Surat Al Fatihah, yang dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Al-Qur’an), adalah surah pembuka yang memiliki kedudukan fundamental dalam Islam. Tidak sah shalat seseorang tanpa membacanya. Oleh karena urgensinya yang luar biasa, memastikan penulisan yang benar—serta pelafalan yang tepat—adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Kesalahan sekecil apapun dalam penulisan atau pelafalan dapat mengubah makna, dan ini berpotensi membatalkan shalat.
Artikel ini akan mengupas tuntas pedoman penulisan dan pelafalan Al Fatihah, berdasarkan kaidah Rasm Uthmani (ejaan baku Al-Qur’an) dan ilmu Tajwid (fonetik Al-Qur’an), memastikan umat Muslim dapat memahami detail teknis yang menjamin kesahihan bacaan mereka.
Penulisan Al-Qur’an, termasuk Al Fatihah, tidak mengikuti kaidah ejaan Arab modern (Rasm Imla’i) secara mutlak, melainkan menggunakan kaidah ejaan kuno yang distandarisasi pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang dikenal sebagai Rasm Uthmani. Memahami rasm ini penting, terutama ketika membandingkan mushaf kuno dengan tulisan transliterasi modern.
Rasm Uthmani mengandung kekhasan yang bertujuan menjaga kemurnian wahyu, bahkan jika secara harfiah terkesan "menyimpang" dari tata bahasa Arab baku saat ini. Kekhasan ini mencakup penghilangan (Hazf), penambahan (Ziyadah), penggantian (Ibdal), dan penulisan terpisah atau bersambung (Fasl wa Wasl).
Dalam konteks Al Fatihah, kekhasan rasm ini sangat jarang menimbulkan kerancuan besar, namun harus dipastikan bahwa mushaf yang digunakan mengikuti standar Rasm Uthmani yang telah disepakati oleh mayoritas ulama, seperti Musyaf Madinah atau Mushaf Al-Azhar.
Al Fatihah adalah surah yang penuh dengan harakat pendek (fathah, kasrah, dammah) dan harakat panjang (madd). Dalam penulisan, setiap harakat harus diletakkan dengan tepat. Hilangnya satu titik (seperti dari huruf 'Nun' menjadi 'Ba') atau salah peletakan harakat (misalnya mengubah kasrah menjadi dammah) akan sepenuhnya mengubah kata kerja atau kata sifat, membatalkan makna dan secara langsung membatalkan shalat.
Lahnu Jali adalah kesalahan besar yang terlihat jelas dan memengaruhi struktur lafadz, bahkan jika ahli bahasa Arab tidak memahami Tajwid. Contoh paling umum dalam Al Fatihah adalah: mengganti huruf bersuara tebal ('Dha' ض atau 'Shad' ص) dengan huruf bersuara tipis yang mirip ('Dal' د atau 'Sin' س). Kesalahan ini dianggap fatal dan wajib dihindari.
Untuk mencapai target penulisan yang benar dan mendetail, kita akan membedah setiap ayat, fokus pada huruf-huruf yang rawan kesalahan dalam penulisan (Rasm) dan pelafalan (Makhraj dan Sifat).
Transliterasi: Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm.
Pelafalan lafadz Jalalah (Allah) menentukan kekhususan dalam Tajwid.
Dua kata sifat ini memiliki huruf Ḥā’ (ح) yang sering disalahartikan dengan Hā’ (ه).
Transliterasi: Al-ḥamdu lillāhi rabbil-'ālamīn.
Ini adalah ayat yang sangat rawan kesalahan karena melibatkan huruf ‘Ain (ع).
Transliterasi: Ar-raḥmānir-raḥīm.
Secara Tajwid dan fonetik, tidak ada perbedaan signifikan dari Ayat 1, namun pengulangannya dalam Rasm Uthmani menegaskan kedua sifat utama Allah ini. Tujuannya adalah untuk penekanan makna. Pelafalan Raa yang tebal (Tafkhim) dan Ḥā’ yang jelas wajib dipertahankan.
Transliterasi: Māliki yawmid-dīn.
Kata ini menunjukkan pentingnya Rasm Uthmani yang berbeda dan Qira'at (metode bacaan) yang diakui:
Transliterasi: Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn.
Ayat ini kembali menuntut kejelasan Makhraj ‘Ain (ع).
Transliterasi: Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm.
Ayat ini adalah titik di mana kesalahan Tafkhim (penebalan) dan Tarqiq (penipisan) paling sering terjadi, terutama pada kata Aṣ-Ṣirāṭ.
Transliterasi: Ṣirāṭal-lażīna an‘amta ‘alayhim ghayril-maghḍūbi ‘alayhim wa laḍ-ḍāllīn.
Kata ini mengandung Nūn Sukun dan ‘Ain (ع) yang membutuhkan ketepatan Izhar Halqi dan Makhraj ‘Ain.
Kata ini adalah salah satu yang paling sulit dalam bahasa Arab karena mengandung huruf Ghain (غ) dan Dhad (ض).
Kata ini mengandung Ḍād (ض) yang sama dengan sebelumnya, ditambah Madd Lazim Kalimi Muthaqqal (madd yang bertemu tasydīd).
Penulisan yang benar (Rasm Uthmani) tidak dapat dipisahkan dari pembacaan yang benar (Tajwid). Tajwid adalah ilmu yang menjamin bahwa apa yang ditulis dapat dibaca sesuai dengan cara Nabi Muhammad ﷺ membacanya, menjaga setiap huruf, harakat, dan sifatnya.
Meskipun Al Fatihah pendek, ia mencakup beberapa hukum Nūn Sukun dan Tanwīn, yang harus diperhatikan dalam tulisan dan lisan:
Ada empat jenis Madd utama yang wajib dikuasai untuk Al Fatihah:
Penulisan yang benar menuntut kesadaran akan sifat huruf yang memengaruhi suaranya, membedakan huruf tebal (Tafkhim/Isti’la) dan tipis (Tarqiq/Istifāl).
| Huruf | Ayat | Sifat Kunci | Kesalahan Pengucapan |
|---|---|---|---|
| ص (Shad) | 6, 7 (Ṣirāṭ) | Tafkhim, Safir (desis) | Dibaca Sin (س) |
| ط (Thā’) | 6, 7 (Ṣirāṭ) | Iṭbāq, Syiddah (paling tebal) | Dibaca Tā’ (ت) |
| ض (Ḍād) | 7 (Maghḍūb, Ḍāllīn) | Isti’la, Iṭbāq, Ismat (lateral) | Dibaca Dāl (د) atau Zay (ز) |
| ح (Ḥā’) | 1, 2, 3 (Raḥmān, Ḥamdu) | Hams, Istifāl (tipis) | Dibaca Hā’ (ه) |
| ع (‘Ain) | 2, 5, 7 (‘Ālamīn, Nasta‘īn) | Jahr, Tawassuṭ (tengah tenggorokan) | Dibaca Alif (أ) |
Meskipun penulisan Arab (Rasm Uthmani) adalah standar emas, banyak Muslim menggunakan transliterasi Latin untuk belajar. Hal ini sangat berisiko karena sistem huruf Latin tidak memiliki padanan yang tepat untuk seluruh 29 huruf Arab, khususnya huruf-huruf tenggorokan dan huruf tebal.
Sistem transliterasi yang paling sering digunakan (seperti sistem IJMES atau versi Kementerian Agama) menggunakan tanda diakritik (titik, garis bawah, koma terbalik) untuk membedakan huruf yang mirip.
Jika tanda diakritik ini diabaikan dalam penulisan atau pembacaan, kesalahan fatal (Lahnu Jali) hampir pasti terjadi. Oleh karena itu, penulisan Al Fatihah yang benar harus selalu berorientasi pada mushaf Arab standar, bukan transliterasi.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika kesalahan dalam Al Fatihah (baik karena salah tulis atau salah baca) mengubah makna sedemikian rupa sehingga menyimpang dari maksud Allah—seperti mengganti ‘Ain dengan Alif pada ‘Ālamīn atau Nasta‘īn—maka shalat tersebut batal, karena rukun qaulī (ucapan) tidak terpenuhi.
Kesempurnaan penulisan Arab dan ketepatan tajwid bukan hanya masalah estetika, tetapi merupakan masalah fiqh yang menentukan sah atau tidaknya ibadah wajib harian.
Ketepatan penulisan dan pelafalan Al Fatihah menjaga kemurnian makna yang terkandung. Setiap Makhraj dan Sifat huruf membawa beban makna yang mendalam. Kesalahan fonetik berarti kita telah mengganti kalam Allah dengan ucapan kita sendiri.
Pengulangan kedua sifat ini (Ayat 1 dan 3) dalam Rasm Uthmani menekankan keluasan rahmat Allah. ‘Ar-Raḥmān’ menunjukkan rahmat yang luas dan umum di dunia bagi semua makhluk, sedangkan ‘Ar-Raḥīm’ menunjukkan rahmat yang spesifik dan kekal bagi orang-orang beriman di akhirat. Jika Ḥā’ dibaca keliru, maka seluruh konsep rahmat ini hancur.
Penekanan tasydīd pada إِيَّاكَ (Iyyāka) secara tata bahasa Arab memberikan makna pengkhususan (Ḥaṣr). Artinya, peribadatan dan permohonan bantuan hanya ditujukan kepada Allah SWT, menolak segala bentuk kemusyrikan. Penghilangan tasydīd secara fatal merusak klaim pengkhususan tauhid ini.
Ketepatan huruf pada kata الصِّرَاطَ (Aṣ-Ṣirāṭ) pada Ayat 6 dan 7 sangat penting. ‘Aṣ-Ṣirāṭ’ dalam bahasa Arab menunjukkan jalan yang besar, jelas, dan lurus. Penggunaan Ṣād (ص) dan Ṭā’ (ط), yang merupakan huruf tebal, memberikan nuansa kekuatan, kejelasan, dan keutamaan jalan tersebut.
Sebaliknya, kontras ditampilkan pada golongan: الْمَغْضُوْبِ (Al-Maghḍūb) dan الضَّآلِّيْنَ (Aḍ-Ḍāllīn). Penggunaan Ḍād (ض) dan Ghain (غ) yang sulit dilafalkan mencerminkan kesulitan, kesesatan, dan beratnya murka yang ditimpakan kepada mereka.
Mencapai kesempurnaan dalam penulisan dan pelafalan Al Fatihah membutuhkan latihan berulang dan bimbingan langsung.
Fokus pertama harus pada huruf-huruf yang Makhraj-nya tidak ada dalam bahasa Indonesia, terutama: ‘Ain (ع), Ḥā’ (ح), Ghain (غ), Ṣād (ص), Ḍād (ض), Ṭā’ (ط), dan Żāl (ذ).
Langkah-langkah penguasaan fonetik:
Pastikan mushaf yang digunakan adalah edisi standar Rasm Uthmani yang telah ditashih, seperti Mushaf Madinah. Perhatikan penggunaan Alif kecil (seperti pada مَالِكِ) dan tanda sifr mustadir (lingkaran penuh) yang menunjukkan huruf tersebut ditulis namun tidak dilafalkan (tidak ada pada Al Fatihah, namun penting untuk Rasm). Kejelasan Rasm menjamin Anda tidak salah dalam menentukan harakat panjang (Madd).
Karena kesalahan Lahnu Jali pada Al Fatihah dapat membatalkan shalat, koreksi mandiri melalui buku atau video tidak cukup. Ilmu Tajwid dan Rasm Uthmani harus diambil melalui Talaqqi (belajar langsung) dari guru yang memiliki sanad (rantai guru yang bersambung hingga Rasulullah ﷺ). Guru akan mendeteksi dan mengoreksi kesalahan pada Makhraj dan Sifat yang tidak dapat dideteksi oleh mata, hanya oleh telinga yang terlatih.
Kesimpulan Mendalam: Penulisan Al Fatihah yang benar adalah representasi visual dari cara membacanya yang benar. Kedua aspek ini—Rasm Uthmani dan Tajwid—bekerja sinergis untuk menjaga kemurnian dan keabsahan ibadah shalat. Setiap Muslim diwajibkan berusaha keras memahami dan menerapkan ketepatan ejaan dan pelafalan dari Induk Kitab ini, demi kesempurnaan ketaatan dan kekhusyuan di hadapan Allah SWT.
Kajian ini membutuhkan pemahaman yang sangat mendalam mengenai fonologi Arab klasik dan hukum-hukum Tajwid yang detail. Konsultasi dengan ahli qira'at yang bersanad adalah langkah tertinggi dalam menjamin kesahihan penulisan dan pembacaan Al Fatihah.
Untuk mencapai ketelitian yang diwajibkan dalam penulisan dan pembacaan, kita harus memahami secara anatomis letak keluarnya setiap huruf yang rentan kesalahan di Al Fatihah. Makhraj yang tepat adalah fondasi dari Rasm yang benar.
Huruf-huruf ini sangat penting karena tidak memiliki padanan di sebagian besar bahasa non-Arab, dan semua hadir di Al Fatihah (secara langsung atau melalui hukum Izhar):
Mayoritas huruf Al Fatihah keluar dari lidah. Yang paling kritis adalah huruf-huruf tebal (Isti’la) dan huruf lisensi (interdental).
Qāf pada Mustaqīm keluar dari pangkal lidah menyentuh langit-langit lunak. Wajib tebal (Tafkhim) dan memiliki sifat Qalqalah Kubra jika diwaqafkan pada akhir kata Mustaqīm, meskipun umumnya ia disambung.
Huruf Ḍād pada Maghḍūb dan Ḍāllīn. Ini adalah huruf terberat. Kesalahan penulisan sering diakibatkan ketidakmampuan melafalkan aslinya, sehingga diubah menjadi Dzal atau Dzal. Penulisan Arab modern yang keliru sering menyamakan Ḍād dan Ẓā’ (ظ), padahal Makhrajnya berbeda. Ḍād keluar dari salah satu atau kedua sisi lidah menyentuh geraham atas, menghasilkan suara yang tebal dan berisi.
Meskipun kita fokus pada Rasm Uthmani dan Qira'at Hafs 'an Asim (standar mayoritas dunia Islam), memahami variasi lain menunjukkan betapa telitinya penulisan Al-Qur’an dalam menjaga setiap kemungkinan bacaan yang sah.
Sebagaimana disinggung, dalam Qira'at 'Asim (Hafs) ditulis مَالِكِ (Māliki - Pemilik). Namun, dalam Qira'at Nafi’ (seperti Warsh dan Qalun), Abū ‘Amr, dan Ibn ‘Amr, dibaca مَلِكِ (Maliki - Raja). Kedua penulisan dan pelafalan ini sah. Rasm Uthmani mengakomodasi kedua bacaan ini secara implisit; namun, mushaf kita secara eksplisit menuliskan Alif kecil pada Māliki untuk riwayat Hafs.
Dalam riwayat Hafs, kata ‘Aṣ-Ṣirāṭ’ ditulis dengan Ṣād (الصِّرَاطَ). Namun, Qira’at lain, seperti Qalūn, terkadang membacanya dengan Sīn (الْسِرَاطَ) atau bahkan dengan Zāy (الزِّرَاطَ), namun ejaan Rasm tetap menggunakan Ṣād. Ini menunjukkan bahwa Rasm Uthmani adalah kerangka dasar, tetapi Tajwid dan fonetik yang diturunkan melalui sanad adalah penentu utama bacaan yang sah.
Keseluruhan variasi Qira'at (seperti Qira'at Sab'ah atau 'Asyarah) tidak mengubah makna dasar Al Fatihah, tetapi memberikan nuansa hukum (Ahkam) dan tata bahasa. Penting bagi seorang Muslim untuk berpegangan pada satu riwayat yang telah dipelajari dari guru bersanad, memastikan konsistensi dalam penulisan dan pelafalan.
Kesalahan penulisan sering kali berakar pada transliterasi yang buruk. Berikut adalah daftar kesalahan transliterasi yang paling sering mengubah makna Al Fatihah:
Menulis "Rahman" (dengan H biasa) padahal seharusnya "Raḥmān" (dengan Ḥā'). Ini menghilangkan sifat tengah tenggorokan, mengubah arti.
Menulis "Siratal" padahal seharusnya "Ṣirāṭal". Menghilangkan Ṣād tebal, mengubah makna menjadi 'menelan'.
Menulis "Na’abudu" (dengan alif di tengah) atau "Na’budu" tanpa tanda koma terbalik atas (‘) untuk ‘Ain. Hal ini membuat pembaca meratakan suara ‘Ain, padahal ia harus dibunyikan dari tengah tenggorokan.
Menulis "Maghdub" (dengan Dh) atau "Magdub" (dengan D biasa). Ini adalah upaya transliterasi yang gagal untuk mewakili Ḍād (ض) dan Żāl (ذ) secara akurat.
Menghilangkan penekanan tasydīd, misalnya menulis "Iyaka" padahal seharusnya "Iyyāka". Ini adalah kesalahan aqidah yang fundamental.
Kesimpulannya, penulisan Al Fatihah yang benar harus diinterpretasikan sebagai komitmen penuh terhadap Rasm Uthmani (ejaan baku) dan Tajwid (fonetik yang diajarkan). Keduanya adalah dua sisi mata uang yang menjamin bahwa teks suci yang kita baca adalah teks yang sama persis sebagaimana diwahyukan.
Inti dari penulisan yang benar adalah memastikan keabsahan shalat. Al Fatihah adalah rukun shalat, dan jika rukun ini tidak terpenuhi kesahihannya, maka shalat tersebut batal, menurut pandangan mayoritas mazhab fikih. Oleh karena itu, ketelitian dalam penulisan (sehingga menghasilkan bacaan yang akurat) memiliki konsekuensi hukum yang sangat serius.
Jika seorang imam shalat melakukan kesalahan Lahnu Jali dalam Al Fatihah (seperti mengganti ‘Ain dengan Alif), shalatnya batal, dan shalat makmum yang mengikutinya juga terancam batal, kecuali jika makmum tersebut adalah orang yang berilmu dan sadar bahwa bacaan imam tersebut salah tetapi ia tetap memperbaikinya dalam hati atau bermaksud memisahkan diri dari imam (mufaraqah). Ini menunjukkan betapa beratnya tanggung jawab dalam menjaga penulisan dan pelafalan yang benar, terutama bagi seorang imam.
Penghafal (hafizh) Al-Qur’an sangat dianjurkan menghafal berdasarkan Mushaf Rasm Uthmani. Hal ini karena Rasm Uthmani membantu penguasaan Tajwid. Misalnya, penempatan Madd (seperti Madd Lazim pada Ḍāllīn) di Mushaf sudah ditandai dengan jelas, membantu pembaca mengingat panjang bacaan (6 harakat) hanya dengan melihat penulisannya. Jika hafalan didasarkan pada ejaan Rasm Imla'i (ejaan modern) atau transliterasi, isyarat-isyarat Tajwid ini hilang.
Upaya untuk membenarkan penulisan dan pelafalan Al Fatihah adalah jihad keilmuan yang harus dilakukan secara kolektif. Dari para penulis mushaf yang menjaga setiap titik dan harakat, hingga para guru Tajwid yang menjaga sanad pelafalan, semua berkontribusi pada terjaganya kesahihan Ummul Kitab ini. Penulisan Al Fatihah yang benar, baik di dalam hati (ketika menghafal) maupun di atas kertas (ketika mencetak mushaf), adalah jaminan bahwa firman Allah tersampaikan kepada generasi berikutnya dalam bentuk yang paling murni.
Penelitian mendalam ini menegaskan bahwa Al Fatihah bukanlah teks biasa; ia adalah cetak biru ibadah kita. Oleh karena itu, memastikan penulisan yang sesuai Rasm Uthmani, dan pelafalan yang sesuai Makharij dan Sifat (Tajwid), adalah manifestasi tertinggi dari penghormatan kita terhadap Kitabullah.