Surah Al-Lail: Sumpah atas dualitas siang dan malam.
Surah Al-Lail, yang berarti "Malam", adalah surah ke-92 dalam Al-Qur'an. Surah Makkiyah ini terdiri dari 21 ayat dan diletakkan dalam Juz ke-30 atau Juz 'Amma. Inti dari Surah Al-Lail adalah penekanan terhadap dualitas kehidupan dan konsekuensi dari dua jalur amal yang berbeda: jalan kedermawanan dan ketakwaan, serta jalan kekikiran dan pendustaan. Allah SWT bersumpah dengan berbagai ciptaan-Nya yang kontras untuk menegaskan bahwa usaha manusia terbagi-bagi dan setiap usaha akan membawa hasil yang berbeda di akhirat.
Bagi umat Muslim non-Arab, menguasai bacaan Al-Qur'an seringkali dibantu oleh transliterasi Latin. Transliterasi ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara fonetik bahasa Arab yang kompleks dengan sistem penulisan yang lebih familiar. Namun, sangat penting untuk diingat bahwa transliterasi Latin hanyalah alat bantu. Pengucapan yang benar (Makharijul Huruf) harus selalu dipelajari dari guru yang kompeten.
Artikel ini menyajikan panduan komprehensif mengenai latin Surah Al-Lail, diikuti dengan teks Arab asli, terjemahan, dan tafsir mendalam ayat per ayat. Analisis mendalam ini bertujuan untuk tidak hanya mempermudah pembacaan, tetapi juga mengukuhkan pemahaman spiritual dan kontekstual dari pesan-pesan Surah Al-Lail.
Transliterasi yang digunakan di sini mengikuti standar yang umum diterima, namun penekanan pada huruf-huruf tertentu (seperti *‘ain*, *kha*, *qaf*, dan *tsa*) diupayakan mendekati pelafalan aslinya.
وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ
Wal-laili izā yaghsā
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
Allah memulai surah ini dengan sumpah (qasam) demi malam. Kata al-lail berarti "malam", dan yaghsā (dari kata dasar ghasyiya) berarti "menutupi" atau "menyelimuti". Malam adalah waktu di mana kegelapan menyelimuti bumi, menutupi cahaya siang yang telah berlalu, membawa kedamaian dan istirahat. Sumpah ini menekankan keagungan dan peran besar malam sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengatur ritme kehidupan. Kontemplasi atas malam mengajak manusia untuk merenungi keberadaan yang lebih besar dari diri mereka sendiri.
Penggunaan huruf-huruf yang jelas dalam transliterasi (seperti ghsā yang menunjukkan huruf ghain dan syin) sangat penting agar pembaca tidak salah melafalkan menjadi huruf Latin biasa (misalnya GSA), yang akan mengubah makna secara fundamental. Malam, dalam konteks tafsir, sering dihubungkan dengan rahasia, ketenangan, dan waktu untuk beribadah secara tersembunyi, kontras dengan hiruk pikuk siang.
وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
Wan-nahāri izā tajallā
Demi siang apabila terang benderang,
Setelah bersumpah demi malam, Allah bersumpah demi siang (an-nahār). Kata tajallā berarti "menampakkan diri", "menjadi jelas", atau "terang benderang". Siang adalah lawan kontras dari malam, waktu di mana segala sesuatu menjadi terlihat jelas, manusia bekerja, dan mencari nafkah. Dualitas malam dan siang ini merupakan pola dasar kosmik yang Allah gunakan sebagai bukti kebenaran pesan-Nya. Sumpah ini menggarisbawahi pentingnya keseimbangan dalam penciptaan, dan bahwa kehidupan manusia pun harus memiliki keseimbangan antara usaha (siang) dan istirahat/ibadah (malam).
Dalam ilmu Tajwid, terdapat hukum Alif Lam Syamsiyah pada kata an-nahāri, di mana huruf lam diabaikan dan huruf nun diucapkan ganda. Walaupun transliterasi latin Surah Al-Lail membantu dalam bunyi, kesadaran akan hukum tajwid tetap harus diutamakan untuk menghindari kesalahan fatal dalam pembacaan Al-Qur'an.
وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰٓ
Wa mā khalaqaz-zakara wal-unṡā
Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,
Sumpah ketiga beralih dari fenomena alam makro ke fenomena penciptaan manusia mikro: laki-laki (az-zakara) dan perempuan (al-unṡā). Penciptaan yang berpasangan ini menunjukkan prinsip universal dualitas yang merupakan ciri khas ciptaan Allah. Sama seperti malam dan siang yang saling melengkapi, laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dan berinteraksi.
Imam Ar-Razi menafsirkan bahwa sumpah ini tidak hanya merujuk pada jenis kelamin, tetapi juga pada kontras sifat dan perilaku. Hidup manusia dipenuhi pilihan kontras: kebaikan vs keburukan, petunjuk vs kesesatan. Transliterasi Latin yang akurat harus menampakkan huruf żāl (diwakili ż atau dh), yang memiliki pelafalan berbeda dari zāi. Kesalahan dalam melafalkan huruf ini dapat mengurangi kesempurnaan bacaan.
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ
Inna sa’yakum lasyattā
Sungguh, usaha kamu memang beraneka macam.
Ayat ini adalah jawaban (jawab al-qasam) dari ketiga sumpah sebelumnya. Setelah bersumpah demi dualitas yang universal (malam/siang, laki-laki/perempuan), Allah menyatakan bahwa usaha (sa’yakum) manusia itu pasti beraneka macam (lasyattā). Ayat ini menetapkan premis dasar Surah Al-Lail: manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih jalannya, dan pilihan tersebut terbagi menjadi dua jalur utama yang sangat berbeda.
Kata sa’yakum mencakup segala bentuk aktivitas dan niat, baik di dunia maupun di akhirat. Makna lasyattā adalah terpisah, berbeda, atau bertentangan. Ini adalah penegasan bahwa tidak semua upaya sama nilainya di mata Allah; ada usaha yang mengarah pada kebahagiaan abadi (yusrā) dan ada yang mengarah pada kesulitan (‘usrā), sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya.
فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ
Fa ammā man a‘ṭā wat-taqā
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
Ayat ini memperkenalkan kelompok pertama: orang yang beruntung. Ada dua sifat utama yang mereka miliki: a‘ṭā (memberi/bersedekah) dan wat-taqā (bertakwa). A‘ṭā tidak hanya berarti memberi harta, tetapi juga memberi dari waktu, ilmu, dan tenaga. Kedermawanan adalah bukti nyata iman dan pengakuan bahwa semua kekayaan berasal dari Allah.
Takwa, di sisi lain, adalah fondasi spiritual; ia adalah kesadaran akan kehadiran Allah, yang mencegah seseorang melakukan keburukan dan mendorongnya untuk melaksanakan perintah-Nya. Keduanya, memberi (amal zahir) dan takwa (amal batin), harus berjalan beriringan. Transliterasi Latin di sini harus jelas membedakan antara huruf ‘ain (diwakili ‘) dan huruf hamzah, karena pengucapan A’ṭā (dengan ‘ain) sangat penting dalam bahasa Arab.
وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ
Wa ṣaddaqa bil-ḥusnā
Dan membenarkan adanya (balasan) yang terbaik (surga),
Sifat ketiga dari kelompok pertama adalah wa ṣaddaqa bil-ḥusnā, yaitu membenarkan atau mempercayai balasan terbaik (al-ḥusnā). Mayoritas mufasir menafsirkan al-ḥusnā sebagai Surga, atau janji Allah yang terbaik tentang pahala, atau kalimat tauhid Laa ilaaha illallah. Kepercayaan teguh inilah yang memotivasi mereka untuk berbuat baik dan bertakwa, meskipun harus mengeluarkan harta.
Kepercayaan kepada ghaib adalah pilar utama iman. Seseorang yang yakin bahwa pengorbanannya di dunia akan dibalas dengan kebahagiaan abadi di akhirat, maka ia akan lebih mudah berinfak dan meninggalkan kemaksiatan. Diperlukan perhatian pada huruf ṣād (diwakili ṣ) yang tebal dalam transliterasi untuk kata ṣaddaqa, yang berbeda dari huruf sīn.
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ
Fa sanuyassiruhū lil-yusrā
Maka Kami akan mudahkan baginya jalan kemudahan (kebahagiaan).
Ini adalah janji ilahi bagi kelompok yang disebutkan pada ayat 5 dan 6. Allah menggunakan kata sanuyassiruhū (Kami akan memudahkannya) dan lil-yusrā (kepada kemudahan). Kemudahan di sini mencakup dua aspek: kemudahan dalam beramal saleh di dunia dan kemudahan dalam perjalanan menuju Surga di akhirat.
Artinya, bagi orang yang memilih jalan takwa dan memberi, Allah akan menjadikan ibadah terasa ringan, menjauhkan hati dari godaan maksiat, dan melapangkan rezekinya. Jalan menuju Surga tidak akan terasa sulit. Janji ini adalah motivasi terbesar untuk konsisten dalam ketaatan. Analisis linguistik menunjukkan bahwa pengulangan kata yang bermakna 'mudah' menekankan kepastian janji tersebut.
وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسْتَغْنَy
Wa ammā mam bakhila wastaghnā
Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh kepada Allah),
Ayat ini memperkenalkan kelompok kedua: orang yang celaka. Sifat utama mereka adalah bakhila (kikir/pelit) dan wastaghnā (merasa cukup, tidak butuh bantuan Allah). Kekikiran adalah kebalikan dari a‘ṭā (memberi). Ia menunjukkan keterikatan yang kuat pada harta duniawi.
Adapun istaghnā, ini adalah dosa yang lebih besar. Mereka bukan hanya menolak memberi, tetapi juga menolak bimbingan Allah karena merasa diri sudah kaya atau pintar, sehingga tidak memerlukan petunjuk Ilahi. Sikap ini adalah akar dari kesesatan. Mereka menyangka bahwa kekuatan dan harta mereka sendirilah yang membawa kesuksesan, melupakan peran Allah SWT. Dalam transliterasi latin Surah Al-Lail, penggunaan mā pada mam bakhila menunjukkan hukum Idgham Bighunnah atau Ikhfa yang terjadi dalam bacaan tajwid.
وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ
Wa każżaba bil-ḥusnā
Serta mendustakan (balasan) yang terbaik,
Sifat ketiga dari kelompok yang celaka ini adalah każżaba bil-ḥusnā (mendustakan balasan terbaik). Karena mereka kikir dan merasa cukup, mereka tidak percaya pada Surga (al-Husnā) atau balasan dari Allah. Jika mereka benar-benar percaya pada pahala abadi, mustahil mereka akan kikir di dunia yang fana ini.
Pendustaan ini bisa berbentuk tidak percaya sama sekali (kafir), atau percaya tapi bersikap munafik, atau meragukan janji-janji Allah. Intinya, ketiadaan keyakinan spiritual membuat mereka memprioritaskan kekayaan duniawi di atas segala-galanya. Pelafalan huruf żāl (diwakili ż) dalam każżaba sangat penting untuk membedakannya dari huruf zāi.
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ
Fa sanuyassiruhū lil-‘usrā
Maka Kami akan mudahkan baginya jalan kesulitan (kesengsaraan).
Ini adalah hukuman bagi kelompok kedua. Allah berjanji akan memudahkannya menuju al-‘usrā (kesulitan, kesengsaraan). Sebagaimana Allah mempermudah jalan bagi orang yang bertakwa, Dia juga akan mempermudah jalan bagi orang yang ingkar dan kikir, namun kemudahan ini adalah kemudahan menuju kebinasaan.
Kemudahan menuju kesulitan berarti Allah akan membiarkan mereka tenggelam dalam kesesatan mereka sendiri. Mereka akan merasa nyaman dengan dosa, senang dengan kekikiran, dan semakin jauh dari kebenaran tanpa merasa bersalah. Jalan menuju Neraka akan terasa 'mudah' bagi mereka karena jiwa mereka telah terbiasa dengan keburukan, hingga akhirnya mereka menemukan kesulitan sejati di akhirat. Perhatikan penggunaan huruf ‘ain (diwakili ‘) pada ‘usrā, yang menunjukkan kesulitan.
وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰ
Wa mā yugnī ‘anhu māluhū izā taraddā
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa.
Ayat ini menegaskan konsekuensi fatal dari kekikiran dan pendustaan. Ketika ajal menjemput (izā taraddā, secara harfiah berarti "jatuh ke dalam jurang" atau "binasa"), hartanya (māluhū) tidak akan sedikit pun memberikan manfaat atau perlindungan. Semua kekayaan yang dikumpulkan dengan susah payah dan kekikiran akan ditinggalkan dan tidak dapat menyelamatkannya dari azab.
Ini adalah teguran keras terhadap mentalitas materialistik yang menuhankan harta. Kekayaan hanya bernilai jika diinvestasikan di jalan Allah melalui sedekah dan takwa (seperti kelompok pertama). Jika tidak, harta hanya menjadi beban yang memberatkan hisab. Ayat ini menjadi penutup yang kuat untuk bagian dualitas amal dan ganjaran.
Ringkasan Dualitas (Ayat 5-11): Surah Al-Lail mengajarkan bahwa pilihan hidup manusia terbagi dua secara tegas: 1. Memberi, bertakwa, dan membenarkan Surga = Jalan kemudahan (Yusrā). 2. Kikir, sombong, dan mendustakan Surga = Jalan kesulitan (‘Usrā). Tidak ada jalan tengah yang netral.
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ
Inna ‘alainā lal-hudā
Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk,
Setelah menjelaskan dua jalur yang kontras, Allah menegaskan otoritas-Nya. Inna ‘alainā lal-hudā berarti "Sesungguhnya atas Kami-lah penjelasan/petunjuk." Ini adalah pernyataan bahwa Allah telah menyediakan petunjuk yang jelas melalui para Nabi dan Kitab Suci-Nya. Tugas manusia adalah memilih untuk mengikuti atau menolaknya. Allah tidak membiarkan manusia dalam kegelapan; Dia telah menerangi jalan Yusrā (kemudahan) dan memperingatkan terhadap jalan ‘Usrā (kesulitan).
Dalam konteks teologis, ayat ini menekankan keadilan Allah. Manusia akan dihisab atas pilihan mereka karena petunjuk sudah diberikan secara eksplisit. Transliterasi latin Surah Al-Lail harus mencerminkan penekanan pada huruf ‘ain dalam ‘alainā, yang merupakan ciri khas pengucapan bahasa Arab.
وَإِنَّ لَنَا لَلْءَاخِرَةَ وَٱلْأُولَىٰ
Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā
Dan sesungguhnya milik Kami-lah akhirat dan dunia.
Ayat ini memperkuat ayat sebelumnya dengan menyatakan bahwa kepemilikan mutlak (lanā) atas akhirat (al-ākhirah) dan dunia (al-ūlā) adalah milik Allah semata. Jika Allah memiliki kedua alam, maka Dia memiliki otoritas penuh untuk menentukan balasan di kedua alam tersebut, baik di dunia ini maupun di hari perhitungan.
Pernyataan kepemilikan ini berfungsi sebagai ancaman dan janji. Ancaman bagi mereka yang kikir, karena mereka berusaha mengumpulkan apa yang pada akhirnya milik Allah. Janji bagi yang bertakwa, karena mereka menginvestasikan harta mereka kepada Pemilik sejati dari segala sesuatu, yang pasti akan mengembalikannya berkali lipat. Kesadaran akan kepemilikan mutlak ini harusnya menghilangkan kekhawatiran tentang kekayaan duniawi.
فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًۭا تَلَظَّىٰ
Fa anżartukum nāran talaẓẓā
Maka Aku peringatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (Neraka),
Sebagai konsekuensi dari dualitas dan kepemilikan-Nya, Allah memberikan peringatan (anżartukum) yang tegas mengenai api Neraka (nāran talaẓẓā) yang berkobar-kobar. Kata talaẓẓā menunjukkan intensitas api yang sangat dahsyat, yang menyala dengan membakar dan melahap apa saja yang dilemparkan ke dalamnya.
Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang yang mendustakan dan kikir (kelompok kedua). Maksud dari peringatan ini adalah untuk mendorong mereka kembali ke jalan petunjuk sebelum terlambat. Deskripsi Neraka dalam Al-Qur'an, termasuk dalam Surah Al-Lail ini, selalu bertujuan untuk membangkitkan rasa takut yang konstruktif (khauf) agar manusia menghindari dosa. Transliterasi żā pada anżartukum harus dilafalkan seperti huruf 'th' dalam bahasa Inggris (think) yang diucapkan bervibrasi.
لَا يَصْلَىٰهَآ إِلَّا ٱلْأَشْقَى
Lā yaṣlāhā illal-asyqā
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,
Ayat ini mempersempit siapa yang akan menanggung api Neraka yang dahsyat itu. Hanya al-asyqā (orang yang paling celaka) yang akan memasukinya. Siapakah al-asyqā? Itu merujuk pada individu yang memilih jalur ‘Usrā, yaitu orang yang kikir, sombong, dan mendustakan kebenaran secara terus-menerus hingga akhir hayatnya.
Istilah asyqā adalah bentuk superlatif, menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mencapai puncak kesengsaraan karena keangkuhan dan penolakan mereka terhadap petunjuk Ilahi, setelah petunjuk itu jelas diberikan. Ayat ini memberikan harapan bagi mukmin yang berbuat dosa, bahwa Neraka yang disebutkan di sini secara spesifik ditujukan bagi mereka yang memilih kekafiran dan kekikiran yang ekstrem.
ٱلَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ
Al-lażī każżaba wa tawallā
Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan).
Ayat ini menjelaskan lebih lanjut siapa itu al-asyqā. Mereka adalah orang-orang yang memiliki dua tindakan utama: każżaba (mendustakan) dan tawallā (berpaling). Mendustakan adalah penolakan terhadap kebenaran yang datang dari Allah. Berpaling adalah menolak untuk mengamalkan atau melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Kekafiran seringkali terdiri dari dua unsur ini: penolakan hati (mendustakan) dan penolakan amal (berpaling). Orang yang mendustakan janji Allah dan berpaling dari kewajiban berinfak dan beribadah, secara otomatis mengarahkan dirinya ke jalan ‘Usrā. Tafsir Ibn Kathir sering menghubungkan ayat ini dengan kisah Abu Jahal atau orang-orang Quraisy yang menolak ajaran Nabi Muhammad SAW, meskipun mereka mengetahui kebenarannya.
وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلْأَتْقَى
Wa sayujannabuhal-atqā
Dan akan dijauhkan darinya (Neraka) orang yang paling bertakwa,
Setelah Neraka diperingatkan bagi al-asyqā, ayat ini menyajikan kontras yang membesarkan hati bagi kelompok pertama. Sayujannabuhal-atqā berarti "akan dijauhkan darinya (Neraka) orang yang paling bertakwa." Al-atqā adalah bentuk superlatif dari takwa, merujuk pada orang yang mencapai puncak ketakwaan, yang mengamalkan a‘ṭā wat-taqā (memberi dan bertakwa) secara maksimal.
Ini adalah janji keselamatan mutlak bagi mereka yang mengutamakan Allah di atas segala-galanya, yang tulus dalam memberi dan menjaga batas-batas syariat. Dalam banyak tafsir, khususnya Asbabun Nuzul, al-atqā sering dikaitkan dengan sahabat mulia Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang dikenal karena kemurahan hati dan ketakwaannya yang luar biasa, sering memerdekakan budak-budak hanya karena Allah.
ٱلَّذِي يُؤْتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ
Al-lażī yu'tī mālahū yatazakkā
Yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya,
Ayat ini menjelaskan ciri-ciri al-atqā. Mereka adalah orang yang menginfakkan hartanya (yu’tī mālahū) dengan tujuan yatazakkā (membersihkan dirinya). Ini menegaskan bahwa tujuan utama berinfak bukanlah untuk mendapatkan pujian manusia atau keuntungan materi di dunia, melainkan untuk menyucikan jiwa dari sifat kikir, cinta dunia (hubb ad-dunya), dan dosa.
Penyucian diri (tazkiyah) adalah proses spiritual yang menjadikan hati lebih dekat kepada Allah. Harta, jika dipertahankan dengan kekikiran, menjadi kotoran jiwa. Dengan berinfak secara ikhlas, seseorang membersihkan kotoran tersebut. Transliterasi latin Surah Al-Lail pada ayat ini menunjukkan bahwa infak harus didasarkan pada niat yang suci, bukan sekadar tindakan lahiriah.
وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعْمَةٍۢ تُجْزَىٰٓ
Wa mā li'aḥadin ‘indahū min ni‘matin tujzā
Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
Ayat ini menunjukkan tingkat keikhlasan tertinggi dari al-atqā. Mereka berinfak bukan karena sedang membalas budi (tujzā) kepada seseorang yang pernah berbuat baik kepada mereka. Infak mereka murni didorong oleh keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan karena kewajiban sosial atau hutang budi.
Tafsir klasik seringkali menggunakan kisah pembebasan budak yang dilakukan Abu Bakar sebagai contoh. Ia memerdekakan budak yang lemah dan tua, yang jelas tidak mampu membalas kebaikannya di dunia. Ini adalah definisi sempurna dari infak fī sabīlillāh (di jalan Allah), yang hanya mengharapkan wajah Allah semata.
إِلَّا ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ
Illab-tighā'a wajhi rabbihil-a‘lā
Melainkan (dia memberikan itu) semata-mata karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.
Ayat ini menegaskan motivasi tunggal dari orang yang paling bertakwa: illab-tighā’a wajhi rabbihil-a‘lā (kecuali mencari wajah Tuhannya Yang Mahatinggi). Wajah Allah di sini merupakan metafora untuk keridaan-Nya (ridhā’ullah).
Tindakan ini mengajarkan prinsip Ikhlas: setiap amal ibadah, terutama infak, harus murni ditujukan kepada Allah, tanpa ada unsur riya’ (pamer), sum’ah (ingin didengar), atau tujuan duniawi lainnya. Ini adalah pembeda utama antara amal kelompok Yusrā dan amal kelompok ‘Usrā. Orang kikir memuja harta, sementara orang bertakwa memuja Allah, menggunakan harta sebagai sarana ibadah.
وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ
Wa lasaufa yarḍā
Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan keridaan (Allah).
Surah Al-Lail ditutup dengan janji pamungkas bagi al-atqā: wa lasaufa yarḍā (dan kelak dia benar-benar akan rida/puas). Kepuasan di sini adalah kepuasan yang universal, yang mencakup kebahagiaan di dunia, penerimaan amalnya, dan yang terpenting, keridaan Allah di akhirat yang membuka pintu Surga.
Kata lasaufa (pasti kelak) memberikan penekanan dan kepastian atas janji tersebut. Orang yang berjuang di jalan takwa, memberi tanpa mengharapkan balasan manusia, dan mencari wajah Allah, akan mencapai tingkat kepuasan tertinggi yang tidak dapat dicapai oleh kekayaan atau kesenangan duniawi. Ini adalah penutup yang sempurna, menghubungkan kembali niat suci (Ayat 20) dengan ganjaran paripurna (Ayat 21).
Membaca transliterasi latin Surah Al-Lail membutuhkan pemahaman khusus terhadap simbol-simbol yang digunakan untuk mewakili huruf-huruf Arab yang tidak ada padanannya dalam alfabet Latin. Memahami simbol-simbol ini adalah kunci untuk mendekati pelafalan yang benar dan menjaga kesempurnaan bacaan Al-Qur'an.
Surah Al-Lail mengandung beberapa huruf tebal (ḥurūf isti’lā’) yang harus dibaca dengan pangkal lidah terangkat, menghasilkan bunyi yang lebih penuh dan berat. Transliterasi Latin harus secara konsisten membedakan huruf-huruf ini:
Kesalahan dalam membedakan huruf tebal dan tipis (misalnya membaca ṣaddaqa sebagai saddaqa) dapat menyebabkan laḥn jaliy (kesalahan nyata) yang mengubah makna, meskipun pembacaan latin Surah Al-Lail dilakukan.
Huruf-huruf yang memerlukan pelafalan dari tenggorokan atau dengan bunyi gesek yang spesifik sangat krusial dalam Surah Al-Lail:
Surah Al-Lail, meskipun pendek, menjadi ujian yang baik untuk penguasaan huruf-huruf ini, terutama ketika membaca versi Latin, karena kesalahan penandaan bisa menimbulkan kebingungan fonetik yang signifikan.
Inti teologis Surah Al-Lail adalah kontras mendalam antara dua jalan hidup: jalan kemudahan (Al-Yusrā) dan jalan kesulitan (Al-‘Usrā). Kontras ini tidak sekadar menggambarkan dua nasib yang berbeda di akhirat, tetapi juga dua jenis karakter yang terbentuk di dunia.
Jalur ini dijelaskan oleh tiga pilar utama (Ayat 5-7):
Kedermawanan di sini adalah refleksi dari kepercayaan terhadap balasan di akhirat. Orang yang memiliki sifat a‘ṭā adalah orang yang yakin bahwa kekayaan sejati tidak berkurang karena sedekah, melainkan bertambah. Pemberian ini mencerminkan rasa syukur dan kepasrahan kepada Allah sebagai pemilik rezeki sejati. Dalam kehidupan sosial, kedermawanan adalah kunci untuk menghilangkan ketidakadilan ekonomi dan menumbuhkan kasih sayang. Keikhlasan ditekankan melalui Ayat 19-20, di mana pemberian itu murni tidak mengharapkan balasan apa pun dari penerima, melainkan hanya dari Allah.
Takwa adalah kontrol batin yang memastikan kedermawanan tidak sia-sia. Takwa menciptakan kesadaran bahwa hidup ini harus dijalani sesuai kehendak Allah. Gabungan infak (amal zahir) dan takwa (amal batin) menghasilkan pribadi yang seimbang. Orang bertakwa selalu mencari kebenaran dan menghindari jalan yang disesatkan, bahkan ketika jalan itu terasa berat di awal.
Membenarkan balasan terbaik (Surga) adalah motor penggerak. Tanpa keyakinan ini, kedermawanan akan terasa sia-sia. Keyakinan inilah yang membedakan infak seorang Muslim dari filantropi sekuler. Bagi mukmin, setiap infak adalah investasi abadi yang hasilnya dijamin oleh Allah, Pemilik dunia dan akhirat (Ayat 13).
Jalur ini adalah kebalikan mutlak dari Al-Yusrā (Ayat 8-11):
Kekikiran bukan hanya menahan harta, tetapi juga menahan kebaikan. Ini adalah penyakit hati yang menutup pintu rezeki dan menghalangi rahmat. Kekikiran muncul dari ketakutan akan kemiskinan dan ketidakpercayaan terhadap janji Allah. Dalam konteks Surah Al-Lail, kekikiran adalah indikasi bahwa harta telah menjadi tuhan kecil bagi seseorang, menghalangi mereka dari ketaatan.
Orang yang kikir seringkali merasa dirinya kaya raya dan tidak memerlukan petunjuk Allah, apalagi ancaman-Nya. Sikap istaghnā adalah akar dari kekafiran, yaitu merasa diri mandiri dari Sang Pencipta. Sifat ini mencegah mereka dari mencari ilmu, beribadah, dan tunduk kepada kebenaran, karena merasa bahwa kesuksesan yang dicapai murni hasil usaha dan kecerdasan mereka sendiri.
Ini adalah hasil logis dari kekikiran dan kesombongan. Mereka menolak Surga karena mereka sudah merasa nyaman di dunia, atau mereka menolak Neraka karena mereka tidak percaya pada hari perhitungan. Akibatnya, mereka tidak memiliki motivasi spiritual untuk berbuat baik. Allah kemudian mempermudah jalan mereka menuju kesulitan (‘Usrā), membiarkan mereka dalam kesesatan sampai mereka menemui Neraka yang menyala-nyala (Ayat 14).
Meskipun Surah Al-Lail memberikan prinsip-prinsip universal, banyak mufasir, termasuk Imam At-Tirmidzi, mencatat bahwa beberapa ayat dalam surah ini memiliki latar belakang historis yang spesifik, yang melibatkan perbandingan antara dua karakter nyata di masa awal Islam.
Banyak riwayat menunjuk pada perbandingan antara kebaikan Abu Bakar Ash-Shiddiq (sebagai prototipe Al-Atqā) dan kekikiran seorang tokoh musyrik Quraisy (sebagai prototipe Al-Asyqā).
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar dikenal suka memerdekakan budak-budak yang disiksa karena keislaman mereka. Ia sering membeli budak-budak yang lemah, seperti Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, atau budak wanita tua, dan membebaskan mereka. Ketika ditanya mengapa ia tidak memerdekakan budak yang kuat yang bisa membantunya, Abu Bakar menjawab bahwa ia hanya melakukannya demi Allah. Ayat 19-20, yang menekankan bahwa pemberian itu dilakukan tanpa mengharapkan balasan dari siapa pun, merujuk langsung pada keikhlasan dan ketulusan Abu Bakar. Dialah yang mencari wajhi rabbihil-a‘lā.
Beberapa riwayat menunjuk kepada seorang laki-laki Quraisy, entah Umayyah bin Khalaf atau Abu Jahal, yang sangat kikir dan menentang sedekah. Ia menuduh Abu Bakar berinfak dengan tujuan mendapatkan balasan atau pujian duniawi. Dialah yang kikir (bakhila), merasa puas dengan kekayaan dunia (istaghnā), dan mendustakan balasan terbaik (każżaba bil-ḥusnā). Karenanya, Allah memudahkannya menuju kesulitan (lil-‘usrā).
Asbabun Nuzul ini memperjelas bahwa pertarungan antara Yusrā dan ‘Usrā bukan hanya konsep abstrak, tetapi realitas yang terjadi setiap hari dalam pilihan-pilihan amal manusia. Surah Al-Lail turun untuk memuji orang yang berkorban (seperti Abu Bakar) dan mencela orang yang menahan (seperti tokoh kikir Quraisy).
Surah Al-Lail mengajarkan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, adalah bagian dari sa’yakum lasyattā—usaha yang beraneka macam. Di era modern, tantangan kekikiran dan kesombongan (istaghnā) mengambil bentuk baru yang perlu kita waspadai:
Kekikiran (bakhila) saat ini tidak hanya terbatas pada harta. Banyak orang kikir dalam membagi waktu, ilmu, dan perhatian kepada sesama. Penerapan Surah Al-Lail menuntut kita untuk:
Di era informasi, kesombongan spiritual seringkali menjelma menjadi kesombongan intelektual (istaghnā). Seseorang mungkin merasa cukup dengan gelarnya, kekayaan datanya, atau pencapaian profesionalnya, sehingga tidak merasa butuh lagi kepada petunjuk agama (Al-Hudā, Ayat 12).
Pesan Surah Al-Lail mengingatkan bahwa meskipun kita menguasai dunia (al-ūlā), kita tetap membutuhkan petunjuk dan ridha dari Pemilik sejati dunia dan akhirat (al-ākhirata wal-ūlā, Ayat 13). Rasa cukup tanpa Allah adalah jalan menuju al-‘usrā.
Ayat 19 dan 20 adalah pelajaran paling penting tentang keikhlasan. Dalam era media sosial, di mana setiap tindakan baik cenderung dipublikasikan, sangat mudah bagi infak untuk tercampur dengan riya’ atau keinginan untuk ‘dibayar’ dengan pujian. Praktik terbaik adalah menjadikan amal kebaikan sebagai rahasia antara diri sendiri dan Allah, demi mencari wajhi rabbihil-a‘lā, sehingga janji kepuasan (yarḍā) di akhirat dapat terwujud.
Untuk melengkapi panduan transliterasi latin Surah Al-Lail, pemahaman akan hukum tajwid tertentu sangat penting untuk pembacaan yang sempurna, terutama pada bagian-bagian yang melibatkan nun sukun/tanwin dan mad:
Ayat 8: وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ. Transliterasi: *Wa ammā mam bakhila*.
Di sini terjadi hukum Iqlab (Nun sukun bertemu Ba), di mana Nun diubah menjadi bunyi Mim samar. Dalam transliterasi sering ditulis *mam*.
Ayat 19: مِن نِّعْمَةٍۢ تُجْزَىٰٓ.
Pada kata *min ni‘matin*, terjadi Idgham Bighunnah (Nun sukun bertemu Nun) yang dileburkan dengan dengung. Pada kata *ni‘matin tujzā*, terjadi Ikhfa’ Haqiqi (Tanwin bertemu Ta), dibaca samar dengan dengung. Membaca transliterasi tidak cukup tanpa mempraktikkan dengungan ini.
Surah Al-Lail memiliki beberapa jenis mad yang harus diperhatikan:
Perbedaan pelafalan lam (L) pada awalan kata:
Memperhatikan detail tajwid ini saat menggunakan panduan transliterasi latin Surah Al-Lail memastikan bahwa pembacaan tidak hanya benar secara fonetik (sesuai huruf), tetapi juga benar secara ritmis (sesuai panjang dan dengung).
Surah Al-Lail adalah salah satu surah yang paling ringkas namun padat dalam menyajikan dualitas eksistensi dan konsekuensi amal. Melalui serangkaian sumpah yang agung (malam, siang, laki-laki, perempuan), Allah menegaskan bahwa hidup adalah tentang pilihan, dan pilihan tersebut akan menentukan apakah kita dimudahkan menuju Al-Yusrā atau Al-‘Usrā.
Hikmah utama yang dapat diambil dari Surah Al-Lail, yang didukung oleh analisis transliterasi dan tafsirnya yang mendalam, adalah:
Dengan menguasai transliterasi latin Surah Al-Lail dan merenungkan tafsirnya yang dalam, seorang mukmin diperkuat untuk memilih jalur Al-Yusrā, yaitu jalan kedermawanan, ketakwaan, dan keikhlasan, demi mencapai keridaan Allah Yang Mahatinggi (Wa lasaufa yarḍā).
Mengapa Surah ini dinamakan "Malam" (Al-Lail)? Dalam budaya Arab dan Islam, malam (al-lail) memiliki konotasi spiritual yang mendalam. Malam adalah waktu di mana dunia materi meredup, aktivitas lahiriah terhenti, dan aktivitas batiniah (spiritual) dapat dimulai. Para ulama menafsirkan sumpah demi malam (Ayat 1) sebagai penekanan terhadap pentingnya ibadah tersembunyi, kontemplasi, dan bangun malam (qiyamul lail).
Di waktu malam, seseorang bisa melakukan infak tanpa dilihat (mencerminkan keikhlasan al-atqā) atau, sebaliknya, menyembunyikan kekikiran dan dosa-dosa mereka (mencerminkan kekejian al-asyqā). Malam menjadi saksi bisu atas pilihan moral manusia. Oleh karena itu, sumpah pertama ini menetapkan nada surah: meskipun amal kita tersembunyi dari mata manusia, Allah mengetahuinya, dan Dia akan membalas setiap usaha yang beraneka macam itu.
Surah Al-Lail memiliki korelasi yang erat dengan surah sebelumnya, yaitu Surah Asy-Syams (Matahari). Asy-Syams dimulai dengan serangkaian sumpah alam yang panjang (matahari, bulan, siang, malam, jiwa), yang juga berujung pada dualitas: keberuntungan bagi yang menyucikan jiwa dan kerugian bagi yang mengotorinya. Al-Lail mengambil tema dualitas ini dan menerapkannya secara spesifik pada tindakan memberi dan menahan (kikir).
Jika Surah Asy-Syams fokus pada penyucian jiwa (tazkiyah) secara umum, Surah Al-Lail memberikan petunjuk praktis bagaimana tazkiyah itu dicapai: melalui kedermawanan yang ikhlas dan bertakwa, yang merupakan jalur Al-Yusrā. Kedua surah ini, yang terletak berdekatan di Juz ‘Amma, saling melengkapi dalam pelajaran tentang etika dan moralitas Islam.