Surat Al-Falaq, bersama dengan Surat An-Nas, dikenal sebagai Al-Mu’awwidzatain—dua surat perlindungan. Kedudukannya dalam Al-Qur'an sangat istimewa, bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi kokoh bagi seorang hamba dalam menghadapi gelombang kejahatan duniawi dan spiritual. Kedua surat ini, walau ringkas, memuat ajaran tauhid yang paling murni dan petunjuk praktis untuk memohon pertolongan langsung kepada Allah SWT dari berbagai bentuk ancaman.
Memahami keutamaan dan tafsir mendalam Surat Al-Falaq adalah sebuah perjalanan spiritual. Ia mengajarkan kepada kita bahwa dalam segala kondisi, baik terang maupun gelap, perlindungan hakiki hanya datang dari Rabb al-Falaq, Tuhan Yang Maha Menciptakan Waktu Fajar. Artikel ini akan mengupas tuntas keistimewaan surat ini, menelusuri latar belakang pewahyuannya, serta menganalisis setiap ayatnya untuk menggali makna perlindungan paripurna yang ditawarkan oleh Allah SWT.
Istilah Al-Mu’awwidzatain berasal dari kata dasar ‘Awdh (عوذ), yang berarti memohon perlindungan atau berlindung. Penggunaan bentuk ganda (*tain*) menunjukkan bahwa kedua surat ini, Al-Falaq dan An-Nas, berfungsi sebagai pasangan yang tak terpisahkan dalam memberikan perlindungan menyeluruh. Kedua surat ini adalah doa otentik yang diajarkan langsung oleh Pencipta kepada hamba-Nya untuk menangkis mara bahaya yang datang dari luar diri (Al-Falaq) maupun yang bersumber dari dalam diri (An-Nas).
Surat Al-Falaq secara spesifik mengajarkan kita untuk berlindung dari empat jenis kejahatan yang berbeda, yang meliputi kejahatan alam semesta, kejahatan malam, kejahatan sihir, dan kejahatan dengki. Dalam konteks ini, Al-Falaq menjadi manifestasi ketergantungan mutlak seorang mukmin kepada Kekuatan Ilahi. Seseorang yang membaca surat ini dengan pemahaman dan keyakinan sejati sedang menegaskan bahwa tidak ada daya dan kekuatan yang dapat menandingi perlindungan Allah SWT.
Rasulullah SAW memberikan perhatian khusus terhadap pembacaan Al-Mu’awwidzatain. Dalam banyak riwayat sahih, beliau sering menganjurkan bahkan mewajibkan pembacaannya dalam berbagai momen kunci kehidupan sehari-hari, menegaskan bahwa tidak ada surat lain yang dapat menyamai kualitas perlindungan yang dikandungnya.
Salah satu hadis yang paling terkenal diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Uqbah bin ‘Amir, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidakkah kalian melihat ayat-ayat yang diturunkan malam ini? Ayat-ayat itu adalah yang belum pernah terlihat yang semisal dengannya, yaitu Qul A’ūżu bi-rabbi l-falaq dan Qul A’ūżu bi-rabbi n-nās." Pernyataan ini menunjukkan kekhususan dan keunikan redaksi serta kekuatan spiritual dari kedua surat tersebut. Mereka adalah permata yang tidak tertandingi dalam perbendaharaan doa perlindungan.
Keutamaan ini tidak hanya bersifat teoritis, melainkan terintegrasi dalam praktik ibadah harian (wirid). Nabi Muhammad SAW menjadikan pembacaan tiga surat terakhir—Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas—sebagai ritual wajib sebelum tidur. Beliau akan meniupkan bacaan tersebut ke kedua telapak tangan beliau, kemudian mengusapkannya ke seluruh tubuh yang dapat beliau jangkau, dimulai dari kepala, wajah, dan bagian depan tubuh. Pengulangan sebanyak tiga kali sebelum tidur ini adalah sunnah yang memastikan penutup hari seseorang berakhir dalam benteng penjagaan Ilahi.
Pemahaman mengenai konteks penurunan Surat Al-Falaq adalah kunci untuk mengapresiasi signifikansi proteksinya. Surat ini diturunkan dalam situasi yang luar biasa, yakni ketika Rasulullah SAW sendiri sedang diuji dengan sihir, sebuah ujian yang menegaskan bahwa bahkan seorang nabi pun tetap tunduk pada hukum fisik dan spiritual yang berlaku di dunia.
Riwayat yang paling kuat mengenai *Asbāb an-Nuzūl* surat ini merujuk pada peristiwa ketika seorang Yahudi bernama Labīd ibn al-A’sam—yang dikenal sebagai penyihir ulung—berhasil memasukkan sihir ke dalam diri Rasulullah SAW. Sihir tersebut diyakini dilakukan melalui perantara rambut Nabi yang rontok atau sisir yang jatuh, yang kemudian diikatkan pada sebelas simpul dan disembunyikan di dalam sumur tua Bani Zuraiq.
Dampak sihir ini terhadap Nabi SAW sangat nyata, meskipun sihir tersebut tidak memengaruhi kenabian atau wahyu beliau. Yang terganggu adalah aspek fisik dan memori beliau dalam urusan duniawi. Diriwayatkan bahwa beliau merasa telah melakukan sesuatu padahal belum, atau merasa sakit yang berkepanjangan. Kondisi ini berlangsung selama beberapa waktu, menimbulkan kecemasan di kalangan sahabat.
Dalam kondisi ini, Allah SWT mengutus dua malaikat untuk memberikan petunjuk kepada Nabi. Mereka memberitahu Nabi lokasi sihir tersebut. Kemudian, Jibril AS datang membawa Al-Mu’awwidzatain. Ketika setiap ayat dari kedua surat ini dibacakan, satu per satu simpul sihir yang diikatkan pada rambut Nabi terlepas. Total terdapat sebelas ayat dalam Al-Falaq (5) dan An-Nas (6), sesuai dengan sebelas simpul yang ditenun oleh Labīd.
Kisah ini mengajarkan beberapa poin teologis penting:
Analisis mendalam terhadap setiap kata dalam Surat Al-Falaq mengungkapkan lapisan makna perlindungan yang luar biasa, yang mencakup dimensi fisik, psikologis, dan spiritual.
Surat dimulai dengan perintah tegas: Qul. Perintah ini mengindikasikan bahwa permohonan perlindungan ini harus diucapkan, diikrarkan, dan dihayati. Ini bukan hanya sekadar perasaan batin, tetapi sebuah proklamasi iman. Allah mengajarkan hamba-Nya bagaimana berbicara dan memohon, menunjukkan tata cara doa yang benar.
Kata A'ūżu mengandung arti melarikan diri dari sesuatu yang menakutkan atau berbahaya menuju tempat yang aman dan kuat. Ini menyiratkan perpindahan total ketergantungan. Ketika seorang Muslim mengatakan A'ūżu, ia secara sadar melepaskan diri dari ilusi kekuatan diri sendiri atau kekuatan lain, dan menambatkan jiwanya pada satu-satunya Zat yang mampu memberikan keamanan mutlak.
Mengapa Allah memilih deskripsi Rabbil Falaq (Tuhan Fajar) sebagai Zat tempat kita berlindung? Fajar (*Al-Falaq*) secara linguistik memiliki makna membelah atau merobek. Ia merobek kegelapan malam untuk memancarkan cahaya. Secara metaforis dan teologis, nama ini sangat kuat dalam konteks perlindungan:
Ayat kedua ini mencakup perlindungan yang paling luas dan universal. Frasa min sharri mā khalaq berarti 'dari kejahatan segala yang Dia ciptakan'. Ini meliputi semua entitas yang memiliki potensi kejahatan, baik yang berakal maupun tidak, yang terlihat maupun gaib:
Perlindungan ini bersifat umum. Ketika seorang Muslim membacanya, ia menyerahkan diri sepenuhnya untuk dilindungi dari segala potensi bahaya yang diciptakan oleh Allah di alam semesta ini, menegaskan bahwa kejahatan (syarr) adalah bagian dari takdir penciptaan, tetapi hanya Allah yang mampu menanggulanginya.
Ayat ini mengakui adanya dualitas kebaikan dan kejahatan dalam ciptaan. Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk potensi kejahatan. Namun, kejahatan itu sendiri tidak diciptakan untuk kejahatan murni, melainkan sebagai ujian, pengingat, dan sarana untuk meraih derajat yang lebih tinggi melalui kesabaran dan ketaatan. Permintaan perlindungan di sini adalah pengakuan bahwa kita lemah dan membutuhkan intervensi Ilahi agar tidak terjerumus atau terkena dampak dari kejahatan yang melingkupi kita.
Ghāsiq merujuk pada kegelapan yang menyelimuti atau malam yang pekat. Waqab berarti masuk, melingkupi, atau menyelimuti. Ketika malam tiba dan kegelapan menyelimuti bumi, banyak kejahatan yang mulai beraksi, dan rasa takut manusia meningkat. Dalam sunnah, malam hari diidentikkan dengan waktu ketika setan dan jin bertebaran, sebagaimana dianjurkan untuk menahan anak-anak di awal maghrib.
Malam adalah waktu di mana:
Dengan berlindung kepada Tuhan Fajar (yang mengakhiri malam), kita memohon perlindungan dari segala potensi bahaya yang ditimbulkan oleh waktu kegelapan. Ini adalah pengakuan akan kerentanan kita saat indra penglihatan kita terbatas, memaksa kita bergantung sepenuhnya pada Penglihat Yang Maha Melihat.
Kata An-Naffāthāt adalah bentuk jamak feminin dari nāfithah, merujuk pada orang-orang yang meniup (menghembus) pada simpul-simpul. Meskipun secara harfiah merujuk pada perempuan, mayoritas ulama tafsir kontemporer sepakat bahwa ini merujuk pada semua praktisi sihir, baik laki-laki maupun perempuan, yang menggunakan metode ikatan (buhul) dalam ritual mereka.
Penghembusan (tiupan) sering dikaitkan dengan ritual sihir kuno, di mana penyihir mengucapkan mantra-mantra syirik, mengikatnya pada tali atau benang (buhul), dan kemudian meniupkannya sebagai upaya untuk mewujudkan niat jahat mereka—sebuah bentuk kejahatan yang bekerja melalui perantara dan tipu daya setan.
Ayat ini adalah inti dari konteks *Asbāb an-Nuzūl* surat ini, karena ia turun ketika Nabi SAW disihir. Ayat ini memberikan solusi spiritual konkret terhadap kejahatan yang tidak dapat dilawan dengan kekuatan fisik. Sihir (santet, guna-guna) adalah salah satu kejahatan paling destruktif, karena ia menyerang tanpa terlihat, menimbulkan penyakit tanpa sebab medis, dan memisahkan hubungan tanpa alasan logis.
Memohon perlindungan dari An-Naffāthāt adalah upaya untuk membatalkan efek sihir sebelum ia terjadi, atau sebagai penawar (ruqyah) jika ia sudah menimpa. Ayat ini mengajarkan keyakinan bahwa kekuatan sihir apa pun, sekuat apa pun ikatan dan hembusannya, akan hancur oleh keagungan firman Allah SWT.
Surat Al-Falaq ditutup dengan permohonan perlindungan dari hasad (dengki). Kejahatan ini ditempatkan di akhir, seolah-olah menjadi puncak atau akar dari banyak kejahatan lain. Hasad didefinisikan sebagai keinginan agar nikmat yang dimiliki orang lain hilang atau musnah.
Hasad berbeda dengan *ghibta* (iri hati yang positif), di mana seseorang menginginkan nikmat serupa tanpa berharap nikmat orang lain hilang. Hasad adalah penyakit hati yang membakar amal pelakunya dan pada saat yang sama berpotensi merusak objek yang didengki (melalui *‘ain* atau pandangan mata jahat, atau melalui tindakan merusak yang didorong oleh kedengkian).
Hasad adalah kejahatan yang unik karena tiga alasan utama:
Memohon perlindungan dari hasad adalah bentuk pencegahan spiritual yang paling penting. Ini adalah pengakuan bahwa jika Allah tidak melindungi kita dari mata dan hati orang-orang yang iri, nikmat apa pun yang kita miliki dapat terancam musnah.
Ilustrasi: Cahaya Fajar (*Al-Falaq*) sebagai sumber perlindungan dari kegelapan.
Keutamaan Surat Al-Falaq tidak berhenti pada tafsirnya; ia harus diwujudkan dalam amalan sehari-hari. Rasulullah SAW telah mengajarkan bagaimana mengintegrasikan surat ini ke dalam rutinitas ibadah, menjadikannya perisai spiritual yang terus-menerus melindungi seorang mukmin.
Salah satu praktik yang paling ditekankan adalah pembacaan *Al-Mu’awwidzatain* dan Al-Ikhlas sebanyak tiga kali di pagi dan petang hari. Wirid ini berfungsi sebagai asuransi spiritual untuk 24 jam ke depan. Hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi menyebutkan: "Barangsiapa yang membacanya tiga kali ketika pagi dan tiga kali ketika petang, maka ia akan dicukupi (diberi perlindungan) dari segala sesuatu."
Konsep ‘dicukupi’ ini sangat komprehensif. Ia mencakup perlindungan dari kejahatan yang telah disebutkan dalam surat tersebut (sihir, hasad, kejahatan makhluk), sekaligus perlindungan dari kesulitan, kecemasan, dan bahaya yang tidak terduga. Ini mengajarkan disiplin mental dan spiritual: memulai hari dengan kepasrahan kepada Allah dan mengakhirinya dengan penegasan perlindungan-Nya.
Penting untuk dicatat bahwa pembacaan ini harus disertai dengan *hudhur al-qalb* (kehadiran hati). Bukan sekadar mengucapkan huruf-huruf Arab, melainkan menghadirkan kesadaran akan makna setiap ayat—sebuah negosiasi spiritual di mana hamba mengakui kelemahannya dan memohon perlindungan kepada Yang Maha Kuat.
Surat Al-Falaq adalah salah satu ayat *ruqyah* yang paling esensial, terutama dalam kasus yang melibatkan sihir, *‘ain* (mata dengki), atau gangguan jin. Ketika Nabi Muhammad SAW sakit, Jibril AS meruqyah beliau dengan *Al-Mu’awwidzatain*. Riwayat ini menjadi dalil kuat bahwa Al-Falaq memiliki kekuatan penyembuhan dan penangkal yang spesifik terhadap kejahatan spiritual.
Praktik ruqyah yang diajarkan adalah dengan membaca surat ini, diikuti dengan hembusan atau tiupan (bukan meludah) ke arah orang yang sakit atau ke dalam air yang akan diminum atau digunakan untuk mandi. Tindakan ini membalikkan praktik sihir: jika penyihir menghembuskan kejahatan pada buhul, maka seorang mukmin menghembuskan firman Ilahi sebagai penawar ke buhul-buhul spiritual yang mungkin telah mengikat dirinya.
Dalam memahami keutamaan Al-Falaq, harus disadari mengapa Allah memilih sifat *Rabbil Falaq* (Tuhan Fajar) untuk lima permintaan perlindungan ini. Tuhan Fajar adalah Zat yang berkuasa untuk memunculkan terang dari kegelapan. Perlindungan yang kita minta bukanlah perlindungan statis (seperti sebuah dinding), melainkan perlindungan dinamis: kemampuan Ilahi untuk menghilangkan, membelah, dan menghancurkan kegelapan dan kejahatan yang datang menyerang.
Dalam aspek ini, Al-Falaq berfungsi sebagai terapi psikologis terhadap ketakutan. Ketakutan terbesar manusia seringkali terletak pada hal yang tidak diketahui, yang disimbolkan oleh kegelapan malam. Dengan berlindung kepada Tuhan yang menjamin datangnya cahaya setiap pagi, kita diajarkan untuk memiliki optimisme dan keyakinan bahwa kegelapan (masalah) pasti akan berakhir dan disingkapkan oleh kehendak Allah.
Keindahan Surat Al-Falaq terletak pada susunan permintaannya yang sistematis. Para ulama meninjau susunan lima kejahatan yang diminta perlindungan darinya dan menemukan pola yang mendalam. Permintaan dimulai dari yang paling umum dan luas, bergerak ke yang spesifik, dan diakhiri dengan kejahatan yang paling fundamental.
Urutan perlindungan yang diminta (makhluk, kegelapan, penyihir, pendengki) dapat dianalisis sebagai berikut:
Penempatan perlindungan dari hasad di akhir menegaskan bahwa kejahatan dari dalam diri—penyakit hati—adalah ancaman yang paling memerlukan perhatian dan benteng spiritual terkuat. Jika hati tidak bersih, semua perlindungan eksternal mungkin sia-sia.
Perhatikan struktur subjek dalam ayat 4 dan 5:
Pada hakikatnya, Surat Al-Falaq adalah pelajaran tauhid murni. Di dunia ini, manusia cenderung mencari perlindungan kepada hal-hal yang dapat dilihat (harta, jabatan, ilmu, obat-obatan). Namun, ketika dihadapkan pada ancaman yang tidak terlihat (sihir, dengki, kejahatan gaib), semua perlindungan material runtuh. Hanya Allah SWT, Rabbil Falaq, yang memiliki kendali penuh atas dimensi fisik dan metafisik.
Membaca surat ini adalah pernyataan bahwa kita mengakui bahwa hanya Dia yang menciptakan kejahatan, dan oleh karena itu, hanya Dia pula yang memiliki otoritas dan kekuatan untuk mencabut efek kejahatan tersebut. Ini adalah puncak penyerahan diri (Islam) kepada Penguasa Mutlak, yang Kuasa-Nya membelah kegelapan yang paling pekat sekalipun.
Ilustrasi: Benteng Hati dan Perlindungan (*A'ūżu*), mewakili penangkal terhadap hasad dan sihir.
Surat Al-Falaq bukanlah sekadar doa yang dibaca, melainkan sebuah kurikulum kehidupan. Ia mengajarkan tentang kesadaran akan realitas kejahatan yang multidimensi dan pentingnya memiliki tempat perlindungan yang tidak akan pernah goyah.
Setiap kali kita membaca Qul a’ūżu bi-rabbi l-falaq, kita menegaskan kembali ikatan tauhid kita, meyakini bahwa di tengah hiruk pikuk dan marabahaya yang diciptakan oleh takdir, hanya Tuhan Fajar yang mampu membawa kita dari kegelapan menuju cahaya, dari ketakutan menuju kedamaian, dan dari ancaman kejahatan menuju perlindungan-Nya yang kekal.
Jadikanlah surat ini sebagai nafas spiritual harian, sebagai benteng terdepan yang memisahkan jiwa kita dari segala hal yang dapat merusak iman dan keselamatan dunia akhirat.