Surah Al Fil (Gajah) adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, yang terletak pada urutan ke-105. Meskipun singkat, surah ini menyimpan kisah sejarah yang monumental, yang tidak hanya berfungsi sebagai peringatan, tetapi juga sebagai bukti nyata perlindungan mutlak Allah SWT terhadap Rumah Suci-Nya, Ka'bah. Peristiwa yang diceritakan di dalam surah ini—dikenal sebagai 'Am al-Fil (Tahun Gajah)—terjadi tepat sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, menjadikannya tonggak sejarah yang krusial dalam narasi kenabian.
Artikel mendalam ini akan mengupas tuntas setiap aspek QS Al Fil, mulai dari konteks turunnya, analisis ayat per ayat berdasarkan tafsir klasik dan modern, hingga pelajaran moral dan teologis yang terkandung di dalamnya. Pemahaman atas surah ini tidak hanya terbatas pada penceritaan kembali sebuah kisah, melainkan penangkapan esensi kekuatan Ilahi yang mengatasi kesombongan dan kezaliman manusia, sebuah tema abadi yang relevan sepanjang masa.
Surah Al Fil termasuk dalam kategori surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Makkah sebelum hijrah. Karakteristik surah Makkiyah adalah fokus pada Tauhid, hari akhir, dan kisah-kisah umat terdahulu sebagai penguat hati Nabi dan para sahabat yang tertindas. Al Fil hadir sebagai penegasan bahwa Allah adalah Pelindung sejati. Surah ini terdiri dari lima ayat yang singkat namun padat makna.
Untuk memahami kedalaman QS Al Fil, kita wajib menelusuri latar belakang historisnya. Peristiwa 'Am al-Fil terjadi sekitar 570 M, tahun yang sama dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kisah ini berpusat pada seorang penguasa Kristen dari Yaman yang bernama Abrahah al-Ashram (atau Abraha bin as-Sabbah).
Abraha adalah seorang wakil dari Kekaisaran Aksum (Ethiopia) yang saat itu menguasai Yaman. Ia menyaksikan bagaimana kafilah-kafilah Arab dari seluruh penjuru Jazirah berbondong-bondong menuju Makkah setiap tahun untuk melakukan haji dan perdagangan di sekitar Ka'bah. Peristiwa ini memberikan kekuatan religius dan ekonomi yang luar biasa bagi Makkah dan suku Quraisy.
Tergerak oleh rasa cemburu dan ambisi, Abraha berkeinginan untuk mengalihkan pusat ziarah ke Yaman. Ia membangun sebuah gereja besar dan megah di Sana'a yang disebut Al-Qulais (kadang disebut juga Al-Qulles atau Al-Kullays). Gereja ini dimaksudkan untuk menandingi kemuliaan Ka'bah. Abraha kemudian memerintahkan kabilah-kabilah Arab untuk berhaji ke gereja barunya, sebuah perintah yang jelas-jelas bertentangan dengan tradisi Arab yang telah mengakar dalam menghormati Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail AS.
Reaksi kabilah Arab terhadap perintah ini adalah penolakan keras. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa sebagai bentuk penghinaan, seorang Arab dari kabilah Kinanah atau Fulan bin Habish al-Faqimi, sengaja buang hajat atau menodai Al-Qulais. Insiden ini, terlepas dari kebenarannya yang detail, memicu kemarahan ekstrem Abraha. Ia bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah hingga rata dengan tanah, sehingga tidak ada lagi yang berziarah ke sana.
Abraha memimpin pasukan besar menuju Makkah. Pasukan ini tidak hanya terdiri dari prajurit-prajurit Yaman dan Abyssinia yang terlatih, tetapi juga dilengkapi dengan elemen militer yang belum pernah dilihat oleh orang Arab saat itu: Gajah. Gajah yang paling terkenal dalam rombongan ini adalah gajah putih bernama Mahmud, yang digunakan Abraha sebagai simbol kekuatan dan keunggulan tak tertandingi.
Ketika pasukan ini mencapai pinggiran Makkah, mereka menjarah harta benda dan ternak milik suku Quraisy. Di antara ternak yang dicuri adalah unta milik Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad SAW dan pemimpin suku Quraisy saat itu. Abdul Muththalib pergi menemui Abraha, bukan untuk memohon keselamatan Makkah, melainkan untuk meminta kembali unta-untanya.
Dialog antara Abdul Muththalib dan Abraha sangat terkenal. Abraha terkejut, menanyakan mengapa Abdul Muththalib hanya meminta unta, padahal Abraha datang untuk menghancurkan rumah suci kaumnya. Abdul Muththalib menjawab dengan penuh keyakinan, "Aku adalah pemilik unta-unta itu, sedangkan Ka'bah memiliki Pemilik (Allah) yang akan melindunginya." Jawaban ini menunjukkan penyerahan diri total kepada kehendak Ilahi, meskipun pada saat itu Quraisy masih tenggelam dalam kemusyrikan.
Abdul Muththalib kemudian kembali ke Makkah dan memerintahkan penduduknya untuk mengungsi ke bukit-bukit di sekitarnya (seperti Jabal Abi Qubais), meninggalkan Ka'bah tanpa pertahanan fisik. Mereka berdoa memohon pertolongan Allah, menyerahkan nasib Ka'bah sepenuhnya kepada Sang Pencipta.
Kini, mari kita telaah bagaimana Al-Qur'an mengabadikan kisah ini dalam lima ayat yang menakjubkan, penuh dengan retorika Ilahi yang kuat.
Alam tara (أَلَمْ تَرَ): Tidakkah engkau melihat? Pertanyaan ini dalam bahasa Arab klasik bukanlah sekadar menanyakan pandangan mata, tetapi lebih merupakan seruan untuk merenungkan, mengetahui, dan memahami secara pasti. Meskipun Nabi Muhammad SAW baru lahir pada tahun peristiwa itu, dan beliau tidak "melihat" dengan mata kepala sendiri, generasi Makkah kontemporer beliau masih hidup dan menyaksikan bekas-bekas kehancuran pasukan Abraha.
Menurut para mufassir seperti Ibnu Katsir, penggunaan kata tara (melihat) di sini mengindikasikan bahwa peristiwanya begitu mashur dan mutawatir (tersebar luas tanpa keraguan) sehingga keberadaannya seolah-olah terlihat jelas. Ini adalah fakta sejarah yang diketahui oleh semua penduduk Makkah. Dengan menggunakan gaya pertanyaan retoris, Allah menekankan betapa dahsyatnya peristiwa itu, sekaligus mengingatkan Nabi dan kaum Quraisy akan kekuasaan-Nya.
Rabbuka (رَبُّكَ): Tuhanmu. Penggunaan kata ‘Rabb’ (Tuhan) yang digandengkan dengan kata ganti orang kedua tunggal ‘ka’ (mu) menunjukkan kedekatan dan perhatian khusus Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini menegaskan bahwa perlindungan Ka'bah adalah bagian dari rencana Ilahi yang lebih besar, yaitu mempersiapkan bumi untuk penerimaan risalah terakhir melalui Nabi Muhammad SAW.
Ashab al-Fil (أَصْحَابِ الْفِيلِ): Pasukan Gajah. Penamaan pasukan berdasarkan gajah menunjukkan bahwa gajah adalah simbol keangkuhan, kekuatan militer tak tertandingi, dan alat penindasan yang digunakan Abraha. Allah mereduksi pasukan tersebut hanya menjadi "orang-orang yang memiliki gajah," memfokuskan perhatian pada alat kesombongan mereka yang pada akhirnya tidak berdaya di hadapan kehendak Allah.
Kayd (كَيْدَهُمْ): Tipu daya atau rencana jahat. Rencana Abraha bukan hanya sekadar serangan militer, melainkan sebuah konspirasi jahat yang bertujuan menghapus identitas spiritual Makkah dan mengalihkan pusat peribadatan untuk kepentingan politik dan ekonomi pribadinya. Allah menyebut tindakan mereka sebagai 'kayd', bukan sekadar 'perang' atau 'serangan', menggarisbawahi motif licik di baliknya.
Fi Tadhlil (فِي تَضْلِيلٍ): Dalam kesia-siaan total. Kata ini berasal dari akar kata *dhalala*, yang berarti tersesat, sia-sia, atau gagal mencapai tujuan. Allah memastikan bahwa seluruh perencanaan, pengerahan sumber daya, dan perjalanan panjang mereka menjadi tak berarti. Mereka gagal total dalam mencapai tujuan inti mereka: menghancurkan Ka'bah.
Mufassir Ath-Thabari menjelaskan bahwa "tadhlil" juga memiliki makna kehancuran. Allah tidak hanya menggagalkan rencana mereka, tetapi juga menghancurkan fisik mereka sehingga rencana itu tidak mungkin dilaksanakan di masa depan. Kegagalan ini dimulai bahkan sebelum serangan dimulai, ketika gajah utama, Mahmud, menolak untuk bergerak maju menuju Ka'bah, meskipun dipukuli dan dicambuk, dan hanya mau bergerak ke arah lain.
Peristiwa gajah yang menolak bergerak ini adalah mukjizat pertama, sebuah intervensi langsung yang menunjukkan bahwa makhluk hidup yang paling perkasa dalam pasukan itu telah diilhami oleh kehendak Ilahi untuk menolak berpartisipasi dalam kejahatan ini. Ini menegaskan bahwa kegagalan mereka bukan karena kebetulan, tetapi karena penyesatan (tadhlil) yang direncanakan oleh Allah.
Dua ayat ini menjelaskan detail hukuman yang dijatuhkan Allah. Hukuman ini sangat tidak terduga dan berasal dari sumber yang paling lemah: burung.
Tayran Ababil (طَيْرًا أَبَابِيلَ): Burung yang berbondong-bondong. Kata ababil bukanlah nama jenis burung tertentu, melainkan deskripsi dari jumlah atau formasi. Secara linguistik, ababil berarti bergelombang, berkerumun, datang dari segala arah dalam jumlah yang sangat banyak dan teratur. Para ulama tafsir sepakat bahwa jumlah burung itu begitu banyak sehingga menutupi langit, datang dalam kelompok-kelompok yang tak terhitung jumlahnya.
Kontrasnya sangat tajam: kekuatan militer Abraha yang didukung gajah dan senjata, dihancurkan oleh makhluk yang paling lemah di alam, yaitu burung-burung kecil. Ini adalah demonstrasi sempurna dari Tauhid dalam tindakan: kekuatan sejati hanya milik Allah, dan Dia dapat menggunakan alat apa pun, bahkan yang paling remeh, untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Tarmihim bihijaratin min Sijjil (تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ): Melempar mereka dengan batu dari Sijjil. Ini adalah inti dari hukuman tersebut. Burung-burung itu membawa tiga batu kecil: satu di paruh dan dua di kedua cakar. Batu-batu ini memiliki kekuatan penghancur yang mengerikan, jauh melebihi ukuran fisiknya.
Sijjil (سِجِّيلٍ): Kata ini menimbulkan perdebatan linguistik.
Apapun interpretasi linguistiknya, maknanya jelas: batu-batu itu bukanlah batu biasa. Mereka adalah proyektil supranatural yang membawa azab yang sangat terfokus dan mematikan, menargetkan setiap individu dalam pasukan Abraha, termasuk Abraha sendiri yang terluka parah dan meninggal saat kembali ke Yaman.
Ayat terakhir ini menggambarkan hasil akhir dari hukuman tersebut. Pasukan yang angkuh, yang tadinya berjumlah besar dan ditopang teknologi militer canggih (gajah), kini direduksi menjadi sampah tak berharga.
Ka'asfin Ma'kul (كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ): Seperti dedaunan yang dimakan.
Intinya, perumpamaan ini menekankan kehinaan total. Pasukan itu tidak hanya dikalahkan, tetapi juga dimusnahkan hingga tubuh mereka kehilangan bentuk dan martabat, menjadi pelajaran historis yang mengerikan bagi siapapun yang berani menantang kekuasaan dan ketetapan Allah.
Kisah Ashabul Fil bukan hanya dongeng sejarah. Ia memiliki implikasi mendalam bagi pemahaman Islam, terutama bagi dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah.
Peristiwa Gajah terjadi beberapa saat sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW (sebagian besar sejarawan sepakat, 50 hari sebelum kelahirannya). Dalam teologi Islam, peristiwa luar biasa yang terjadi sebelum kenabian seorang Rasul untuk mempersiapkan risalahnya disebut Irhas. Perlindungan Ka'bah ini adalah irhas terbesar bagi umat Arab.
Peristiwa ini memastikan dua hal: Pertama, tempat suci di mana Nabi akan dibesarkan dan menerima wahyu telah dilindungi dari kehancuran. Kedua, kaum Quraisy secara inheren mengakui bahwa Ka'bah berada di bawah perlindungan kekuatan supernatural yang tak tertandingi. Ketika Nabi Muhammad SAW datang membawa ajaran Tauhid, kisah Ashabul Fil menjadi bukti nyata bahwa Tuhannya-lah yang melindungi mereka, bukan berhala-berhala yang mereka sembah.
Meskipun pada saat itu Ka'bah dipenuhi berhala (360 berhala), Allah tetap melindunginya karena dua alasan fundamental:
Kekalahan Abraha mengajarkan pelajaran Tauhid yang paling jelas. Kepercayaan pada kekuatan material—jumlah tentara, persenjataan canggih (gajah), dan logistik—gagal total. Allah menunjukkan bahwa Dia mampu mengalahkan teknologi militer termodern (pada masa itu) hanya dengan pasukan "burung-burung kecil" dan "batu-batu panas." Ini adalah penegasan bahwa kekuasaan Allah bersifat transenden dan mutlak. Bagi kaum Quraisy yang saat itu mengandalkan kekuatan suku dan kekayaan, kisah ini adalah tamparan keras tentang relativitas kekuatan manusia.
Kepadatan makna dalam surah ini juga terlihat dari pilihan kata dan struktur kalimatnya (Balaghah). Meskipun hanya lima ayat, surah ini mencapai tingkat keindahan retoris yang luar biasa.
Pembukaan surah (Ayat 1 dan 2) menggunakan Istifham Taqrir, yaitu pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban karena jawabannya sudah pasti dan diketahui oleh semua pendengar. "Tidakkah engkau melihat?" dan "Bukankah Dia telah menjadikan?" Pertanyaan ini memaksa pendengar untuk mengakui fakta sejarah yang tak terbantahkan, sehingga pesan Tauhid yang disampaikan di akhir menjadi tidak terhindarkan.
Surah ini membangun kontras dramatis antara dua kelompok:
Pilihan kata sijjil menciptakan aura misteri dan kehebatan. Batu itu bukan dari bumi biasa. Ia adalah batu yang membawa karakteristik api dan kekerasan yang luar biasa, menunjukkan bahwa azab ini datang langsung dari ketetapan langit. Tafsir mengenai bagaimana batu-batu itu bekerja sangat detail: dikatakan bahwa setiap batu mengenai salah satu prajurit, dan menyebabkan kulitnya melepuh dan terkelupas, menyebabkan kematian yang menyakitkan. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa daging mereka rontok seperti daun yang dimakan ulat.
Pelajaran yang terkandung dalam QS Al Fil relevan bagi umat Islam di semua zaman, menjadikannya salah satu surah yang paling sering dibaca untuk memperkuat keyakinan.
Kisah Abraha adalah kisah tentang keangkuhan yang buta. Dia tidak hanya ingin merampas kekuasaan politik, tetapi juga kekuasaan spiritual. QS Al Fil mengajarkan bahwa setiap kekuatan yang digunakan untuk menindas kebenaran, seberapa pun besarnya, akan berhadapan dengan kekuatan yang jauh lebih besar.
Pelajaran ini berlaku universal: kezaliman dan kesombongan selalu dihukum oleh takdir, baik secara langsung oleh intervensi Ilahi yang kasat mata, maupun melalui proses sejarah yang panjang. Akhir dari Abraha yang mati secara hina dan menyakitkan setelah mundur dari Makkah adalah peringatan keras bagi setiap penguasa tirani.
Sikap Abdul Muththalib yang meninggalkan Ka'bah tanpa pertahanan fisik dan berdoa kepada Allah adalah contoh sempurna dari tawakkul sejati. Ketika seluruh daya upaya manusia telah habis, saat itulah pertolongan Ilahi turun. Mereka tahu bahwa Ka'bah memiliki Pemilik, dan keyakinan ini membebaskan mereka dari kepanikan dan mengantar mereka pada keselamatan.
Bagi umat Islam kontemporer, tawakkul bukan berarti pasif, melainkan upaya maksimal diikuti dengan penyerahan hasil total kepada Allah. QS Al Fil mengajarkan bahwa ketika kita melindungi apa yang Allah cintai (agama-Nya, tempat ibadah-Nya, kebenaran-Nya), maka Allah akan melindungi kita, bahkan dengan cara yang tidak kita duga sama sekali.
Kisah ini menegaskan bahwa ada nilai-nilai sakral yang akan Allah lindungi secara langsung, bahkan jika pemegangnya (dalam kasus ini, kaum Quraisy yang musyrik) sedang menyimpang. Ka'bah bukan dilindungi karena kesalehan kaum Quraisy, tetapi karena ia adalah simbol universal Tauhid yang Allah abadikan di bumi. Ini memberi jaminan kepada umat Islam bahwa pusat ibadah mereka akan selalu dijaga kemuliaannya.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, perluasan bahasan mengenai detail spesifik dalam kisah ini dari sudut pandang para ulama tafsir adalah esensial.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menekankan bahwa burung-burung ababil datang bergelombang dari arah laut (Yaman menuju Hijaz). Beliau mengutip riwayat dari Ikrimah (murid Ibnu Abbas) yang menyatakan bahwa burung-burung itu memiliki paruh seperti burung dan telapak kaki seperti anjing. Deskripsi yang tidak biasa ini semakin menekankan sifat mukjizat yang tidak dapat dijelaskan oleh fenomena alam biasa.
Ibnu Katsir juga menjelaskan dampak batu-batu sijjil: "Tidaklah salah satu prajurit terkena batu kecuali ia akan mati, dan jika ia tidak mati seketika, ia akan sakit parah dan tubuhnya akan hancur lebur." Beliau mencatat bahwa banyak dari mereka yang selamat melarikan diri kembali ke Yaman, mencari pertolongan Abraha, namun mereka mati bergelimpangan di sepanjang jalan.
Fokus pada gajah, Mahmud, menjadi poin teologis penting. Ketika mereka mencoba mengarahkan Mahmud menuju Ka'bah, ia berlutut dan menolak bergerak. Ini adalah titik balik psikologis bagi pasukan. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setiap kali mereka mengarahkannya ke Makkah, ia duduk. Namun, ketika mereka mengarahkannya ke Yaman, ia berdiri dan berlari. Ketika mereka mengarahkannya ke arah Syam, ia juga berdiri. Ini menunjukkan bahwa bukan kekuatan fisik yang menghentikannya, melainkan perintah Ilahi yang ditanamkan dalam insting binatang tersebut.
Pelajaran dari Gajah Mahmud: Bahkan makhluk yang paling kuat dan tunduk sekalipun dapat menjadi pembangkang terhadap kezaliman jika Allah menghendakinya. Gajah itu, tanpa kesadaran manusia, menjadi alat penegasan Tauhid.
Kekalahan Abraha memberikan dampak politik yang sangat besar bagi kaum Quraisy. Setelah peristiwa itu, mereka dipandang oleh seluruh kabilah Arab sebagai Ahlullah (Keluarga Allah) dan Mujawirullah (Tetangga Allah). Kepercayaan ini meningkatkan status dagang mereka secara drastis.
Sebelum peristiwa ini, Makkah adalah pusat ziarah, tetapi setelahnya, ia diakui sebagai tempat yang secara aktif dilindungi oleh Tuhan Semesta Alam. Hal ini memungkinkan Quraisy untuk berdagang dengan aman ke Syam dan Yaman, karena tidak ada kabilah yang berani mengganggu "orang-orang yang dilindungi oleh burung-burung Ababil." Kondisi aman ini, yang diuraikan dalam surah berikutnya (QS Quraisy), adalah anugerah langsung dari kegagalan Abraha.
Keselamatan ekonomi ini ironisnya menjadi fondasi kekayaan yang nantinya digunakan kaum Quraisy untuk menentang Nabi Muhammad SAW. Namun, Allah menggunakan peristiwa ini untuk memastikan infrastruktur kenabian (perdamaian dan keamanan Makkah) terbentuk sebelum risalah Islam diturunkan.
Para ulama juga merenungkan mengapa Allah memilih metode hukuman yang sedemikian rupa—batu-batu kecil yang menghancurkan. Hukuman ini sempurna karena:
Mufassir modern, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an, melihat surah Al Fil tidak hanya sebagai cerita, tetapi sebagai metodologi Ilahi dalam berhadapan dengan keangkuhan. Qutb berpendapat bahwa kisah ini memberikan jaminan psikologis kepada umat Islam yang tertindas, khususnya di Makkah, bahwa seberapa pun hebatnya kekuatan musuh, ia tetap berada dalam genggaman kekuasaan Allah.
Sayyid Qutb menekankan bahwa peristiwa ini adalah contoh nyata bagaimana Allah melindungi kebenaran (dalam hal ini, Baitullah) bahkan sebelum risalah sempurna datang. Ini adalah janji bahwa Allah tidak akan membiarkan kebatilan menang total, meskipun kebatilan itu tampak memiliki keunggulan teknologi dan militer yang tak terhindarkan. Relevansi ini sangat kuat bagi kaum minoritas Muslim yang menghadapi tekanan dari kekuatan global yang jauh lebih besar.
Qutb juga membahas pentingnya ketidakberdayaan Quraisy. Jika Quraisy berhasil mengalahkan Abraha, mereka akan mengklaim kemenangan itu sebagai milik berhala mereka. Dengan cara yang dipilih Allah, tidak ada keraguan sedikit pun bahwa kemenangan itu murni berasal dari kekuatan Yang Maha Esa.
Dalam era kontemporer, beberapa pihak mencoba menjelaskan peristiwa Ababil melalui sudut pandang alamiah, misalnya mengaitkannya dengan wabah penyakit (seperti cacar atau tifus) yang dibawa oleh burung atau serangga, atau letusan gunung berapi (mengingat batu *sijjil*). Meskipun Al-Qur'an tidak menutup kemungkinan bahwa mekanisme penyakit atau fenomena alam dapat digunakan sebagai azab, para mufassir klasik menolak interpretasi yang sepenuhnya menghilangkan unsur mukjizat.
Alasan penolakan: Al-Qur'an secara spesifik menyebut "batu dari sijjil" dan "burung berbondong-bondong" (Ababil) yang secara fisik melempari mereka. Jika itu hanya wabah biasa, maka deskripsi Al-Qur'an akan kurang akurat dalam menggambarkan intervensi langsung dan dramatis. Hikmah dari surah ini terletak pada intervensi supranatural yang menentang logika militer dan sains, menegaskan keajaiban kekuasaan Ilahi.
QS Al Fil sering dibaca dalam salat karena keringkasan dan maknanya yang kuat. Pembacaan surah ini seharusnya mengingatkan kita pada janji perlindungan Allah.
Beberapa poin penting dalam pelafalan (tajwid) Al Fil:
Pembacaan yang baik dan benar akan menghubungkan pembaca dengan kedalaman makna surah, menghidupkan kembali kisah monumental tentang pertolongan yang tak terduga.
Ketika membaca QS Al Fil, umat Islam seharusnya memetik pelajaran ini sebagai sumber kekuatan: bahwa tidak peduli betapa beratnya tekanan atau seberapa hebatnya musuh yang dihadapi, jika niatnya adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjaga kesucian agama, maka Allah SWT akan menyediakan jalan keluar, bahkan dari sumber yang paling tidak terduga.
QS Al Fil adalah penawar bagi keputusasaan dan pengingat bahwa segala bentuk kekuatan manusia yang berlandaskan kezaliman pada akhirnya akan diubah menjadi "daun yang dimakan ulat," hancur dan hina di hadapan Sang Pencipta semesta.
Surah ini, meski pendek, berfungsi sebagai benteng spiritual, menegaskan kembali bahwa perlindungan adalah hak prerogatif Allah. Ia adalah salah satu surah yang paling sering digunakan para dai di Makkah pada masa awal kenabian untuk menguatkan hati para mukmin yang tertekan. Surah ini adalah sejarah, pelajaran moral, dan janji Ilahi yang abadi.
Peristiwa Ashabul Fil melibatkan pergerakan militer yang kompleks pada masanya. Abraha memobilisasi pasukannya dari Yaman utara (Sana'a), melintasi Tihamah, menuju Hijaz. Perjalanan ini memakan waktu yang signifikan dan melibatkan penaklukan beberapa kabilah Arab kecil di sepanjang jalan yang mencoba menentangnya, seperti Dzu Nafr dan Nufayl bin Habib Al-Khats'ami.
Riwayat sejarah mencatat bahwa tidak semua Arab pasif. Dzu Nafr memimpin sekelompok kabilah untuk melawan Abraha, namun mereka dikalahkan dan Dzu Nafr ditawan. Kemudian, di daerah Khath’am, Nufayl bin Habib memimpin perlawanan serupa. Nufayl juga kalah dan ditangkap, namun ia menawarkan diri untuk menjadi penunjuk jalan bagi pasukan Abraha sebagai ganti nyawanya. Ironisnya, Nufayl ini lah yang menjadi saksi mata kehancuran pasukannya dan yang pertama kali melaporkan kembali kepada orang-orang Arab di perbukitan.
Kisah perlawanan yang gagal ini menekankan poin utama surah: bahwa upaya militer manusia, meskipun didorong oleh motif religius (bagi kabilah Arab yang ingin melindungi Ka'bah), tidak mampu menandingi pasukan modern Abraha. Kemenangan hanya bisa datang dari sumber yang luar biasa.
Pasukan Abraha berkemah di sebuah tempat dekat Makkah yang disebut Al-Mughammas (atau Muhassab). Di sinilah mereka mulai menjarah harta benda Quraisy, termasuk unta Abdul Muththalib. Interaksi antara Abdul Muththalib dan Abraha di Al-Mughammas adalah bagian integral dari narasi. Abdul Muththalib, meskipun seorang pemimpin Quraisy yang dihormati, tidak memiliki kekuatan militer untuk melawan. Keputusannya untuk meninggalkan Ka'bah adalah taktik cerdas yang menempatkan tanggung jawab perlindungan kepada Pemilik Ka'bah, yaitu Allah.
Ketika Abdul Muththalib kembali ke Ka'bah sebelum mengungsi ke bukit, beliau memegang pintu Ka'bah dan berdoa:
"Ya Allah, sesungguhnya setiap orang menjaga hartanya, maka jagalah rumah-Mu. Jangan biarkan salib mereka dan kekuatan mereka mengalahkan kekuatan-Mu. Jika Engkau meninggalkan Ka'bah, itu urusan-Mu. Namun, wahai Tuhan, sesungguhnya mereka tidak bisa mengalahkan kesucian rumah-Mu."Doa yang tulus ini, meskipun diucapkan oleh seseorang yang masih berada dalam sistem jahiliyah, disambut oleh intervensi Ilahi.
Pada hari di mana Abraha memutuskan untuk memasuki Makkah, Gajah Mahmud berlutut. Setelah upaya paksa gagal, tiba-tiba langit di atas mereka dipenuhi dengan burung-burung ababil. Riwayat mencatat bahwa setiap burung memiliki tiga batu: satu di paruh, dua di kaki. Batu-batu itu tidak lebih besar dari kacang-kacangan, namun daya hancurnya luar biasa.
Para mufassir menjelaskan bahwa kehancuran itu masif dan cepat. Batu-batu itu mengenai kepala tentara dan menembus tubuh mereka hingga keluar dari anus, menyebabkan kematian instan dan tubuh yang hancur, sesuai dengan deskripsi "seperti daun yang dimakan ulat." Kehancuran ini bukan sekadar kekalahan, melainkan pembantaian total yang terjadi dalam waktu singkat.
Kisah ini menjadi bukti bahwa Allah tidak membutuhkan perantara manusia ketika Dia memutuskan untuk bertindak. Ketiadaan keterlibatan militer Quraisy mengukuhkan kesucian dan keilahian peristiwa ini.
QS Al Fil dan Surah Quraisy (surah ke-106) memiliki keterkaitan tematik yang sangat erat dan sering dibaca berurutan dalam salat. Surah Quraisy menjelaskan hasil dari perlindungan yang diberikan Allah dalam Al Fil.
Jika QS Al Fil menceritakan sebab (penghancuran musuh), maka QS Quraisy menceritakan akibat (keamanan dan kesejahteraan). QS Quraisy dimulai dengan: *Li ilafi Quraysh. Ilfihim rihlata ash-shita’i wa ash-sayf* (Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas).
Peristiwa Ashabul Fil secara dramatis meningkatkan ilaf (keakraban dan rasa aman) Quraisy. Setelah insiden itu, reputasi Quraisy sebagai Ahlullah membuat kafilah dagang mereka aman dari serangan kabilah lain di jalan. Kaum Arab takut untuk menyerang mereka karena percaya bahwa mereka adalah orang-orang yang secara langsung dilindungi oleh Tuhan yang telah menghancurkan pasukan bergajah.
Surah Quraisy kemudian mengakhiri dengan seruan untuk menyembah Tuhan pemilik Ka'bah yang telah memberi mereka makan dan keamanan. Ini adalah kritik yang menyentuh hati Quraisy: Allah telah memberi mereka dua nikmat terbesar (keamanan dari Abraha dan kemakmuran dari perdagangan), namun mereka masih menyekutukan-Nya.
Dengan demikian, kedua surah ini harus dipahami sebagai satu kesatuan yang kohesif. Keduanya berfungsi sebagai teguran dan bukti konkret bagi kaum Quraisy bahwa mereka harus kembali kepada Tauhid murni, karena Tuhan yang sama yang menyelamatkan mereka dari Abraha adalah Tuhan yang kini mengirimkan Nabi Muhammad SAW.
Meskipun QS Al Fil adalah surah Makkiyah yang fokus pada akidah dan sejarah, ia menyentuh beberapa prinsip etika dan hukum yang relevan:
Peristiwa ini menjadi dalil syar'i tentang keutamaan dan keabsahan Ka'bah sebagai pusat peribadatan (Qiblah) bagi umat manusia. Perlindungan Ilahi terhadap Ka'bah menunjukkan bahwa tempat ini memiliki status hukum yang sangat tinggi dan harus dimuliakan oleh seluruh umat Islam. Hal ini menguatkan perintah haji dan umrah.
QS Al Fil menggarisbawahi prinsip bahwa keimanan dan tawakkul adalah kekuatan sejati. Dalam Fiqh, prinsip ini menjadi motivasi dalam jihad fi sabilillah, di mana kemenangan tidak diukur dari jumlah pasukan atau kualitas senjata, tetapi dari tingkat keimanan dan pertolongan Allah (An-Nashr).
Meskipun pada saat itu penjaga Ka'bah adalah orang-orang musyrik, Allah tetap melindunginya. Ini mengajarkan pentingnya menjaga kesucian dan keamanan Baitullah Al-Haram. Hukum Islam sangat ketat mengenai larangan pertumpahan darah, perburuan, atau penebangan pohon di dalam batas-batas Tanah Haram Makkah.
Kisah ini berfungsi sebagai preseden teologis. Ketika manusia mencapai titik tertinggi kesombongan dan kezaliman, menantang simbol-simbol Ilahi, mereka layak mendapatkan azab yang tidak terduga. Ini adalah peringatan kepada semua generasi bahwa batasan Ilahi tidak boleh dilanggar.
QS Al Fil adalah narasi ringkas tentang intervensi Ilahi yang paling spektakuler dalam sejarah Arab pra-Islam. Kisah tentang kehancuran pasukan bergajah Abraha oleh burung-burung *ababil* dan batu-batu *sijjil* adalah pengukuhan mutlak atas kekuasaan Allah SWT dan janji-Nya untuk melindungi Rumah Suci-Nya.
Surah ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada jumlah, teknologi, atau kekayaan, melainkan pada kehendak Allah. Bagi setiap mukmin, QS Al Fil menjadi sumber optimisme dan tawakkul yang tak tergoyahkan, sebuah jaminan bahwa tipu daya orang-orang zalim, seberapa pun besarnya, akan selalu berakhir dalam kesia-siaan, diubah menjadi "dedaunan yang dimakan ulat," hina, dan tak berdaya.