Konsep Dharma adalah salah satu pilar utama dalam berbagai tradisi filosofis dan spiritual India, termasuk Hinduisme, Buddhisme, Jainisme, dan Sikhisme. Namun, ketika kita membahas maknanya yang mendalam, seringkali kita merujuk pada sebuah kutipan klasik yang merangkum esensinya: "moksartham jagadhita ya ca iti dharma". Frasa Sansekerta ini, jika diterjemahkan secara bebas, berarti "Dharma adalah apa yang membawa pembebasan (moksa) dan kesejahteraan duniawi (jagadhita)." Pemahaman yang komprehensif tentang Dharma mengharuskan kita untuk mengintegrasikan kedua aspek ini.
Secara inheren, Dharma memiliki dua dimensi yang saling melengkapi. Pertama adalah moksa, yang merujuk pada pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian (samsara), penderitaan, dan keterikatan duniawi. Ini adalah tujuan spiritual tertinggi, pencapaian keadaan kesadaran murni, ketenangan abadi, dan penyatuan dengan Yang Ilahi atau Kebenaran Universal. Moksa bukan sekadar kematian, melainkan transformasi kesadaran yang mendalam yang bisa dicapai bahkan dalam kehidupan ini.
Di sisi lain, Dharma juga mencakup jagadhita, yang berarti kesejahteraan atau kebaikan bagi seluruh dunia. Ini berkaitan dengan tanggung jawab etis, moralitas, tindakan yang benar, dan kontribusi positif bagi masyarakat dan alam semesta. Jagadhita mencakup praktik-praktik seperti kejujuran, belas kasih, keadilan, pelayanan, dan menjaga keseimbangan ekosistem. Ini adalah Dharma dalam manifestasinya yang praktis dan sosial.
Seringkali, ada kesalahpahaman yang memisahkan pencapaian spiritual dari kehidupan duniawi. Seolah-olah, untuk mencapai moksa, seseorang harus melepaskan diri sepenuhnya dari urusan dunia. Namun, frasa "moksartham jagadhita ya ca iti dharma" secara tegas menolak pemisahan ini. Dharma mengajarkan bahwa pencapaian spiritual tertinggi tidak bertentangan dengan kebaikan duniawi; justru, keduanya saling mendukung dan memperkuat.
Tindakan yang membawa jagadhita, seperti pelayanan tanpa pamrih (seva), kejujuran dalam bisnis, atau menjaga lingkungan, adalah bentuk praktik Dharma yang membantu memurnikan pikiran, mengurangi ego, dan menumbuhkan belas kasih. Tindakan-tindakan ini secara tidak langsung mempersiapkan individu untuk memahami realitas yang lebih tinggi dan mendekati keadaan pembebasan spiritual. Sebaliknya, seseorang yang berorientasi pada moksa yang sejati akan secara alami terdorong untuk bertindak demi kebaikan semua makhluk, karena ia menyadari kesatuan fundamental segala sesuatu.
Menerapkan prinsip moksartham jagadhita ya ca iti dharma dalam kehidupan sehari-hari berarti menjalani kehidupan yang seimbang. Ini berarti tidak mengabaikan kewajiban keluarga, pekerjaan, atau masyarakat demi pencarian spiritual yang sempit, begitu pula tidak terlarut sepenuhnya dalam kesibukan duniawi tanpa memikirkan makna dan tujuan hidup yang lebih dalam. Setiap tindakan, setiap interaksi, setiap keputusan dapat dilihat sebagai kesempatan untuk mempraktikkan Dharma.
Misalnya, seorang profesional dapat mempraktikkan Dharma dengan melakukan pekerjaannya dengan integritas, kejujuran, dan memberikan pelayanan terbaik kepada kliennya. Ini adalah bentuk jagadhita. Pada saat yang sama, ia dapat meluangkan waktu untuk refleksi diri, meditasi, atau belajar tentang prinsip-prinsip spiritual. Ini adalah langkah menuju moksa. Keduanya, ketika dijalankan dengan niat yang benar, menjadi bagian dari jalan Dharma.
Pada akhirnya, pemahaman yang utuh tentang Dharma, seperti yang dirangkum dalam "moksartham jagadhita ya ca iti dharma", mengarahkan kita pada visi keharmonisan universal. Ketika setiap individu berusaha untuk mencapai pembebasan diri sambil secara bersamaan berkontribusi pada kesejahteraan dunia, kita menciptakan sebuah masyarakat di mana spiritualitas dan kesejahteraan material tidak lagi terpisah, tetapi menyatu dalam aliran kehidupan yang lebih mulia. Ini adalah jalan menuju kedamaian, kebahagiaan, dan pemenuhan sejati, baik bagi diri sendiri maupun bagi seluruh alam semesta.