Ayat 183 dari Surah Al-Baqarah merupakan salah satu ayat yang sangat fundamental dalam Islam, karena ayat inilah yang menjadi dasar kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Ayat ini secara langsung ditujukan kepada kaum mukminin, yaitu orang-orang yang telah beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kalimat pembuka, "Yā ayyuhal-ladhīna āmanū" (Wahai orang-orang yang beriman), menegaskan bahwa perintah ini khusus diperuntukkan bagi mereka yang telah menyatakan keimanan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya puasa sebagai salah satu manifestasi keimanan seorang hamba kepada Tuhannya. Kewajiban ini bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah agama samawi, sebagaimana ditegaskan dalam frasa "kutiba ‘alaykumush-shiyāmu kamā kutiba ‘alal-ladhīna min qablikum" (diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu). Ini berarti, umat-umat terdahulu yang juga menganut agama tauhid, seperti umat Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa, juga telah diperintahkan untuk berpuasa dalam bentuk-bentuk tertentu.
Tujuan utama dari kewajiban berpuasa ini dijelaskan pada akhir ayat: "la‘allakum tattaqūna" (agar kamu bertakwa). Kata "taqwa" berasal dari akar kata yang berarti menjaga diri, melindungi diri dari sesuatu yang membahayakan. Dalam konteks ibadah, takwa berarti menjaga diri dari perbuatan dosa, dari murka Allah, dan dari siksaan-Nya. Puasa Ramadhan menjadi sarana efektif untuk melatih diri agar senantiasa waspada dan menjauhi larangan-Nya, serta melaksanakan perintah-Nya.
Bagaimana puasa melahirkan takwa? Melalui menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri dari fajar hingga matahari terbenam, seorang mukmin belajar untuk mengendalikan hawa nafsu. Ini adalah latihan mental dan fisik yang luar biasa untuk menumbuhkan kesabaran, keikhlasan, dan kedisiplinan diri. Ketika seseorang mampu menahan diri dari kebutuhan jasmani yang paling mendasar, maka akan lebih mudah baginya untuk menahan diri dari godaan-godaan lain yang bersifat maksiat dan dosa.
Lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, puasa yang sesungguhnya adalah ketika seluruh anggota tubuh ikut berpuasa. Puasa lisan dari perkataan dusta dan ghibah, puasa mata dari memandang yang haram, puasa tangan dari mengambil yang bukan haknya, dan puasa kaki dari melangkah ke tempat yang dilarang. Puasa yang demikianlah yang akan benar-benar mengantarkan pelakunya pada derajat ketakwaan yang hakiki.
Di samping itu, puasa juga mengajarkan empati kepada sesama. Dengan merasakan lapar dan haus, seorang mukmin diingatkan akan kondisi saudara-saudaranya yang fakir dan miskin. Hal ini mendorong tumbuhnya rasa kasih sayang, kepedulian, dan semangat berbagi. Semangat berbagi ini terwujud dalam zakat fitrah yang wajib dikeluarkan di akhir bulan Ramadhan, sebagai bentuk penyempurna ibadah puasa dan penolong bagi kaum dhuafa agar dapat merayakan Idul Fitri.
Oleh karena itu, kewajiban puasa Ramadhan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sebuah madrasah (sekolah) agung yang mendidik seluruh aspek kehidupan seorang mukmin. Tujuannya adalah untuk membentuk pribadi yang bertakwa, yang senantiasa dekat dengan Allah, yang mampu mengendalikan diri, yang peka terhadap penderitaan sesama, dan yang selalu berusaha menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya di setiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan.