Simbol Keteguhan dan Perubahan
Perjalanan seorang individu untuk menemukan kebenaran seringkali diwarnai dengan keraguan, perlawanan, hingga akhirnya pencerahan. Salah satu kisah paling monumental dalam sejarah Islam adalah bagaimana seorang Umar bin Khattab, sosok yang ditakuti dan disegani di kalangan suku Quraisy, akhirnya bertekuk lutut di hadapan keagungan Islam.
Sebelum memeluk Islam, Umar bin Khattab adalah salah satu tokoh terkemuka di Mekah. Ia dikenal sebagai seorang yang gagah berani, memiliki kecerdasan yang tajam, dan sangat memegang teguh tradisi nenek moyang kaum Quraisy. Pada masa awal penyebaran Islam, Umar merupakan salah satu penentang paling vokal terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ketidakpuasannya terhadap ajaran tauhid yang dianggap merusak tatanan sosial dan keagamaan yang sudah mapan membuatnya aktif dalam upaya menindas umat Islam. Ia seringkali ikut serta dalam penyiksaan dan ancaman terhadap para pengikut Nabi. Keberaniannya yang luar biasa, yang seringkali mengarah pada kekerasan, menjadikan namanya ditakuti oleh kaum Muslimin saat itu.
Suatu ketika, rasa frustrasi Umar terhadap Islam mencapai puncaknya. Ia memutuskan untuk mengambil langkah drastis untuk mengakhiri "masalah" ini selamanya. Dalam niat yang membara, ia berangkat untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Namun, takdir Ilahi memiliki rencana lain yang jauh lebih agung. Dalam perjalanannya, Umar bertemu dengan Nu'aim bin Abdullah, yang ternyata telah masuk Islam dan merahasiakan keislamannya. Nu'aim, mengetahui niat Umar, mencoba mengalihkan perhatiannya dengan memberitahukan bahwa saudara perempuan dan iparnya sendiri, yaitu Fatimah binti Khattab dan suaminya, Said bin Zaid, juga telah memeluk agama yang dibawa oleh Muhammad.
Amarah Umar memuncak mendengar kabar tersebut. Ia segera bergegas mendatangi kediaman saudara perempuannya. Sesampainya di sana, ia mendengar suara bacaan Al-Qur'an yang merdu. Keterangan dari beberapa riwayat menyebutkan bahwa ayat yang dibaca adalah surat Thaha. Umar yang geram, kemudian memukul saudara iparnya. Melihat hal tersebut, Fatimah berusaha membela suaminya dan tak lama kemudian ia pun ikut dipukul oleh Umar hingga berdarah. Namun, di tengah amarahnya, sebuah keteguhan dan kedamaian aneh mulai merasuki hati Umar ketika ia melihat jejak darah di wajah saudarinya. Ia kemudian meminta mereka untuk menunjukkan apa yang sedang mereka baca.
Awalnya, mereka ragu karena takut Umar akan semakin marah. Namun, setelah didesak, mereka menunjukkan lembaran kitab suci tersebut, dengan syarat Umar harus bersuci terlebih dahulu. Setelah membersihkan diri, Umar mulai membaca ayat-ayat tersebut. Perubahan besar terjadi. Hatinya yang tadinya keras dan penuh kebencian kini mulai tersentuh oleh keindahan dan kebenaran kalam Ilahi. Ayat-ayat yang dibacanya mengenai keesaan Allah dan kekuasaan-Nya meresap dalam jiwanya, mengikis segala prasangka dan kebencian yang selama ini ia pegang.
Setelah membaca dan merenungkan ayat-ayat tersebut, Umar bin Khattab mengalami transformasi spiritual yang luar biasa. Ia menyadari kesalahan dan kekerasan yang telah ia lakukan selama ini. Dengan keberanian yang kini diarahkan untuk membela kebenaran, ia menyatakan keislamannya di hadapan Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini menjadi momen yang sangat penting dan menggembirakan bagi kaum Muslimin. Keislaman Umar disambut dengan penuh suka cita, bahkan dikisahkan bahwa para sahabat bertakbir bersama atas kedatangannya.
Sejak saat itu, Umar bin Khattab berubah total. Ia yang dulunya adalah musuh bebuyutan Islam, kini menjadi salah satu pilar terkuat dan pembela paling gigih. Keberaniannya yang tak tertandingi, kecerdasannya yang brilian, dan keteguhan hatinya dimanfaatkan sepenuhnya untuk memperjuangkan agama Allah. Ia menjadi seorang Faruq, yaitu orang yang dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Perannya sebagai sahabat utama Nabi Muhammad SAW dan kemudian sebagai khalifah kedua, memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan dan penyebaran Islam. Kisah Umar bin Khattab masuk Islam adalah bukti nyata bahwa hidayah bisa datang kepada siapa saja, bahkan kepada mereka yang paling gigih menentangnya, dan bahwa keberanian sejati terletak pada keberanian untuk mengakui kesalahan dan berpihak pada kebenaran.