Surah Al-Furqan, khususnya mulai dari ayat 63 hingga ayat 77, menyajikan sebuah potret sempurna dan komprehensif mengenai pribadi ideal seorang Muslim sejati. Mereka adalah kelompok manusia yang secara spesifik diidentifikasi sebagai Ibad Ar-Rahman, atau Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih. Penamaan ini sendiri sudah mengandung makna yang mendalam, menunjukkan kedekatan, penerimaan, dan kemuliaan status mereka di sisi Allah SWT. Penyebutan mereka dengan nama 'Ar-Rahman', yang menekankan sifat kasih sayang Allah yang luas, menegaskan bahwa sifat-sifat yang mereka miliki adalah cerminan dari Rahmaniyah (Kasih Sayang) Ilahi itu sendiri. Karakteristik ini dimulai dengan fondasi akhlak yang paling mendasar: kerendahan hati dan kesantunan dalam interaksi sosial, sebagaimana difirmankan dalam ayat pembuka serial sifat ini.
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan kata-kata menghina), mereka mengucapkan 'salam'." (QS. Al-Furqan: 63)
Ayat ini berfungsi sebagai gerbang pembuka menuju pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana seharusnya perilaku seorang Muslim yang telah mencapai derajat tinggi dalam penghambaan. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang ritual ibadah semata, melainkan juga menetapkan standar etika dan moral yang harus dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam berhadapan dengan konflik dan provokasi dari pihak luar. Analisis yang mendalam terhadap setiap frasa dalam ayat ini akan mengungkapkan kekayaan makna dan tuntunan praktis yang relevan sepanjang masa.
Penggunaan kata 'Ibad Ar-Rahman' (Hamba-hamba Yang Maha Pengasih) adalah pilihan linguistik dan teologis yang sangat kuat. Ini bukan sekadar 'hamba Allah' (Abdullah) biasa, tetapi penamaan yang dilekatkan secara langsung pada salah satu sifat Allah yang paling agung dan universal, yaitu Ar-Rahman. Ar-Rahman merangkumi kasih sayang yang meliputi segala sesuatu, baik bagi Mukmin maupun non-Mukmin, mencerminkan pemeliharaan dan anugerah. Ketika hamba dinisbatkan kepada sifat ini, hal itu menyiratkan bahwa mereka adalah manifestasi dari kasih sayang dan rahmat Allah di muka bumi. Mereka adalah duta kebaikan, yang perilakunya mencerminkan kemurahan hati dan kedamaian Ilahi.
Status 'Ibad Ar-Rahman' adalah puncak dari spiritualitas yang terintegrasi, bukan hanya sekadar kepatuhan ritual. Mereka yang mencapai gelar ini adalah individu yang telah memadukan ketundukan total (ibadah) dengan pemahaman mendalam tentang sifat pengasih dan penyayang Tuhannya. Mereka menyadari bahwa segala kebaikan yang mereka lakukan adalah buah dari Rahmat-Nya, sehingga tidak ada ruang bagi kesombongan atau kebanggaan diri. Kesadaran ini menumbuhkan fondasi psikologis untuk karakteristik pertama, yakni kerendahan hati. Mereka tahu bahwa kemuliaan sejati datang dari pengakuan bahwa diri mereka hanyalah hamba yang lemah di hadapan Dzat Yang Maha Kuasa.
Konsep kehambaan ini, 'ubudiyah, adalah inti dari keberadaan manusia. Namun, kehambaan yang disandingkan dengan Ar-Rahman menyiratkan kualitas istimewa. Ini adalah kehambaan yang didasari oleh cinta dan harapan, bukan hanya rasa takut. Mereka melayani dengan penuh syukur dan kesadaran bahwa Rahman (kasih sayang) Allah mendahului ghadhab (murka)-Nya. Oleh karena itu, kehidupan seorang Ibad Ar-Rahman adalah perwujudan dari keseimbangan sempurna antara pengharapan (raja') dan ketakutan (khauf), yang menghasilkan perilaku yang santun, damai, dan stabil, terlepas dari kondisi eksternal yang melingkupinya. Keagungan nama ini menuntut manifestasi akhlak yang luar biasa, dimulai dari cara mereka berinteraksi dengan dunia fisik dan sosial.
Frasa 'mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati', menggunakan kata kunci 'hawna' (هَوْنًا). Secara harfiah, 'hawna' berarti ketenangan, kelembutan, dan tanpa arogansi. Ini adalah gambaran yang sangat visual tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya menjalani hidupnya. 'Berjalan di bumi' bukanlah sekadar gerakan fisik, melainkan metafora untuk menjalani kehidupan, melakukan aktivitas sosial, dan berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungan.
Jalan yang ditempuh oleh Ibad Ar-Rahman adalah jalan yang tidak mengandung unsur keangkuhan, kesombongan, atau pamer kekuatan. Dalam tafsir klasik, para ulama menekankan bahwa 'hawna' mencakup: pertama, cara berjalan yang tenang, tidak tergesa-gesa tanpa alasan yang mendesak, dan tidak dibuat-buat seperti orang yang sombong; kedua, kerendahan hati spiritual yang menafikan segala bentuk klaim keunggulan diri. Mereka sadar bahwa semua pencapaian adalah anugerah, bukan hasil murni dari usaha mereka sendiri yang lepas dari campur tangan Ilahi.
Kontras yang ditarik oleh ayat ini adalah dengan mereka yang berjalan dengan penuh keangkuhan, membusungkan dada, atau menghentakkan kaki dengan keras, yang tujuannya adalah menarik perhatian dan menunjukkan dominasi, sebagaimana dikutuk dalam Surah Luqman. Jalan yang 'hawna' adalah jalan orang yang merasa dirinya kecil di hadapan kebesaran Pencipta. Perasaan ini menghasilkan perilaku yang inklusif, tidak meremehkan orang lain, dan selalu bersedia menerima kebenaran dari siapapun sumbernya.
Lebih dari sekadar langkah kaki, 'hawna' merasuk ke dalam jiwa, membentuk sikap mental yang stabil dan damai. Ini adalah kesadaran bahwa bumi yang mereka pijak adalah milik Allah, dan kehidupan mereka adalah titipan. Kesadaran akan keterbatasan diri ini menghilangkan dorongan untuk bersaing dalam hal-hal duniawi yang sia-sia dan mengarahkan fokus pada peningkatan kualitas penghambaan. Kerendahan hati yang sejati, yang diisyaratkan oleh 'hawna', adalah sumber kekuatan batin yang besar, memungkinkan mereka menghadapi ujian hidup tanpa kehilangan ketenangan dan tanpa merasa perlu membuktikan diri kepada orang lain melalui cara-cara yang merusak akhlak.
Dalam masyarakat kontemporer yang didominasi oleh media sosial dan budaya pamer, makna 'hawna' menjadi semakin relevan dan menantang. Berjalan dengan rendah hati kini tidak hanya berarti cara berjalan di jalanan, tetapi juga cara kita menampilkan diri di ruang publik virtual. Ibad Ar-Rahman menjaga lisan dan jemari mereka dari kesombongan digital, menghindari unggahan yang bertujuan memamerkan kekayaan, kesuksesan, atau superioritas moral mereka atas orang lain. Mereka menggunakan platform mereka untuk kebaikan, bukan untuk meninggikan ego atau merendahkan martabat sesama manusia.
Sikap rendah hati ini termanifestasi dalam kepemimpinan yang melayani, di mana seorang pemimpin tidak merasa lebih tinggi dari bawahannya, melainkan merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka. Ia juga terlihat dalam interaksi intelektual, di mana seorang ilmuwan atau cendekiawan berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami, tidak menggunakan istilah yang rumit hanya untuk memamerkan pengetahuannya. 'Hawna' adalah integritas yang konsisten antara apa yang dipikirkan, apa yang diucapkan, dan bagaimana hidup itu dijalani. Kerendahan hati ini adalah perisai dari kehancuran spiritual yang diakibatkan oleh arogansi dan keangkuhan yang merajalela dalam peradaban yang serba cepat ini. Kehidupan mereka adalah bukti bahwa kekuatan sejati terletak pada pengendalian diri dan keikhlasan, bukan pada tampilan luar yang menipu.
Bagian kedua dari ayat 63 menggambarkan bagaimana Ibad Ar-Rahman bereaksi terhadap provokasi. "Apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan kata-kata menghina), mereka mengucapkan 'salam'." Ini adalah ujian etika yang sesungguhnya. Ketika seseorang berjalan dengan rendah hati, ia sering kali menjadi sasaran empuk bagi orang-orang yang tidak dewasa atau 'jahil' (al-jahilūn).
Penting untuk dipahami bahwa 'Al-Jahilūn' di sini tidak hanya merujuk pada orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan formal. Lebih dari itu, ia merujuk pada orang yang bertindak bodoh secara moral, tidak beradab, kasar, atau bertindak di luar batas etika, meskipun mereka mungkin memiliki gelar akademik yang tinggi. Mereka adalah orang-orang yang melontarkan penghinaan, ejekan, atau kata-kata yang bertujuan memancing amarah.
Reaksi yang diajarkan oleh Al-Qur'an adalah mengucapkan 'Salāmā' (Kedamaian). 'Salāmā' di sini memiliki beberapa interpretasi yang kaya:
Respon 'Salāmā' adalah puncak dari pengendalian diri. Ini adalah strategi yang menang-menang secara spiritual. Dengan menahan diri dari membalas hinaan, Ibad Ar-Rahman tidak hanya menjaga kehormatan dan kemuliaan dirinya, tetapi juga menolak untuk tenggelam dalam level moral yang sama dengan orang yang memprovokasi. Kesabaran ini adalah bukti dari kekuatan internal yang besar. Jika mereka membalas, mereka telah membiarkan orang lain mengendalikan emosi dan perilaku mereka. Dengan memilih kedamaian, mereka mempertahankan otonomi spiritual mereka dan menunjukkan kematangan akhlak yang luar biasa.
Keindahan dari 'Salāmā' terletak pada fakta bahwa ia menuntut keberanian yang jauh lebih besar daripada sekadar membalas. Membalas adalah naluri, tetapi memilih kedamaian adalah pilihan sadar yang lahir dari keyakinan bahwa pahala dari Allah jauh lebih berharga daripada kepuasan sesaat dari pembalasan verbal. Reaksi ini juga melatih jiwa untuk memaafkan dan mengabaikan kesalahan kecil orang lain, sebuah pelajaran krusial dalam membangun masyarakat yang harmonis. Hati yang telah diisi oleh Rahmaniyah (Kasih Sayang Ilahi) tidak mungkin membiarkan dirinya ternoda oleh kebencian dan kemarahan yang dipicu oleh kebodohan orang lain.
Kerendahan hati (hawna) dan kesabaran (salama) yang ditunjukkan di muka umum (siang hari) hanya mungkin dicapai jika didukung oleh fondasi spiritual yang kuat di balik layar (malam hari). Inilah mengapa ayat berikutnya segera beralih dari interaksi sosial ke interaksi vertikal (dengan Allah), yaitu qiyamul lail (ibadah malam), sebagai pondasi spiritual yang mendukung akhlak mulia tersebut. (QS 25:64):
"Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka."
Ibadah malam (qiyam) bukanlah sekadar ritual; ia adalah pabrik pembuatan karakter Ibad Ar-Rahman. Di tengah keheningan malam, ketika sorotan publik telah padam, kerendahan hati yang mereka tunjukkan di siang hari diuji kembali dalam bentuk sujud dan doa yang tulus. Mereka menyadari bahwa kerendahan hati terhadap sesama harus berakar pada kerendahan hati yang total di hadapan Sang Pencipta. Sujud pada dasarnya adalah tindakan tertinggi dari kerendahan hati fisik, menempatkan bagian tubuh termulia (kening) pada posisi yang paling rendah di tanah. Ini adalah pengakuan mutlak akan kelemahan dan ketergantungan.
Keterkaitan antara ayat 63 dan 64 mengajarkan kita bahwa perilaku sosial yang terpuji bukanlah kepura-puraan yang dilakukan di hadapan orang lain, melainkan luapan alami dari hati yang telah diasah dan dimurnikan melalui dialog pribadi yang intens dengan Allah di waktu malam. Mereka mampu bersabar menghadapi kejahilan karena mereka telah mengisi hati mereka dengan kekuatan dari sumber yang tak terbatas. Kerendahan hati sejati lahir dari pengakuan bahwa segala pujian dan kemuliaan hanya milik Allah, sehingga celaan dan hinaan manusia menjadi tidak berarti di mata mereka. Orang yang rutin merenung dan bersujud di malam hari akan menemukan kedamaian yang dibutuhkan untuk menanggapi provokasi di siang hari dengan 'Salāmā'.
Setelah kerendahan hati dan ibadah malam, Ibad Ar-Rahman dicirikan oleh kepedulian yang mendalam terhadap nasib akhirat mereka, memohon perlindungan dari azab neraka (QS 25:65-66):
"Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.” Sesungguhnya ia (Jahannam) adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman."
Permintaan ini bukanlah ungkapan rasa takut yang paralyzing, tetapi sebuah refleksi dari kesadaran spiritual yang tinggi. Orang yang rendah hati menyadari bahwa meskipun mereka telah berusaha keras, kekurangan dan kesalahan tetap ada. Mereka tidak pernah merasa aman dari murka Allah. Doa ini menunjukkan kewaspadaan spiritual yang konstan. Ini adalah introspeksi yang mendorong mereka untuk terus memperbaiki diri dan tidak pernah puas dengan amal yang telah dilakukan. Ketakutan yang sehat terhadap neraka ini adalah motivasi yang mendorong mereka untuk mempertahankan kerendahan hati dan menghindari dosa-dosa besar yang dapat merusak kualitas kehambaan mereka.
Hubungan antara kerendahan hati dan ketakutan pada Neraka sangat erat: Orang sombong cenderung merasa bahwa amal baik mereka sudah cukup untuk menjamin surga, sehingga mereka lalai. Sebaliknya, Ibad Ar-Rahman, karena kerendahan hatinya, selalu merasa kurang dalam ibadah dan amal, membuat mereka terus memohon ampunan dan perlindungan. Sikap inilah yang membuat mereka senantiasa menjaga interaksi sosial mereka tetap berada dalam koridor 'hawna' dan 'salāmā'. Mereka menghindari pertengkaran dan kejahilan karena mereka takut bahwa perilaku buruk sekecil apapun dapat mengurangi bobot amal kebaikan mereka di hari perhitungan.
Karakteristik Ibad Ar-Rahman juga mencakup etika ekonomi yang adil dan moderat (QS 25:67):
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian."
Sikap moderat atau qawwamah dalam pembelanjaan adalah manifestasi lain dari kerendahan hati. Orang yang sombong seringkali boros (israf) untuk memamerkan kekayaan atau kemewahan, atau sebaliknya, terlalu kikir karena takut kehilangan harta, yang keduanya merupakan manifestasi dari ketidakpercayaan atau cinta dunia yang berlebihan. Ibad Ar-Rahman menyeimbangkan antara kikir dan boros. Mereka membelanjakan harta untuk kebutuhan yang benar, termasuk menafkahi keluarga, membantu sesama, dan berinfak di jalan Allah, tanpa jatuh ke dalam jebakan pameran atau pemborosan yang tidak perlu.
Keseimbangan finansial ini mencerminkan keseimbangan spiritual. Mereka tidak membiarkan dunia menguasai hati mereka. Pengeluaran mereka adalah cerminan dari prioritas yang benar. Kerendahan hati mengajarkan mereka bahwa harta adalah alat, bukan tujuan. Oleh karena itu, mereka menggunakan harta dengan bijaksana, memastikan bahwa pembelanjaan mereka tidak menimbulkan kesenjangan sosial yang mencolok atau menyebabkan kerusakan lingkungan. Sikap ini memperkuat 'hawna' dalam kehidupan sehari-hari, karena mereka tidak menggunakan kekayaan untuk mendominasi atau merendahkan orang lain, tetapi justru sebagai sarana untuk berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Ar-Rahman.
Lanjutan dari karakteristik Ibad Ar-Rahman menetapkan batasan moral yang sangat jelas, yaitu menjauhi tiga dosa besar fundamental yang merusak tauhid dan kehidupan sosial (QS 25:68):
"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan (dosa)."
Tiga larangan ini (syirik, pembunuhan, dan zina) merupakan tiang pancang kehambaan sejati. Syirik (mempersekutukan Allah) adalah dosa terbesar yang menghancurkan pondasi tauhid. Pembunuhan merusak tatanan sosial dan hak hidup. Zina merusak kehormatan dan tatanan keluarga. Menghindari dosa-dosa ini adalah bukti dari komitmen total seorang Ibad Ar-Rahman terhadap perjanjian mereka dengan Ar-Rahman.
Bagaimana hal ini berhubungan dengan ayat 63? Kerendahan hati melindungi seseorang dari kesombongan yang dapat mengarah pada syirik (klaim otonomi atau keakuan yang berlebihan). Kesabaran terhadap kejahilan melindungi dari kemarahan yang dapat berujung pada pembunuhan. Pengendalian diri yang dihasilkan dari ibadah malam melindungi dari dorongan hawa nafsu yang dapat menyebabkan zina. Jadi, karakteristik akhlak yang lembut di ayat 63 adalah cerminan eksternal dari kesucian internal yang dijaga dengan menghindari dosa-dosa fundamental yang merusak jiwa dan masyarakat.
Setelah menyebutkan ancaman bagi pelaku dosa besar, Al-Qur'an segera membuka pintu harapan bagi Ibad Ar-Rahman yang mungkin tergelincir (QS 25:70):
"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini menegaskan bahwa bahkan jika seorang hamba telah jatuh ke dalam dosa yang paling serius sekalipun, pintu untuk kembali kepada status Ibad Ar-Rahman selalu terbuka melalui tobat yang tulus, perbaikan iman, dan amal saleh. Konsep bahwa kejahatan dapat diganti dengan kebaikan (*tabdil as-sayyiat bil hasanat*) adalah puncak dari Rahmaniyah Allah. Ini memberi dorongan spiritual yang luar biasa bagi mereka yang sedang berjuang melawan nafsu. Ini mengajarkan bahwa kerendahan hati sejati juga berarti mengakui kesalahan dan berani kembali ke jalan yang benar, tanpa terperangkap dalam keputusasaan.
Orang yang sombong sulit bertobat karena tobat memerlukan pengakuan bahwa ia salah. Ibad Ar-Rahman, yang hatinya telah terbiasa dengan kerendahan hati (hawna), lebih mudah melakukan introspeksi dan mengakui kesalahannya. Inilah yang membuat mereka terus berkembang dan membersihkan jiwa mereka. Kualitas tobat ini melengkapi gambaran mereka sebagai hamba yang senantiasa mencari kesucian dan kedekatan dengan Ar-Rahman, terlepas dari kelemahan manusiawi yang mungkin mereka miliki.
Karakteristik selanjutnya kembali menyoroti interaksi sosial (QS 25:72):
"Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya."
Menghindari kesaksian palsu adalah integritas vertikal dan horizontal. Integritas ini merupakan buah dari kerendahan hati, karena orang sombong mungkin bersaksi palsu demi keuntungan atau untuk memenangkan perselisihan. Ibad Ar-Rahman menjunjung tinggi kebenaran di atas kepentingan pribadi. Lebih jauh, sikap mereka terhadap majelis yang sia-sia (laghw) adalah kelanjutan dari prinsip 'Salāmā' yang ditetapkan di ayat 63.
Jika di ayat 63 mereka menghadapi provokasi dengan kedamaian, di ayat 72 mereka menghadapi kesia-siaan dan hiburan yang melalaikan dengan martabat. Mereka tidak mencampuri atau menghakimi secara kasar, tetapi mereka memilih untuk menjaga kehormatan diri mereka (*kurūmā*) dengan menjauh. Ini adalah bentuk kerendahan hati yang aktif; mereka tidak merasa perlu untuk memaksakan pandangan mereka pada orang lain atau terlibat dalam hal yang tidak bermanfaat, tetapi cukup dengan menarik diri dengan sopan. Mereka menyadari bahwa waktu adalah aset berharga yang harus dihabiskan untuk hal-hal yang mendekatkan mereka kepada Ar-Rahman.
Dua karakteristik terakhir melengkapi gambaran Ibad Ar-Rahman: kepekaan terhadap wahyu dan kepedulian terhadap keturunan (QS 25:73-74):
"Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menjadi tuli dan buta."
Kerendahan hati (hawna) adalah syarat mutlak untuk menerima kebenaran. Orang yang sombong akan menolak wahyu karena kebenaran seringkali menuntut perubahan yang sulit dan pengakuan atas kesalahan. Ibad Ar-Rahman, karena hati mereka lembut dan rendah hati, menerima ayat-ayat Allah dengan terbuka. Mereka adalah orang-orang yang selalu siap mendengarkan, merenungkan, dan mengimplementasikan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah, tidak bersikap tuli dan buta terhadap kebenaran yang datang kepada mereka.
Puncak dari penghambaan mereka adalah doa untuk keluarga yang saleh (QS 25:74):
"Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (qurrata a’yun), dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.”"
Doa ini menyatukan semua karakteristik sebelumnya. Seorang Ibad Ar-Rahman tidak hanya memikirkan kesalehan individunya, tetapi juga kesalehan kolektif keluarganya. Mereka tidak puas menjadi orang baik biasa, tetapi bercita-cita menjadi 'imam' (pemimpin/panutan) bagi orang-orang yang bertakwa. Ini adalah ambisi yang lahir dari kerendahan hati: ambisi untuk melayani, memimpin dengan keteladanan, dan menyebarkan kebaikan, bukan ambisi untuk mendominasi atau mendapatkan pujian duniawi. Mereka ingin keluarga mereka menjadi sumber kedamaian (*qurrata a’yun*), sebuah cerminan dari 'Salāmā' yang mereka sebarkan dalam interaksi sosial mereka.
Keseluruhan rangkaian karakteristik Ibad Ar-Rahman—dari kerendahan hati berjalan di bumi (ayat 63) hingga keinginan menjadi pemimpin teladan (ayat 74)—merupakan sebuah kurikulum akhlak yang terintegrasi dan saling mendukung. Ayat 63 adalah dasar pijakan yang darinya semua kualitas lain muncul. Jika seseorang gagal dalam kerendahan hati, niscaya ia akan gagal pula dalam menjaga qiyamul lail (karena ibadah malam akan menjadi formalitas tanpa ruh), ia akan boros atau kikir (karena ingin pamer atau serakah), dan ia akan sulit menerima ayat-ayat Allah (karena hati yang sombong menolak kebenaran).
Kerendahan hati ('hawna') memastikan bahwa kekayaan atau kekuasaan yang dimiliki tidak merusak integritas moral. Ia berfungsi sebagai penyeimbang terhadap godaan-godaan duniawi. Sementara 'Salāmā' adalah mekanisme pertahanan sosial yang memastikan bahwa Ibad Ar-Rahman tidak pernah menjadi bagian dari masalah, melainkan selalu menjadi bagian dari solusi—atau setidaknya, menjadi pihak yang netral dan damai di tengah konflik. Mereka adalah jangkar ketenangan dalam masyarakat yang seringkali bergejolak dan penuh dengan perselisihan yang tidak perlu.
Praktik kerendahan hati ini membutuhkan latihan mental yang terus menerus. Ini berarti secara sadar meredam ego, mengakui kelemahan, dan secara aktif mencari jalan untuk memberikan manfaat kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau pengakuan. Ketika kerendahan hati telah mengakar, respon 'Salāmā' menjadi otomatis. Ketika seseorang dihina, respons otomatisnya bukanlah kemarahan, tetapi belas kasihan terhadap orang jahil tersebut, dan pilihan untuk menjaga energi dan fokus spiritual untuk urusan yang lebih penting.
Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang bercita-cita mencapai derajat Ibad Ar-Rahman, fokus harus dimulai dari pintu masuk yang diajarkan oleh Al-Furqan: Cara berjalan dan cara berbicara. Kedua hal ini, yang terlihat sepele, ternyata adalah cermin jiwa yang paling jujur. Gerak tubuh yang tenang dan respons yang damai adalah tanda-tanda pertama dari hati yang telah menyerah sepenuhnya kepada Ar-Rahman dan telah menemukan kedamaian sejati di dalamnya.
Kehidupan Ibad Ar-Rahman adalah sebuah perjalanan yang dicirikan oleh ketenangan, bukan kegaduhan; oleh substansi batin, bukan tampilan luar. Kerendahan hati mereka membuat mereka dicintai oleh manusia dan dirahmati oleh Sang Pencipta. Mereka menjalani kehidupan di dunia ini sebagai tamu yang terhormat, berjalan dengan langkah kaki yang ringan di atas bumi, dan meninggalkan jejak kedamaian di mana pun mereka berada. Inilah warisan abadi dari firman Allah dalam Surah Al-Furqan ayat 63, sebuah tuntunan yang tak lekang oleh waktu menuju kesempurnaan akhlak dan ketinggian spiritual.
Implementasi dari konsep 'hawna' dan 'salāmā' harus menjadi fokus utama dalam pendidikan karakter Muslim. Kerendahan hati bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti dari kekuatan internal yang dihasilkan dari hubungan yang mendalam dengan Allah. Mereka yang berjalan dengan 'hawna' tidak gentar oleh tekanan sosial atau hinaan, karena nilai diri mereka tidak ditentukan oleh pendapat manusia, melainkan oleh janji Ar-Rahman. Ketika dunia mencoba memprovokasi dan merusak kedamaian batin, Ibad Ar-Rahman merespons dengan kata-kata yang menenangkan: 'Salāmā'—sebuah penolakan lembut terhadap konflik dan sebuah penegasan abadi terhadap prinsip kedamaian. Ini adalah revolusi akhlak yang dimulai dari langkah kaki dan berakhir di keheningan hati yang penuh ketundukan.
Kita dapat melihat bahwa setiap karakteristik Ibad Ar-Rahman adalah batu bata yang saling menguatkan. Kerendahan hati yang ditunjukkan di muka bumi adalah hasil dari sujud dan berdiri di malam hari. Sujud dan berdiri di malam hari memberikan kekuatan untuk menahan diri dari boros atau kikir, dan untuk menjauhi dosa-dosa besar. Keseluruhan proses ini, yang dimulai dari ayat 63, menciptakan individu yang bukan hanya saleh secara ritual, tetapi juga stabil, adil, dan menjadi sumber kedamaian bagi lingkungannya. Mereka adalah duta Rahmat di bumi, yang perilakunya senantiasa memancarkan cahaya dan ketenangan, sebuah kontras yang menyejukkan di tengah hiruk pikuk kehidupan modern.
Kesadaran akan status sebagai hamba Ar-Rahman memotivasi mereka untuk senantiasa mencari kesempurnaan dalam setiap aspek kehidupan. Bahkan dalam hal-hal kecil seperti cara berjalan, mereka berusaha mencerminkan keagungan sifat yang melekat pada nama 'Ar-Rahman'. Sikap rendah hati ini juga berarti selalu siap belajar dan menerima nasihat, bahkan dari mereka yang dianggap lebih rendah statusnya. Mereka menghindari sikap defensif ketika dikritik, karena tujuan mereka adalah keridaan Allah, bukan pujian manusia. Inilah yang membedakan kerendahan hati sejati dari kepura-puraan. Kerendahan hati sejati adalah keadaan permanen jiwa, bukan pertunjukan sesaat untuk mendapatkan simpati.
Dalam menghadapi orang-orang jahil, respons 'Salāmā' bukan berarti penyerahan diri atau penerimaan terhadap kejahilan. Sebaliknya, itu adalah penegasan diri yang paling kuat. Itu adalah pernyataan: "Kami tahu jalan kami, dan kami tidak akan membiarkan kebodohanmu menyimpangkan kami dari jalan kedamaian yang kami pilih." Ini adalah strategi pasif-agresif yang positif, yang mengisolasi perilaku buruk tanpa perlu menciptakan konflik baru. Mereka memutus rantai kebencian dan kejahilan dengan menyiramnya dengan air kedamaian. Kesabaran ini, yang berakar pada keyakinan mendalam, adalah perisai terbaik melawan kerugian emosional dan spiritual.
Penting untuk menggarisbawahi bahwa perjalanan menuju status Ibad Ar-Rahman adalah perjalanan seumur hidup. Tidak ada titik akhir di mana seseorang dapat menyatakan bahwa ia telah sepenuhnya mencapai kerendahan hati sempurna. Sebaliknya, ia adalah perjuangan terus menerus melawan ego (nafs) yang selalu ingin meninggikan diri. Dengan rutin merenungkan ayat 63, dan secara sadar mengoreksi setiap langkah dan setiap perkataan, seorang Muslim dapat secara bertahap menanamkan sifat 'hawna' dan 'salāmā' ke dalam intisari kepribadiannya, menjadikannya respons alami terhadap kehidupan, bukan sekadar reaksi yang dipaksakan. Inilah janji yang terkandung dalam Al-Qur'an: bahwa melalui perjuangan akhlak ini, hamba akan diangkat ke derajat kemuliaan yang abadi, menjadi pewaris tertinggi dari janji surga.
Maka, mari kita tinjau kembali kehidupan sehari-hari kita melalui lensa Al-Furqan 63. Bagaimana cara kita berjalan ketika kita merasa unggul? Bagaimana cara kita merespons ketika kita diperlakukan tidak adil, baik di dunia nyata maupun di media sosial? Apakah langkah kaki kita mencerminkan keangkuhan, ataukah ia mencerminkan ketenangan seorang hamba yang menyadari tempatnya? Apakah lisan kita membalas kejahilan dengan kejahilan yang lebih parah, ataukah kita memilih untuk melafalkan 'Salāmā' dan menjaga martabat hati kita? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan seberapa dekat kita dengan status mulia yang disebut sebagai Ibad Ar-Rahman, hamba-hamba pilihan Yang Maha Pengasih.
Kehidupan yang diliputi oleh 'hawna' adalah kehidupan yang bebas dari kecemasan akan opini orang lain. Ibad Ar-Rahman tidak mencari validasi dari dunia, melainkan dari Tuhannya. Mereka menjalani hidup mereka dengan integritas yang tenang, mengetahui bahwa pengawasan utama adalah dari Ar-Rahman. Kepercayaan diri yang mereka miliki bukan berasal dari pencapaian duniawi, melainkan dari keteguhan iman dan kualitas ibadah mereka. Oleh karena itu, kritik dan hinaan yang datang dari orang jahil tidak mampu menembus perisai spiritual mereka.
Sikap 'Salāmā' juga mengajarkan kita tentang prioritas. Ketika seseorang memprovokasi, energi dan waktu dihabiskan untuk perselisihan yang sia-sia. Dengan menolak untuk terlibat, Ibad Ar-Rahman menghemat energi itu untuk hal-hal yang lebih bermanfaat: ibadah malam, amal saleh, dan pelayanan kepada masyarakat. Mereka tahu bahwa pertempuran sejati adalah pertempuran melawan diri sendiri dan hawa nafsu, bukan pertempuran verbal dengan orang lain. Dengan memilih kedamaian, mereka memastikan bahwa fokus mereka tetap utuh pada tujuan akhir mereka: keridaan Ar-Rahman.
Dampak dari menjalani ayat 63 ini sangat luas, melampaui batas-batas individu. Jika setiap anggota masyarakat menerapkan kerendahan hati dan kesantunan ini, konflik sosial akan berkurang drastis. Lingkungan kerja akan menjadi lebih kolaboratif, diskusi publik akan menjadi lebih konstruktif, dan hubungan antar sesama akan diwarnai oleh rasa saling menghormati, meskipun terdapat perbedaan pandangan. Kerendahan hati menumbuhkan empati, dan empati adalah kunci untuk mengucapkan 'Salāmā' kepada orang yang jahil, karena kita mampu melihat di balik perilaku buruk mereka dan menyadari kekurangan yang mungkin mereka alami.
Dalam konteks dakwah, ayat ini mengajarkan metodologi yang paling efektif. Berjalan dengan 'hawna' berarti dakwah dilakukan tanpa paksaan, tanpa arogansi superioritas moral. Merespons dengan 'Salāmā' berarti dakwah dilakukan dengan kesabaran dan kelembutan, menolak untuk menggunakan penghinaan meskipun diprovokasi. Keindahan akhlak Ibad Ar-Rahman menjadi daya tarik yang lebih kuat daripada seribu kata-kata ceramah. Mereka berdakwah melalui teladan hidup, menjadi bukti nyata bahwa kesalehan dan kerendahan hati dapat hidup berdampingan, menghasilkan pribadi yang kuat namun lembut, tegas namun santun. Inilah esensi dari menjadi hamba sejati Yang Maha Pengasih.
Penerapan ajaran Al-Furqan ayat 63 secara komprehensif menuntut revolusi pribadi dalam cara kita memandang diri sendiri dan orang lain. Pertama, kita harus menghilangkan ilusi bahwa kita lebih baik dari orang lain. Kerendahan hati yang sejati mengharuskan kita untuk selalu melihat kebaikan dalam diri orang lain dan kelemahan dalam diri sendiri. Kedua, kita harus melatih diri untuk menunda reaksi emosional. 'Salāmā' adalah jeda antara stimulus (provokasi) dan respons (aksi). Jeda inilah yang memberi ruang bagi hati untuk memilih kedamaian daripada konflik, kesabaran daripada kemarahan. Melalui latihan yang konsisten ini, seorang Muslim dapat bertransformasi dari sekadar individu yang beribadah menjadi Ibad Ar-Rahman, seorang hamba yang membawa kedamaian dan kasih sayang ke mana pun ia melangkah di muka bumi.
Kesimpulan dari perjalanan spiritual ini adalah bahwa gelar Ibad Ar-Rahman adalah kehormatan tertinggi yang dapat diraih manusia, dan gelar ini dimulai dengan langkah kaki yang tenang dan kata-kata yang damai. Ini adalah bukti bahwa Islam menekankan bahwa ibadah tidak terpisah dari etika sosial. Kualitas hubungan vertikal (dengan Allah) akan selalu tercermin dalam kualitas hubungan horizontal (dengan manusia). Semakin kuat fondasi kerendahan hati yang dibangun melalui ibadah malam dan kesadaran diri, semakin mudah bagi seorang Muslim untuk menghadapi kejahilan dunia dengan senyuman dan kedamaian, dan semakin ia layak menyandang nama mulia Hamba-hamba Yang Maha Pengasih.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan ayat 63 dari Surah Al-Furqan sebagai tolok ukur utama dalam introspeksi diri harian. Setiap pagi, kita harus memperbarui niat untuk menjalani hari dengan 'hawna', dan setiap interaksi, kita harus mempersiapkan hati untuk merespons dengan 'Salāmā'. Dengan demikian, kita tidak hanya mendekatkan diri pada keridaan Allah, tetapi juga berkontribusi pada penciptaan lingkungan sosial yang lebih tenang, lebih manusiawi, dan lebih bermartabat. Ini adalah panggilan untuk menjadi mercusuar ketenangan di tengah lautan kekacauan, panggilan untuk menjadi Ibad Ar-Rahman yang sejati dan berkelanjutan.
Kehidupan Ibad Ar-Rahman adalah sebuah perwujudan harmoni: harmoni antara tubuh dan jiwa, antara ibadah ritual dan interaksi sosial, serta antara dunia dan akhirat. Mereka adalah orang-orang yang telah menemukan titik keseimbangan sejati, di mana kerendahan hati mereka tidak membuat mereka menjadi lemah, dan kesabaran mereka tidak membuat mereka menjadi pasif. Sebaliknya, mereka adalah individu-individu yang paling kuat karena mereka telah menguasai diri mereka sendiri dan telah menempatkan ego mereka di bawah kendali kehambaan yang tulus kepada Ar-Rahman. Langkah kaki mereka yang tenang di bumi adalah melodi yang mengiringi pujian mereka kepada Allah, sebuah puisi hidup yang indah tentang penyerahan dan kedamaian abadi. Mereka adalah pewaris Firdaus, dan janji mulia itu adalah imbalan atas perjuangan etika yang konsisten, dimulai dari langkah pertama yang rendah hati.
Sesungguhnya, tidak ada kehormatan yang lebih besar bagi jiwa manusia selain diakui secara langsung oleh Tuhan Yang Maha Pengasih sebagai hamba-Nya yang istimewa. Status ini tidak dibeli dengan kekayaan atau diperoleh dengan jabatan, melainkan dibentuk melalui perjuangan internal untuk menanggalkan kesombongan dan merangkul kerendahan hati, menjadikannya pakaian yang dikenakan dalam setiap langkah kehidupan. Mereka adalah individu yang paling dicari dalam komunitas, karena kehadiran mereka membawa ketenangan, kata-kata mereka membawa hikmah, dan perpisahan mereka meninggalkan kesan damai. Keagungan mereka terletak pada kesederhanaan, dan kekuatan mereka terletak pada ketenangan, persis sebagaimana digambarkan oleh firman suci: 'mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati' dan 'mengucapkan salam'.
Kesabaran adalah kunci utama yang memungkinkan 'Salāmā' menjadi respons otomatis. Orang yang tidak sabar akan mudah terpancing emosi dan membalas penghinaan dengan penghinaan. Namun, Ibad Ar-Rahman telah melatih jiwa mereka untuk melihat jauh melampaui provokasi sesaat. Mereka melihat gambaran yang lebih besar: hubungan mereka dengan Ar-Rahman dan janji kehidupan kekal. Dalam perspektif yang luas ini, kata-kata kasar dari orang yang jahil menjadi tidak penting. Mereka memilih untuk berinvestasi pada pahala kesabaran daripada kepuasan sementara dari pembalasan. Praktik ini berulang kali ditekankan dalam ajaran Islam, bahwa kesabaran terhadap kebodohan manusia adalah salah satu bentuk jihad terbesar, dan Ibad Ar-Rahman adalah pahlawan dalam jihad ini.
Kualitas kerendahan hati yang berkelanjutan ini menjamin bahwa setiap ibadah yang mereka lakukan—mulai dari salat, puasa, zakat, hingga haji—diwarnai oleh keikhlasan dan jauh dari riya' (pamer). Sebab, jika kerendahan hati (hawna) adalah inti karakter, maka tidak mungkin ibadah mereka dilakukan untuk mencari pujian manusia. Ibadah mereka adalah murni dialog cinta dan kepatuhan kepada Ar-Rahman. Hal ini menjelaskan mengapa Surah Al-Furqan memilih kerendahan hati sebagai karakteristik pembuka, karena ia adalah pembersih niat, yang memastikan bahwa semua amal saleh berikutnya diterima dengan baik. Tanpa 'hawna' di ayat 63, semua ibadah dan amal saleh di ayat-ayat selanjutnya berisiko menjadi kosong dan tidak bernilai di sisi Allah.
Akhirnya, marilah kita jadikan Surah Al-Furqan ayat 63 sebagai peta jalan menuju pemuliaan diri. Bukan dengan mencari ketenaran, tetapi dengan mencari kerendahan hati. Bukan dengan mencari konflik, tetapi dengan menyebarkan kedamaian. Ketika kita berhasil menerapkan kedua prinsip fundamental ini—berjalan dengan 'hawna' dan merespons dengan 'Salāmā'—kita telah mengambil langkah pertama dan paling penting untuk menjadi bagian dari rombongan mulia, Hamba-hamba Yang Maha Pengasih, yang dijanjikan kedudukan tertinggi di Surga.
Mereka yang berhasil menginternalisasi ajaran ini adalah mereka yang telah menguasai seni hidup yang seimbang. Keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebutuhan duniawi dan tuntutan akhirat, antara bersosialisasi dan menyendiri untuk beribadah. Mereka tidak ekstrim dalam sikap mereka, melainkan menempuh jalan tengah yang penuh kebijaksanaan. Kebijaksanaan ini adalah buah dari hati yang rendah hati dan lisan yang terkontrol, yang dijamin oleh Al-Qur'an akan membawa pelakunya kepada kesuksesan abadi dan penerimaan penuh dari Ar-Rahman.
Oleh karena itu, setiap langkah kaki yang kita ambil di bumi ini harus menjadi pernyataan kehambaan. Jika langkah itu tenang, itu adalah 'hawna'. Jika langkah itu tergesa-gesa karena urusan dunia, kita perlu mengoreksinya. Setiap kata yang keluar dari lisan kita harus melewati saringan kedamaian. Jika kata itu provokatif, kita perlu menahannya. Jika kata itu menenangkan, itulah 'Salāmā'. Dengan meninjau kembali pergerakan fisik dan ucapan verbal kita, kita secara konstan menegaskan komitmen kita untuk hidup sebagai Ibad Ar-Rahman, pribadi yang membawa rahmat dan ketenangan di tengah dinamika kehidupan yang serba cepat dan seringkali penuh amarah.
Penting untuk diingat bahwa 'hawna' tidak berarti kelemahan atau kepasifan total. Kerendahan hati yang diajarkan Islam adalah kerendahan hati yang bermartabat. Ibad Ar-Rahman memiliki kekuatan untuk membela kebenaran dan melawan kezaliman, tetapi mereka melakukannya tanpa arogansi, tanpa mencari kekuasaan pribadi, dan selalu dengan niat yang murni. Ketika mereka harus berjuang, perjuangan mereka dilakukan dengan martabat dan pengendalian diri yang sama, mencerminkan prinsip 'hawna' dalam medan yang paling sulit sekalipun. Ini menunjukkan bahwa kerendahan hati adalah fondasi kekuatan moral, bukan kelemahan fisik. Kehormatan dan martabat mereka terjaga karena mereka tidak pernah membiarkan diri mereka diperbudak oleh emosi negatif atau keinginan untuk membalas dendam.
Dengan demikian, Surah Al-Furqan ayat 63 bukan hanya ayat yang indah untuk dibaca, tetapi sebuah cetak biru praktis untuk kehidupan yang mulia dan bermakna. Ia adalah undangan langsung dari Ar-Rahman kepada hamba-hamba-Nya untuk mencapai tingkat eksistensi tertinggi di dunia ini, yang akan berlanjut dengan pahala yang tak terhingga di akhirat. Marilah kita berusaha keras untuk menjadi Ibad Ar-Rahman, yang langkahnya ringan di bumi, namun jejaknya dalam di hati, dan ucapannya adalah kedamaian abadi.