Malam: Awal dari segala Perenungan
Surat Al-Lail, yang berarti "Malam," adalah surat ke-92 dalam Al-Qur'an dan termasuk dalam golongan surat Makkiyah, diturunkan pada periode awal kenabian Nabi Muhammad ﷺ di Mekkah. Surat ini hadir setelah Surat Asy-Syams dan sebelum Adh-Dhuha. Struktur utama surat ini adalah pengelompokan manusia ke dalam dua kategori besar berdasarkan amal perbuatan mereka, di mana janji kebahagiaan sejati (*Al-Husna*) diberikan bagi mereka yang dermawan dan bertakwa, sementara kesengsaraan dijanjikan bagi mereka yang kikir dan mendustakan kebenaran.
Artikel ini menyajikan secara lengkap teks Arab Surat Al-Lail, panduan transliterasi (Latin) untuk mempermudah pembacaan bagi non-penutur Arab, terjemahan resmi dalam Bahasa Indonesia, serta analisis tafsir mendalam yang membahas konteks linguistik, makna filosofis, dan pelajaran moral yang terkandung di dalamnya. Penguasaan lafazh, baik melalui pembacaan Arab maupun transliterasi Latin, merupakan langkah awal untuk memahami kekayaan pesan Ilahi.
Surat Al-Lail terdiri dari 21 ayat. Transliterasi Latin di bawah ini menggunakan standar yang umum diterima untuk membantu melafalkan setiap ayat dengan intonasi yang mendekati bahasa aslinya.
وَٱلَّيۡلِ إِذَا يَغۡشَىٰ
1. Wal-laili iżā yagshyā
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
2. Wan-nahāri iżā tajallā
dan demi siang apabila terang benderang,
وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰٓ
3. Wa mā khalaqaż-żakara wal-unṡā
dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,
إِنَّ سَعۡيَكُمۡ لَشَتَّىٰ
4. Inna sa’yakum lasyattā
sungguh usaha kamu benar-benar beraneka ragam.
فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ
5. Fa’ammā man a'thā wattaqā
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ
6. Wa ṣaddaqā bil-husnā
serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ
7. Fa sanuyassiruhū lil-yusrā
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ
8. Wa ammā mam bakhila wastagnā
Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah),
وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ
9. Wa każżaba bil-husnā
serta mendustakan pahala yang terbaik,
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ
10. Fa sanuyassiruhū lil-‘usrā
maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.
وَمَا يُغۡنِي عَنۡهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰٓ
11. Wa mā yugnī ‘anhu māluhū iżā taraddā
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.
إِنَّ عَلَيۡنَا لَلۡهُدَىٰ
12. Inna ‘alainā lal-hudā
Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk,
وَإِنَّ لَنَا لَلۡأٓخِرَةَ وَٱلۡأُولَىٰ
13. Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā
dan sesungguhnya kepunyaan Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.
فَأَنذَرۡتُكُمۡ نَارٗا تَلَظَّىٰ
14. Fa anżartukum nāran talaẓẓā
Maka Kami memperingatkan kamu dengan api neraka yang menyala-nyala,
لَا يَصۡلَىٰهَآ إِلَّا ٱلۡأَشۡقَى
15. Lā yaṣlāhā illal-asyqā
tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,
ٱلَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ
16. Allażī każżaba wa tawallā
yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan).
وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلۡأَتۡقَى
17. Wa sayujannabuhal-atqā
Dan kelak akan dijauhkan neraka itu dari orang yang paling bertakwa,
ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ
18. Allażī yu’tī mālahū yatazakkā
yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,
وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةٖ تُجۡزَىٰٓ
19. Wa mā li’aḥadin ‘indahū min ni‘matin tujzā
padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ
20. Illabtigā’a wajhi rabbihil-a’lā
tetapi (dia memberikan itu) hanyalah mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.
وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ
21. Wa lasaufa yarḍā
Dan kelak dia benar-benar akan puas (dengan pemberian-Nya).
Surat Al-Lail dibuka dengan serangkaian sumpah yang kuat, sebuah gaya retorika khas surat-surat Makkiyah pendek. Sumpah ini berfungsi untuk menarik perhatian mutlak pendengar terhadap kesimpulan yang akan disampaikan pada ayat keempat.
Allah bersumpah demi malam (*Wal-laili*) dan siang (*Wan-nahāri*). Kontras ini bukan sekadar deskripsi waktu, melainkan representasi dualitas fundamental dalam eksistensi, yang mencerminkan pertentangan antara kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan. Malam (*iżā yagshyā*) memiliki sifat menutupi dan menggelapkan, simbol dari kerahasiaan, istirahat, dan kadang kala, kesesatan. Sebaliknya, siang (*iżā tajallā*) memiliki sifat menampakkan dan menerangi, simbol dari aktivitas, kejelasan, dan petunjuk.
Penggunaan kata *yagshyā* (menutupi) dan *tajallā* (terang benderang) secara linguistik menunjukkan proses yang berlawanan. Malam menutupi alam semesta dengan kegelapan, sedangkan siang menampakkannya dengan cahaya. Ini mempersiapkan pikiran pendengar untuk menerima ide bahwa kehidupan manusia pun dibagi menjadi dua jalan yang kontras dan jelas perbedaannya.
Sumpah ketiga, *Wa mā khalaqaż-żakara wal-unṡā*, menekankan dualitas dalam penciptaan makhluk hidup. Dalam tafsir, sumpah ini sering diartikan dalam dua cara: pertama, sebagai sumpah demi pencipta laki-laki dan perempuan (yaitu Allah sendiri); kedua, sebagai sumpah demi dua jenis makhluk itu sendiri. Apapun interpretasinya, sumpah ini mengukuhkan konsep pasangan, kontras, dan keberagaman yang melandasi seluruh alam semesta.
Penyebutan dualitas gender ini sangat penting karena ia adalah fondasi bagi keberlangsungan hidup dan komunitas manusia. Kehidupan sehari-hari, sebagaimana malam dan siang, dibangun di atas interaksi dua kutub yang berbeda, namun saling melengkapi. Keberagaman ini, yang diakui oleh Sang Pencipta, menjadi landasan bagi keberagaman amal manusia.
Tiga sumpah yang agung ini (Malam, Siang, Laki-laki/Perempuan) mengarah pada satu kesimpulan mutlak: *Inna sa’yakum lasyattā* (sungguh usaha kamu benar-benar beraneka ragam). Kata *sa’yakum* merujuk pada segala bentuk upaya, pekerjaan, niat, dan perjalanan hidup manusia. Kata *lasyattā* (beraneka ragam/terpisah) menunjukkan bahwa meskipun manusia hidup di dunia yang sama, tujuan akhir dan jalan yang mereka tempuh sangat berbeda, bahkan berlawanan. Ini adalah inti pesan surat ini—manusia memilih jalannya sendiri, dan setiap jalan memiliki konsekuensi yang spesifik.
Keanekaragaman ini bukan hanya variasi dalam profesi atau kekayaan, tetapi variasi dalam niat dan kualitas tindakan, yang kemudian memisahkan manusia menjadi dua kelompok yang sangat berbeda: mereka yang cenderung pada pemberian dan ketakwaan, dan mereka yang cenderung pada kekikiran dan pendustaan.
Setelah menetapkan bahwa usaha manusia terbagi, surat ini mulai merinci karakteristik kelompok pertama, kelompok yang akan meraih kemudahan dan kesuksesan abadi.
Ayat 5 dan 6 menetapkan tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang hamba untuk mencapai jalan yang mudah (*lil-yusrā*):
Hubungan antara ketiga syarat ini bersifat sinergis. Seseorang yang bertakwa akan mudah memberi, dan kedermawanannya didasari oleh keyakinannya yang kuat terhadap janji Allah (*Al-Husna*). Tindakan memberi menjadi bukti nyata dari keyakinan yang tertanam di dalam hati.
Kedermawanan membuka jalan kemudahan
Ayat 7 menyatakan konsekuensi dari perilaku ini: *Fa sanuyassiruhū lil-yusrā* (maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah). Janji kemudahan ini mencakup berbagai aspek kehidupan:
A. Kemudahan dalam Beramal: Allah akan memudahkan hamba-Nya untuk melakukan amal saleh berikutnya. Kebaikan melahirkan kebaikan. Orang yang terbiasa memberi dan bertakwa akan merasa ringan dalam ibadah, seolah-olah pintu kebaikan selalu terbuka baginya.
B. Kemudahan Urusan Dunia: Meskipun fokusnya adalah akhirat, kemudahan ini juga mencakup urusan duniawi. Orang yang ikhlas dan bertakwa cenderung mendapatkan ketenangan hati, rezeki yang berkah, dan jalan keluar dari kesulitan hidup yang tidak terduga.
C. Kemudahan Saat Kematian dan Akhirat: Puncak dari janji ini adalah kemudahan saat sakaratul maut, kemudahan dalam hisab (penghitungan amal), dan pada akhirnya, masuk ke dalam Surga tanpa kesulitan yang berarti. Surga (*Al-Husna*) itu sendiri adalah perwujudan tertinggi dari kemudahan yang abadi.
Pemilihan kata *sanuyassiruhū* (Kami akan memudahkan dia) menunjukkan bahwa ini adalah janji aktif dari Allah. Bukan hanya sekadar "jalan itu mudah," tetapi Allah yang secara langsung memfasilitasi dan menghilangkan hambatan di hadapan hamba-Nya yang saleh.
Sebaliknya, Surat Al-Lail merinci karakteristik kelompok kedua, mereka yang memilih jalan yang sukar (*lil-‘usrā*).
Ayat 8 dan 9 menjelaskan tiga ciri orang yang celaka (*Al-Asyqā*):
Ayat 10 menyatakan: *Fa sanuyassiruhū lil-‘usrā* (maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar). Sama seperti janji kemudahan, ini adalah janji aktif Allah untuk mempersiapkan jalan yang sulit bagi mereka yang menolak kebenaran dan kikir.
Jalan yang sukar ini manifestasinya meliputi:
Ayat 11 memberikan pukulan telak kepada kaum kikir: *Wa mā yugnī ‘anhu māluhū iżā taraddā* (Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa). Kata *taraddā* memiliki makna "jatuh ke dalam lubang" atau "mati/binasa". Ketika seseorang menemui ajalnya dan jatuh ke liang lahat, seluruh kekayaan dunia yang ia kikirkan tidak akan sedikit pun memberikan manfaat atau menahannya dari azab. Kekayaan hanya berarti jika digunakan sebagai bekal menuju akhirat; jika ditahan, ia menjadi beban dan saksi atas kekikiran pemiliknya.
Ayat 12 hingga 16 menggeser fokus dari perilaku individu ke hakikat kekuasaan Allah dan peran-Nya dalam memberikan petunjuk serta peringatan.
Ayat 12: *Inna ‘alainā lal-hudā* (Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk). Penegasan ini sangat mendalam. Allah menjadikan petunjuk sebagai hak-Nya yang mutlak, yang berarti Dia telah menjelaskan jalan yang benar dan jalan yang sesat. Manusia memiliki kebebasan memilih, tetapi Allah memastikan bahwa kebenaran telah disampaikan secara jelas. Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk penjelasan (*Hidayat al-Bayan*).
Ayat 13: *Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā* (dan sesungguhnya kepunyaan Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia). Ini adalah pengukuhan Tauhid Rububiyah (Kekuasaan Tuhan). Allah tidak hanya menguasai akhirat yang merupakan tujuan utama, tetapi juga dunia yang merupakan ladang amal. Karena Dialah pemilik mutlak keduanya, maka hanya Dialah yang berhak menentukan aturan, janji, dan ancaman bagi penghuni kedua alam tersebut.
Berdasarkan kekuasaan-Nya atas dunia dan akhirat, Allah memberikan peringatan keras melalui Nabi Muhammad ﷺ:
Ayat 14: *Fa anżartukum nāran talaẓẓā* (Maka Kami memperingatkan kamu dengan api neraka yang menyala-nyala).
Kata *talaẓẓā* menggambarkan api yang berkobar dan memancarkan lidah api dengan dahsyat. Ini adalah visualisasi ancaman yang nyata bagi mereka yang mendustakan janji kemudahan.
Ayat 15-16: Neraka ini hanya akan dimasuki oleh *Al-Asyqā* (orang yang paling celaka). Celaka di sini didefinisikan secara spesifik: *Allażī każżaba wa tawallā* (yang mendustakan dan berpaling).
Kombinasi antara mendustakan (keyakinan) dan berpaling (tindakan) menunjukkan bahwa kesengsaraan abadi adalah hasil dari kekufuran hati dan penolakan amal yang konsisten.
Di akhir surat, Allah kembali fokus pada karakteristik kelompok yang beruntung, yaitu *Al-Atqā* (orang yang paling bertakwa). Ini adalah kontra-gambaran langsung dari *Al-Asyqā*.
Ayat 17: *Wa sayujannabuhal-atqā* (Dan kelak akan dijauhkan neraka itu dari orang yang paling bertakwa).
Ayat 18: *Allażī yu’tī mālahū yatazakkā* (yang menafkahkan hartanya untuk membersihkannya).
Orang yang paling bertakwa adalah mereka yang mewujudkan ketakwaan dalam tindakan nyata, yaitu melalui kedermawanan yang ikhlas. Kata *yatazakkā* (membersihkan diri) menunjukkan bahwa tujuan utama dari pemberian harta bukanlah pamer, pujian, atau investasi duniawi, melainkan pemurnian jiwa. Harta yang dikeluarkan membersihkan jiwa dari kotoran kekikiran, keserakahan, dan keterikatan pada materi. Proses *tazkiyah* (pemurnian) ini adalah prasyarat untuk masuk Surga.
Dalam konteks sejarah, banyak mufassir menyebutkan bahwa ayat ini (dan ayat 19-21) secara spesifik merujuk kepada Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang terkenal sangat dermawan dan membebaskan banyak budak yang lemah, semata-mata karena Allah, bukan karena budak-budak itu pernah memberikan kebaikan kepadanya.
Ayat 19 dan 20 adalah inti dari konsep kedermawanan spiritual sejati:
Ayat 19: *Wa mā li’aḥadin ‘indahū min ni‘matin tujzā* (padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya).
Ayat 20: *Illabtigā’a wajhi rabbihil-a’lā* (tetapi (dia memberikan itu) hanyalah mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi).
Dua ayat ini menjelaskan bahwa kedermawanan yang menyelamatkan bukanlah bentuk balas budi atau pertukaran utang. Orang yang dijanjikan kemudahan adalah mereka yang memberi tanpa adanya motif balasan dari sesama manusia. Mereka tidak memberi kepada orang yang kaya atau memiliki kekuasaan dengan harapan timbal balik. Mereka memberi kepada yang paling lemah, yang tidak mungkin membalas, sehingga memastikan bahwa satu-satunya tujuan mereka adalah mencari Wajah Allah (*Wajhi rabbihil-a’lā*). Ini adalah derajat tertinggi dari keikhlasan (*Ikhlas*).
Penutup surat ini adalah janji yang menenangkan:
*Wa lasaufa yarḍā* (Dan kelak dia benar-benar akan puas (dengan pemberian-Nya)).
Kata *yarḍā* (akan puas/ridha) mencakup kepuasan dalam segala hal: kepuasan melihat amalnya diterima, kepuasan atas janji Allah yang ditepati, kepuasan berada di Surga, dan puncaknya, kepuasan mendapatkan keridaan mutlak dari Sang Pencipta. Kepuasan ini abadi, menyeluruh, dan jauh melampaui segala kenikmatan dunia yang dicari oleh orang-orang kikir.
Surat Al-Lail, meskipun pendek, berfungsi sebagai manual spiritual yang membagi kehidupan menjadi dua jalur tak terhindarkan. Berikut adalah perluasan mendalam dari beberapa konsep utama:
Penggunaan sumpah (Malam/Siang, Laki-laki/Perempuan) di awal surat membangun kerangka berpikir bahwa kehidupan dibentuk oleh pasangan yang kontras. Kontras ini harus mendorong manusia untuk mengambil sikap yang jelas. Tidak ada zona abu-abu dalam memilih antara kedermawanan dan kekikiran, atau antara ketakwaan dan pendustaan. Manusia harus memilih salah satu dari dua jalur yang ada: *Lil-Yusrā* atau *Lil-‘Usrā*.
Dualitas ini mengingatkan bahwa setiap pilihan kecil dalam hidup, setiap niat saat memberi, adalah penentu jalan mana yang sedang kita tempuh. Malam tidak dapat menjadi siang, dan kekikiran tidak dapat menghasilkan ketakwaan yang sejati.
Surat ini menempatkan amal kedermawanan (*a'thā*) sebagai bukti empiris dari keyakinan batin (*wa ṣaddaqā bil-husnā*). Banyak orang mungkin mengaku beriman, tetapi ujian terbesar datang ketika harta diminta. Kikir adalah manifestasi keraguan terhadap janji Allah. Jika seseorang benar-benar percaya pada Surga (balasan yang tak terhingga), maka mengorbankan harta dunia yang fana akan terasa mudah.
Kedermawanan yang dituntut di sini tidak hanya bersifat finansial tetapi juga emosional dan spiritual. Kedermawanan waktu, ilmu, senyum, dan bahkan kesabaran juga termasuk dalam makna luas dari *a'thā*. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang bahagia adalah orang yang memiliki jiwa pemberi, sementara orang yang celaka adalah orang yang jiwanya terpenjara oleh materi.
Kata *Al-Husna* diulang dalam surat ini sebagai poin sentral. Kelompok pertama membenarkannya, kelompok kedua mendustakannya. *Al-Husna* adalah janji kebaikan terbaik. Dalam tafsir, selain Surga, *Al-Husna* juga mencakup kesempurnaan iman dan kalimat tauhid. Jika seseorang membenarkan janji ini, dia telah mencapai kesimpulan logis bahwa segala penderitaan dan pengorbanan di dunia ini sepadan dengan balasan yang akan datang.
Bagi orang kikir, *Al-Husna* terasa seperti mitos atau sesuatu yang tidak pasti, sehingga mereka memilih mengamankan kekayaan di tangan mereka sekarang juga. Perbedaan mendasar antara dua kelompok terletak pada kualitas visi mereka—apakah mereka memiliki visi duniawi yang sempit atau visi akhirat yang luas.
Ayat 18 menekankan bahwa tujuan memberi adalah *yatazakkā* (untuk membersihkan dirinya). Dalam Islam, harta bisa menjadi sumber fitnah (cobaan) yang menyebabkan kekotoran jiwa. Dengan mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah, jiwa dibersihkan dari dosa kekikiran dan keserakahan. Ini menegaskan bahwa ibadah harta (seperti zakat dan infak) adalah bagian integral dari ibadah jiwa (seperti shalat dan puasa).
Proses pemurnian ini, yang didorong oleh keikhlasan mencari Wajah Allah (Ayat 20), adalah proses spiritual yang berkelanjutan. Kualitas seorang Muslim dinilai bukan hanya dari seberapa banyak ia memberi, tetapi dari seberapa murni motivasinya dalam memberi.
Surat Al-Lail sering dikaji bersama dengan Surat Asy-Syams dan Adh-Dhuha karena ketiganya memiliki pola retorika yang serupa, dimulai dengan serangkaian sumpah yang kontras (Malam/Siang, Matahari/Bulan) dan diakhiri dengan janji dan ancaman yang tegas.
Asy-Syams bersumpah demi tujuh objek kosmik (Matahari, Bulan, Siang, Malam, Langit, Bumi, dan Jiwa) untuk mencapai kesimpulan yang sama: jiwa telah diilhami dengan kejahatan dan ketakwaan. Fokus Asy-Syams adalah pada pilihan moral universal, sementara Al-Lail mengkhususkan pilihan moral tersebut ke dalam area interaksi sosial-ekonomi (kedermawanan vs. kekikiran).
Adh-Dhuha dan Al-Lail sama-sama bersumpah demi waktu kontras (Dhuha/Lail). Namun, Adh-Dhuha berfokus pada penghiburan dan jaminan Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ, menenangkan hati beliau setelah mengalami masa-masa sulit. Meskipun demikian, Adh-Dhuha juga berakhir dengan perintah praktik sosial: janganlah menghardik anak yatim dan janganlah menghina orang yang meminta-minta, yang mana perintah ini berakar pada konsep kedermawanan yang menjadi inti dari Al-Lail.
Ketiga surat ini bekerja sama untuk mengajarkan bahwa alam semesta—dengan segala dualitasnya—adalah saksi atas kebenaran janji ilahi dan kewajiban manusia untuk memilih jalan kebaikan dengan kedermawanan dan ketakwaan, serta menghindari kekikiran dan pendustaan.
Pesan inti dari Surat Al-Lail adalah panduan praktis untuk mencapai kehidupan yang berkah dan akhirat yang bahagia. Mengaplikasikan ajaran surat ini melibatkan transformasi hati dan perilaku:
Langkah pertama adalah memperkuat keyakinan terhadap ganjaran terbaik. Setiap tindakan kedermawanan yang terasa berat harus diimbangi dengan perenungan mendalam tentang nilai abadi Surga. Jika kita yakin bahwa apa yang kita berikan di dunia ini akan diganti berkali-kali lipat di akhirat dengan kenikmatan yang tak terbayangkan, maka kekikiran akan hilang dengan sendirinya.
Orang yang celaka (*Al-Asyqā*) dicirikan oleh perasaan puas diri yang membuat mereka lupa bahwa semua yang mereka miliki berasal dari Allah dan akan diambil kembali. Untuk menghindari *istighna*, seorang hamba harus selalu menyadari kemiskinan dan kebutuhan mutlaknya kepada Allah. Mengeluarkan harta adalah cara praktis untuk mengakui bahwa Allah adalah Pemberi Rezeki sejati.
Ayat 19 dan 20 mengajarkan standar tertinggi dalam memberi. Kedermawanan tidak boleh dicampuri oleh pamrih, baik itu pujian, status sosial, atau harapan balasan. Seorang Muslim didorong untuk secara aktif mencari orang-orang yang tidak mungkin membalas kebaikannya (fakir miskin, anak yatim, orang yang tertindas) sebagai cara untuk menguji kemurnian niatnya.
Dengan menerapkan prinsip ini, setiap orang dapat memastikan bahwa kedermawanannya didedikasikan secara eksklusif untuk mencapai *Wajhi rabbihil-a’lā* (Wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi), yang pada akhirnya akan menghasilkan kepuasan abadi (*yarḍā*).
Petunjuk menuju Keridhaan Ilahi
Surat Al-Lail menutup perdebatan tentang bagaimana menjalani kehidupan fana ini. Ia adalah penegasan bahwa hasil dari usaha manusia tidaklah sama, melainkan terbagi tajam ke dalam dua jalur yang jelas. Mereka yang memilih jalur kedermawanan, ketakwaan, dan pembenaran janji Ilahi akan dimudahkan jalannya menuju Surga. Sementara mereka yang memilih kekikiran, kesombongan, dan pendustaan akan disiapkan jalan yang sukar menuju Neraka. Kunci keselamatan terletak pada keikhlasan dalam berkorban, sebuah konsep yang harus dipraktikkan secara konsisten sejak malam menutupi siang hingga siang menampakkan cahayanya.
Pemahaman mendalam terhadap Latin Surat Al-Lail dan tafsirnya menegaskan kembali urgensi untuk menjadikan harta sebagai alat pembersih jiwa, bukan sebagai tujuan akhir. Ini adalah panggilan untuk memprioritaskan yang abadi di atas yang fana, demi meraih kepuasan sejati dari Allah Yang Maha Tinggi.
Surat Al-Lail tidak hanya memberikan kerangka teologis, tetapi juga fondasi etika sosial yang kuat, khususnya di tengah masyarakat Mekkah yang pada saat itu sangat materialistis dan menghargai kekayaan di atas moral. Surat ini merupakan revolusi moral yang menempatkan nilai memberi di atas nilai memiliki.
Pada masa turunnya Al-Lail, para pemimpin Quraisy, terutama yang menentang Nabi, adalah simbol kekikiran dan kesombongan. Mereka bangga dengan harta dan merasa keimanan tidak relevan. Ayat 8, *Wa ammā mam bakhila wastagnā* (orang yang kikir dan merasa dirinya cukup), secara langsung mengkritik mentalitas ini. Kekikiran di sini bukan hanya menolak sedekah, tetapi juga menolak untuk membantu kaum lemah, seperti budak atau fakir, yang justru dilakukan oleh Abu Bakar.
Surat ini mengajarkan bahwa kekayaan yang tidak didasari oleh ketakwaan akan menjadi ilusi. Harta yang dikumpulkan dengan kikir, seberapa pun besarnya, tidak memiliki daya penyelamat ketika ajal tiba (*Wa mā yugnī ‘anhu māluhū iżā taraddā*). Ini adalah pelajaran abadi bagi setiap peradaban yang terlalu fokus pada akumulasi kekayaan tanpa etika spiritual.
Tafsir mengenai kedermawanan (Ayat 18-20) yang merujuk pada pembebasan budak oleh orang-orang saleh, seperti yang dilakukan Abu Bakar, menunjukkan dimensi pembebasan sosial dari ajaran Islam. Memberikan harta untuk membebaskan mereka yang tertindas, tanpa mengharapkan balasan dari mereka, adalah bentuk kedermawanan tertinggi. Tindakan ini membalikkan nilai-nilai masyarakat pra-Islam yang hanya membebaskan budak jika budak tersebut adalah keluarga atau jika ada harapan balasan. Surat Al-Lail menetapkan bahwa kebaikan harus didorong oleh motif transcendental—kehendak Allah.
Kemudahan (*Yusrā*) dan kesukaran (*‘Usrā*) yang dijanjikan Allah memiliki dimensi psikologis yang mendalam. Orang yang ikhlas dan memberi akan mendapatkan hati yang lapang. Mereka menerima rezeki dengan syukur dan kehilangan dengan sabar, menjadikan hidup mereka lebih mudah dihadapi secara spiritual. Sebaliknya, orang kikir hidup dalam kesukaran abadi, bahkan saat kaya. Mereka menderita karena ketakutan kehilangan harta dan selalu merasa tidak cukup, sebuah kesukaran batin yang lebih berat daripada kesulitan fisik.
Oleh karena itu, janji Allah untuk menyiapkan jalan yang mudah atau sukar adalah cerminan dari kondisi batin yang diciptakan oleh pilihan moral seseorang. Kemudahan adalah hasil dari hati yang bersih dan ridha, sementara kesukaran adalah hasil dari hati yang kotor dan terikat.
Surat Al-Lail menuntut konsistensi. Jalan kemudahan adalah gabungan antara *a'thā* (amal perbuatan), *wattaqā* (ketakwaan batin), dan *ṣaddaqā* (keyakinan). Begitu pula, jalan kesukaran adalah gabungan antara *bakhila* (kekikiran), *wastagnā* (kesombongan), dan *każżaba* (pendustaan). Tidak cukup hanya beriman tanpa amal, dan tidak cukup hanya beramal tanpa keimanan yang benar. Keduanya harus menyatu. Amal (*a'thā*) menjadi saksi kebenaran keyakinan (*ṣaddaqā*).
Bagi pembaca non-Arab, transliterasi Latin adalah alat vital, tetapi membutuhkan pemahaman fonetik dasar untuk memastikan lafazh yang mendekati aslinya, terutama mengingat struktur bahasa Arab yang kaya akan konsonan tenggorokan dan panjang pendek vokal.
Poin-Poin Penting dalam Transliterasi Latin Al-Lail:
Transliterasi Latin menyediakan jembatan yang sangat diperlukan, namun tidak dapat menggantikan keindahan dan ketepatan membaca dari teks Arab asli. Ia harus digunakan sebagai panduan awal, sambil terus berusaha mempelajari lafazh yang benar sesuai dengan kaidah tajwid.
Meskipun diturunkan lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu di gurun Mekkah, pesan Surat Al-Lail relevan secara universal, terutama dalam konteks masyarakat modern yang didominasi oleh ekonomi konsumerisme dan individualisme.
Di era di mana kekayaan sering kali dipublikasikan sebagai tanda kesuksesan mutlak, pesan Al-Lail berfungsi sebagai pengingat keras. Kekayaan materi bukanlah ukuran keselamatan, melainkan ujian terberat. Virus *wastagnā* (merasa cukup) sangat menular di dunia yang penuh dengan kemewahan dan teknologi, membuat manusia mudah melupakan ketergantungan mereka pada Sang Pencipta. Surat ini mendesak agar kekayaan dilihat sebagai amanah dan alat pemurnian, bukan sebagai tujuan pemujaan.
Kekikiran modern mencakup lebih dari sekadar uang. Ini juga tentang kekikiran waktu, kekikiran perhatian, dan kekikiran ilmu. Di tengah kesibukan yang ekstrem, seseorang mungkin kikir untuk meluangkan waktu bagi ibadah atau bagi orang-orang terdekatnya. Ajaran *a'thā* harus diperluas untuk mencakup kedermawanan waktu dan kepedulian di tengah dunia yang terisolasi secara digital.
*Inna sa’yakum lasyattā* (usaha kamu benar-benar beraneka ragam) adalah pengingat bahwa tujuan hidup haruslah jelas. Apakah usaha kita berorientasi pada akumulasi egois yang menjerumuskan ke *lil-‘usrā*, ataukah usaha kita dibingkai oleh ketakwaan yang mengarahkan pada *lil-yusrā*? Surat Al-Lail menantang setiap individu untuk mengevaluasi kembali niat dan arah hidup mereka, memastikan bahwa setiap langkah di dunia adalah investasi untuk keridhaan abadi.
Surat Al-Lail, dengan keindahan susunan kata dan kekuatan retorikanya, berhasil merangkum seluruh filosofi eksistensi manusia ke dalam kontras yang tajam. Dimulai dengan sumpah agung alam semesta yang meliputi segala dualitas, surat ini dengan cepat mengidentifikasi dualitas moral manusia: Memberi versus Menahan. Tidak ada jalan tengah. Setiap individu harus memilih antara jalan yang dipersiapkan mudah oleh Allah karena kedermawanan dan keikhlasan, atau jalan yang dipersiapkan sukar karena kekikiran dan pendustaan.
Pelajaran yang paling berharga adalah pengukuhan bahwa nilai tertinggi bukan terletak pada seberapa banyak yang kita terima dari dunia, melainkan seberapa murni yang kita berikan darinya. Keikhlasan mutlak, yang ditunjukkan dengan memberi tanpa mengharap balasan dari sesama, adalah jembatan menuju keridhaan Allah Yang Maha Tinggi, dan hanya dengan itu, seorang hamba akan mencapai kepuasan yang sejati: *Wa lasaufa yarḍā*.
Transliterasi Latin Surat Al-Lail ini merupakan pintu gerbang untuk memahami kekayaan spiritual yang tersembunyi dalam setiap ayatnya, mendorong pembaca untuk tidak hanya melafalkannya dengan lidah, tetapi juga meresapi dan mengamalkannya dalam setiap aspek kehidupan.