Surat Al Lahab, yang dikenal juga sebagai Surat Al-Masad, merupakan surat ke-111 dalam susunan mushaf Al-Qur’an. Ia tergolong surat Makkiyah, diturunkan di Makkah sebelum Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Madinah. Surat ini terdiri dari lima ayat yang singkat namun memiliki kandungan makna dan ketegasan teologis yang sangat mendalam. Keunikan utama surat ini terletak pada sifatnya yang eksplisit, menunjuk langsung pada seorang individu, yakni paman Nabi sendiri, Abu Lahab, dan istrinya, Ummu Jamil.
Dalam konteks wahyu, jarang sekali Al-Qur’an menyebut nama individu yang ditakdirkan celaka secara definitif, apalagi ketika individu tersebut masih hidup. Kenyataan bahwa surat ini diturunkan sebagai proklamasi azab yang pasti bagi Abu Lahab menjadikannya salah satu bukti kenabian (prophecy fulfillment) yang luar biasa. Ia adalah peringatan keras bagi siapa pun, bahkan dari kalangan terdekat sekalipun, yang berdiri menentang kebenaran dan dakwah ilahiah.
Surat ini tidak hanya menceritakan nasib akhir Abu Lahab dan istrinya, tetapi juga menggarisbawahi kegagalan total dari kekayaan, status sosial, dan hubungan kekerabatan dalam menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia memilih jalan permusuhan terhadap risalah. Pembahasan ini akan mengupas tuntas setiap aspek surat Al Lahab, mulai dari teks, konteks penurunan (Asbabun Nuzul), hingga hikmah dan implikasi teologisnya yang luas.
Untuk memahami kedalaman makna, penting kiranya kita merenungkan lafazh-lafazh asli Al-Qur’an serta terjemahan harfiahnya:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Tabbat yadā Abī Lahabinw wa tabb
Arti: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa!
مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab
Arti: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan.
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Sayaṣlā nāran dhāta lahab
Arti: Kelak ia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (berkobar-kobar).
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Wamra’atuhū ḥammālatal-ḥaṭab
Arti: Dan (demikian pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
Fī jīdihā ḥablum mim masad
Arti: Di lehernya ada tali dari sabut.
Surat Al Lahab memiliki latar belakang penurunan yang sangat spesifik dan dramatis, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Kejadian ini menandai awal dari dakwah terbuka Nabi Muhammad ﷺ dan perlawanan langsung dari kerabat dekatnya.
Setelah Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berdakwah secara terang-terangan kepada kerabatnya, beliau naik ke Bukit Safa, lokasi yang strategis untuk mengumpulkan penduduk Makkah. Beliau memanggil Bani Abdul Muththalib, Bani Fihr, dan suku-suku Quraisy lainnya.
Nabi ﷺ bertanya kepada mereka, "Bagaimana pendapat kalian, jika aku memberitahu bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan percaya kepadaku?" Mereka serentak menjawab, "Kami tidak pernah mendengar engkau berbohong."
Kemudian Nabi ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian akan azab yang pedih (di hari akhirat)."
Saat itulah Abu Lahab bin Abdul Muththalib, paman kandung Nabi, berdiri dan mengeluarkan ucapan laknat yang terkenal. Ia berkata, "Celakalah engkau (Muhammad)! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?" (Tabban lak! Alihadza jama’tana?). Sikap permusuhan ini bukan hanya penolakan, tetapi juga penghinaan publik terhadap keponakannya dan risalah yang dibawanya, yang terjadi di hadapan seluruh pemimpin Quraisy.
Lafazh yang diucapkan Abu Lahab, "Celakalah engkau," adalah doa buruk (laknat) yang ia tujukan kepada Nabi ﷺ. Sebagai respon langsung dari langit terhadap kekerasan hati dan ucapan Abu Lahab, Allah SWT menurunkan Surat Al Lahab, mengembalikan laknat tersebut kepada Abu Lahab sendiri.
Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muththalib. Namun, ia dipanggil Abu Lahab (Bapak Jilatan Api) karena wajahnya yang rupawan dan kemerah-merahan. Ironisnya, nama julukan ini, yang semula merujuk pada keindahan fisik, kemudian digunakan oleh wahyu untuk merujuk pada nasib kekalnya di akhirat, yakni nāran dhāta lahabin (api yang berkobar-kobar).
Penting untuk dicatat bahwa permusuhan Abu Lahab bersifat mendalam, lahir dari kesombongan, fanatisme buta terhadap tradisi nenek moyang, dan kekhawatiran hilangnya status sosial dan kekuasaan yang ia nikmati di Makkah. Permusuhan ini berlanjut terus-menerus. Ia dan istrinya seringkali menyakiti Nabi ﷺ, melemparkan kotoran ke rumahnya, dan menghasut orang lain untuk menolak Islam. Oleh karena itu, hukuman yang didekritkan dalam surat ini bersifat total dan permanen.
Analisis setiap ayat mengungkapkan lapisan makna, retorika Al-Qur’an (balaghah), dan ketegasan janji Ilahi.
("Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa!")
Lafazh "Tabbat" berasal dari kata dasar Tabba, yang berarti rugi, celaka, hancur, atau binasa. Ayat ini menggunakan gaya bahasa yang sangat kuat: doa buruk (kutukan) dari Allah yang sekaligus merupakan penetapan takdir.
Ayat ini adalah jawaban setimpal. Ketika Abu Lahab mengutuk Nabi ﷺ dengan berkata "Tabban lak," Allah mengembalikan kutukan itu kepadanya dalam bentuk wahyu yang kekal. Ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap kebenaran tidak akan pernah menghasilkan apa pun selain kerugian total.
Ilustrasi simbolis kehancuran usaha ('Tabbat Yadā').
("Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan.")
Abu Lahab adalah salah satu pemimpin Quraisy yang kaya raya. Kekayaan (māluhu) seringkali menjadi sumber kesombongan dan benteng perlindungan bagi kaum musyrikin Makkah. Ayat ini menafikan secara mutlak bahwa kekayaan atau status sosial dapat melindungi seseorang dari ketetapan azab Allah.
Pesan sentral dari ayat ini adalah universalitas keadilan ilahi. Di Hari Kiamat, ikatan darah, kekuasaan duniawi, dan tumpukan harta menjadi tidak relevan. Kekuatan sejati hanyalah iman dan amal saleh.
("Kelak ia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (berkobar-kobar).")
Kata "Sayaṣlā" (kelak ia akan masuk) menggunakan huruf 'Sa' (س) yang menunjukkan kepastian di masa depan yang dekat. Ini adalah ramalan nubuat yang pasti terjadi, bukan sekadar ancaman. Abu Lahab memang mati dalam keadaan kufur beberapa saat setelah Perang Badar, tanpa sempat melihat keberhasilan dakwah Nabi ﷺ yang semakin memuncak. Kematiannya karena penyakit menular (disebut 'adāsatun) yang menjijikkan, sehingga kerabatnya pun enggan mendekati jenazahnya.
Ayat ini menegaskan hukuman akhiratnya: nāran dhāta lahabin (api yang memiliki jilatan atau kobaran). Ini menciptakan resonansi linguistik yang kuat dengan namanya sendiri: Abu Lahab (Bapak Api yang Menjilat). Siksaan yang ia terima di neraka sesuai dengan julukannya di dunia, sebuah ironi yang ditimpakan langsung oleh Takdir Ilahi.
("Dan (demikian pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).")
Istri Abu Lahab bernama Ummu Jamil, Arwa binti Harb, saudara perempuan dari Abu Sufyan. Ia juga seorang musuh bebuyutan Nabi ﷺ. Ayat ini menegaskan bahwa hukuman tersebut tidak hanya menimpa suami, tetapi juga istri, karena keterlibatan aktifnya dalam permusuhan.
Julukan "Ḥammālatal-Ḥaṭab" (Pembawa Kayu Bakar) memiliki dua makna tafsir yang saling melengkapi:
Dengan memasukkan istrinya dalam ancaman azab ini, Al-Qur’an menunjukkan bahwa tanggung jawab pribadi di hadapan Allah tidak dapat dihindari, terlepas dari status keluarga atau pasangan. Keterlibatan dalam kejahatan akan menghasilkan konsekuensi yang sama beratnya.
Ilustrasi simbolis 'Ḥammālatal-Ḥaṭab' (Pembawa Kayu Bakar).
("Di lehernya ada tali dari sabut.")
Ayat terakhir ini melengkapi gambaran azab bagi Ummu Jamil. "Jīdihā" berarti leher atau tengkuknya. "Ḥablun min masad" berarti tali yang dibuat dari serat pohon kurma atau sabut yang kasar dan keras.
Tali sabut ini adalah balasan yang sangat spesifik dan ironis terhadap perbuatan Ummu Jamil di dunia:
Penggambaran tali sabut ini sangat vivid (jelas) dan kejam, menyoroti betapa pedihnya penderitaan istri Abu Lahab, yang harus memanggul beban maksiatnya sendiri selamanya. Ini adalah pengingat bahwa bahkan benda yang paling sederhana dan sepele pun dapat menjadi alat siksaan di tangan Kekuasaan Ilahi.
Surat Al Lahab, meski pendek, adalah mahakarya retorika Al-Qur’an yang menunjukkan kekuatan linguistik Arab klasik.
Surat ini adalah salah satu bukti kenabian Muhammad ﷺ yang paling kuat. Surat ini diturunkan ketika Abu Lahab masih hidup, mendeklarasikan secara terbuka bahwa Abu Lahab dan istrinya pasti akan binasa di neraka. Untuk menghindari kebenaran Al-Qur’an, Abu Lahab hanya perlu berpura-pura masuk Islam sekali saja. Jika dia melakukan itu, janji Al-Qur’an (bahwa dia akan masuk neraka) akan gugur, dan kredibilitas Nabi Muhammad ﷺ akan hancur di mata orang Makkah.
Namun, Abu Lahab tidak pernah masuk Islam, bahkan sampai wafatnya. Dia secara sadar memilih jalan kekufuran, sehingga memenuhi setiap kata dalam surat ini. Ini membuktikan bahwa sumber wahyu ini adalah Ilahi, karena ia berbicara dengan kepastian mutlak tentang masa depan yang berada di luar kontrol manusia.
Penggunaan "yadā" (kedua tangan) pada ayat pertama adalah metonimi, di mana bagian mewakili keseluruhan. Tangan melambangkan usaha. Ini adalah cara yang lebih dramatis dan puitis untuk menyatakan bahwa seluruh usaha dan hidup Abu Lahab adalah sia-sia dan celaka.
Terdapat tiga ironi simbolis yang digunakan:
Kontras yang tajam antara kemewahan duniawi dan kehinaan abadi ini berfungsi sebagai peringatan keras tentang nilai-nilai yang sejati.
Surat Al Lahab tidak mengutuk kabilah Quraisy secara umum, melainkan mengkhususkan hukuman pada sepasang individu. Pengkhususan ini sangat penting. Meskipun Abu Thalib (paman Nabi yang lain) juga wafat dalam kekufuran, ia tidak disebut namanya dalam Al-Qur’an karena ia melindungi Nabi ﷺ secara fisik. Abu Lahab, sebaliknya, secara aktif menyakiti dan memusuhi, sehingga layak mendapat hukuman yang dikhususkan dan diabadikan.
Retorika surat ini memastikan bahwa setiap pendengar Makkah, yang akrab dengan hubungan keluarga dan status Abu Lahab, akan terkejut dan terkesima oleh ketegasan dan kepastian janji azab tersebut, yang berasal dari sumber otoritas tertinggi.
Kandungan Surat Al Lahab jauh melampaui kisah dua individu dari Makkah. Surat ini memuat prinsip-prinsip universal yang relevan bagi seluruh umat manusia sepanjang masa.
Surat ini memberikan pelajaran paling tegas bahwa ikatan darah tidak menjamin keselamatan abadi. Abu Lahab adalah paman Nabi, bagian dari keluarga Bani Hasyim yang mulia. Namun, ketika garis antara iman dan kekufuran ditarik, ikatan spiritual lebih utama daripada ikatan biologis. Hukuman Ilahi tidak pandang bulu; tidak ada perlakuan istimewa bagi kerabat Nabi jika mereka menentang risalah.
Ini adalah pemurnian konsep tauhid: loyalitas tertinggi harus diberikan kepada Allah dan rasul-Nya, bukan kepada keluarga, suku, atau bangsa. Status sosial dan kekuasaan tidak dapat menawar hukuman Tuhan.
Pelajaran ini sangat vital dalam dakwah. Seorang da'i harus siap menghadapi penolakan, bahkan dari orang-orang terdekatnya, dan memahami bahwa penghakiman terakhir berada di tangan Allah, berdasarkan keimanan, bukan hubungan nasab.
Ayat kedua ("Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan") berfungsi sebagai kritik tajam terhadap materialisme dan kesombongan. Abu Lahab menggunakan kekayaannya untuk mengintimidasi dan menolak kebenaran. Al-Qur’an mengajarkan bahwa kekayaan yang tidak digunakan di jalan Allah, atau bahkan digunakan untuk melawan Allah, tidak hanya sia-sia, tetapi juga menjadi beban yang memberatkan di akhirat.
Hal ini juga merespons pandangan Quraisy yang menilai kebenaran berdasarkan kekayaan dan status. Mereka sering meremehkan pengikut awal Nabi ﷺ yang miskin dan budak. Surat Al Lahab membalikkan narasi ini: yang celaka bukanlah orang miskin yang beriman, melainkan pemimpin kaya yang menentang kebenaran.
Hukuman yang spesifik bagi Ummu Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" menekankan bahaya besar dari fitnah, gosip, dan hasutan. Dalam Islam, menyebarkan kebohongan (namimah) atau fitnah adalah dosa besar, karena ia menghancurkan tatanan sosial dan memicu permusuhan. Ummu Jamil menggunakan lidahnya (dan tindakannya) untuk menyalakan api perselisihan terhadap Nabi ﷺ.
Hikmahnya bagi umat Islam modern adalah peringatan tentang bahaya penyebaran berita bohong (hoaks) dan menyebarkan kebencian. Setiap ucapan fitnah yang disebarkan di dunia adalah seolah-olah membawa "kayu bakar" yang kelak akan dipikul di akhirat.
Sebagaimana telah dibahas dalam analisis linguistik, pemenuhan nubuat (prophecy fulfillment) Surat Al Lahab adalah tanda kebenaran Islam yang tak terbantahkan. Hal ini mengajarkan kepada orang beriman untuk memiliki keyakinan yang kokoh (yaqin) terhadap janji-janji Allah, baik janji balasan (surga) maupun janji hukuman (neraka). Jika Allah telah menjamin nasib seorang individu yang masih hidup, maka janji-Nya pasti berlaku bagi semua ketetapan lainnya.
Surat Al Lahab berada di posisi yang sangat krusial, berdekatan dengan surat Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas. Setelah mengakhiri surat-surat sebelumnya dengan penegasan tauhid (Al Ikhlas) dan mencari perlindungan dari berbagai ancaman (Al Falaq dan An Nas), Surat Al Lahab memberikan contoh konkret tentang siapa yang pantas menerima celaka: mereka yang memilih untuk memusuhi tauhid dan dakwah ilahiah, bahkan jika mereka adalah kerabat terdekat.
Surat ini adalah penutup yang sempurna untuk serangkaian surat pendek Makkiyah, yang semuanya berfokus pada inti keimanan dan tantangan yang dihadapi Nabi ﷺ di awal masa risalah. Ia memastikan bahwa meskipun tantangan berat dan permusuhan yang datang dari internal keluarga, kemenangan akhir hanya milik kebenaran.
Keterlibatan Ummu Jamil dalam surat ini memberikan dimensi penting tentang pertanggungjawaban dalam rumah tangga. Ia tidak hanya sekadar mengikuti suaminya, tetapi digambarkan memiliki peran aktif dalam makar (konspirasi) dan permusuhan. Ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada pasangan tidak boleh melampaui ketaatan kepada Allah SWT. Jika pasangan memerintahkan kemaksiatan atau kekufuran, ketaatan itu batal, dan individu tetap bertanggung jawab atas tindakannya.
Ummu Jamil adalah contoh arketipal dari "wanita fasik" yang menggunakan pengaruhnya, kecerdasannya, dan status sosialnya bukan untuk mendukung kebaikan, melainkan untuk menghancurkan kebaikan. Dalam sejarah Islam, wanita seringkali berperan sentral, baik sebagai pelindung dakwah (seperti Khadijah r.a.) maupun sebagai penentang utama (seperti Ummu Jamil).
Lafazh Masad secara linguistik merujuk pada tali yang dipintal dengan kuat dari serat kasar, seperti sabut pohon kurma. Tali jenis ini sangat keras dan dapat melukai kulit ketika digunakan untuk memanggul beban berat. Pemilihan kata ini oleh Al-Qur’an sangat presisi.
Jika azab Abu Lahab (api) sesuai dengan namanya, maka azab istrinya (tali sabut yang kasar) sesuai dengan perbuatannya (membawa kayu bakar/duri). Siksaannya adalah siksaan fisik yang terus menerus dan menyakitkan, melambangkan betapa beratnya beban dosa fitnah yang ia pikul.
Filosofi azab dalam surat ini adalah al-jaza’ min jinsil ‘amal (balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan). Mereka menggunakan tangan, harta, dan lidah mereka untuk melancarkan permusuhan, dan Allah menjamin bahwa ketiga komponen tersebut akan menjadi sumber azab mereka.
Abu Lahab adalah saudara kandung ayah Nabi, Abdullah, dan saudara seayah Abu Thalib dan Abbas. Secara sosiologis, di Makkah, ikatan keluarga adalah segalanya. Pengkhianatan Abu Lahab terhadap Nabi ﷺ adalah pengkhianatan terhadap sistem sosial kabilah itu sendiri. Seharusnya ia, sebagai paman, menjadi pelindung terdepan bagi keponakannya.
Fakta bahwa Al-Qur’an secara langsung menargetkan pengkhianatan internal ini adalah pesan bahwa keadilan Ilahi akan mengoreksi setiap penyimpangan, bahkan jika hal itu melibatkan struktur kekuasaan yang paling sakral di masyarakat jahiliyah. Dalam konteks ini, Surat Al Lahab adalah deklarasi kemerdekaan moral dan spiritual Nabi Muhammad ﷺ dari tekanan ikatan kekerabatan yang bertentangan dengan Tauhid.
Kematian Abu Lahab terjadi tujuh hari setelah Perang Badar. Meskipun ia tidak ikut berperang, kekalahan telak Quraisy menyebabkan dirinya sakit parah dan frustrasi. Ia terjangkit penyakit menular yang mengerikan, 'Adasah' (mirip wabah, atau bisul bernanah yang sangat cepat menular), yang membuat orang-orang takut mendekatinya.
Dikisahkan, anak-anaknya baru menguburkan jenazahnya dengan cara mendorongnya menggunakan kayu panjang ke dalam liang lahat, karena takut tertular penyakitnya. Perlakuan ini—penguburan yang memalukan dan tanpa penghormatan—adalah puncak kehinaan di dunia, yang melengkapi ramalan ‘tabb’ (kebinasaan) yang diturunkan dalam surat ini. Bahkan sebelum ia menghadapi neraka, ia telah mengalami kehinaan yang total di hadapan sukunya sendiri. Ini menunjukkan bahwa balasan atas permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya bisa dimulai sejak di dunia.
Mengapa hanya Abu Lahab yang disebutkan namanya secara langsung di Al-Qur’an untuk diancam neraka, sementara penentang lain seperti Abu Jahal juga kafir dan memimpin permusuhan?
Para ulama tafsir menjelaskan, Abu Jahal memusuhi Nabi ﷺ sebagai pemimpin kabilah lain (Bani Makhzum), dalam konteks persaingan kekuasaan Makkah. Sementara itu, Abu Lahab memusuhi beliau sebagai paman, yaitu sebagai figur keluarga yang seharusnya memberikan perlindungan. Permusuhan dari kerabat terdekat ini memiliki dampak psikologis dan sosial yang jauh lebih merusak bagi dakwah awal Nabi ﷺ.
Oleh karena itu, hukuman yang dikhususkan dan dieksplisitkan dalam wahyu berfungsi sebagai penghibur bagi Nabi ﷺ—bahwa Allah SWT sendiri yang akan berhadapan dengan musuh-musuh dari dalam rumah tangga beliau, menunjukkan bahwa dukungan Allah lebih kuat dari ikatan darah manapun.
Dengan demikian, Surat Al Lahab berdiri sebagai monumen kekal dari keadilan ilahi. Ia mengajarkan kepada kita bahwa di hadapan kebenaran, tidak ada yang dapat bersembunyi di balik nama, kekayaan, atau ikatan keluarga. Setiap individu, sekaya dan sesukses apapun di dunia, akan diadili berdasarkan niat dan perbuatannya dalam menghadapi risalah Allah SWT.
Surat Al Lahab, meskipun hanya terdiri dari lima ayat, merangkum pelajaran fundamental tentang konflik antara kebenaran dan kesombongan. Ia adalah surat yang menjanjikan kehancuran total bagi mereka yang secara aktif memilih jalan permusuhan terhadap Rasulullah ﷺ dan risalahnya, terlepas dari kedekatan hubungan darah atau kekayaan yang dimiliki.
Binasanya kedua tangan Abu Lahab berarti binasanya seluruh upayanya di dunia. Hartanya tidak dapat menyelamatkannya. Istrinya, yang menjadi partner dalam kejahatan dan fitnah (pembawa kayu bakar), akan mendapat balasan yang setimpal dengan tali sabut di lehernya.
Surat ini memberikan kepastian bagi kaum mukmin di semua zaman: kebenaran akan selalu menang, dan mereka yang menggunakan kekuasaan, kekayaan, atau pengaruh sosial mereka untuk menindas kebenaran akan menemui kehinaan, baik di dunia maupun di akhirat. Kekuatan abadi terletak pada iman, bukan pada materi atau nasab.
Pesan penutup yang dapat diambil adalah ajakan untuk merenungkan posisi diri kita. Apakah usaha kita (tangan kita) menghasilkan kebaikan atau kehancuran? Apakah harta kita berfungsi sebagai alat ketaatan, atau sebagai sumber kesombongan yang menjauhkan kita dari api yang berkobar-kobar? Surat Al Lahab adalah cermin yang memantulkan nasib mereka yang menolak cahaya, menunjukkan bahwa ujung dari penolakan yang sombong adalah kerugian abadi (tabb).
Kajian yang mendalam ini hanya menyentuh permukaan dari lautan hikmah dan retorika yang terkandung dalam Surat Al Lahab. Setiap kata, setiap frasa, dan setiap penempatan dalam urutan mushaf memiliki makna teologis yang kompleks dan saling berhubungan, menjadikannya salah satu surat terpenting dalam memvalidasi kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ.
Telah jelas kiranya bagi kita bahwa "arti surat al lahab" bukanlah sekadar terjemahan, melainkan sebuah deklarasi takdir yang mencakup hukum abadi tentang pertanggungjawaban individu, ketiadaan manfaat harta di hadapan murka Tuhan, dan kepastian hukuman bagi penentang kebenaran yang arogan.
Umat Muslim diajak untuk selalu mengambil pelajaran dari kisah Abu Lahab: jangan biarkan kebanggaan, kekayaan, atau ikatan duniawi menghalangi kita dari menerima dan membela kebenaran Ilahi yang telah disampaikan oleh Rasulullah ﷺ.
صَدَقَ اللّٰهُ الْعَظِيْمُ
Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.
Memahami Arti Surat Al Lahab secara utuh membutuhkan penempatan figur Abu Lahab dalam konteks sosio-ekonomi Makkah pra-Islam. Makkah adalah pusat perdagangan dan keagamaan (Ka'bah). Kekuasaan tidak hanya diukur dari garis keturunan, tetapi juga dari kemampuan mengendalikan jalur kafilah dagang dan memiliki harta yang besar. Abu Lahab, sebagai paman Nabi dan figur senior Quraisy, mewakili inti dari sistem patronase dan kekayaan yang Islam datang untuk menantangnya.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ mulai berdakwah tentang Tauhid—bahwa semua manusia setara di hadapan Tuhan dan bahwa kekayaan tidak menjamin keselamatan—hal itu merupakan ancaman langsung terhadap model bisnis dan kekuasaan elit Quraisy yang diwakili oleh Abu Lahab. Surat Al Lahab secara spesifik menargetkan fondasi kekuasaan Abu Lahab: hartanya (māluhu) dan posisinya (karena ia adalah bagian dari Bani Hasyim yang terpandang).
Di zaman Jahiliyah, kekayaan adalah bentuk dewa. Orang kaya percaya bahwa harta mereka, melalui kemampuan mereka sendiri ('mā kasab'), akan melindungi mereka dari malapetaka, bahkan di akhirat. Konsep ini tertanam kuat. Ayat kedua ("Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab") secara radikal menghancurkan dogma ini. Kekayaan material hanyalah ilusi. Jika harta tidak dapat membeli keselamatan di hadapan azab yang pasti, maka seluruh sistem nilai mereka runtuh.
Tafsir yang melihat 'mā kasab' sebagai anak-anak juga menggarisbawahi kegagalan sistem patronase klan. Anak-anak yang merupakan kekuatan politik dan militer Abu Lahab, tidak mampu menolongnya di hadapan Tuhan. Bahkan, mereka meninggalkannya dalam kehinaan saat kematiannya. Ini adalah penghinaan ganda: gagal di dunia dan gagal total di akhirat.
Kisah Abu Lahab dan Ummu Jamil memberikan model yang jelas tentang bagaimana kejahatan dapat terinstitusionalisasi dalam sebuah rumah tangga. Mereka berdua beroperasi sebagai unit oposisi yang terpadu. Abu Lahab menggunakan kekuasaan dan suaranya, sementara Ummu Jamil menggunakan gosip, fitnah, dan tindakan fisik yang keji (seperti menaruh duri). Hukuman yang menimpa mereka berdua, secara individu namun terpisah, menunjukkan bahwa pertanggungjawaban Ilahi mempertimbangkan semua bentuk keterlibatan dalam permusuhan terhadap kebenaran.
Analisis ini mengingatkan kita bahwa kejahatan bukan hanya hasil dari satu pelaku. Seringkali, dibutuhkan dukungan emosional, logistik, dan psikologis, yang dalam kasus ini disediakan oleh Ummu Jamil. Oleh karena itu, hukuman yang diterima Ummu Jamil dengan tali sabut, di mana ia harus memanggul beban makar, adalah balasan atas peran aktifnya sebagai penyokong permusuhan suaminya.
Surat Al Lahab, dalam esensinya, adalah surat penghiburan dan dukungan ilahiah (ta’yid rabbani) bagi Nabi Muhammad ﷺ. Di tengah kesedihan yang mendalam karena penolakan dari keluarga terdekat, Allah SWT secara langsung turun tangan, menyatakan permusuhan terhadap Abu Lahab dan istrinya. Ini berfungsi sebagai jaminan bahwa Allah sendiri adalah pelindung utama Nabi-Nya. Ketika manusia meninggalkannya, Dzat Yang Maha Kuasa mengangkat beliau, dan menjatuhkan kutukan pada para penentangnya.
Kepastian nubuat ini bukan sekadar janji, tetapi sebuah aksi kepemimpinan dari Allah yang menegaskan otoritas risalah. Ini memberikan kekuatan moral yang tak terbatas kepada Nabi ﷺ dan para sahabat awal yang tengah mengalami penindasan berat di Makkah.
Mari kita kembali fokus pada kata 'Tabbat' (binasa). Dalam bahasa Arab, pengulangan kata berfungsi untuk penegasan dan peningkatan makna (ta’kid). Tabbat yadā (celakalah tangan) diikuti oleh wa tabb (dan ia telah celaka). Pengulangan ini menghilangkan semua kemungkinan interpretasi yang lunak. Itu bukan hanya harapan atau kemungkinan, melainkan sebuah kepastian yang dua kali ditekankan.
Lebih jauh, penggunaan bentuk lampau ('tabbat') dan bentuk masa depan ('sayasla' - kelak ia akan masuk) dalam surat ini secara bersamaan menunjukkan jangkauan kekuasaan Ilahi: celaka telah terjadi (di dunia, melalui usahanya yang sia-sia) dan celaka akan terjadi (di akhirat, melalui neraka). Waktu di hadapan Allah adalah satu kesatuan; takdir telah ditetapkan dan diumumkan sebelum dipenuhi.
Kekuatan Surat Al Lahab terletak pada kemampuannya untuk mengambil figur kekuasaan lokal dan mereduksinya menjadi debu melalui lima baris wahyu. Ini adalah pelajaran abadi tentang batasan kekuasaan manusia versus otoritas Tuhan. Tidak peduli seberapa besar Abu Lahab di Makkah, di mata Al-Qur’an, ia hanyalah figur yang telah ditetapkan untuk menanggung kobaran api yang sama dengan namanya.
Oleh karena itu, setiap pembaca surat ini diingatkan bahwa sistem nilai duniawi yang memuliakan harta dan kekuasaan adalah fatamorgana. Nilai sejati dan keselamatan abadi hanya ditemukan dalam kepatuhan kepada risalah Ilahi, bahkan ketika kepatuhan itu harus mengorbankan ikatan kekerabatan atau status sosial yang paling berharga. Surat Al Lahab adalah proklamasi keadilan Ilahi yang tidak dapat dinegosiasikan.
Dalam menghayati Surat Al Lahab, kita tidak hanya membaca kisah masa lalu, tetapi juga membaca peringatan bagi masa kini. Kekuatan jahiliyah modern—kesombongan, materialisme, dan penyebaran kebohongan (fitnah)—adalah bentuk-bentuk kontemporer dari ‘tangan Abu Lahab’ dan ‘kayu bakar Ummu Jamil’. Kita harus waspada agar tangan dan lisan kita tidak menjadi alat untuk menentang kebenaran. Semoga Allah melindungi kita dari jalan orang-orang yang celaka.