Mencetak Generasi Penyejuk Mata dan Pemimpin Kebajikan (Imaman Lil Muttaqin)
Surah Al-Furqan, yang berarti "Pembeda", memberikan panduan yang jelas antara kebenaran dan kebatilan. Pada akhir surah ini, Allah SWT menguraikan serangkaian sifat mulia yang dimiliki oleh Ibadurrahman
—hamba-hamba pilihan Yang Maha Pengasih.
Sifat-sifat ini bukanlah sekadar daftar perilaku individu, melainkan peta jalan kehidupan yang menyeluruh, mulai dari kerendahan hati dalam berjalan di bumi (ayat 63), kesabaran menghadapi celaan orang bodoh (ayat 63), ketekunan beribadah di malam hari (ayat 64), hingga manajemen keuangan yang bijak dan seimbang (ayat 67).
Menariknya, setelah membahas hubungan vertikal hamba dengan Tuhannya dan hubungan horizontalnya dengan masyarakat, Allah mengakhiri deskripsi ini dengan menyentuh aspek paling fundamental dalam kehidupan manusia: keluarga. Ayat 74 menjadi puncak dari deskripsi Ibadurrahman, sebuah doa yang sangat komprehensif, melampaui kepentingan diri sendiri menuju warisan kebaikan yang abadi.
Visualisasi Keseimbangan Ibadah dan Keluarga dalam Doa Ibadurrahman
Inilah inti dari pembahasan kita, sebuah doa yang mencakup seluruh dimensi kehidupan keluarga Muslim:
(74) Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqan: 74)
Ayat ini adalah Doa Rabbana (doa yang dimulai dengan Ya Tuhan kami
) yang paling lengkap mengenai harapan terhadap institusi keluarga. Doa ini tidak hanya meminta kebaikan fisik atau materi, tetapi meminta kualitas spiritual dan sosial yang tinggi.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah setiap frasa kunci dan akar kata yang digunakan. Doa ini menggunakan kata-kata yang dipilih dengan sangat cermat, menunjukkan aspirasi spiritual yang luar biasa tinggi.
Penggunaan kata Hab
(هَبْ) yang berarti anugerahkanlah
atau karuniakanlah
, berasal dari kata kerja yang menunjukkan pemberian tanpa adanya imbalan. Ini menunjukkan pengakuan bahwa pasangan dan keturunan yang saleh adalah murni karunia ilahi (wahb), bukan sesuatu yang dapat diupayakan sepenuhnya oleh kemampuan manusia semata.
Doa ini dimulai dari diri sendiri, meluas ke pasangan, dan kemudian ke keturunan. Urutan ini penting:
Ayat ini menegaskan bahwa kesalehan dimulai dari rumah tangga yang harmonis dan sesuai syariat.
Ini adalah frasa yang paling indah dan kaya makna dalam doa ini. Secara harfiah berarti pendingin mata
atau penyejuk pandangan
.
Dalam tradisi Arab, air mata yang panas melambangkan kesedihan, kegelisahan, atau musibah. Sebaliknya, air mata yang dingin atau mata yang tenang melambangkan kedamaian, kegembiraan, dan kepuasan.
Seorang ulama tafsir menjelaskan, penyejuk mata berarti: ketika melihat pasangan dan anak-anak, hati menjadi tenang, tidak ada kekhawatiran yang memanaskan hati, baik di dunia maupun di akhirat.
Permintaan Qurrata A'yun sangat spesifik. Mereka tidak hanya meminta anak yang kaya atau tampan/cantik, tetapi anak yang membahagiakan jiwa dan membawa kedamaian spiritual.
Doa Qurrata A'yun menyeimbangkan harapan duniawi dan ukhrawi.
Ini adalah puncak dari doa, sebuah permintaan yang sangat ambisius dan monumental, menunjukkan bahwa Ibadurrahman tidak hanya peduli pada kesalehan pribadi atau keluarganya, tetapi juga kesalehan sosial. Mereka meminta peran kepemimpinan spiritual.
Kata Imam berarti pemimpin, penunjuk jalan, atau teladan. Ada beberapa penafsiran ulama mengenai maksud Imaman
di sini:
Ini adalah permintaan yang sangat berat. Ibadurrahman menyadari bahwa jika pasangan dan keturunan mereka telah menjadi penyejuk mata, mereka tidak boleh berhenti di situ. Kesalehan harus diekspor; ia harus menjadi energi positif bagi komunitas yang lebih luas, yaitu Lil Muttaqin
(bagi orang-orang yang bertakwa).
Para mufassir (ahli tafsir) menekankan bahwa ayat 74 ini adalah hasil logis dari sifat-sifat yang disebutkan sebelumnya. Seseorang yang telah mengontrol amarah, menjauhi syirik, khusyuk dalam ibadah, dan takut akan azab neraka, maka aspirasi terakhirnya adalah menyelamatkan dan memimpin orang lain.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa permintaan Qurrata A'yun
tidak akan tercapai hanya melalui penampilan fisik atau harta benda. Kesejukan mata yang sejati adalah ketika mereka melihat pasangan dan keturunan mereka taat kepada Allah.
"Makna dari Qurrata A'yun adalah bahwa mereka melihat istri dan keturunan mereka melakukan ketaatan kepada Allah, yang pada akhirnya membawa mereka ke surga."
Permintaan untuk menjadi Imaman Lil Muttaqin, menurut Ibnu Katsir, adalah mereka berharap untuk mencapai tingkat spiritual yang menjadikan mereka diikuti. Ini adalah permohonan agar Allah menjadikan mereka sebagai panutan yang membimbing umat ke jalan kebaikan, bukan karena kesombongan, tetapi karena tanggung jawab dan keinginan untuk menyebarkan hidayah.
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa doa ini mengandung janji dan implikasi. Ketika seseorang berdoa untuk menjadi pemimpin bagi orang bertakwa, ia secara otomatis berkomitmen untuk meningkatkan takwanya sendiri.
penyejuk matahanya terjadi jika orang tua mendidik dengan benar. Allah tidak akan memberikan karunia ini tanpa usaha serius dalam Tarbiyah (pendidikan).
Perhatikan bagaimana Ayat 74 melengkapi rangkaian sifat Ibadurrahman (mulai ayat 63):
Ini menunjukkan bahwa kesalehan pribadi dan sosial harus bermuara pada kesalehan keluarga yang berkelanjutan, menciptakan mata rantai kebaikan yang tidak terputus.
Doa QS Al-Furqan 74 bukan sekadar ucapan lisan; ia adalah cetak biru (blueprint) untuk Tarbiyah Islami. Jika seorang hamba berdoa dengan tulus, ia harus bertindak sesuai dengan permintaan tersebut. Doa adalah penggerak usaha.
Kesejukan mata tidak muncul tiba-tiba. Orang tua harus berperan aktif. Upaya ini dibagi menjadi dua fokus utama:
Pasangan adalah rekan kepemimpinan. Mencapai Qurrata A'yun mengharuskan kedua belah pihak untuk saling mendukung dalam ketaatan. Ini meliputi:
Tarbiyah harus holistik, mencakup aspek fisik, intelektual, dan spiritual.
Bagian kedua doa ini, Waj'alna Lil Muttaqin Imaman
, adalah tantangan terbesar. Doa ini menuntut perubahan status dari sekadar pengikut menjadi teladan.
Kepemimpinan dalam konteks ini adalah kepemimpinan moral. Bagaimana mencapainya?
Seorang Muslim yang berdoa ayat ini harus menjadi orang yang paling gigih dalam:
Umat manusia selalu membutuhkan teladan yang baik. Dengan meminta menjadi imam bagi orang bertakwa, Ibadurrahman mengisi kekosongan kepemimpinan moral di tengah masyarakat yang seringkali dipimpin oleh figur yang mementingkan diri sendiri. Mereka meminta agar keturunan mereka (dan diri mereka) menjadi mercusuar yang memandu para muttaqin lainnya menuju ridha Allah.
Imaman Lil Muttaqin: Menjadi cahaya petunjuk bagi komunitas.
Doa ini adalah salah satu manifestasi tertinggi dari ambisi spiritual seorang Muslim yang sejati. Ia tidak hanya meminta keselamatan dirinya (seperti banyak doa sederhana), tetapi meminta kesalehan yang berdampak luas dan berkelanjutan.
Permintaan Dzurriyyat (keturunan) menunjukkan perhatian pada warisan (legacy) spiritual. Kebaikan yang dilakukan oleh keturunan adalah amal jariyah yang terus mengalir kepada orang tua, bahkan setelah mereka meninggal dunia. Ini adalah investasi jangka panjang yang melebihi umur manusia.
Dalam Islam, kebahagiaan sejati bukanlah kenikmatan yang terputus, melainkan kenikmatan yang berlanjut dari generasi ke generasi. Kesejukan mata yang hakiki adalah saat seseorang wafat, ia meninggalkan keluarga yang mendoakannya, melanjutkan amal salehnya, dan menjadi pemimpin kebaikan di masyarakat.
Jika kita menelaah kembali konteks Ibadurrahman, kita dapati bahwa doa ini muncul setelah mereka membersihkan diri dari segala bentuk kemaksiatan. Ini mengajarkan kita prinsip fundamental:
"Doa yang paling kuat dan paling mungkin dikabulkan adalah doa yang dipanjatkan oleh lisan yang telah disucikan oleh amal shaleh."
Ibadurrahman adalah mereka yang sudah berusaha maksimal dalam menjaga tauhid, ibadah, dan akhlak. Barulah setelah itu, mereka mengangkat tangan memohon karunia yang paling berharga: keluarga yang menjadi aset takwa bagi umat.
Ketika sebuah keluarga berdoa untuk menjadi Imaman Lil Muttaqin
, ini adalah langkah menuju pembentukan masyarakat yang ideal (Madinah Al-Fadhilah). Jika setiap keluarga Muslim memimpin dalam ketakwaan, maka seluruh komunitas akan terangkat. Kepemimpinan ini bukan monopoli, melainkan kompetisi dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Mereka meminta agar mereka menjadi garis depan dalam kompetisi mulia tersebut.
Filsafat di balik permintaan ini sangat mendalam. Ini adalah penolakan terhadap pemikiran individualistik yang hanya mementingkan keselamatan diri sendiri. Justru, keselamatan sejati ditemukan dalam menyelamatkan dan memimpin orang lain menuju kebenaran.
Bagian doa ini menempatkan tanggung jawab yang setara pada suami dan istri. Pasangan yang saleh adalah mitra dalam proyek kepemimpinan spiritual ini. Istri yang salehah membantu suaminya menjadi imam, dan suami yang saleh memastikan istrinya juga menjadi teladan bagi wanita lain. Kesejukan mata (Qurrata A'yun) yang terwujud pada anak-anak adalah buah dari kesalehan kedua orang tua.
Para ulama tafsir menekankan, jika salah satu pasangan lalai, maka cita-cita Imaman Lil Muttaqin akan sulit tercapai, karena kepemimpinan (Imamah) dimulai dari rumah, dari konsistensi dan integritas yang dilihat anak setiap hari.
Oleh karena itu, doa ini mendorong introspeksi: Apakah saya telah menjadi pasangan yang pantas disebut sebagai rekan dalam mewujudkan Qurrata A'yun? Apakah perilaku saya layak dijadikan contoh bagi keturunan yang kelak akan menjadi pemimpin bagi orang bertakwa?
Dalam era modern, tantangan untuk mencapai status Qurrata A'yun dan Imaman Lil Muttaqin semakin besar, terutama dengan adanya distraksi digital dan pergeseran nilai sosial. Namun, doa ini tetap relevan dan berfungsi sebagai kompas.
Pasangan dan anak-anak yang menjadi penyejuk mata berarti mereka berhasil melewati berbagai ujian dunia. Ujian di era kontemporer mencakup:
Melalui doa ini, Ibadurrahman meminta pertolongan Allah agar keluarga mereka memiliki kekuatan spiritual untuk menahan gempuran fatanah tersebut, sehingga mereka tetap menjadi sumber ketenangan dan bukan sumber kekhawatiran.
Mendidik anak untuk menjadi Imaman Lil Muttaqin berarti membentuk karakter pemimpin, yang cirinya adalah:
A. Keterampilan Sosial (Empati dan Melayani): Anak-anak harus diajarkan untuk tidak bersikap egois. Mereka harus melayani masyarakat, mengutamakan kebutuhan orang lain, dan menjadi solusi, bukan masalah.
B. Keberanian Moral (Berani Berbeda): Seorang pemimpin bertakwa harus berani memegang teguh prinsip kebenaran, meskipun ia sendirian. Orang tua harus menanamkan keberanian untuk menolak budaya yang bertentangan dengan syariat.
C. Kedalaman Ilmu: Anak harus memiliki wawasan yang mendalam, karena kepemimpinan dalam takwa di era ini sangat bergantung pada kemampuan memahami isu-isu kompleks (seperti ekonomi syariah, teknologi etis, dan media). Anak-anak ini harus menjadi ulama yang menguasai dunia, atau ilmuwan yang bertakwa.
Setiap kali seorang Muslim membaca atau melafalkan ayat 74 ini, ia harus merenungkan: Apakah saya sedang memimpin atau dipimpin? Apakah tindakan saya hari ini menempatkan saya di barisan depan orang-orang bertakwa, ataukah saya hanya menjadi pengikut yang pasif?
Doa ini adalah pengingat bahwa tujuan hidup seorang mukmin bukan hanya masuk surga secara individu, tetapi masuk surga bersama keluarga dan menjadi penyebab masuknya orang lain ke surga.
Permintaan ini adalah sebuah janji komitmen. Jika Allah mengabulkan kita menjadi pemimpin bagi orang bertakwa, maka kita harus siap memikul beban dan tanggung jawab yang datang bersamanya, yakni menjadi yang paling sabar, paling ikhlas, dan paling berkorban di antara umat.
Ketika anak-anak kita menjadi penyejuk mata, ini juga berefek pada komunitas. Anak yang berbakti kepada orang tua, rajin beribadah, dan berakhlak mulia, secara tidak langsung, menjadi faktor kedamaian sosial. Keluarga yang damai (sakinah) akan menghasilkan warga negara yang konstruktif dan kontributif. Dengan demikian, doa pribadi ini memiliki implikasi makro terhadap stabilitas dan kemajuan umat.
Tidak ada kekhawatiran yang lebih besar bagi orang tua saleh selain melihat anak-anaknya tergelincir dari jalan kebenaran. Doa Qurrata A'yun memohon perlindungan total dari bencana spiritual tersebut, memastikan bahwa cahaya iman tidak pernah padam dalam keluarga mereka.
Penting untuk dipahami bahwa meskipun kita berdoa untuk kepemimpinan spiritual (Imamah), kesombongan harus dihindari. Permintaan untuk menjadi Imam Lil Muttaqin bukanlah hasrat untuk menduduki takhta, tetapi hasrat untuk melayani dengan ketakwaan, kerendahan hati yang merupakan ciri utama Ibadurrahman (QS 25:63).
Doa ini mengajarkan bahwa kesalehan tidak boleh terisolasi. Kesalehan individu adalah modal, tetapi tujuan akhirnya adalah kesalehan yang merembes, memengaruhi, dan menggerakkan orang lain menuju kebaikan. Inilah cita-cita tertinggi yang ditanamkan dalam hati para hamba pilihan Ar-Rahman.
Oleh karena itu, setiap langkah dalam rumah tangga Muslim, mulai dari bangun tidur, interaksi dengan pasangan, pembagian peran dalam mendidik, hingga keputusan besar keluarga, harus terarah pada satu visi tunggal: Menjadi keluarga yang menyejukkan mata dunia dan akhirat, yang siap memimpin barisan orang-orang yang hanya takut kepada Allah.
Kesempurnaan doa ini terletak pada integrasi antara harapan terhadap keluarga (internal) dan harapan terhadap umat (eksternal). Ini adalah doa yang sempurna untuk membangun peradaban yang didasarkan pada fondasi ketakwaan yang kokoh. Para Ibadurrahman tidak hanya ingin selamat, tetapi ingin menjadi nakhoda bagi bahtera keselamatan umat manusia.
Untuk mencapai status Imaman Lil Muttaqin, diperlukan pendidikan yang menumbuhkan rasa tanggung jawab global. Anak-anak yang didoakan dengan ayat ini harus memahami bahwa mereka adalah bagian dari umat Nabi Muhammad SAW, yang memiliki misi membawa rahmat bagi seluruh alam. Mereka tidak boleh tumbuh dengan pikiran sempit atau sektarian. Sebaliknya, mereka harus menjadi agen perubahan yang positif, membawa solusi Islam kepada permasalahan kontemporer.
Ini mencakup penguasaan ilmu pengetahuan modern. Imamah di abad ini juga berarti memimpin dalam inovasi yang etis, dalam pengembangan teknologi yang bermanfaat bagi kemanusiaan, dan dalam penyelesaian krisis lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Seorang *Imam* hari ini mungkin adalah seorang ilmuwan, seorang ekonom, seorang pendidik, atau seorang politisi, asalkan ia menjadikan ketakwaannya sebagai panduan utama dalam setiap tindakannya.
Doa ini adalah jembatan antara aspirasi pribadi (keluarga yang saleh) dan tanggung jawab kolektif (memimpin orang bertakwa). Tanpa jembatan ini, kesalehan pribadi bisa menjadi mandul, dan kepemimpinan tanpa fondasi spiritual bisa menjadi tirani.
Ayat 74 memastikan bahwa keluarga Muslim adalah unit penghasil pemimpin, bukan hanya unit konsumen. Mereka adalah produsen kebaikan yang terus menerus. Permintaan Qurrata A'yun memberikan motivasi internal, sementara permintaan Imaman Lil Muttaqin memberikan orientasi eksternal.
Jika kita berhasil mewujudkan visi ini dalam rumah tangga kita, kita tidak hanya menyejukkan mata kita di dunia, tetapi juga memberikan warisan tak ternilai yang akan menolong kita di hari perhitungan. Inilah puncak kebijaksanaan dan ambisi seorang hamba yang benar-benar memahami tujuan penciptaannya.
QS Al-Furqan Ayat 74 adalah permata di antara doa-doa dalam Al-Qur’an. Ia adalah manifestasi dari cita-cita tertinggi seorang Muslim terhadap keluarga dan umatnya. Doa ini mengajarkan kita bahwa kesalehan pribadi tidak pernah final; ia harus berkembang menjadi kesalehan sosial yang menginspirasi.
Ibadurrahman adalah mereka yang tidak puas hanya menjadi pengikut; mereka bercita-cita menjadi teladan dan pemimpin dalam kebaikan, dengan pondasi yang kuat dari pasangan dan keturunan yang menyejukkan hati. Mari kita jadikan doa ini sebagai visi hidup, yang menuntut usaha Tarbiyah yang tak kenal lelah, sehingga kita dan keluarga kita benar-benar pantas menyandang gelar pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.