Surah Al-Masad, sering juga disebut Surah Al-Lahab, adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, namun menyimpan makna teologis, historis, dan linguistik yang luar biasa kompleks. Meskipun hanya terdiri dari lima ayat, Surah ini merupakan satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara spesifik dan eksplisit mengutuk individu yang masih hidup, sebuah deklarasi kepastian ilahi yang memiliki implikasi besar terhadap sejarah awal Islam dan konsep kenabian itu sendiri.
Penyebutan nama kunci Tabbat Yada (Binasalah kedua tangan) segera membawa kita pada narasi tentang perlawanan sengit yang dihadapi Nabi Muhammad di Mekah. Surah ini bukan hanya sebuah kutukan; ia adalah ramalan yang tergenapi, bukti nyata bahwa oposisi terhadap kebenaran, sekokoh apa pun kekuasaan duniawinya, akan berakhir dalam kehancuran dan kerugian abadi.
Untuk memahami kekuatan Surah Al-Masad, kita harus kembali ke hari-hari pertama penyebaran dakwah secara terang-terangan di Mekah. Setelah Nabi Muhammad menerima perintah untuk mulai memperingatkan kaum kerabatnya, beliau naik ke Bukit Safa. Dari puncak bukit tersebut, beliau menyerukan kaum Quraisy berkumpul, menggunakan metode peringatan bahaya yang lazim pada masa itu.
Ketika semua suku telah berkumpul, Nabi menyampaikan pesan tauhid dan peringatan akan Hari Kiamat. Respon yang muncul dari kerabat terdekatnya, Abu Lahab bin Abdul Muttalib, paman Nabi sendiri, sungguh mengejutkan. Abu Lahab adalah salah satu pemimpin Quraisy yang disegani, namun ia adalah penentang paling keras dan vokal terhadap keponakannya.
Dengan nada mencemooh, Abu Lahab berseru, "Celakalah kamu! Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?" Dalam riwayat lain disebutkan, ia mengambil batu dan melemparkannya sambil berkata, "Binasalah engkau sepanjang hari!" Protes dan cacian langsung inilah yang menjadi pemicu turunnya Surah ini, sebuah jawaban ilahi yang segera dan definitif terhadap kesombongan dan permusuhan Abu Lahab.
Abu Lahab (yang nama aslinya adalah Abdul Uzza) mendapat julukan Lahab (Api yang menyala-nyala) karena wajahnya yang rupawan dan berkilauan, atau karena tempramennya yang panas. Ironisnya, nama julukannya ini justru dikaitkan oleh Surah ini dengan nasibnya di akhirat, yaitu api neraka yang menyala-nyala.
Ilustrasi simbolis kehancuran (Tabbat).
Kata Tabbat berasal dari akar kata Tabb, yang berarti kerugian, kegagalan, kehancuran total, atau kebinasaan. Surah ini menggunakan bentuk kata kerja di masa lalu (fi'l madhi), yang dalam konteks Arab sering digunakan untuk menyatakan sesuatu yang pasti terjadi di masa depan, seolah-olah hal itu telah terjadi. Ini memberikan nuansa kepastian mutlak terhadap kutukan tersebut.
Mengapa Surah ini berfokus pada "kedua tangan" (Yada)? Dalam budaya Arab, tangan sering melambangkan usaha, kerja keras, kekuasaan, atau hasil dari upaya seseorang (kasb). Dengan mengutuk tangannya, Surah ini mengutuk seluruh upaya Abu Lahab: baik upayanya untuk mengumpulkan kekayaan, maupun upayanya untuk menghalangi dakwah Nabi. Ini adalah kutukan yang menyeluruh, bukan hanya pada fisiknya, tetapi pada semua tindakan dan pencapaiannya di dunia.
Pengulangan frasa "wa tabb" (dan sesungguhnya dia akan binasa) pada akhir ayat pertama berfungsi sebagai penekanan yang kuat. Setelah mengutuk tangan (usaha duniawi), Allah menegaskan bahwa kehancuran itu juga menimpa dirinya secara keseluruhan, jiwanya, dan semua yang ia wakili. Ini adalah transisi dari kerugian fisik atau duniawi menjadi kerugian abadi di akhirat.
Ayat kedua ini adalah jantung dari kritik teologis terhadap kesombongan Abu Lahab. Di Mekah, status sosial dan kekuasaan diukur dari kekayaan (maal) dan jumlah keturunan atau pengaruh yang dimiliki (kasab).
Maalahu (Hartanya): Abu Lahab dikenal kaya raya. Kekayaan adalah sumber utama perlindungan dan rasa aman di masyarakat Quraisy. Ayat ini menafikan perlindungan tersebut. Ketika datang hukuman ilahi, harta benda tidak memiliki daya tawar atau kemampuan untuk melindungi pemiliknya.
Wa Ma Kasab (Dan apa yang ia usahakan): Para ulama tafsir memiliki dua pandangan utama mengenai makna dari "ma kasab":
Ayat ini mengajarkan prinsip universal: kekuatan fana manusia, entah itu kekayaan materi atau jaringan sosial, akan hancur lebur di hadapan keadilan dan ketetapan Tuhan.
Visualisasi api neraka (Narandhata Lahab).
Ayat ini menggunakan kata 'Sa' (سَ) di awal kata kerja Yasla, yang menunjukkan kepastian masa depan yang dekat atau tak terhindarkan. Dia pasti akan masuk ke dalam api.
Puncak dari ironi yang menyakitkan ada pada frasa 'Naran Dzaata Lahab' (api yang memiliki Lahab/kobaran). Seperti yang telah disebutkan, Abu Lahab dijuluki "Bapak Api/Kobaran" (Abu Lahab). Maka, Allah menjanjikan baginya tempat di api yang berkobar-kobar, yang paling sesuai dengan namanya. Ini adalah bentuk muqabalah (kontras atau kesesuaian) yang kuat dalam sastra Al-Qur'an. Gelar kehormatan duniawinya menjadi deskripsi azabnya di akhirat.
Para mufassirin menekankan bahwa api yang dimaksud bukanlah api biasa. Itu adalah api yang sangat panas, yang berkobar dengan dahsyat, disiapkan khusus untuknya dan orang-orang yang menentang kebenaran dengan permusuhan terang-terangan.
Surah ini tidak berhenti pada kutukan terhadap sang paman; ia meluas mencakup istrinya, Umm Jamil (Arwa binti Harb), saudara perempuan dari Abu Sufyan (yang kemudian memeluk Islam). Umm Jamil adalah partner Abu Lahab dalam kejahatan, penentangan, dan penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
Frasa Hammalatal Hatab (pembawa kayu bakar) ditafsirkan dalam dua cara utama, keduanya menunjukkan keburukan karakter Umm Jamil:
Dengan menamainya "Pembawa Kayu Bakar," Al-Qur'an menggambarkan ia sebagai agen provokasi yang berusaha menyalakan api konflik di dunia, dan ironisnya, ia sendiri akan menjadi bahan bakar bagi api di akhirat.
Ayat terakhir menyajikan gambaran yang sangat spesifik dan menghinakan mengenai azab Umm Jamil:
Representasi tali (hablum) di leher (jidiha).
Fi Jidiha Hablum Min Masad (Di lehernya ada tali dari sabut). Masad adalah tali yang kasar, dibuat dari serat pohon kurma atau dahan yang dipilin, sering digunakan oleh budak atau orang miskin untuk mengikat kayu bakar yang mereka angkut. Kontrasnya sangat tajam: di dunia, Umm Jamil adalah wanita bangsawan Quraisy, mengenakan kalung dan perhiasan berharga. Di akhirat, ia akan mengenakan tali dari serat kasar yang melilit lehernya, mencerminkan pekerjaan kotornya di dunia (membawa fitnah/kayu bakar) dan statusnya sebagai penghuni neraka.
Tali ini menjadi simbol belenggu, penghinaan, dan beban yang ia bawa. Sebagian ulama tafsir menyatakan tali itu akan terbuat dari api neraka itu sendiri, atau tali yang membuatnya terikat saat ia memikul beban kayu bakar dosa-dosanya di dalam api.
Surah Al-Masad bukan hanya ancaman atau kutukan; ia adalah salah satu bukti paling kuat dari kenabian Muhammad. Ayat-ayat ini diturunkan pada saat Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan berada pada puncak kekuasaan mereka. Surah ini secara tegas menyatakan bahwa:
Secara logis, jika Abu Lahab ingin membuktikan Al-Qur'an itu salah, ia hanya perlu menyatakan, meskipun hanya sekali, bahwa ia menerima Islam—atau bahkan berpura-pura menerima—untuk membantah ramalan bahwa ia akan mati dalam kekafiran dan masuk neraka. Namun, ia tidak pernah melakukannya.
Abu Lahab meninggal tak lama setelah Perang Badar, dalam kondisi yang mengerikan, akibat penyakit menular yang sangat menjijikkan (sejenis wabah atau luka yang membusuk). Tidak ada seorang pun, bahkan anak-anaknya, yang berani mendekati jenazahnya karena takut tertular. Akhirnya, jenazahnya didorong ke dalam lubang menggunakan galah panjang, memenuhi ramalan kenabian tentang kehinaan dan kehancuran totalnya, yang terpisah dari harta dan keturunannya.
Kepastian nubuat ini, yang tergenapi dalam kehidupan Abu Lahab, memberikan landasan teologis yang sangat kuat bagi para sahabat awal mengenai kebenaran wahyu yang diterima Nabi Muhammad.
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Masad, penting untuk meninjau bagaimana para ulama besar menafsirkan setiap elemennya. Pendekatan tafsir klasik menekankan pada konteks *Asbabun Nuzul* (sebab-sebab turunnya ayat).
Ibnu Katsir sangat fokus pada detail historis pemicu Surah ini, yaitu insiden Bukit Safa. Beliau menegaskan bahwa Abu Lahab adalah paman Nabi, dan penentangannya yang keras menunjukkan bahwa ikatan darah tidak akan berguna di hadapan kebenaran ilahi. Ibnu Katsir juga menekankan bahwa nasib Abu Lahab adalah peringatan bahwa siapapun yang menyerang Nabi dan risalahnya akan menghadapi konsekuensi yang sama. Mengenai *Hablum min Masad*, Ibnu Katsir menyoroti bahwa ini adalah tali yang sangat kasar dan melukai, sebuah hukuman yang kontras dengan kehidupan mewah Umm Jamil di dunia.
Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, memperluas analisis linguistik tentang kata *Tabbat*. Beliau menjelaskan bahwa ia adalah doa kutukan, tetapi karena diucapkan oleh Allah, ia menjadi ketetapan yang pasti. Al-Qurtubi banyak membahas mengapa Abu Lahab dan istrinya dicela secara terbuka, menunjukkan bahwa mereka telah mencapai batas permusuhan yang tidak termaafkan, termasuk meludahi Nabi dan menyebarkan fitnah secara agresif. Penamaan ini adalah pembenaran bagi kaum Muslimin yang menderita atas kejahatan pasangan tersebut.
Pendekatan Sayyid Qutb lebih modern dan berorientasi pada gerakan. Qutb melihat Surah Al-Masad sebagai representasi konflik abadi antara kebenaran dan kebatilan. Dia menekankan bahwa Surah ini adalah pukulan psikologis terhadap kepemimpinan Quraisy. Ketika pemimpin penting dan berkuasa seperti Abu Lahab dicela secara langsung oleh Tuhan, itu menunjukkan bahwa kekuatan kemusyrikan hanyalah fatamorgana. Ayat ini membedakan secara tegas antara loyalitas pada keluarga dan loyalitas pada akidah. Kekuatan sejati terletak pada dukungan ilahi, bukan pada klan atau kekayaan.
Surah Al-Masad, meskipun pendek, adalah mahakarya retorika Arab. Ia menggunakan beberapa perangkat sastra untuk mencapai efek maksimal:
Kontras yang paling menonjol adalah antara nama dan nasib: Abu Lahab (Bapak Api Cemerlang) akan masuk ke dalam *Naran Dzaata Lahab* (Api yang berkobar-kobar). Nama yang seharusnya mulia menjadi cap kehinaan dan azab abadi.
Pengulangan "Tabbat... wa tabb" memberikan penegasan mutlak. Kutukan tersebut tidak hanya bersifat sementara atau parsial, tetapi total dan menyeluruh. Ini menjamin bagi para pendengar bahwa keputusan ilahi telah final.
Menggambarkan Umm Jamil sebagai "Pembawa Kayu Bakar" dan nasibnya diikat oleh tali *Masad* adalah perumpamaan yang sangat menghina. Ia merendahkan statusnya dari seorang bangsawan menjadi pekerja kasar, bahkan lebih buruk, menjadi budak di neraka, membawa bahan bakar bagi api yang akan membakarnya. Penggunaan kata *Masad* yang merupakan bahan paling kasar dan rapuh menunjukkan kehinaan mutlak.
Meskipun Surah ini secara spesifik ditujukan kepada Abu Lahab, pelajarannya bersifat abadi dan universal. Surah Al-Masad mengajarkan beberapa prinsip fundamental dalam Islam:
Fokus pada "kedua tangan" (Yada) dan "usaha" (Kasab) menunjukkan bahwa Allah menilai manusia berdasarkan niat dan tindakan mereka, bukan hanya status kelahiran atau kekayaan mereka. Upaya jahat, sekeras apa pun, akan binasa dan tidak bermanfaat.
Abu Lahab adalah paman Nabi, anggota Bani Hasyim, klan yang secara tradisional bertanggung jawab melindungi Nabi. Surah ini menghancurkan anggapan bahwa ikatan darah atau posisi sosial dapat memberikan kekebalan dari keadilan Tuhan. Dalam pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, tidak ada tempat bagi nepotisme atau pertimbangan klan.
Surah ini berfungsi sebagai sumber kekuatan psikologis bagi kaum Muslimin awal yang lemah. Mereka melihat ramalan mengenai musuh utama mereka tergenapi di depan mata mereka, menegaskan bahwa janji hukuman bagi penentang kebenaran adalah pasti.
Kutukan terhadap Umm Jamil mengajarkan bahwa suami dan istri yang berkolaborasi dalam permusuhan terhadap kebenaran akan berbagi azab. Dosa bukan hanya urusan individu tetapi bisa menjadi tanggung jawab kolektif dalam sebuah kemitraan yang bertujuan merusak.
Untuk benar-benar menghargai kecemerlangan Surah Al-Masad, kita perlu meninjau pilihan kata kerja yang digunakan:
Kata ini berbentuk fi'l madhi (kata kerja lampau). Penggunaan kata kerja lampau untuk menggambarkan kejadian masa depan ini disebut tahqiq (untuk penegasan). Ini berarti kehancuran Abu Lahab dianggap sebagai fakta yang telah terjadi, karena telah diputuskan oleh Allah SWT. Kekuatan retorika ini jauh melampaui pernyataan sederhana seperti "Abu Lahab akan binasa."
Berasal dari akar kata *ghaniy* (kaya). Dalam bentuk negatif (Maa Aghna), ia berarti "tidak memberikan kekayaan" atau "tidak bermanfaat." Ini adalah penolakan mutlak terhadap nilai harta benda dalam menyelamatkan seseorang dari azab ilahi. Penggunaannya di masa lampau (Aghna) juga menunjukkan bahwa bahkan selama hidupnya, hartanya sudah tidak mampu melindunginya dari kehinaan yang dibawa oleh dakwah Nabi.
Berasal dari akar kata *saliya* (terbakar/dipanggang). Prefix 'Sa' (سَ) adalah partikel untuk masa depan yang pasti dan dekat (sa-istiqbal). Ini menghilangkan keraguan apa pun mengenai nasib akhirnya. Pilihan kata kerja ini sangat visual, membawa pembaca langsung ke adegan penyiksaan dalam api neraka.
Ayat terakhir Surah ini sering menjadi bahan diskusi mendalam di kalangan ahli bahasa dan tafsir karena keunikan detailnya.
Jid (جيد) secara spesifik merujuk pada bagian atas leher, tempat kalung atau perhiasan biasanya dikenakan. Dengan menempatkan tali *Masad* di *Jidiha*, Al-Qur'an secara retoris mengganti perhiasan duniawi Umm Jamil dengan belenggu hukuman. Ini adalah simbol dari kekayaan dan kemuliaan yang ia miliki di dunia yang diubah menjadi instrumen kehinaan di akhirat.
Dalam tafsir yang lebih esoteris, *Masad* tidak hanya dilihat sebagai tali fisik dari sabut kasar. Beberapa ulama menafsirkannya sebagai metafora untuk beban dosa yang sangat berat dan melelahkan. Keinginan dan perbuatan jahatnya yang ia pikul di dunia akan menjadi tali yang mengikat lehernya, menyeretnya ke dalam Neraka. Ini juga dapat merujuk pada tali yang ia gunakan untuk mengikat kayu bakar, yang mana kayu bakar itu sendiri adalah bahan bakar bagi api neraka yang akan menelan suaminya. Maka, ia adalah pembawa bahan bakar yang mengikat lehernya sendiri dengan alat yang ia gunakan untuk kejahatan.
Surah Al-Masad berdiri sendiri dalam konteks kritik personal yang begitu tajam, namun resonansi pesannya terkait erat dengan surah-surah Makkiyyah awal lainnya yang membahas nasib orang-orang yang menentang para Nabi. Misalnya, Surah ini dapat dibandingkan dengan:
Surah Al-Masad adalah jawaban cepat dan definitif dari Allah. Sifatnya yang langsung menunjukkan betapa seriusnya penentangan Abu Lahab. Ini bukan sekadar penolakan, tetapi penyerangan aktif terhadap Rasulullah, sehingga membutuhkan respons ilahi yang setara dengan permusuhannya yang terang-terangan.
Ketika Surah Al-Masad diresitasikan, ia mengirimkan pesan yang jelas kepada seluruh kaum Quraisy. Jika seorang paman dari klan yang paling mulia pun tidak kebal dari kehinaan dan azab ketika ia menentang kebenaran, maka tidak ada orang lain yang memiliki imunitas. Ayat-ayat ini secara efektif meruntuhkan struktur kekuasaan dan perlindungan klan yang menjadi pondasi masyarakat Mekah.
Kehancuran Abu Lahab bukan hanya fisik; ia adalah kehancuran reputasi. Setelah wahyu ini turun, Abu Lahab menjadi bahan cemoohan. Meskipun ia tetap kaya, martabatnya di mata orang-orang yang beriman telah lenyap. Dia dikutuk oleh Tuhan, dan kutukan itu disebarluaskan melalui ayat-ayat suci yang tidak akan pernah hilang.
Pengalaman ini adalah pelajaran bagi setiap era. Dalam masyarakat modern, oposisi terhadap kebenaran mungkin datang dalam bentuk media massa, kekuatan politik, atau kekayaan korporasi. Surah Al-Masad mengajarkan bahwa kekuatan-kekuatan duniawi ini, meskipun tampak tak terkalahkan, pasti akan gagal di hadapan ketetapan ilahi. Kehancuran (tabb) akan menimpa upaya dan pencapaian mereka (kasab) jika diarahkan untuk menentang keadilan dan kebenaran hakiki.
Secara keseluruhan, Surah Al-Masad adalah deklarasi kemarahan ilahi yang adil, berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa permusuhan yang disengaja dan sistematis terhadap utusan Allah dan risalahnya akan menghasilkan kerugian total—di dunia dan di akhirat. Lima ayat ini meringkas sejarah perlawanan, menggarisbawahi kegagalan kekuatan fana, dan menegaskan kepastian janji azab Allah.