PERADI
Simbol yang merepresentasikan organisasi advokat

Perpecahan Peradi: Sebuah Evaluasi Kritis

Organisasi Advokat Profesi Indonesia (PERADI) adalah lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga marwah profesi advokat di tanah air. Dibentuk dengan semangat persatuan dan profesionalisme, PERADI memegang amanah penting dalam mengatur, mengawasi, dan mengembangkan kompetensi para advokat. Namun, realitas yang terjadi belakangan ini menunjukkan adanya fenomena perpecahan Peradi yang mengkhawatirkan. Perpecahan ini bukan hanya sekadar perselisihan internal biasa, melainkan telah merambah ke berbagai aspek, menimbulkan dampak serius bagi ekosistem hukum nasional.

Akar Masalah Perpecahan

Munculnya berbagai kubu dan kepengurusan dalam PERADI tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa akar masalah fundamental yang berkontribusi pada kondisi ini. Salah satu yang paling disorot adalah persoalan dualisme kepemimpinan yang kerap terjadi. Setiap periode kepengurusan, selalu saja ada klaim kepemimpinan yang berbeda, berujung pada konflik berkepanjangan dan pembentukan organisasi tandingan. Hal ini seringkali dipicu oleh perbedaan pandangan mengenai visi, misi, dan cara pengelolaan organisasi.

Selain itu, isu-isu terkait rekruitmen dan pembinaan advokat juga menjadi sumber ketegangan. Standar kelulusan Ujian Profesi Advokat (UPA) yang dianggap terlalu rendah oleh sebagian pihak, serta kurangnya mekanisme pembinaan yang efektif pasca-pelantikan, menimbulkan kekhawatiran akan penurunan kualitas advokat secara keseluruhan. Perbedaan cara pandang mengenai bagaimana menciptakan advokat yang benar-benar kompeten dan berintegritas inilah yang kemudian memecah belah forum musyawarah.

Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah pengaruh politis. Dalam beberapa kesempatan, terlihat adanya campur tangan dari pihak luar yang berusaha mengintervensi kepengurusan PERADI untuk kepentingan tertentu. Kepentingan politik ini seringkali lebih diutamakan daripada kepentingan organisasi dan profesi advokat secara keseluruhan, yang pada akhirnya mengarah pada perpecahan dan melemahkan posisi tawar organisasi. Ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan juga kerap menjadi biang keladi ketidakpercayaan antaranggota, yang mempermudah munculnya faksi-faksi baru.

🏠 Homepage