Kasus ini menetapkan prinsip fundamental: ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih tinggi nilainya daripada hubungan keluarga atau kepentingan duniawi lainnya.

VI. Studi Kasus Tafsir Klasik dan Modern (Pelebaran Makna)

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif (dan memenuhi kebutuhan keluasan artikel), kita perlu melihat bagaimana mufassir klasik dan modern menyoroti poin-poin spesifik dalam Surah Al-Lahab.

A. Tafsir Ibnu Katsir (Fokus Historis dan Kehancuran Harta)

Ibnu Katsir sangat menekankan konteks historis. Beliau mencatat secara rinci peristiwa di Bukit Safa dan bagaimana Surah ini turun sebagai respons langsung dan penghinaan yang setimpal. Dalam menafsirkan ayat kedua ("Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan"), Ibnu Katsir mengaitkannya dengan kesombongan Abu Lahab yang selalu membanggakan kekayaan dan anak-anaknya. Ibnu Katsir memperkuat gagasan bahwa 'kasab' (usaha) mencakup anak-anaknya, merujuk pada hadits yang menyatakan bahwa anak adalah hasil usaha (kasab) seseorang. Jadi, hukuman itu bersifat total: harta, pengaruh, dan penerusnya, semuanya tidak mampu menyelamatkannya dari Api yang Bergejolak.

Ibnu Katsir juga menekankan bahwa nasib Abu Lahab adalah pelajaran bagi setiap orang yang menganggap kekayaan adalah tiket kekebalan. Jika seorang paman Nabi yang kaya raya dan terpandang pun tidak dapat menggunakan hartanya untuk membeli pengampunan, apalagi orang lain.

B. Tafsir Al-Qurtubi (Fokus Hukum dan Pelajaran Moral)

Al-Qurtubi, seorang mufassir yang juga ahli hukum, menggunakan surah ini untuk membahas isu-isu moral dan jurisprudensi. Ia fokus pada makna kehinaan dari 'Masad'. Al-Qurtubi menjelaskan bahwa tali dari sabut adalah bahan paling rendah yang digunakan oleh budak wanita untuk memanggul beban di padang pasir. Penggunaan tali ini untuk Umm Jamil, seorang bangsawan Quraisy, adalah simbol kehinaan yang ekstrem dan total di akhirat, sesuai dengan statusnya yang mulia di dunia.

Al-Qurtubi juga menegaskan bahwa hukuman tersebut bersifat personal dan spesifik. Kejahatan yang dilakukan oleh Abu Lahab dan Umm Jamil adalah kejahatan yang tidak dapat dimaafkan karena mereka tidak hanya menolak risalah, tetapi juga secara aktif dan agresif berusaha memadamkannya menggunakan status sosial mereka.

C. Tafsir Sayyid Qutb (Fokus Psikologis dan Hakikat Api)

Dalam tafsir Fī Ẓilāl al-Qur'ān, Sayyid Qutb menekankan aspek psikologis dari permusuhan. Ia melihat 'Ḥammālata al-Ḥaṭab' (pembawa kayu bakar) sebagai penggambaran yang mendalam tentang orang yang hidupnya didedikasikan untuk menyebarkan kebencian. Orang seperti Umm Jamil tidak dapat hidup tanpa menciptakan konflik dan permusuhan. Energi negatif ini, yang ia gunakan untuk menghasut di dunia, akan menjadi bahan bakar fisiknya di akhirat.

Qutb juga membahas mengapa Allah memilih untuk membalas dendam secara eksplisit melalui Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ dalam konteks risalah adalah penghinaan terhadap Allah itu sendiri. Balasan tersebut bukan karena urusan pribadi, melainkan karena keagungan Risalah Ilahi yang sedang dihina di hadapan umum.

VII. Pelajaran dan Hikmah Universal Surah Al-Lahab

Meskipun Surah Al-Lahab berbicara spesifik tentang dua individu, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi. Memahami surah al lahab artinya adalah memahami konsekuensi dari permusuhan yang disengaja terhadap kebenaran.

1. Relativitas Ikatan Darah

Pelajaran terpenting adalah bahwa hubungan keturunan tidak dapat menggantikan keimanan. Jika seseorang berada di garis keturunan kenabian, tetapi menolak kebenaran, ia tetap akan binasa. Sebaliknya, orang-orang asing yang memeluk Islam (seperti Bilal bin Rabah atau Salman Al-Farisi) memiliki kedudukan yang mulia. Ini mengajarkan pentingnya Tauhid dan amal saleh di atas status sosial atau silsilah.

2. Kepastian Janji dan Ancaman Allah

Al-Lahab adalah jaminan bahwa ancaman Allah adalah janji yang pasti. Tidak ada tawar-menawar, dan tidak ada kekuatan di bumi (harta, kabilah, kekuasaan) yang dapat membatalkannya. Kehancuran bagi penentang akan datang, baik di dunia (kehinaan seperti yang dialami Abu Lahab saat kematiannya) maupun di akhirat (Api yang Bergejolak).

3. Bahaya Lisan dan Fitnah

Siksa berat yang menimpa Umm Jamil karena menjadi "pembawa kayu bakar" menekankan bahaya besar dari lisan yang digunakan untuk menyebar fitnah dan kebencian. Fitnah dan gosip yang merusak kehormatan orang lain dianggap sebagai dosa besar, setara dengan menyalakan api konflik di masyarakat. Hukuman yang menimpanya mengingatkan umat Islam akan bahaya lidah yang tidak terkontrol.

4. Nilai Kesabaran dalam Berdakwah

Nabi Muhammad ﷺ menghadapi penolakan yang paling pahit dari keluarganya sendiri. Surah ini memberikan penghiburan kepada semua da'i dan aktivis kebenaran bahwa kesabaran mereka dalam menghadapi permusuhan, bahkan dari kerabat terdekat, akan dibalas oleh Allah sendiri. Allah akan membela utusan-Nya dan memberikan hukuman langsung kepada para penentang.

Kasus Abu Lahab menjadi simbol dari setiap pemimpin atau tokoh masyarakat yang menggunakan kekuasaan, kekayaan, dan statusnya untuk menghalangi jalan dakwah dan menindas kebenaran. Peringatan ini abadi, melintasi zaman dan batas geografis, menjadi tolok ukur konsekuensi permusuhan terhadap cahaya Ilahi.

VIII. Penguatan Makna "Masad" dan Rantai Siksa

Mari kita perdalam lagi makna Al-Masad, tali sabut. Mengapa detail tentang tali ini diangkat sebagai penutup Surah? Detail ini adalah puncak dari gambaran kehinaan.

Dalam konteks Arab Makkah, Sabut (serat palma) adalah bahan yang kotor dan mudah terurai, biasanya digunakan untuk mengikat barang-barang remeh atau untuk membuat sandal yang murah. Ketika tali ini ditempatkan di leher Umm Jamil, ini melengkapi siklus penghinaan:

Siksaan bagi pasangan ini bersifat kohesif dan saling melengkapi. Abu Lahab dibakar oleh Lahab (api yang bergejolak) yang merupakan balasan atas nama dan kesombongannya, sementara istrinya menjadi Ḥammālata al-Ḥaṭab (pembawa bahan bakar) dan diikat oleh Masad (tali sabut) yang merupakan balasan atas sifatnya yang suka menyebar fitnah dan kerendahan hatinya yang palsu.

Keterkaitan nama surah, julukan Abu Lahab, dan hukuman neraka adalah salah satu keindahan retoris Al-Qur'an. Nama dan takdirnya terjalin erat, menjadikannya sebuah kisah peringatan yang sempurna.

IX. Perluasan Studi "Tabbat" dan Implikasi Gagal Total

Kembali ke ayat pertama, "Tabbat yadā Abī Lahabin wa tabb." Penggunaan kata kerja 'tabb' (binasa/rugi) yang diulang bukan sekadar penekanan retorika, tetapi mengandung implikasi mendalam tentang kekalahan total pada tiga tingkatan eksistensi Abu Lahab:

1. Kegagalan Spiritual (Rugi Abadi)

Ini adalah kerugian terbesar, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan ampunan dan surga. Semua tindakannya hanya membawa kerugian bagi dirinya sendiri di akhirat. Ia memilih kekafiran meskipun kebenaran telah datang kepadanya melalui kerabat terdekatnya.

2. Kegagalan Temporal (Rugi Duniawi)

Pada akhirnya, Abu Lahab menyaksikan Islam mulai berkembang dan pengaruhnya sendiri melemah. Ia meninggal dalam kehinaan (ditinggalkan karena penyakitnya) dan tidak menyaksikan kemenangan kabilahnya. Harta dan kekuasaannya tidak dapat melindunginya dari nasib buruk di dunia.

3. Kegagalan Usaha (Rugi Aksi)

Semua energi yang ia curahkan untuk melawan Islam—dari upaya melempar batu di bukit Safa hingga upaya menghalangi orang beriman dari Ka'bah—semuanya gagal total. Usahanya berbalik menjadi bumerang, mengukuhkan aibnya dalam kitab suci yang dibaca hingga akhir zaman.

Ayat ini mengajarkan bahwa permusuhan terhadap kebenaran adalah investasi yang paling buruk. Segala upaya, waktu, dan kekayaan yang dihabiskan untuk melawan cahaya Allah hanya akan menghasilkan nol (nihil) bahkan minus (kerugian total) di neraca spiritual.

Dalam konteks modern, pesan ini relevan bagi mereka yang menggunakan media, kekuasaan, atau kekayaan untuk menyebarkan propaganda kebencian atau menghalangi jalan kebaikan. Akhir dari semua usaha jahat mereka akan sama, yaitu kerugian total dan kehinaan abadi, sebagaimana janji yang tertera dalam Surah Al-Lahab.

X. Kontras antara Rahmat dan Azab

Al-Qur'an dikenal sebagai kitab yang penuh rahmat, namun Surah Al-Lahab hadir sebagai pengingat keras tentang keadilan mutlak Allah dan batasan kesabaran-Nya. Sebagian besar surah Makkiyah menekankan Tauhid, kenabian, dan Hari Kiamat secara umum. Surah Al-Lahab memilih untuk memperingatkan melalui contoh nyata, sebuah kasus yang harus dipertimbangkan secara mendalam.

Mengapa Allah perlu "membuang" Rahmat-Nya dari dua individu ini dengan cara yang sangat terbuka? Jawabannya terletak pada fungsi peringatan universal:

Oleh karena itu, ketika kita membaca surah al lahab artinya, kita tidak hanya membaca kisah masa lalu, tetapi juga sebuah prinsip abadi tentang pertanggungjawaban personal dan konsekuensi kekafiran yang aktif dan agresif.

Intensitas Surah Al-Lahab—mulai dari panggilan kehancuran (Tabbat), penolakan kekayaan (Māluḥu wa mā kasab), janji api murni (Nāran dhāta Lahab), hingga penggambaran kehinaan melalui fitnah dan tali sabut (Ḥammālata al-Ḥaṭab, Masad)—adalah peringatan keras yang dirancang untuk menggetarkan hati setiap orang yang tergoda untuk menentang risalah kebenaran.

Surah ini mengakhiri daftar pendek surah-surah yang turun di Makkah dengan pesan yang tajam: kemuliaan sejati adalah dalam keimanan dan ketaatan, bukan dalam harta atau hubungan duniawi. Siapa pun yang menukarnya akan mendapati tangannya binasa dan dirinya terjerat oleh tali kehinaan, ditakdirkan untuk api yang bergejolak selamanya.

🏠 Homepage