Dalam pernikahan, perceraian (talak) adalah sebuah opsi terakhir yang memiliki aturan ketat dalam ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an. Salah satu ayat yang sangat penting dalam konteks ini adalah Surat Al-Baqarah ayat 229. Ayat ini tidak hanya menetapkan batas jumlah talak yang diperbolehkan, tetapi juga menegaskan prinsip rujuk yang dilandasi oleh niat baik dan kesepakatan yang saling menguntungkan. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini krusial bagi umat Muslim untuk menjalankan bahtera rumah tangga sesuai syariat dan menjaga keharmonisan serta keadilan dalam keluarga.
"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. Setelah itu boleh merujuk dengan baik-baik atau menceraikan dengan perpisahan yang baik (tanpa menyakiti). Dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka (istri), kecuali jika keduanya (suami istri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah batas-batas hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar batas-batas hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah: 229)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa talak yang dapat dirujuk hanya sebanyak dua kali. Ini berarti bahwa suami memiliki kesempatan untuk merujuk kembali istrinya setelah talak pertama dan kedua, selama masa iddah (masa tunggu) masih berjalan. Konsep dua kali talak ini memberikan ruang untuk refleksi, rekonsiliasi, dan memperbaiki hubungan jika memang masih ada peluang. Tujuannya adalah untuk mencegah perceraian yang terburu-buru dan memberikan kesempatan kedua bagi pasangan untuk kembali bersatu.
Poin krusial lainnya yang ditekankan dalam ayat ini adalah bahwa rujuk harus dilakukan "dengan baik-baik" (ma'ruf). Ini mengimplikasikan bahwa rujuk bukanlah sekadar tindakan formalitas, melainkan harus dilandasi oleh niat yang tulus untuk memperbaiki rumah tangga, menciptakan keharmonisan, dan menjaga hak serta kewajiban masing-masing. Sebaliknya, jika memutuskan untuk berpisah, maka perpisahan itu pun harus dilakukan "dengan perpisahan yang baik" (ihsan), yaitu tanpa saling menyakiti, tanpa menzalimi hak salah satu pihak, dan tanpa menimbulkan fitnah.
Lebih lanjut, ayat ini mengatur mengenai pemberian dan pengembalian harta dalam konteks perceraian. Dinyatakan bahwa tidak halal bagi suami untuk mengambil kembali apa pun yang telah diberikannya kepada istri (seperti mahar), kecuali jika keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Frasa "tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah" ini sering diinterpretasikan dalam beberapa konteks. Salah satunya adalah ketika istri sudah sangat tidak harmonis dengan suami sehingga dikhawatirkan akan terjadi kemaksiatan atau pelanggaran syariat jika terus dipaksakan hidup bersama. Dalam kondisi seperti ini, barulah ada keringanan, namun tetap harus dengan cara yang baik dan adil. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan menghindari kerugian bagi kedua belah pihak dalam urusan harta pasca-perceraian.
"Itulah batas-batas hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya."
Kalimat penutup ayat ini adalah peringatan keras bagi umat Muslim. "Batas-batas hukum Allah" adalah pedoman yang ditetapkan oleh Sang Pencipta untuk kebaikan manusia. Melanggar batas-batas ini, baik dengan melakukan talak lebih dari yang diizinkan dalam satu majelis tanpa mengikuti aturan yang benar, atau dengan mengambil kembali hak istri secara zalim, atau dengan melakukan perpisahan yang tidak baik, berarti telah melanggar ketetapan ilahi. Akibatnya, sebagaimana disebutkan, "Barang siapa melanggar batas-batas hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." Kezaliman ini tidak hanya berdampak pada hubungan suami istri, tetapi juga pada keutuhan keluarga dan masyarakat.
QS Al Baqarah 229 memberikan kerangka kerja yang jelas mengenai aturan talak dan rujuk. Ini mengajarkan pentingnya kehati-hatian dalam mengambil keputusan perceraian, pentingnya niat yang baik dalam setiap tindakan, dan keharusan untuk menjaga keadilan serta kehormatan. Ayat ini mengingatkan bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan sakral yang harus dijaga, dan perceraian adalah jalan terakhir yang harus ditempuh dengan penuh kebijaksanaan dan kepatuhan pada syariat.
Dalam praktiknya, pemahaman ayat ini mendorong pasangan untuk mencari solusi damai atas setiap konflik rumah tangga. Jika talak terpaksa dijatuhkan, penting untuk memahami konsekuensinya, masa iddah, dan aturan rujuk yang sah. Ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat untuk tidak menyalahgunakan aturan perceraian, misalnya dengan menjadikan talak sebagai ancaman atau cara mudah untuk lepas dari tanggung jawab. Sebaliknya, keharmonisan dan keadilan dalam keluarga adalah tujuan utama yang harus diupayakan.