Surat Al-Lahab, yang merupakan surat ke-111 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, memiliki kedudukan unik dan tegas dalam sejarah awal dakwah Islam. Dinamakan pula Surat Al-Masad, surat ini tergolong dalam kelompok surat Makkiyah, yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ di Makkah sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Surat ini sangat singkat, terdiri dari lima ayat saja, namun sarat dengan peringatan dan nubuat yang menakjubkan.
Fokus utama surat ini adalah pengumuman hukuman ilahi yang pasti dan spesifik terhadap salah satu penentang utama dakwah Nabi Muhammad, yaitu paman beliau sendiri, Abu Lahab, dan istrinya, Umm Jamil. Transliterasi Latin dari surat ini menjadi jembatan penting bagi umat Muslim non-Arab untuk melafalkan dan memahami struktur bunyinya, meskipun penekanan utama harus selalu pada pelafalan Arab yang asli (tajwid) dan pemahaman makna tafsirnya.
Kajian mendalam mengenai transliterasi Latin surat Al-Lahab bukan sekadar upaya pengejaan; ia adalah pintu gerbang menuju penghayatan makna kata-kata yang begitu kuat: Tabbat, Lahab, Masad, dan Jid. Setiap kata dalam surat ini menggambarkan konsekuensi nyata dari penolakan terhadap kebenaran dan permusuhan yang terang-terangan kepada utusan Allah. Surat ini merupakan bukti konkret bahwa Allah SWT akan membela utusan-Nya dan memberikan balasan setimpal kepada para penentangnya, bahkan jika penentang tersebut berasal dari garis keturunan terdekat.
Untuk memahami sepenuhnya dampak surat ini, kita perlu menyelami konteks sejarahnya, meneliti akar linguistik dari setiap kata dalam transliterasi Latinnya, serta mempelajari tafsir para ulama mengenai takdir Abu Lahab yang telah dinubuatkan secara definitif oleh wahyu sebelum kematiannya. Keunikan surat ini terletak pada sifat prediktifnya, di mana nasib kekal seseorang telah diumumkan saat ia masih hidup, menjadikannya salah satu mukjizat Al-Qur’an yang paling jelas.
Berikut adalah teks lengkap Surah Al-Lahab, disajikan dalam tiga bentuk untuk memastikan pemahaman yang komprehensif. Transliterasi Latin yang disajikan mengikuti standar yang umum digunakan untuk mempermudah pelafalan bagi pembaca yang tidak fasih dalam abjad Arab, namun tetap berupaya mendekati bunyi aslinya.
Terjemahan: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
Terjemahan: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa (usaha) yang dia usahakan.
Terjemahan: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka Lahab).
Terjemahan: Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
Terjemahan: Di lehernya ada tali dari sabut (yang dipilin).
Pemahaman terhadap Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya) Surah Al-Lahab sangat esensial karena surat ini diturunkan sebagai respons langsung terhadap penentangan yang sangat spesifik dan personal terhadap kenabian Muhammad ﷺ. Kisah ini bermula ketika Rasulullah mulai menjalankan perintah Allah untuk menyeru kerabat terdekatnya secara terbuka.
Menurut riwayat yang masyhur, salah satunya dari Ibn Abbas, ketika ayat 214 dari Surah Asy-Syu'ara (yang memerintahkan Nabi untuk memberi peringatan kepada kerabatnya yang terdekat) turun, Rasulullah ﷺ naik ke Bukit Safa. Dari puncak bukit tersebut, beliau menyeru kabilah Quraisy, "Wahai Bani Fihr, Wahai Bani Adi," dan kabilah-kabilah lainnya, hingga mereka berkumpul di sekelilingnya. Beliau bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku mengabarkan bahwa di balik lembah ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serempak menjawab, "Kami belum pernah mendengar engkau berdusta."
Kemudian, Rasulullah ﷺ menyampaikan pesan inti, bahwa beliau adalah utusan Allah yang datang untuk memperingatkan mereka tentang azab yang pedih. Pada saat yang kritis ini, muncullah Abu Lahab bin Abdul Muthalib, paman kandung Rasulullah, yang seharusnya menjadi pelindung utama keponakannya. Abu Lahab berdiri dan mengucapkan kalimat yang sangat menusuk dan merendahkan:
"Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" (Atau dalam riwayat lain: *Tabban lak! Ali hadza jama’tana?*)
Ucapan Abu Lahab ini, yang secara harfiah berarti "celaka" atau "binasa," adalah manifestasi permusuhan yang paling terang-terangan dan publik. Ia adalah orang pertama dan satu-satunya yang tercatat dalam riwayat menentang Nabi secara terbuka dan menghina beliau di momen pengumuman publik yang begitu sakral. Akibat dari ucapan dan tindakannya inilah, Surah Al-Lahab diturunkan, membalikkan kutukan tersebut kembali kepada Abu Lahab sendiri, menjadikannya satu-satunya individu dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit dicela dan divonis masuk neraka saat ia masih hidup.
Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Julukan 'Abu Lahab' (Bapak Api/Jilatan Api) diberikan kepadanya karena wajahnya yang cerah dan kemerah-merahan. Namun, setelah wahyu ini turun, julukan tersebut mendapatkan makna baru yang profetik, merujuk pada takdir kekalnya di 'Narun Dhata Lahab' (api yang memiliki jilatan). Abu Lahab adalah tetangga dekat Nabi, dan ia bersama istrinya, Umm Jamil (Arwa binti Harb), secara konsisten menyakiti dan mengganggu Nabi Muhammad ﷺ.
Umm Jamil, saudara perempuan Abu Sufyan, juga memainkan peran sentral dalam permusuhan. Ayat keempat dan kelima surat ini secara khusus ditujukan padanya. Ia dikenal suka menyebarkan fitnah, menghina Rasulullah, dan meletakkan duri serta kotoran di jalan yang dilalui Nabi. Karena perannya dalam menyalakan api permusuhan dan menyebarkan kebencian, ia dijuluki "Hammalatal-Hatab" (pembawa kayu bakar), sebuah metafora yang menunjukkan bahwa ia adalah penyulut fitnah di dunia, dan kelak ia akan membawa kayu bakar (yang akan menambah panas) di neraka.
Surat Al-Lahab menjadi mukjizat karena ia memberikan jaminan kenabian. Selama sisa hidupnya, Abu Lahab memiliki kesempatan untuk menyangkal nubuat Al-Qur'an ini hanya dengan mengucapkan syahadat. Jika ia masuk Islam, nubuat Al-Qur'an akan tampak salah (karena Al-Qur'an menyatakan ia pasti binasa dan masuk api neraka). Namun, sampai kematiannya yang menyedihkan akibat penyakit menular, Abu Lahab tetap kafir. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur'an mengetahui takdir kekalnya, menegaskan kebenaran dan kepastian wahyu ilahi.
Memahami transliterasi Latin dari Surah Al-Lahab membutuhkan fokus pada fonetik Arab yang seringkali tidak memiliki padanan pasti dalam bahasa Indonesia. Keberhasilan dalam pelafalan Latin terletak pada penekanan vokal panjang dan huruf-huruf tenggorokan (guttural) yang khas.
Transliterasi: Tabbat. Kata kerja ini berarti "binasa," "rugi," "hancur," atau "celaka." Ia adalah kata yang sangat kuat, mengandung makna kutukan. Dalam konteks ayat pertama, Tabbat yada Abi Lahab, ia berfungsi sebagai doa kutukan yang segera dikabulkan, atau sebagai pernyataan faktual tentang takdir yang pasti. Transliterasi Latin mempertahankan bunyi ‘T’ ganda (tasydid) yang menunjukkan penekanan.
Pengulangan dalam ayat ini, wa tabb (dan sungguh dia akan binasa), menunjukkan bahwa kebinasaan yang dimaksud bukan hanya kebinasaan di dunia (kerugian fisik atau harta), tetapi juga kebinasaan spiritual yang kekal di akhirat. Para ahli bahasa Arab menekankan bahwa kata ini mencakup kegagalan total dalam setiap aspek kehidupan dan akhiratnya.
Transliterasi: Lahab. Kata ini sangat sentral karena menjadi nama surat dan deskripsi api neraka. Lahab secara harfiah berarti "jilatan api," "lidah api," atau "kobaran yang sangat hebat." Ini bukan hanya api biasa, tetapi api yang menjilat-jilat dengan hebat.
Transliterasi Latin Sayaslā nāran dhāta lahab memerlukan perhatian pada huruf 'dh' (ذ) yang merupakan bunyi interdental frikatif (seperti 'th' pada kata bahasa Inggris 'that'), dan vokal panjang 'ā' pada nāran. Makna ganda nama Abu Lahab, dari julukan wajah cerah menjadi vonis api neraka, adalah titik retoris paling kuat dari surat ini.
Transliterasi: Aghnā. Kata ini berarti "bermanfaat," "berguna," atau "mencukupi." Ayat kedua (Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab) menegaskan bahwa seluruh kekayaan dan hasil usahanya tidak akan memberi manfaat sedikit pun di hadapan azab Allah.
Dalam transliterasi Latin, huruf ‘gh’ (غ) mewakili bunyi guttural *ghain*, yang tidak ada dalam bahasa Indonesia. Pelafalan ini sangat penting karena membedakannya dari huruf 'g' biasa. Ayat ini mencabut semua kebanggaan materi Abu Lahab; di Makkah, kekayaan adalah status, dan ayat ini meniadakan status tersebut dalam pandangan Ilahi.
Transliterasi: Ḥammālatal-ḥaṭab. Ini adalah julukan untuk Umm Jamil. Ḥammālah berarti "pembawa" atau "pemikul yang sering." Ḥaṭab berarti "kayu bakar."
Di sini, transliterasi Latin menggunakan huruf ‘ḥ’ (ح), yang mewakili huruf *Ḥa* (H yang berdesis dari tenggorokan, berbeda dengan H biasa). Tafsir mengartikan julukan ini dalam dua makna yang saling melengkapi:
Transliterasi: Masad. Kata ini terdapat di ayat terakhir (Fī jīdihā ḥablum mim masad). Masad merujuk pada tali yang terbuat dari sabut pohon kurma yang dipilin dengan kasar. Tali ini biasanya digunakan untuk mengikat beban berat atau mengikat kayu bakar.
Dalam tafsir, tali masad ini melambangkan nasibnya di neraka: tali yang sangat kuat dan kasar akan melilit lehernya. Ini adalah siksaan yang sesuai dengan kejahatannya di dunia, di mana ia membawa kayu bakar (dosa) dan tali itu akan menjadi kalungnya di akhirat, menyeretnya ke dalam azab. Transliterasi Latin di sini harus memperhatikan bunyi 'm' ganda (mim tasydid) yang muncul akibat hukum idgham.
Kajian transliterasi Latin yang detail ini menegaskan bahwa setiap vokal dan konsonan dalam Surah Al-Lahab memiliki bobot makna yang dalam, dan upaya untuk melafalkannya mendekati bunyi Arab membantu pembaca non-Arab merasakan ketegasan dan kekuatan retorika surat Makkiyah ini.
Analisis tafsir adalah jantung dari pemahaman Surah Al-Lahab. Para ulama tafsir, seperti Ibn Katsir, At-Tabari, dan Al-Qurtubi, menawarkan perspektif yang kaya mengenai setiap frasa, mengaitkannya dengan konteks teologis dan ancaman kekal.
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
Ayat pembuka ini adalah deklarasi yang sangat keras. Frasa "kedua tangan Abu Lahab" (yada Abi Lahab) sering diinterpretasikan secara ganda. Secara harfiah, tangan adalah organ tindakan dan usaha. Tangan yang diangkat Abu Lahab untuk melempar batu atau mengutuk Nabi adalah tangan yang kini dikutuk oleh Allah. Secara majas, 'kedua tangan' melambangkan keseluruhan upaya, rencana jahat, dan kekuasaan yang ia miliki.
Kutukan Tabbat pertama adalah doa atau deklarasi kebinasaan atas tindakannya di dunia. Kutukan wa tabb kedua, yang berbentuk kata kerja lampau, menegaskan kebinasaan tersebut sebagai takdir yang sudah pasti terjadi di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tidak ada jalan keluar baginya; kebinasaannya adalah total, meliputi dunia dan akhirat. Beberapa ulama, seperti Az-Zamakhsyari, mencatat bahwa penggunaan kata tabb yang berulang ini menekankan kemarahan Ilahi yang luar biasa terhadap penentangan Abu Lahab.
Penting untuk dicatat bahwa kebinasaan ini mencakup kehinaan di dunia, yang terbukti saat Abu Lahab meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan. Ia terserang penyakit yang sangat menular dan ditinggalkan oleh anak-anaknya karena takut tertular. Mayatnya baru diurus setelah beberapa hari, menunjukkan kehinaan yang dimulai bahkan sebelum ia dikuburkan.
"Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa (usaha) yang dia usahakan."
Ayat ini menyerang akar kesombongan dan kekuasaan Abu Lahab di Makkah. Di mata Quraisy, harta adalah segalanya—ia memberi perlindungan, martabat, dan pengaruh. Abu Lahab adalah seorang yang kaya raya. Ayat ini secara definitif meniadakan kekuatan materialnya.
Frasa "mā kasab" (apa yang dia usahakan) memiliki dua penafsiran utama:
Pelajaran teologis dari ayat ini sangat jelas: di hadapan kekuasaan Allah, kekayaan duniawi dan koneksi sosial (termasuk kekerabatan dengan Nabi) tidak memiliki nilai penebusan dosa. Azab akan menimpa tanpa diskriminasi.
"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka Lahab)."
Ini adalah hukuman yang pasti dan eksplisit. Kata kerja Sayaslā (kelak dia akan masuk/dibakar) menggunakan awalan 'sa-' yang dalam bahasa Arab menunjukkan masa depan yang dekat dan pasti. Kepastian ini adalah inti dari mukjizat Surah Al-Lahab.
Neraka yang akan dimasukinya secara spesifik disebut nāran dhāta lahab (api yang memiliki jilatan). Ini menghubungkan julukan duniawinya (Abu Lahab) dengan takdir kekalnya, seolah-olah neraka itu diciptakan untuknya, atau setidaknya, ia akan mendapatkan bagian api yang paling cocok dengan namanya. Sebagaimana ia bersemangat dalam menentang Nabi (seperti api), ia akan dibalas dengan api yang sangat bergejolak.
Kekuatan ayat ini terletak pada kejelasan vonisnya. Tidak ada celah untuk pertobatan (yang diterima) karena Allah, Yang Maha Mengetahui, telah menetapkan takdirnya, dan Abu Lahab, dengan kehendak bebasnya, memilih untuk memenuhi nubuat tersebut dengan tetap menolak Islam sampai akhir hayatnya.
"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah)."
Istri Abu Lahab, Umm Jamil, juga disertakan dalam vonis ini, menunjukkan bahwa kejahatan yang mereka lakukan adalah kemitraan yang terencana. Gelar Hammalatal-Hatab menyoroti peran aktifnya dalam permusuhan.
Tafsir klasik sangat mendalami makna metaforis dari 'pembawa kayu bakar'. Kayu bakar (al-hatab) melambangkan bahan bakar neraka, tetapi dalam konteks sosial, ia melambangkan fitnah dan gosip. Umm Jamil bertindak sebagai mata-mata, penyebar kabar buruk, dan penabur permusuhan di antara manusia, terutama terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Ia adalah sosok yang dengan sengaja menyalakan api perselisihan di tengah masyarakat Makkah.
Ayat ini mengajarkan bahwa dalam Islam, tanggung jawab adalah individual, tetapi pasangan yang bekerja sama dalam dosa akan dihukum bersama. Kejahatan Umm Jamil bukanlah kejahatan pasif; ia adalah kejahatan aktif dan agresif yang berusaha merusak moral dan mental Rasulullah dan para pengikutnya.
"Di lehernya ada tali dari sabut (yang dipilin)."
Ayat penutup ini memberikan gambaran yang mengerikan dan sangat visual tentang siksaan Umm Jamil di neraka. Jīdihā berarti lehernya. Ḥablum mim masad adalah tali kasar yang terbuat dari serat pohon kurma yang dipilin keras.
Ada beberapa dimensi penafsiran mengenai tali ini:
Secara keseluruhan, Surah Al-Lahab adalah pernyataan perang spiritual, yang secara definitif memisahkan para penentang dari komunitas beriman, menunjukkan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari keadilan Ilahi jika ia memilih jalan kesesatan.
Surah Al-Lahab sering menjadi subjek diskusi teologis mengenai konsep nubuat (prediksi) yang sangat spesifik dalam Al-Qur’an. Keajaiban surat ini terletak pada dua aspek krusial: kekerabatan Abu Lahab dengan Nabi dan kepastian vonis kekalnya.
Surah ini diturunkan sebelum Abu Lahab meninggal. Ini berarti selama bertahun-tahun setelah wahyu ini turun, Abu Lahab memiliki peluang emas untuk membuktikan bahwa Al-Qur'an salah, hanya dengan berpura-pura masuk Islam. Jika dia mengucapkan dua kalimat syahadat, Al-Qur'an secara literal akan tampak keliru, karena Al-Qur'an telah memastikan bahwa ia akan binasa di dalam api yang bergejolak.
Namun, Abu Lahab tidak pernah masuk Islam, bahkan tidak pernah berpura-pura. Ia tetap teguh dalam kekafirannya, meskipun tahu bahwa tindakannya mengukuhkan klaim kenabian Muhammad ﷺ. Sikap keras kepalanya ini, hingga akhir hayat, menunjukkan bahwa nubuat Al-Qur'an didasarkan pada pengetahuan Ilahi yang sempurna tentang pilihan abadi yang akan dibuat oleh individu tersebut. Ini adalah bukti nyata bahwa Al-Qur'an tidak mungkin merupakan karangan manusia.
Fakta bahwa Abu Lahab adalah paman Nabi menegaskan prinsip Islam bahwa keselamatan tidak didasarkan pada keturunan atau ikatan darah, melainkan pada keimanan dan perbuatan. Ayat-ayat ini menjadi penyeimbang bagi tradisi Arab yang sangat menghormati ikatan kabilah.
Ketika Abu Lahab menentang Nabi, ia tidak hanya menentang keponakannya; ia menentang utusan Allah. Surah ini menetapkan batas yang jelas: ketika kebenaran (tauhid) berhadapan dengan kekafiran, ikatan keluarga harus diputus. Hal ini memiliki resonansi yang sama dengan kisah Nabi Nuh dan putranya, atau Nabi Ibrahim dan ayahnya.
Ketika kita mengkaji ulang transliterasi Latinnya, kita melihat bahwa kata-kata yang dipilih sangat finalistik: Tabbat (binasa, pasti), Sayaslā (kelak pasti akan masuk). Tidak ada kata-kata seperti 'mungkin' atau 'jika'. Ketegasan ini membantu pembaca non-Arab memahami urgensi pesan tersebut. Pelafalan Latin, seperti Tabbat yada Abi Lahabiw wa tabb, membawa irama yang cepat dan tajam, mencerminkan vonis yang diucapkan tanpa ragu-ragu.
Para ulama tafsir menekankan bahwa surat ini juga berfungsi sebagai penghibur bagi Nabi Muhammad ﷺ, yang pada saat itu sangat menderita akibat gangguan dari pamannya sendiri dan istrinya. Wahyu ini memberikan kepastian bahwa para penentangnya, betapapun kuatnya mereka di Makkah, akan menghadapi kebinasaan yang lebih besar dan kekal.
Meskipun surat ini secara spesifik ditujukan kepada individu tertentu, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Hikmah ini meliputi teologi, etika, dan sosial.
Pelajaran terpenting dari ayat kedua (Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab) adalah fana’nya kekayaan dan status sosial di hari perhitungan. Ketika seseorang menggunakan hartanya untuk menentang kebenaran dan menindas orang lain, harta itu tidak hanya tidak berguna, tetapi justru dapat menjadi beban dosa yang mempercepat hukuman. Ini adalah peringatan bagi setiap orang yang mengandalkan kekayaan atau pengaruhnya untuk menghindari konsekuensi moral dan spiritual.
Penyebutan Umm Jamil sebagai Hammalatal-Hatab menyoroti bahaya lidah. Fitnah, gosip, dan hasutan untuk permusuhan digambarkan sebagai tindakan membawa 'kayu bakar' yang menyalakan api perselisihan di dunia dan api neraka di akhirat. Islam sangat menentang namimah (adu domba/fitnah). Ayat ini menjadi pengingat keras bahwa kata-kata negatif memiliki bobot yang sama berbahayanya dengan tindakan fisik, dan balasan bagi penyebar keburukan akan sangat pedih, disimbolkan dengan tali sabut yang melilit lehernya.
Siksaan yang digambarkan dalam ayat 3 dan 5 menunjukkan prinsip keadilan Ilahi (al-jazā’u min jinsil ‘amal – balasan sesuai dengan jenis perbuatan). Abu Lahab yang wajahnya cerah dan dijuluki Bapak Api akan dibakar di api yang bergejolak. Umm Jamil yang membawa fitnah akan membawa tali sabut yang kasar sebagai hukuman. Keadilan Allah selalu sempurna, memastikan bahwa hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
Kisah Abu Lahab dan Umm Jamil adalah contoh sempurna tentang solidaritas dalam kejahatan. Mereka bekerja sama dalam menentang Nabi. Ini mengingatkan umat Muslim untuk memilih pasangan dan teman yang mendukung kebaikan, karena pengaruh sosial dan keluarga sangat menentukan takdir spiritual seseorang.
Surah ini mengajarkan bahwa janji dan peringatan Allah bersifat mutlak. Ketika Allah berfirman bahwa seseorang akan binasa, kebinasaan itu pasti terjadi, terlepas dari segala upaya manusiawi untuk menghindarinya. Ini menumbuhkan keyakinan (iman) yang teguh pada kekuatan dan pengetahuan Allah SWT yang tak terbatas.
Dalam konteks modern, Surah Al-Lahab tetap relevan sebagai peringatan terhadap arogansi kekuasaan dan kesombongan. Setiap orang yang menggunakan pengaruhnya untuk menindas kebenaran atau menyakiti utusan kebaikan (atau pewaris risalah mereka) harus merenungkan takdir Abu Lahab dan istrinya.
Untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif, khususnya bagi pembaca yang mengandalkan transliterasi, perlu dilakukan analisis mendalam mengenai bagaimana struktur fonetik Arab Surah Al-Lahab diterjemahkan ke dalam aksara Latin, dan bagaimana irama (faasilah) surat ini berkontribusi pada kekuatan pesan yang disampaikannya.
Dalam bahasa Arab, perbedaan antara vokal pendek dan vokal panjang (misalnya, *a* vs *ā*) dapat mengubah makna kata secara fundamental. Dalam transliterasi Latin surat Al-Lahab, vokal panjang harus dipertahankan secara akurat. Contohnya:
Pembaca transliterasi Latin harus melatih diri untuk mempertahankan panjang vokal ini (sering ditandai dengan makron di atas huruf, seperti 'ā') untuk mendekati keindahan irama asli Al-Qur'an. Transliterasi Latin yang baik berusaha menjadi panduan pelafalan, bukan sekadar ejaan.
Surah Al-Lahab memiliki rima akhir yang sangat kuat, semuanya berakhir dengan bunyi 'b' atau 'd' dan didahului oleh vokal pendek atau vokal dengan tanwin. Rima yang sama ditemukan pada: *wa tabb* (1), *wa mā kasab* (2), *dhāta lahab* (3), *ḥammālatal-ḥaṭab* (4), dan *mim masad* (5).
Irama yang cepat dan berakhiran konsonan yang tegas ini menciptakan kesan kepastian dan finalitas—sebuah hukuman yang tidak bisa dielakkan. Irama ini membantu pembaca memahami nuansa peringatan yang bersifat segera dan mengancam. Irama ini sangat khas pada surat-surat Makkiyah awal, yang bertujuan untuk mengguncang hati para penentang dan menegaskan kekuasaan Allah.
Istilah Al-Masad memiliki akar linguistik yang mendalam. Dalam tradisi Arab, tali dari sabut kurma dikenal sangat kuat dan kasar. Mengaitkan tali ini dengan siksaan Umm Jamil bukan hanya hukuman, tetapi juga sebuah penghinaan yang mendalam. Seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraisy, yang mengenakan perhiasan mahal di lehernya, diancam akan digantikan perhiasan tersebut dengan tali yang kasar (masad), yang biasa digunakan oleh budak atau untuk pekerjaan kasar.
Selain itu, masad juga bisa diartikan sebagai "tali dari api yang dipilin." Tafsir ini memperkuat gambaran bahwa tali itu sendiri adalah bagian dari azab neraka, bukan sekadar alat pengikat. Analisis Latin Fī jīdihā ḥablum mim masad harus diucapkan dengan jeda dan penekanan yang tepat pada jīdiha (lehernya) untuk menonjolkan fokus hukuman tersebut.
Ketika kita merenungkan Surah Al-Lahab melalui transliterasi Latin, kita menyadari bahwa surat ini adalah salah satu yang paling langsung dan konfrontatif dalam Al-Qur'an. Ini adalah surat yang mempersonalisasi konflik antara cahaya dan kegelapan, antara tauhid dan kekufuran. Kejelasan dalam transliterasi membantu memastikan bahwa tidak ada keraguan tentang siapa yang dihukum dan mengapa. Ini adalah manifestasi dari keadilan Allah yang tidak terikat oleh sentimen atau ikatan duniawi.
Kajian ini menunjukkan bahwa transliterasi Latin Al-Lahab harus dipandang sebagai alat bantu yang menghormati sumber aslinya. Meskipun tidak pernah dapat menggantikan keindahan dan kedalaman fonetik Arab, ia berfungsi sebagai undangan untuk mempelajari lebih lanjut tentang kaidah tajwid dan makna yang lebih kaya dari teks aslinya. Setiap huruf, setiap vokal panjang, dan setiap penekanan konsonan dalam transliterasi Latin adalah kunci untuk membuka kekuatan retoris dan spiritual dari surat yang menakjubkan ini.
Ayat kedua Surah Al-Lahab, Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab, merupakan penekanan teologis yang sangat kuat mengenai hubungan antara manusia dan kekayaan. Dalam masyarakat Makkah pra-Islam, status sosial dan kekuatan politik hampir sepenuhnya ditentukan oleh kepemilikan harta dan jumlah kabilah atau keturunan yang dimiliki. Abu Lahab berada di puncak hierarki ini; ia kaya, memiliki pengaruh besar, dan merupakan paman dari pemimpin yang baru muncul, Muhammad ﷺ.
Al-Qur'an secara konsisten menantang pandangan bahwa harta dapat menyelamatkan seseorang dari azab Tuhan. Dalam kasus Abu Lahab, hartanya digunakan untuk mendanai penentangan terhadap Nabi. Dia bangga akan kekayaan dan statusnya, yakin bahwa hal-hal tersebut akan melindunginya dari bahaya apa pun, termasuk ancaman akhirat yang disampaikan Muhammad.
Dengan kalimat tegas "Tidaklah berguna baginya hartanya," Allah SWT menghancurkan ilusi keselamatan berbasis materi. Ini adalah penghinaan yang luar biasa di hadapan publik, karena ia merampas satu-satunya sumber martabat yang diyakini Abu Lahab. Transliterasi Latin Mā aghnā ‘anhu māluhū harus diucapkan dengan penekanan pada negasi (*Mā*) yang menyiratkan penolakan total terhadap manfaat materi.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, frasa wa mā kasab (dan apa yang dia usahakan) memiliki makna yang lebih dari sekadar perolehan finansial. Fokus pada 'usaha' atau 'yang diperoleh' ini sering dihubungkan dengan anak-anaknya. Dalam budaya Arab, anak laki-laki adalah 'kasb' (hasil usaha) seseorang yang paling berharga, yang berfungsi sebagai pelindung dan penerus. Ketika Al-Qur'an meniadakan manfaat dari *mā kasab*-nya, ia juga meniadakan perlindungan dari keturunannya.
Fakta historis menguatkan hal ini. Dua putra Abu Lahab, Utbah dan Utaibah, telah dinikahkan dengan putri-putri Nabi, Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Namun, atas perintah Abu Lahab dan Umm Jamil, mereka dipaksa untuk menceraikan putri-putri Nabi, menunjukkan permusuhan keluarga yang ekstrem. Lebih jauh lagi, menjelang kematiannya, anak-anaknya justru meninggalkannya. Ini adalah kerugian total, baik secara spiritual maupun dukungan duniawi.
Peringatan dalam ayat ini tetap relevan. Surat Al-Lahab berfungsi sebagai pengingat bagi para pemimpin, pebisnis, dan individu kaya bahwa penggunaan kekayaan harus sejalan dengan kebenaran. Kekayaan yang digunakan untuk menindas, menyebarkan kebohongan, atau menghalangi jalan dakwah akan menjadi sia-sia di Yaumul Qiyamah. Harta hanyalah alat; nilai sejatinya ditentukan oleh bagaimana alat itu digunakan. Bagi Abu Lahab, hartanya hanya menjadi 'kayu bakar' yang mempercepat hukumannya.
Kajian ini memperkuat pesan bahwa Islam menuntut integritas dalam semua aspek kehidupan, dan bahwa kehinaan di akhirat adalah konsekuensi yang jauh lebih besar daripada kehinaan materi di dunia.
Meskipun Surah Al-Lahab relatif lugas dan fokus pada hukuman yang spesifik, terdapat nuansa dalam tafsir yang diberikan oleh ulama klasik dan kontemporer, terutama mengenai makna metaforis dari Hammalatal-Hatab dan Hablum mim Masad.
Mayoritas ulama klasik sepakat bahwa gelar Umm Jamil sebagai "Pembawa Kayu Bakar" (Ḥammālatal-ḥaṭab) memiliki dimensi literal dan metaforis:
Para mufassir awal sering kali menekankan bahwa Umm Jamil memang secara fisik membawa kayu bakar dan duri (terutama dari pohon *qutad*) dan meletakkannya di jalan yang sering dilalui Nabi Muhammad ﷺ di malam hari. Tujuannya adalah untuk menyakiti Nabi secara fisik dan mengotori lingkungan beliau. Tafsir ini memperkuat gambaran kekejaman dan kejahatan fisik yang mereka lakukan.
Dalam pandangan yang lebih retoris, kayu bakar melambangkan adu domba, fitnah (namimah), dan gosip yang menyulut api permusuhan di antara manusia. Karena ia gemar menyulut api sosial di dunia, ia akan membawa bahan bakar untuk api nerakanya sendiri. Tafsir ini sangat kuat secara retoris karena mengaitkan hukuman akhirat secara langsung dengan kejahatan moral yang dilakukan di dunia. Ibnu Katsir menggabungkan kedua pandangan ini, menegaskan bahwa kejahatan Umm Jamil mencakup perbuatan fisik dan moral.
Perbedaan interpretasi juga muncul pada ayat terakhir, Fī jīdihā ḥablum mim masad (Di lehernya ada tali dari sabut).
Terlepas dari nuansa tafsir tersebut, seluruh ulama sepakat pada pesan inti surat ini: Surah Al-Lahab adalah surat kepastian hukuman yang menimpa orang-orang yang secara aktif dan agresif menentang risalah kenabian.
Para sarjana kontemporer sering melihat Surah Al-Lahab sebagai dokumen penting dalam pembentukan identitas awal komunitas Muslim. Dengan menamai dan mengutuk musuh utama Nabi dari kerabatnya sendiri, surat ini secara efektif mengajarkan kaum mukmin bahwa ikatan agama (iman) lebih kuat daripada ikatan darah. Hal ini sangat krusial dalam masyarakat kabilah Makkah, di mana loyalitas darah hampir selalu diutamakan. Surah Al-Lahab menuntut loyalitas total kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kesimpulannya, perbandingan tafsir hanya memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana Surah Al-Lahab tidak hanya berfungsi sebagai vonis, tetapi juga sebagai metafora yang kaya akan makna teologis dan moral, yang kekuatannya terpelihara dengan baik bahkan melalui transliterasi Latin yang cermat.
Surah Al-Lahab, meskipun hanya terdiri dari lima ayat yang ringkas, berdiri sebagai monumen keadilan ilahi dan mukjizat kenabian yang abadi. Melalui transliterasi Latin yang cermat—dari Tabbat yada Abi Lahabiw wa tabb hingga Fī jīdihā ḥablum mim masad—pesan yang kuat dan tidak terkompromi ini dapat diakses dan diresapi oleh setiap Muslim di seluruh dunia.
Surat ini mengajarkan kita bahwa kekuasaan duniawi, kekayaan, dan bahkan ikatan kekeluargaan tidak akan memberikan perlindungan apa pun ketika hati telah mengeras dalam penolakan terhadap kebenaran. Abu Lahab, dengan segala kekuasaannya, tidak mampu mengubah takdir yang telah ditentukan baginya. Begitu pula istrinya, Umm Jamil, yang kejahatan sosialnya (menyebar fitnah) dihukum dengan siksaan fisik yang mengerikan.
Pelajaran yang paling mendalam adalah tentang konsekuensi dari pilihan kita. Surah Al-Lahab adalah bukti bahwa setiap tindakan permusuhan, setiap fitnah, dan setiap upaya untuk memadamkan cahaya kebenaran akan dicatat dan dibalas dengan setimpal. Kita semua diingatkan untuk tidak menjadi 'pembawa kayu bakar' dalam kehidupan kita, baik secara literal maupun metaforis, melainkan menjadi pembawa kedamaian dan kebenaran.
Dengan demikian, Surah Al-Lahab tetap menjadi salah satu surat yang paling sering direnungkan, tidak hanya karena kisah historisnya yang dramatis, tetapi karena pesannya yang universal tentang pertanggungjawaban individu dan kepastian pembalasan di hadapan Allah SWT. Membaca dan memahami transliterasi Latin surat ini adalah langkah awal untuk menghayati kedalaman makna yang termaktub dalam firman-Nya.
Untuk benar-benar menghargai dampak Surah Al-Lahab, kita harus memahami posisi Abu Lahab dalam masyarakat Makkah dan konteks kematiannya yang tragis. Abu Lahab adalah salah satu pemimpin Bani Hasyim, kabilah Rasulullah, dan ia seharusnya menjadi figur pendukung utama, sebagaimana kakeknya, Abdul Muthalib, dan pamannya, Abu Thalib, yang meskipun tidak memeluk Islam, tetap melindungi Nabi.
Ketika Rasulullah ﷺ memulai dakwah, tekanan dari suku Quraisy sangat besar. Abu Thalib menggunakan pengaruhnya untuk melindungi Nabi, mematuhi tradisi kabilah. Abu Lahab, sebaliknya, memutus ikatan kabilah dan etika kekeluargaan demi permusuhan. Ia adalah satu-satunya paman Nabi yang secara vokal dan aktif menentang dan menyakiti Nabi. Ketika Bani Hasyim diboikot di Lembah Syi’b Abi Thalib, Abu Lahab memilih untuk berpihak pada Quraisy yang memboikot, sebuah tindakan pengkhianatan yang memalukan dalam konteks budaya saat itu.
Kematian Abu Lahab terjadi sesaat setelah Pertempuran Badar, meskipun dia tidak ikut serta dalam perang tersebut. Setelah kekalahan Quraisy yang memalukan, Abu Lahab menjadi sangat marah dan sedih. Tak lama setelah itu, ia terserang penyakit menular yang disebut al-Adasah (sejenis abses atau wabah yang sangat ditakuti). Penyakit ini sangat menular sehingga bahkan anak-anaknya, takut tertular, meninggalkannya sendirian di rumahnya.
Ini adalah penggenapan pertama dari Tabbat yada Abi Lahabiw wa tabb—kebinasaan dan kehinaan di dunia. Karena ketakutan akan wabah, mayatnya dibiarkan selama tiga hari sebelum akhirnya anak-anaknya memutuskan untuk menguburkannya. Mereka tidak menguburkannya dengan penghormatan, melainkan mendorong jenazahnya dengan tongkat panjang hingga masuk ke dalam lubang (liang lahat) dan menutupnya dengan batu dari kejauhan. Kematiannya adalah cerminan dari vonis kehinaan yang diumumkan Al-Qur'an. Ini adalah manifestasi nyata bahwa harta dan statusnya tidak berguna; tidak ada yang mau menyentuh mayatnya.
Kejadian tragis ini, yang diketahui oleh para sahabat dan masyarakat Makkah, menguatkan keyakinan mereka terhadap kebenaran dan ketepatan Surah Al-Lahab. Surat ini bukan hanya teori; ia adalah ramalan yang tergenapi dengan sempurna, bahkan pada detail tentang bagaimana dia akan dibiarkan sendirian dalam kehinaan (peniadaan manfaat harta dan 'kasb'-nya).
Dalam transliterasi Latin, dua kata kunci dalam ayat ketiga, Sayaslā nāran dhāta lahab, menyimpan kekayaan fonetik dan semantik yang mendalam yang harus diperhatikan oleh pembaca non-Arab. Kedua kata ini secara langsung mendefinisikan hukuman kekal bagi Abu Lahab.
Kata ini adalah bentuk kata kerja masa depan yang memiliki penekanan kuat pada kepastian. Akar kata *ṣalā* (صلى) berarti "terbakar" atau "memanggang." Penggunaan prefiks *sa-* (س) dalam bahasa Arab memberikan nuansa 'segera' atau 'pasti di masa depan'. Ini berbeda dari kata kerja masa depan biasa (*yaṣlā*). Dengan Sayaslā, Al-Qur'an memastikan bahwa pembakaran (siksaan) ini adalah takdir yang tak terhindarkan. Para mufassir menekankan bahwa kata ini menunjukkan proses pembakaran yang intens, di mana individu benar-benar masuk dan tenggelam dalam api.
Dalam transliterasi Latin, huruf *ṣ* (ص) mewakili huruf *Ṣad*, yang merupakan konsonan emfatis (tebal). Pelafalan yang akurat membutuhkan penekanan tebal pada konsonan tersebut, yang memberikan resonansi yang lebih berat pada ancaman tersebut, membedakannya dari 's' (س) biasa. Kesalahan pelafalan pada transliterasi Latin bisa mengurangi dampak ancaman neraka ini.
Frasa ini adalah deskripsi neraka yang sangat spesifik. *Nāran* (api) adalah kata generik, tetapi dhāta lahab (yang memiliki jilatan) memberikan kualitas yang mengerikan. *Lahab* adalah jilatan api yang paling terang, tertinggi, dan paling panas.
Selain merujuk pada julukan Abu Lahab, deskripsi ini menegaskan bahwa jenis api yang menantinya adalah yang paling mengerikan. Jika diartikan secara harfiah, neraka Abu Lahab akan menjadi neraka yang paling terang-benderang, paling bergejolak, dan paling mematikan. Konsep teologis di balik ini adalah bahwa mereka yang menyalakan api permusuhan di dunia akan menjadi bahan bakar bagi api yang paling ganas di akhirat.
Dalam transliterasi Latin, bunyi *dh* (ذ) pada *dhāta* adalah fonem yang paling sulit bagi penutur bahasa Indonesia. Ia memerlukan pelafalan dengan ujung lidah di antara gigi. Ketepatan dalam melafalkan fonem ini sangat penting karena menunjukkan kualitas api yang spesifik tersebut. Seluruh ayat ini, Sayaslā nāran dhāta lahab, adalah klimaks dari ancaman surat tersebut, mewakili vonis kekal yang tidak dapat dicabut.
Oleh karena itu, ketika membaca transliterasi Latin Surah Al-Lahab, penting untuk tidak hanya mengejar makna permukaan, tetapi juga merasakan berat fonetik dan irama yang diciptakan oleh konsonan emfatis, vokal panjang, dan penekanan kepastian (Sayaslā), yang semuanya berpadu untuk menciptakan salah satu peringatan paling tajam dalam Al-Qur'an.
Kajian mendalam mengenai ancaman neraka dalam Surah Al-Lahab tidak hanya berhenti pada deskripsi api, tetapi juga pada bagaimana hukuman tersebut dihubungkan dengan sifat dosa yang dilakukan oleh Abu Lahab dan istrinya. Hukuman dalam Islam selalu adil dan sering kali simetris dengan kejahatan.
Dalam kasus Abu Lahab, dosa utamanya adalah kesombongan dan penolakan terang-terangan yang didukung oleh keyakinan pada kekayaan. Ia menggunakan tangannya untuk melemparkan kutukan dan mungkin batu. Oleh karena itu, hukuman dimulai dengan kutukan pada tangannya: Tabbat yada Abi Lahab. Ini adalah hukuman yang sangat pribadi. Kehinaan di dunia adalah kehilangan status dan ditinggalkan oleh ‘kasb’-nya, sementara hukuman di akhirat adalah api yang sesuai dengan julukannya: api yang memiliki jilatan (Lahab).
Bagi Umm Jamil, hukumannya juga sangat simetris. Dia adalah Hammalatal-Hatab, yang secara konsisten membawa beban fitnah di dunia. Tali yang melilit lehernya (Hablum mim Masad) mencerminkan dua hal: 1) Beban fitnah dan dosa yang di dunia ia ‘pikul’ dengan lisan, kini menjadi beban fisik yang menyiksa; 2) Penghinaan. Tali adalah simbol perlakuan yang kasar. Umm Jamil, yang seharusnya bangga dengan perhiasannya, akan dipaksa membawa tanda kehinaan yang kekal. Tali dari sabut, yang sangat murah, adalah ejekan terhadap kesombongan dan kecintaannya pada kemewahan duniawi.
Kontras yang tajam antara duniawi dan akhirat ini adalah tema sentral Surah Al-Lahab. Kekuatan retorisnya tidak hanya mengutuk, tetapi juga menjelaskan, melalui gambaran yang jelas (yang mudah divisualisasikan, bahkan melalui transliterasi Latin), mengapa mereka dihukum dengan cara tertentu. Hal ini menambah dimensi pedagogis pada surat tersebut, mengajarkan umat Muslim bahwa keadilan Ilahi mencakup detail yang paling halus dalam perbuatan kita.
Dalam perspektif studi Al-Qur'an (Qur’anic Studies) modern, Surah Al-Lahab sering diajukan sebagai salah satu bukti empiris terkuat kenabian Muhammad. Keunikan ini perlu ditekankan ketika kita mempelajari transliterasi Latinnya.
Jika seseorang membaca transliterasi Latin seperti Sayaslā nāran dhāta lahab, ia membaca sebuah ramalan yang definitif. Transliterasi Latin ini menunjukkan bahwa klausa tersebut adalah pernyataan faktual, bukan sekadar peringatan bersyarat (seperti banyak ancaman neraka lain yang sering diawali dengan 'jika kamu tidak bertobat'). Surah Al-Lahab adalah vonis mutlak. Mempertahankan struktur kalimat yang tegas ini dalam transliterasi membantu pembaca non-Arab mengapresiasi keunikan retoris dan teologisnya.
Tidak ada surat lain dalam Al-Qur'an yang menjamin hukuman neraka bagi individu tertentu yang masih hidup. Ini menunjukkan tingkat bahaya dan permusuhan Abu Lahab yang melampaui batas, sehingga Allah menganggapnya sebagai musuh yang tak termaafkan. Ini juga memperkuat keyakinan bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak berbicara atas hawa nafsunya, karena sangat jarang seseorang memfitnah atau mengutuk kerabatnya sendiri sedemikian rupa, kecuali atas dasar wahyu yang tidak dapat ia tolak atau ubah.
Pentingnya Surah Al-Lahab dalam menetapkan garis pemisah antara iman dan kekafiran di Makkah tidak dapat dilebih-lebihkan. Ia adalah ujian kepatuhan bagi kaum mukmin awal, yang harus memilih antara loyalitas kabilah (kepada paman Nabi) dan loyalitas kepada Allah. Dengan demikian, kajian mendalam transliterasi Latin surat ini tidak hanya memberikan kemampuan pelafalan, tetapi juga wawasan historis dan teologis tentang dasar-dasar keyakinan Islam yang paling awal.
Selain sebagai ancaman bagi para penentang, Surah Al-Lahab berfungsi sebagai sumber kesabaran (sabr) dan penghiburan (tasliyah) bagi Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya yang tertindas. Di tengah penderitaan yang disebabkan oleh Abu Lahab dan istrinya, janji akan keadilan dan hukuman yang pasti ini memberikan kekuatan yang luar biasa.
Bagi para sahabat yang mendengar atau membaca Tabbat yada Abi Lahabiw wa tabb, mereka tahu bahwa penderitaan mereka di dunia hanyalah sementara, sementara hukuman bagi para penindas mereka adalah kekal. Ini adalah pengingat bahwa meskipun kejahatan tampak menang di dunia, keadilan akan ditegakkan di akhirat. Pesan penghiburan ini, yang tertanam dalam setiap transliterasi Latin yang dibaca, tetap menjadi sumber kekuatan bagi umat Muslim yang menghadapi kesulitan atau penindasan hingga hari ini.
Kekuatan Surah Al-Lahab, di setiap aspeknya—dari sejarahnya yang dramatis, ketepatan nubuatnya, hingga detail simetris dari hukumannya—menjadikannya salah satu surat terpenting dalam memahat pemahaman kita tentang keadilan, kedaulatan, dan kebenaran mutlak Al-Qur'an.