Kajian Komprehensif Mengenai Surat ke-111 dalam Al-Qur'an
Surat Al-Lahab, atau yang juga dikenal dengan nama Surat Al-Masad, menempati urutan ke-111 dalam mushaf Al-Qur'an. Surat ini merupakan salah satu surat Makkiyah yang sangat pendek, hanya terdiri dari lima ayat. Namun, di balik keringkasan susunan ayatnya, terkandung kisah yang monumental, sebuah nubuwat (ramalan) yang definitif, dan peringatan keras yang ditujukan langsung kepada individu spesifik: Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, dan istrinya, Ummu Jamil.
Penting untuk dipahami bahwa jarang sekali Al-Qur'an menyebut nama individu secara eksplisit dalam konteks kecaman dan kepastian azab di akhirat. Kenyataan bahwa surat ini secara khusus menargetkan Abu Lahab menjadikannya unik, menyoroti betapa parahnya permusuhan yang ia tunjukkan terhadap risalah Islam di masa-masa awal dakwah. Surat ini bukan hanya sekadar kecaman, melainkan penegasan ilahi mengenai kegagalan total, kehancuran, dan kepastian hukuman bagi penentang kebenaran yang menggunakan kekerabatan atau posisi sosial untuk menghalangi jalan Allah.
Pengungkapan surat ini terjadi pada masa-masa genting dakwah di Makkah, ketika Nabi Muhammad ﷺ mulai menyampaikan risalah secara terang-terangan. Abu Lahab, yang secara kekerabatan seharusnya menjadi pelindung utama keponakannya, justru menjadi musuh paling vokal dan penghalang paling brutal. Kontras antara tanggung jawab kekerabatan dan tindakan pengkhianatan inilah yang menjadikan respons ilahi melalui Surat Al-Lahab begitu cepat dan tegas.
Makna leksikal dari ‘Lahab’ sendiri adalah api yang menyala-nyala tanpa asap. Nama ini sangat pas untuk julukan Abu Lahab—yang nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib—karena ia dikenal memiliki wajah yang cerah kemerah-merahan. Namun, dalam konteks surat ini, nama ‘Lahab’ bertransformasi dari deskripsi fisik menjadi deskripsi azab kekal yang akan menimpanya. Ini adalah permainan kata (pun) yang sangat kuat dalam retorika Qur’ani, di mana ciri fisik seseorang yang menentang risalahnya diubah menjadi takdir azabnya.
Surat ini memberikan pelajaran abadi bahwa ikatan darah tidak akan pernah menyelamatkan seseorang dari murka ilahi jika hatinya tertutup rapat dari kebenaran. Kehancuran (تبت - Tabbat) yang disebutkan pada ayat pertama meliputi kehancuran fisik, harta benda, dan kehancuran spiritual abadi.
Gambar di atas melambangkan kobaran api yang menyala-nyala, mencerminkan makna leksikal dari nama Lahab yang telah diabadikan dalam konteks azab di neraka.
Untuk memahami kedalaman pesan Surat Al-Lahab, penting untuk menganalisis setiap ayatnya, karena masing-masing memiliki kontribusi yang unik terhadap kepastian hukuman yang dijatuhkan.
Ayat pembuka ini menggunakan kata تَبَّتْ (Tabbat), yang berarti binasa, celaka, atau rugi total. Penggunaan bentuk kalimat berita sekaligus doa/kutukan ini menunjukkan kepastian mutlak. Penyebutan "kedua tangan" (يَدَا - yada) seringkali dalam bahasa Arab merupakan metafora untuk usaha, daya upaya, dan kemampuan seseorang dalam mencari nafkah dan meraih kekuasaan. Ini berarti seluruh usaha, pengaruh, dan kekayaan Abu Lahab untuk melawan risalah kenabian akan sia-sia dan hancur lebur.
Pengulangan kata وَتَبَّ (wa tabb), yang berarti "dan sungguh dia telah binasa," menekankan kepastian takdir tersebut. Jika bagian pertama adalah kutukan atas usaha (tangan), bagian kedua adalah kepastian bahwa seluruh diri dan masa depannya di akhirat juga telah ditetapkan dalam kehancuran.
Ayat kedua ini secara tegas menolak dua pilar utama kekuasaan Abu Lahab di Makkah: مَالُهُ (maluhu), hartanya yang melimpah (yang merupakan sumber pengaruh), dan مَا كَسَبَ (ma kasab), apa yang ia usahakan. "Apa yang ia usahakan" ditafsirkan oleh sebagian ulama (seperti Mujahid dan Qatadah) sebagai anak-anaknya, yang merupakan kekayaan sosial dan jaminan kekuasaan di masyarakat Quraisy. Harta dan keturunan adalah dua hal yang paling dibanggakan oleh kaum pagan Makkah, namun Al-Qur'an menyatakan bahwa keduanya tidak akan memberikan manfaat sedikit pun saat berhadapan dengan murka Allah.
Ini adalah pesan universal bahwa kekayaan duniawi, jika digunakan untuk menentang kebenaran, akan menjadi beban dan sama sekali tidak berdaya untuk menangkis azab ilahi.
Inilah puncak dari nubuwat tersebut. Kata سَيَصْلَىٰ (Sayasla) adalah bentuk masa depan yang sangat pasti, menunjukkan bahwa hal ini pasti akan terjadi. Dia akan dimasukkan ke dalam نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Nāran dhāta lahabin), yaitu api yang memiliki kobaran menyala-nyala. Ini adalah penegasan kedua atas nama julukannya. Abu Lahab (Bapak Api yang Menyala) akan dimasukkan ke dalam ‘Api yang Menyala’. Ini bukan hanya hukuman, tetapi juga ironi ilahi yang mencolok.
Ayat keempat melibatkan tokoh antagonis kedua: Ummu Jamil binti Harb (saudari Abu Sufyan). Gelar حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammālat al-ḥaṭab), ‘pembawa kayu bakar’, memiliki dua interpretasi utama yang saling melengkapi:
Kedua tafsir ini menunjukkan bahwa Ummu Jamil adalah mitra aktif dalam kejahatan suaminya, dan oleh karena itu, ia berbagi hukuman yang sama.
Ayat penutup ini merujuk pada takdir Ummu Jamil. حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Ḥablun min masad) berarti tali yang terbuat dari sabut atau serat kasar, biasanya dari pohon kurma. Ini adalah simbol kehinaan dan perbudakan. Di dunia, Ummu Jamil mengenakan perhiasan yang mahal, namun di akhirat, kalungnya akan diganti dengan tali sabut kasar yang melilit lehernya. Ini adalah hukuman yang sangat merendahkan martabat, ironi yang kontras dengan status sosialnya yang tinggi di Makkah.
Tali Masad, yang terbuat dari serat kasar, melambangkan kehinaan dan beban yang akan ditanggung oleh Ummu Jamil sebagai hukuman atas upaya fitnahnya.
Untuk memahami mengapa Surat Al-Lahab diturunkan dengan nada yang begitu pribadi dan definitif, kita harus kembali ke periode awal dakwah, sekitar tahun 613 Masehi, ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah ilahi untuk menyampaikan risalah secara terbuka kepada kerabat terdekatnya.
Ayat 214 dari Surat Asy-Syu’ara turun, memerintahkan Nabi untuk memperingatkan kaum kerabat terdekatnya (وانذر عشيرتك الأقربين). Nabi Muhammad ﷺ kemudian naik ke Bukit Safa, memanggil seluruh klan Quraisy, khususnya Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib. Setelah mengumpulkan mereka, beliau menyampaikan inti dari risalahnya: peringatan tentang hari kiamat.
Ketika Nabi bertanya apakah mereka akan percaya jika ia memberi tahu bahwa ada pasukan di balik bukit yang siap menyerang, semua menjawab, “Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong.” Nabi lalu menyatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang pedih.”
Saat itulah Abu Lahab, yang nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib, berdiri dan berteriak dengan lantang, "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Dalam riwayat lain disebutkan ia mengambil batu dan hendak melemparkannya kepada Nabi ﷺ. Kata-kata kasar dan kutukan dari paman kandungnya sendiri ini adalah puncak pengkhianatan kekerabatan. Abu Lahab tidak hanya menolak; ia merusak upaya dakwah di hadapan seluruh pemimpin Quraisy.
Sebagai respons langsung terhadap kutukan dan pengkhianatan ini, Surat Al-Lahab diturunkan. Surat ini membalikkan kutukan Abu Lahab kepada dirinya sendiri: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa.” Ini adalah respons ilahi yang cepat, tegas, dan monumental, menegaskan bahwa tidak ada posisi sosial atau ikatan darah yang dapat menghalangi kebenaran.
Ummu Jamil (Arwa binti Harb), istri Abu Lahab, memainkan peran yang sama destruktifnya. Ia adalah saudara perempuan Abu Sufyan, seorang tokoh penting Bani Umayyah (yang saat itu juga menjadi penentang keras Islam, meskipun kemudian masuk Islam). Ummu Jamil menggunakan kekayaan dan pengaruhnya untuk secara aktif memusuhi Nabi ﷺ dan para pengikutnya.
Ia dikenal karena dua tindakan utamanya, yang dikaitkan dengan gelar ‘pembawa kayu bakar’:
Ketika Ummu Jamil mendengar bahwa Al-Qur'an menargetkannya dan suaminya, ia menjadi sangat marah. Dikisahkan bahwa ia mengambil segenggam batu, mencari Nabi Muhammad ﷺ, dan bersumpah akan melemparkannya. Ketika ia sampai di dekat Ka’bah, Nabi dan Abu Bakar sedang duduk di sana. Namun, Allah SWT melindunginya sehingga Ummu Jamil hanya melihat Abu Bakar. Ia bertanya kepada Abu Bakar, “Di mana temanmu? Aku dengar ia mencelaku. Demi Allah, jika aku menemukannya, aku akan melemparkan batu ini ke mulutnya!” Kemudian ia melantunkan puisi yang merendahkan Nabi, lalu pergi.
Kisah ini merupakan salah satu mukjizat Surat Al-Lahab, karena Ummu Jamil tidak mampu melihat Nabi Muhammad ﷺ padahal ia berada tepat di hadapannya. Ini membuktikan bahwa azab dan kehinaan telah ditetapkan bagi mereka, bahkan sebelum mereka meninggal.
Poin paling penting dari Surat Al-Lahab, yang menjadikannya bukti kenabian, adalah kepastian azabnya. Ketika surat ini diturunkan, Abu Lahab masih hidup. Surat itu meramalkan secara mutlak bahwa dia akan binasa, hartanya tidak berguna, dan dia pasti akan masuk neraka. Agar nubuwat ini terbukti salah, Abu Lahab hanya perlu melakukan satu hal: mengucapkan syahadat (Masuk Islam) di sisa hidupnya. Namun, ia tidak pernah melakukannya.
Abu Lahab meninggal tidak lama setelah Perang Badar, dalam kondisi yang sangat menyedihkan dan hina. Ia tertular penyakit menular yang mengerikan (disebut ‘Adasah’, semacam bisul atau wabah yang sangat ditakuti). Keluarganya meninggalkannya karena takut tertular. Tubuhnya membusuk selama tiga hari. Karena ketakutan akan penyakit itu, ia tidak dikuburkan dengan layak oleh keluarganya. Mereka menggunakan kayu panjang untuk mendorong mayatnya, lalu menguburkannya di dalam liang dan melempari dengan batu dari jauh. Kematiannya yang hina dan terisolasi ini dianggap sebagai pemenuhan literal dari kehancuran duniawi yang dijanjikan oleh ayat pertama: Tabbat.
Kematian tragis ini menutup peluang Abu Lahab untuk bertaubat setelah Surat Al-Lahab turun, sehingga secara definitif membuktikan kebenaran nubuwat Al-Qur'an. Surat ini bukan hanya ancaman, tetapi juga deklarasi takdir yang telah tertutup.
Sejauh ini, pembahasan kita telah mencakup konteks historis yang mendalam tentang mengapa surat ini diturunkan. Kekhususan penargetan individu, respons langsung terhadap permusuhan, dan pemenuhan nubuwat di dunia nyata adalah tiga pilar utama yang menjadikan Surat Al-Lahab begitu kuat. Namun, untuk benar-benar mencapai kedalaman yang diperlukan, kita harus beralih ke analisis linguistik yang mengupas pilihan kata yang sangat tepat oleh Al-Qur'an, sebuah keajaiban retorika yang mendukung kepastian maknanya.
Al-Qur'an dikenal karena keunggulan linguistiknya yang tak tertandingi (I'jaz al-Qur'an). Dalam Surat Al-Lahab yang singkat, penggunaan tata bahasa, struktur kalimat, dan makna leksikal bekerja secara sinergis untuk menyampaikan hukuman yang final dan tak terhindarkan. Analisis ini sangat krusial untuk memahami keutamaan surat ini.
Kata kunci dalam ayat pertama adalah تَبَّتْ (Tabbat). Ini adalah bentuk kata kerja lampau (fi’il madhi), namun digunakan dalam konteks doa kutukan. Dalam balaghah Arab, penggunaan kata kerja lampau untuk menyatakan harapan atau kutukan menunjukkan kepastian akan terjadinya hal tersebut, seolah-olah kehancuran itu sudah terjadi. Ini menggaratkan bahwa kehancuran Abu Lahab bukanlah kemungkinan, melainkan sebuah fakta yang sudah ditetapkan di sisi Allah.
Pengulangan "Tabbat Yada Abi Lahabin wa Tabb" (Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sungguh dia telah binasa) adalah fitur retoris yang disebut *ta’kid* (penekanan). Pengulangan ini memperkuat pesan bahwa kehancurannya mencakup dua dimensi:
Syaikh Muhammad Mutawalli Al-Sya'rawi menjelaskan bahwa penyebutan ‘kedua tangan’ adalah untuk merujuk pada segala hal yang ia lakukan untuk menentang Nabi. Ketika Nabi menyampaikan dakwah, Abu Lahab menggunakan tangannya untuk memprovokasi dan menyerang. Maka, kehancuran datang dari sarana yang ia gunakan untuk berbuat kerusakan.
Ayat kedua menggunakan negasi yang kuat: "Mā aghnā 'anhu māluhu wa mā kasab." (Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan). Kata kerja أَغْنَىٰ (Aghnā) berarti memberikan kecukupan atau perlindungan. Ini menegaskan bahwa tidak ada daya tawar atau penebusan yang dapat ia gunakan. Hartanya, yang dalam masyarakat Makkah bisa membeli perlindungan dan pengaruh politik, menjadi nol di hadapan keputusan Ilahi.
Penafsiran مَا كَسَبَ (Mā kasab) sebagai ‘anak-anak’ sangat penting secara linguistik dan sosial. Dalam masyarakat Arab kuno, anak laki-laki (terutama) adalah hasil usaha terbaik seorang pria, yang melanggengkan nama dan kekuasaan klan. Dengan meniadakan manfaat dari hartanya dan anak-anaknya, Al-Qur'an melucuti Abu Lahab dari seluruh fondasi status sosial dan harga dirinya di dunia.
Puncak dari ironi linguistik terdapat pada ayat ketiga: "Sayaslā nāran dhāta lahabin." (Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak). Nama julukan Abu Lahab (Bapak Api yang Menyala) digunakan untuk mendeskripsikan tempat tinggal kekalnya di akhirat. Ini adalah penggunaan retorika yang sangat tajam, di mana julukan kehormatan (dalam konteks fisik) diubah menjadi label azab yang abadi.
Penggunaan huruf سَ (Sa-) pada سَيَصْلَىٰ (Sayaslā) menunjukkan masa depan yang dekat dan pasti. Ini bukan janji yang mungkin terjadi; ini adalah kepastian yang akan segera terjadi, bahkan jika ia masih hidup saat surat itu diturunkan.
Ayat keempat dan kelima mengandung metafora yang sangat padat terkait Ummu Jamil:
Penggunaan bentuk nomina *Hammālah* (pembawa yang intensif) menunjukkan bahwa membawa kayu bakar atau menyebar fitnah adalah kebiasaan dan sifat permanen Ummu Jamil. Ini adalah pekerjaan utamanya, bukan tindakan sesekali. Dalam tradisi puisi Arab, wanita yang membawa kayu bakar adalah wanita rendahan atau penyebar kebencian.
Kata مَّسَدٍ (Masad) merujuk pada sabut kasar yang dianyam, seringkali diikatkan pada leher budak atau digunakan untuk mengikat hewan. Ini kontras dengan kalung mewah yang biasa dikenakan oleh Ummu Jamil, seorang wanita bangsawan Quraisy. Di akhirat, status sosialnya terbalik total; ia menjadi seperti budak yang membawa beban di lehernya dengan tali yang paling kasar dan hina.
Beberapa penafsir (seperti Ibnu Zaid) juga menafsirkan *Masad* sebagai jenis rantai neraka. Intinya, Masad adalah simbol dari beban fisik dan kehinaan sosial yang harus ditanggungnya karena dosa-dosanya di dunia, khususnya fitnah yang ia sebarkan.
Analisis linguistik ini menunjukkan bahwa setiap kata dalam Surat Al-Lahab dipilih dengan presisi yang luar biasa, mengubah gelar, harta, dan kebiasaan duniawi para penentang risalah menjadi elemen-elemen dari hukuman kekal mereka.
Melangkah lebih jauh, kita perlu mengintegrasikan analisis linguistik ini dengan pandangan para ulama tafsir klasik dan kontemporer. Karena Surat Al-Lahab adalah surat yang sangat khusus, tafsirnya harus mencakup dimensi teologis tentang keadilan ilahi dan universalitas pesannya, meskipun ditujukan kepada dua individu spesifik.
Para ulama tafsir sepanjang sejarah telah membahas Surat Al-Lahab, tidak hanya dari segi historis, tetapi juga dari implikasi teologisnya. Terdapat beberapa poin kunci dalam tafsir yang menjadikannya pelajaran abadi bagi umat manusia.
Imam Ibnu Katsir dan Imam Al-Thabari, dalam karya tafsir klasik mereka, sangat menekankan pada konteks historis. Mereka menguatkan riwayat dari Ibnu Abbas dan lainnya mengenai peristiwa di Bukit Safa sebagai *asbabun nuzul* (sebab turunnya surat). Mereka melihat Surat Al-Lahab sebagai hukuman langsung atas tindakan Abu Lahab yang melampaui batas dalam menentang Nabi ﷺ.
Ibnu Katsir menegaskan bahwa kehancuran kedua tangan (تبت يدا) adalah simbol kekecewaan total dalam segala upaya. Abu Lahab menggunakan kekuatannya untuk menyerang Nabi, dan Allah menyatakan bahwa kekuatan itu akan dihancurkan. Khususnya mengenai harta, para mufassir klasik menegaskan bahwa kekayaan tersebut tidak akan mampu melindungi Abu Lahab dari penyakit menular yang menimpanya (Al-'Adasah), juga tidak akan menyelamatkannya dari siksa api neraka.
Mengenai Ummu Jamil, para mufassir klasik cenderung berpegangan pada kedua tafsir Hammālat al-Ḥaṭab: baik secara metaforis (penyebar fitnah) maupun harfiah (pembawa kayu bakar untuk menambah api suaminya di neraka). Tafsir harfiah ini memberikan gambaran yang mengerikan tentang hukuman kemitraan dalam dosa.
Salah satu aspek teologis terpenting dari surat ini adalah bukti kenabian Muhammad ﷺ. Surat ini menyatakan secara definitif nasib akhir dua individu yang masih hidup. Dalam Islam, nasib akhir seseorang hanya diketahui oleh Allah. Jika Abu Lahab atau istrinya berhasil masuk Islam sebelum mati, nubuwat ini akan gugur. Namun, keduanya mati dalam keadaan kafir.
Fakhruddin Ar-Razi menyoroti poin ini dalam tafsirnya. Ia menjelaskan bahwa Surat Al-Lahab adalah tantangan terbuka kepada para penentang Islam. Ini adalah mukjizat yang tidak hanya bersifat historis, tetapi juga logis. Pengetahuan mutlak mengenai takdir di akhirat hanya bisa datang dari wahyu ilahi.
Jika kita memperluas pandangan ini, kita melihat bahwa Al-Qur'an memiliki pengetahuan sempurna tentang masa depan. Allah mengetahui bahwa Abu Lahab dan istrinya tidak akan pernah bertaubat, meskipun mereka diberi kesempatan untuk membuktikan Al-Qur'an salah. Ini menunjukkan bahwa hati mereka telah dikunci (disebut *khatm* dalam terminologi Al-Qur'an), dan tidak ada lagi harapan bagi mereka.
Meskipun Surat Al-Lahab ditujukan kepada individu spesifik, tafsir modern (seperti yang dilakukan oleh Sayyid Qutb dalam *Fi Zhilal al-Qur'an*) berusaha menarik pelajaran universal dari kekhususan ini.
Sayyid Qutb menekankan bahwa Abu Lahab adalah representasi dari tipe manusia tertentu: individu yang memanfaatkan posisi, kekayaan, dan kekerabatan untuk menentang kebenaran. Universalitas pesan ini terletak pada:
Dengan demikian, meskipun Abu Lahab dan Ummu Jamil telah lama meninggal, mereka menjadi arketipe abadi dari para penentang kebenaran yang menggunakan segala cara duniawi untuk menghalangi jalan Allah. Setiap penguasa, hartawan, atau individu yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menindas kebenaran harus merenungkan nasib Tabbat Yada Abi Lahab.
Analisis tafsir ini menggarisbawahi transisi dari kisah historis menjadi prinsip teologis. Surat ini berfungsi sebagai penenang bagi Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat yang tertindas pada masa-masa awal, meyakinkan mereka bahwa kekuatan duniawi para penentang pada akhirnya adalah sia-sia di mata Allah SWT.
Selain aspek historis dan linguistik, Surat Al-Lahab mengandung implikasi teologis yang mendalam mengenai keadilan ilahi (al-Adl), takdir (al-Qadar), dan konsep pertanggungjawaban individu dalam Islam.
Surat Al-Lahab adalah contoh sempurna dari *wa’id* (ancaman atau peringatan) dalam Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa janji hukuman Allah kepada orang yang memilih kekafiran dan permusuhan secara permanen adalah se-pasti janji pahala bagi orang beriman (al-Wa’d).
Keadilan Allah tidak hanya berlaku secara kolektif, tetapi juga individual. Dalam kasus Abu Lahab, hukuman datang dalam tiga tingkatan:
Keadilan ini juga terlihat pada Ummu Jamil. Dia dihukum tidak hanya karena kekafiran, tetapi karena tindakan spesifiknya, yaitu menyebar fitnah dan menjadi pendukung aktif permusuhan (Hammālat al-Ḥaṭab). Dalam Islam, niat dan tindakan jahat yang mendukung kezaliman memiliki pertanggungjawaban yang setara dengan pelaku utamanya.
Penafsiran mengenai Ḥablun min masad (tali sabut) seringkali memicu perdebatan mengenai apakah ini adalah azab harfiah atau metafora. Terlepas dari apakah tali tersebut benar-benar terbuat dari serat kasar atau rantai neraka, maknanya tetap sama: kehinaan yang melekat.
Dalam konteks spiritual, tali di leher adalah simbol beban. Jika Ummu Jamil adalah ‘pembawa kayu bakar’ (dosa fitnah) di dunia, maka di akhirat, kayu bakar itu akan menjadi tali yang mengikatnya. Dosa dan kejahatan di dunia tidak hilang; ia bertransformasi menjadi beban fisik dan spiritual di akhirat.
Ini mengajarkan prinsip pertanggungjawaban amal: setiap tindakan, sekecil apapun itu, akan kembali kepada pelakunya. Fitnah yang ringan di mata manusia diubah menjadi rantai yang berat oleh keadilan Ilahi.
Surat Al-Lahab memberikan pelajaran penting bagi para juru dakwah. Meskipun Nabi Muhammad ﷺ memulai dakwahnya dari kerabat terdekat, ia dihadapi oleh penentangan paling kejam dari internal keluarga (pamannya). Ini menunjukkan bahwa dalam dakwah, kesuksesan tidak ditentukan oleh ikatan darah, tetapi oleh keikhlasan dan hidayah Allah.
Surat ini memberikan kepastian bahwa para dai tidak perlu gentar terhadap oposisi, bahkan jika oposisi itu datang dari orang-orang yang memiliki kekuasaan, kekayaan, atau ikatan keluarga yang kuat. Allah sendiri yang akan menangani para penentang utama tersebut, dan hukuman mereka akan jauh lebih buruk daripada yang dapat dibayangkan oleh manusia.
Pada masa-masa awal Makkah, umat Islam sangat minoritas dan tertindas. Surat Al-Lahab berfungsi sebagai sumber kekuatan moral yang luar biasa. Bayangkan para sahabat yang lemah, seperti Bilal atau Ammar, melihat tokoh kuat Quraisy seperti Abu Lahab (yang memimpin penindasan) secara terbuka dikutuk oleh Al-Qur'an dan divonis hukuman abadi. Ini menanamkan keyakinan bahwa meskipun penindas tampaknya kuat di dunia, mereka tidak berdaya di hadapan Allah.
Surat ini mengalihkan fokus dari kekuatan materi dan sosial menuju kekuatan kebenaran spiritual. Hal ini sangat penting untuk ketahanan psikologis komunitas Muslim awal.
Kita dapat menyimpulkan bahwa Surat Al-Lahab adalah sebuah karya sastra dan teologis yang padat, yang dalam lima ayatnya berhasil menjelaskan keadilan, takdir, dan konsekuensi abadi dari permusuhan terhadap kebenaran, bahkan jika permusuhan itu disamarkan dengan topeng kekerabatan atau kekayaan. Ini adalah teguran ilahi yang berlaku sepanjang zaman, kepada siapa pun yang mencoba memadamkan cahaya Islam dengan harta dan fitnah.
Untuk melengkapi kajian mendalam ini, penting untuk menempatkan Surat Al-Lahab dalam konteks surat-surat pendek lainnya yang juga membahas takdir dan permusuhan, seperti Al-Kafirun atau Al-Kautsar, sekaligus menarik kesimpulan universal yang relevan bagi kehidupan modern.
Surat Al-Lahab dan Surat Al-Kautsar seringkali dibaca secara kontras. Al-Kautsar (Surat ke-108) turun sebagai penghiburan bagi Nabi ﷺ ketika beliau dihina dengan sebutan *Abtar* (terputus keturunannya atau terputus kebaikannya) oleh kaum Quraisy. Al-Kautsar menjanjikan kelimpahan (Kautsar) dan kepastian bahwa yang memusuhi Nabi-lah yang akan terputus (*huwal abtar*).
Surat Al-Lahab adalah manifestasi langsung dari janji di Al-Kautsar. Abu Lahab adalah salah satu yang paling sering menghina Nabi dan mencapnya *abtar*. Surat Al-Lahab datang untuk menegaskan bahwa justru Abu Lahab-lah yang akan binasa dan usahanya terputus, sementara Nabi ﷺ diberikan anugerah agung dan kemenangan abadi.
Perbandingan ini menunjukkan simetri sempurna dalam retorika Al-Qur'an: penghinaan terhadap Nabi segera diikuti oleh janji penghiburan, dan janji penghukuman terhadap penghina tersebut datang dalam bentuk Surat Al-Lahab. Kedua surat ini, meskipun pendek, mendefinisikan hubungan antara kebenaran dan permusuhan.
Surat Al-Lahab berawal dengan kehancuran (*Tabbat*), sebuah konsep yang juga ditemukan dalam Surat Al-Ashr, yang menyatakan bahwa manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Abu Lahab adalah representasi sempurna dari kerugian total. Ia gagal menggunakan dua aset terbesar yang diberikan kepadanya: akal budi untuk menerima kebenaran dan kekerabatan untuk melindungi utusan Allah. Kerugiannya adalah kerugian multidimensi, mencakup dunia dan akhirat, yang merupakan nasib terburuk dalam pandangan Islam.
Meskipun surat ini tidak mengandung hukum (seperti shalat atau puasa), pelajaran moral dan spiritualnya sangat mendasar:
Surat Al-Lahab adalah deklarasi tegas tentang kepastian azab bagi mereka yang memilih jalan permusuhan terhadap risalah Ilahi, terutama mereka yang menyalahgunakan kekuasaan dan pengaruh mereka. Dalam lima ayat yang ringkas, Al-Qur'an mengabadikan kisah kekalahan, kehinaan, dan nasib kekal bagi Abu Lahab dan istrinya, menjadikan mereka contoh abadi bagi semua penentang. Ini adalah surat yang membalikkan kutukan dan menggarisbawahi bahwa kekuasaan sejati ada di tangan Allah SWT, dan segala usaha yang bertentangan dengan kehendak-Nya pasti akan berujung pada kehancuran total: Tabbat!
Kajian mendalam ini menegaskan kembali bahwa pesan Al-Qur'an tidak pernah usang, dan pelajaran dari kehancuran Abu Lahab tetap relevan bagi setiap generasi yang mungkin dihadapkan pada godaan kekuasaan, kekayaan, dan permusuhan terhadap cahaya kebenaran.
Dalam konteks akhir zaman, di mana fitnah tersebar luas dan kekayaan sering kali dijadikan alat penindasan, peringatan Surat Al-Lahab berfungsi sebagai pengingat yang kuat tentang pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta.
Kehancuran tangan Abu Lahab adalah kehancuran usaha; kehancuran dirinya adalah kepastian neraka. Sebagaimana janji itu dipenuhi di dunia dan akhirat bagi Abu Lahab, demikian pula janji bagi setiap penentang kebenaran yang menggunakan daya dan upaya mereka untuk menghalang-halangi jalan dakwah.
Pemahaman yang mendalam tentang Surat Al-Lahab tidak hanya meningkatkan apresiasi kita terhadap keajaiban linguistik Al-Qur'an, tetapi juga memperkuat iman kita pada kepastian keadilan Ilahi dan pentingnya menjaga hati dari sifat-sifat permusuhan, kesombongan, dan penyebaran fitnah.
Semoga kita termasuk orang-orang yang mengambil pelajaran dari sejarah dan menjauhkan diri dari jalan kehancuran yang telah digariskan dengan sangat jelas dalam firman Allah ini. Surat ini adalah penutup yang kuat bagi babak awal dakwah di Makkah, sebuah babak yang penuh dengan cobaan dan tantangan, namun diakhiri dengan deklarasi kemenangan bagi kebenaran dan kekalahan abadi bagi penentangnya.
Demikianlah berakhir analisis komprehensif mengenai Surat Al-Lahab, sebuah surat yang singkat namun memuat pesan abadi mengenai takdir dan hukuman yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Adil.