Sebuah Renungan Mendalam tentang Prinsip Kemudahan yang Menyertai Kesulitan
Dua ayat yang ringkas, namun memuat keseluruhan spektrum harapan, keteguhan, dan keimanan. Surah Al-Insyirah (Pembukaan), yang merupakan penawar bagi kegelisahan hati Nabi Muhammad ﷺ, menyajikan sebuah formula universal yang melintasi zaman dan geografi. Ayat 5 dan 6 adalah jantung dari surah ini, mengukuhkan sebuah prinsip kosmik: bahwa kesulitan—sejatinya—bukanlah akhir, melainkan prelude, dan yang lebih penting, ia tidak pernah berdiri sendirian. Ayat ini menegaskan bahwa kemudahan adalah pasangan yang melekat (menyertai), bukan sekadar konsekuensi (datang setelah) kesulitan.
Kajian mendalam terhadap QS Al-Insyirah ayat 5 dan 6 membutuhkan lebih dari sekadar pembacaan terjemahan; ia memerlukan penyelaman ke dalam struktur linguistik, konteks historis, dan implikasi filosofis yang meluas dalam akidah seorang Muslim. Kedua ayat ini, yang diulang untuk penekanan mutlak, berfungsi sebagai jangkar spiritual bagi setiap jiwa yang sedang diuji oleh gelombang kehidupan. Ia adalah bisikan ilahi yang mengingatkan bahwa di tengah badai, sinar matahari sudah mulai menembus awan tebal, bahkan saat mata kita belum mampu melihatnya.
Surah Al-Insyirah diturunkan pada periode awal dakwah di Mekah, masa ketika tekanan fisik, psikologis, dan sosial mencapai puncaknya bagi Rasulullah ﷺ. Beliau menghadapi penolakan keras, penganiayaan, dan keraguan yang terkadang menyeruak dalam hati manusia biasa. Nabi merasa berat hati karena melihat minimnya sambutan, atau bahkan permusuhan yang masif, terhadap pesan Tauhid yang beliau bawa. Allah ﷻ, sebagai pengayom utama, menurunkan serangkaian ayat, termasuk QS Ad-Dhuha dan Al-Insyirah, sebagai bentuk ta'ziah (penghiburan) langsung.
Penghiburan ini dimulai dengan pertanyaan retoris tentang karunia-karunia masa lalu (bukankah Kami telah melapangkan dadamu?), lalu berlanjut kepada janji masa depan. Ayat 5 dan 6 tidak hanya ditujukan untuk meredakan kekhawatiran Nabi, tetapi untuk memberikan landasan teologis yang kokoh bagi seluruh umat yang akan menghadapi berbagai bentuk kesulitan hingga akhir zaman. Kesulitan (al-‘usr) yang dialami Nabi saat itu—seperti kesendirian dalam dakwah, penindasan suku Quraisy, dan keraguan pada hasil perjuangan—menjadi representasi dari semua kesulitan fundamental yang mungkin dialami manusia.
Penegasan "sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan" adalah klimaks spiritual karena ia membalikkan perspektif penderitaan. Sebelum ayat ini, pandangan umum manusia cenderung melihat kesulitan sebagai tembok akhir yang memutus jalan. Namun, Allah mengajarkan bahwa kesulitan bukanlah titik henti, melainkan titik balik, yang mengandung kemudahannya sendiri. Pengulangan dua kali ini menandakan pentingnya janji ini, bukan hanya sebagai motivasi sesaat, melainkan sebagai kebenaran mutlak (haqqul yaqin) yang harus diyakini tanpa keraguan sedikit pun.
Dalam sejarah Islam, para sahabat yang mendengar ayat ini merasakan gelombang optimisme yang luar biasa. Mereka memahami bahwa beban yang mereka pikul tidak lebih berat daripada janji yang diberikan oleh Sang Pencipta. Jika janji ini datang dari sumber yang Maha Kuasa dan Maha Benar, maka realisasinya adalah kepastian yang tidak terhindarkan. Mereka belajar bahwa kesabaran (sabr) bukan hanya tentang menahan diri, tetapi tentang menunggu realisasi janji ini dengan keyakinan penuh (tawakkal).
Untuk memahami kedalaman janji ini, kita harus memeriksa tata bahasa Arab yang digunakan Allah ﷻ. Setiap huruf, setiap partikel, memberikan makna yang luar biasa spesifik. Tiga kata kunci yang perlu diuraikan adalah: Al-'Usr (Kesulitan), Yusr (Kemudahan), dan preposisi Ma'a (Bersama).
Dalam bahasa Arab, penambahan artikel 'Al' (seperti dalam "The" dalam bahasa Inggris) menjadikan kata benda itu ma'rifah, atau spesifik. Al-'Usr merujuk pada kesulitan tertentu yang sedang dihadapi oleh individu atau komunitas pada saat itu. Ini bisa berarti kesulitan ekonomi, tekanan sosial, penyakit, atau ujian spesifik yang sedang dialami.
Para ulama tafsir menekankan bahwa 'Al' di sini menyiratkan bahwa kesulitan itu bersifat tunggal. Ada kesulitan yang Anda kenal, yang Anda hadapi hari ini, yang menekan Anda sekarang. Kehadiran 'Al' juga berfungsi untuk mengidentifikasi kesulitan yang menjadi subjek janji ini—yakni, kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang beriman dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.
Penggunaan 'Al' membuat kesulitan itu terdefinisikan, batasnya jelas, dan, secara teologis, ia terbatas. Kesulitan itu, betapapun parahnya, memiliki dimensi yang dapat diukur dan pada akhirnya akan berakhir. Ini kontras dengan sifat kemudahan yang akan dijelaskan selanjutnya.
Kata Yusr (kemudahan) dalam kedua ayat ini datang dalam bentuk nakirah (indefinite, tidak spesifik) karena tidak diikuti oleh artikel 'Al'. Dalam konteks linguistik Al-Qur'an, kata benda yang indefinite sering kali menunjukkan jumlah yang banyak, keagungan, atau variasi yang tidak terbatas.
Jika 'Al-'Usr' adalah satu kesulitan yang terdefinisi, maka 'Yusr' yang nakirah adalah kemudahan yang tak terhitung, beragam, dan tidak terduga bentuknya. Kemudahan itu bisa berupa solusi finansial, kedamaian hati, pertolongan dari orang tak terduga, atau bahkan sekadar kekuatan batin untuk bertahan. Allah ﷻ tidak membatasi bentuk kemudahan; Dia menjanjikan kemudahan dalam segala aspeknya.
Imam Asy-Syafi’i dan banyak ahli tafsir menekankan perbandingan ini: Satu kesulitan yang spesifik diikuti oleh dua kemudahan yang melimpah dan tak terbatas. Ini adalah penguatan janji yang melampaui logika matematika manusia.
Bagian terpenting dari keajaiban ayat ini terletak pada kata Ma'a (مع), yang berarti "bersama". Ayat tersebut tidak berbunyi, "Sesungguhnya setelah kesulitan akan datang kemudahan" (yang dalam bahasa Arab akan menggunakan kata ba'da). Sebaliknya, ia menyatakan bahwa kemudahan itu bersama kesulitan.
Apa implikasi teologis dari "bersama" ini?
Kemudahan yang menyertai kesulitan ini adalah bukti bahwa cobaan Allah bukan dimaksudkan untuk menghancurkan, melainkan untuk membangun. Pada saat terberat, manusia dipaksa untuk mencari kekuatan dari Sang Pencipta, dan pencarian serta penyerahan diri (Tawakkal) itu sendiri adalah bentuk kemudahan yang paling murni.
Pengulangan ayat, "Fa inna ma'al 'usri yusrā. Inna ma'al 'usri yusrā," bukanlah redundansi. Dalam retorika Arab klasik, pengulangan berfungsi sebagai penegasan yang mutlak, menghilangkan keraguan sekecil apa pun dari hati pendengar. Namun, dalam tafsir Al-Qur'an, pengulangan ini sering dipahami memiliki makna yang lebih dalam terkait kuantitas dan kualitas janji.
Mayoritas ulama tafsir, mengacu pada struktur linguistik (satu 'Al-'Usr' yang spesifik, dan dua 'Yusr' yang nakirah), menyimpulkan bahwa pengulangan ini memastikan bahwa satu kesulitan tunggal pasti akan diimbangi oleh dua kemudahan yang berbeda.
Ini adalah Hukum Ilahi yang bersifat definitif. Kesulitan yang sama yang disebutkan pada Ayat 5 diulang pada Ayat 6 (karena menggunakan 'Al'), sementara kemudahan yang dijanjikan pada Ayat 5 adalah 'Yusr' yang berbeda dari kemudahan yang dijanjikan pada Ayat 6 (karena keduanya nakirah). Ini menggarisbawahi kemurahan Allah yang melimpah ruah.
"Kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan. Ini adalah penegasan yang datang dari Allah, Zat Yang Maha Benar janji-Nya."
Dua kemudahan ini seringkali ditafsirkan sebagai:
Oleh karena itu, ketika seorang Mukmin menghadapi Al-'Usr, ia tidak hanya menunggu resolusi masalahnya di dunia, tetapi juga secara simultan mengumpulkan modal keabadian. Rasa sakit fisik atau emosional diubah menjadi aset spiritual yang kekal, menjamin bahwa kesulitan tersebut tidak berlalu tanpa manfaat ganda.
Selain perhitungan linguistik, pengulangan ini secara psikologis berfungsi sebagai alat terapi ilahi. Ketika manusia berada dalam kesulitan, pikirannya cenderung terbebani dan ia mudah lupa akan janji-janji kebaikan. Pengulangan ini memaksa hati untuk mendengarkan, menerima, dan menginternalisasi janji tersebut hingga menembus lapisan keputusasaan.
Bayangkan seseorang yang sedang terpuruk dalam jurang hutang, atau yang kehilangan orang tercinta, atau yang terbaring sakit tanpa harapan. Satu janji mungkin terdengar seperti pepatah kosong. Dua janji, diulang secara langsung, dari sumber kebenaran tertinggi, mengubah pepatah menjadi doktrin keyakinan yang wajib dipegang teguh. Ini memberikan stabilitas mental (thuma'ninah) di tengah ketidakpastian terbesar.
Ayat 5 dan 6 Al-Insyirah menempatkan kesulitan (ujian) dalam kerangka filosofis yang jelas dalam Islam. Kesulitan bukanlah hukuman (kecuali jika itu adalah akibat dari dosa yang disengaja), melainkan mekanisme yang dirancang oleh Allah untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, baik bagi individu maupun umat secara keseluruhan.
Kesulitan berfungsi sebagai saringan, memisahkan orang yang benar-benar beriman (Siddiq) dari orang yang keimanannya hanya di bibir. Keimanan sejati tidak teruji saat kelimpahan, tetapi saat kekurangan, saat kekuatan diri habis, dan yang tersisa hanyalah keyakinan kepada janji Allah. Ayat ini memastikan bahwa setiap ujian yang dihadapi adalah pengesahan kualitas iman.
Jika kita tidak pernah merasakan Al-'Usr, kita tidak akan pernah mengetahui batas kesabaran kita, dan kita tidak akan pernah melihat manifestasi dari Yusr yang dijanjikan. Kemudahan yang datang tanpa perjuangan sering kali kurang dihargai. Sebaliknya, kemudahan yang lahir dari kesabaran dalam kesulitan adalah kemudahan yang membawa kedewasaan spiritual dan rasa syukur yang mendalam.
Ayat ini adalah manifestasi dari Mizan (keseimbangan) yang Allah tetapkan di alam semesta. Sama seperti hukum fisika yang mengatur gravitasi dan energi, ada hukum spiritual yang mengatur bahwa setiap tarikan ke bawah (kesulitan) pasti akan menciptakan dorongan ke atas (kemudahan ganda).
Keseimbangan ini mengajarkan bahwa penderitaan di dunia ini tidak pernah sia-sia bagi seorang Mukmin. Jika penderitaan itu tidak menghasilkan kemudahan duniawi segera, ia pasti disimpan sebagai investasi kekal yang menjamin keseimbangan yang adil di Hari Akhir. Ayat ini memberikan jaminan bahwa timbangan kebaikan akan selalu lebih berat daripada beban kesulitan.
Kesadaran akan Mizan ini memunculkan ketenangan luar biasa. Kita tahu bahwa kerugian yang kita alami hari ini telah ditukar oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik, asalkan kita memenuhi syarat untuk menerima janji tersebut, yaitu kesabaran dan keikhlasan.
Ayat 5 dan 6 QS Al-Insyirah bukanlah sekadar ayat yang dihafal, melainkan panduan operasional (manual) untuk mengelola stres, keputusasaan, dan penderitaan dalam hidup modern. Bagaimana kita mengaplikasikan keyakinan bahwa ma'al 'usri yusrā?
Langkah pertama adalah mengubah pemahaman kita tentang masalah. Ketika kesulitan datang, alih-alih bertanya, "Mengapa ini terjadi padaku?" kita harus bertanya, "Kemudahan ganda apa yang akan menyertai kesulitan ini?" Pola pikir ini mengalihkan fokus dari kekurangan dan rasa sakit menuju potensi manfaat dan janji ilahi.
Ini adalah pergeseran dari paradigma penderitaan ke paradigma harapan aktif. Harapan aktif berarti tidak pasif menunggu kemudahan jatuh dari langit, melainkan bekerja keras (ijtihad) di tengah kesulitan dengan keyakinan penuh bahwa setiap langkah yang diambil sedang menuju ke Yusr yang dijanjikan.
Dalam kesulitan finansial misalnya, kemudahan pertama (Yusr 1) mungkin tidak langsung berupa uang yang melimpah, melainkan berupa kemampuan untuk mengurangi pengeluaran, ditemukannya sumber rezeki yang halal, atau yang terpenting, pembersihan hati dari sifat tamak dan penyesuaian diri terhadap qada' Allah. Sementara kemudahan kedua (Yusr 2) adalah jaminan pahala atas kesabaran dalam menghadapi kemiskinan dengan ridha.
Penting bagi seorang Muslim untuk tidak membatasi janji ini hanya pada hasil yang terlihat secara material. Seringkali, kemudahan terbesar yang menyertai kesulitan adalah kemudahan hati, ketenangan batin, dan kemampuan untuk bersyukur meskipun dalam keadaan serba kekurangan. Siapa yang mencapai ketenangan batin di tengah badai, dialah yang telah meraih kemudahan sejati.
Kesabaran (sabr) adalah kendaraan menuju realisasi janji Yusr. Para ulama membagi sabar menjadi tiga jenis: sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menghadapi musibah. Ayat Al-Insyirah secara spesifik menekankan jenis sabar yang terakhir, tetapi juga memerlukan dua jenis sabar lainnya.
Puncak kesabaran terjadi ketika seorang hamba merasakan kesulitan secara fisik dan emosional, namun hatinya tetap kokoh meyakini janji Allah. Ia tidak mengeluh, tidak menyalahkan takdir, dan tetap menjalankan kewajiban ibadahnya. Kesabaran ini adalah ibadah tertinggi karena melibatkan penyerahan diri total. Inilah titik balik di mana Al-'Usr mulai melahirkan Yusr.
Janji Allah dalam Al-Insyirah 5-6 bukanlah janji yang berlaku situasional atau temporal, melainkan doktrin yang kekal, relevan bagi setiap manusia di setiap era. Mengapa janji ini tetap kuat relevansinya hingga hari ini, ribuan tahun setelah penurunannya?
Meskipun bentuk kesulitan modern (seperti krisis identitas digital, tekanan ekonomi global, atau penyakit yang kompleks) berbeda dari kesulitan di masa Nabi, inti dari kesulitan itu tetap sama: rasa takut, kehilangan, ketidakpastian, dan rasa sakit. Karena fitrah manusia dalam menghadapi penderitaan tetap sama, maka obat ilahi untuk penderitaan itu pun tetap universal dan abadi.
Ayat ini berfungsi sebagai pengingat bahwa bahkan jika kesulitan yang kita hadapi terasa unik dan belum pernah terjadi sebelumnya, Allah telah menyediakan solusi dan penegasan yang telah Dia berikan kepada manusia terbaik, Nabi Muhammad ﷺ. Ini menghubungkan kesulitan pribadi kita dengan sejarah perjuangan nubuwwah, memberikan kita martabat dan tujuan dalam penderitaan.
Ayat ini juga merangkum prinsip kausalitas ilahi: Tidak ada kesulitan yang datang tanpa hikmah, dan hikmah itu adalah kemudahan yang tersembunyi. Sebagaimana biji memerlukan kegelapan dan tekanan tanah untuk tumbuh, manusia memerlukan kesulitan untuk mencapai potensi spiritualnya yang tertinggi.
Kegagalan dalam bisnis memaksa evaluasi strategi, yang pada akhirnya membawa kesuksesan yang lebih matang (Yusr 1). Penyakit memaksa reorientasi hidup, yang membawa kedekatan dengan Allah (Yusr 2). Dengan demikian, kesulitan adalah proses transformasi yang wajib dilalui, dan kemudahan adalah hasil yang dijamin dari proses tersebut, asalkan subjek (manusia) tetap teguh di jalan-Nya.
Keputusasaan (qunut) adalah salah satu dosa terbesar karena ia menyangkal kebenaran janji Allah. Ketika seseorang merasa bahwa kesulitannya tidak akan pernah berakhir, ia secara implisit menyangkal bahwa Yusr menyertai Al-'Usr. QS Al-Insyirah 5-6 adalah benteng terakhir melawan keputusasaan. Ayat ini mengajarkan bahwa selama nafas masih dikandung badan, pintu kemudahan Ilahi selalu terbuka. Jika pintu kemudahan duniawi belum terbuka, pintu kemudahan ukhrawi sudah pasti terbuka melalui setiap detak kesabaran yang kita tahan.
Seorang Mukmin yang menginternalisasi ayat ini tidak akan pernah menyerah, karena ia tahu bahwa kemudahan ganda sedang menunggu. Tugasnya hanyalah bertahan, bersabar, dan terus berikhtiar, karena janji itu adalah kepastian ilahiah, bukan sekadar kemungkinan statistik. Kepastian ini adalah fondasi dari seluruh kehidupan spiritual yang sehat.
Perbedaan antara Ma'a (bersama) dan Ba'da (setelah) membedakan pandangan Islam tentang ujian dari filosofi penderitaan lainnya. Filosofi yang melihat kemudahan datang setelah kesulitan cenderung memandang kesulitan sebagai periode yang harus "dilewati" atau "dikorbankan" sebelum hadiah datang. Sebaliknya, melihat kemudahan datang bersama kesulitan mengubah kesulitan itu sendiri menjadi sebuah hadiah.
Ketika seseorang berusaha keras untuk membayar hutang (kesulitan), ia belajar disiplin, manajemen keuangan, dan pengekangan diri. Semua pelajaran ini (disiplin, hikmah, kekuatan karakter) adalah bentuk Yusr yang ia dapatkan saat masih dalam kesulitan. Kemudahan ini adalah hasil langsung dari gesekan yang dialami. Jika kemudahan datang setelah kesulitan, maka proses perjuangan itu sendiri adalah periode yang hampa manfaat, padahal dalam pandangan Islam, proses itulah yang paling berharga di mata Allah.
Para sufi sering menafsirkan Ma'a sebagai kedekatan Ilahi. Saat kita paling lemah dan paling membutuhkan pertolongan, itulah saat Allah paling dekat dengan kita, asalkan kita kembali kepada-Nya. Kedekatan ini (Qurb) adalah kemudahan spiritual tertinggi yang mengalahkan semua kesulitan material. Kehadiran Allah yang dirasakan secara intensif saat kesulitan inilah yang dimaksud dengan "bersama kesulitan."
Ujian (Al-Ibtila') dalam Al-Qur'an ditujukan untuk memurnikan (tazkiyah). Proses pemurnian ini, meskipun menyakitkan, sudah mengandung unsur kemudahan karena ia membersihkan hati dan jiwa dari kotoran-kotoran duniawi. Analoginya seperti emas yang dibakar dalam api. Api itu (kesulitan) tidak hanya bertujuan menghilangkan kotoran, tetapi juga memastikan emas itu keluar dalam bentuk yang lebih murni dan berharga. Kemurnian itu (Yusr) sudah inheren dalam proses pembakaran itu sendiri.
Keyakinan pada Ma'a membuat penderitaan menjadi bermakna. Tidak ada rasa sakit yang sia-sia, tidak ada air mata yang jatuh tanpa perhitungan pahala, dan tidak ada malam yang dilalui dalam kegelisahan tanpa menghasilkan cahaya fajar yang lebih terang. Inilah penghiburan hakiki bagi jiwa yang sedang berjuang.
Untuk memastikan kita memenuhi syarat untuk menerima janji kemudahan ganda ini, ada empat prinsip spiritual dan praktis yang harus kita pegang teguh selama menghadapi Al-'Usr.
Allah ﷻ berfirman dalam Surah Al-Baqarah, "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu." Kedua pilar ini adalah mekanisme utama untuk mengakses kemudahan Ilahi. Sabar adalah perisai pasif, menahan diri dari keluhan dan keputusasaan. Shalat adalah tindakan aktif, koneksi langsung kepada sumber kekuatan tak terbatas. Dalam kesulitan, shalat bukan hanya kewajiban, tetapi juga sarana untuk melepaskan beban dan memohon manifestasi dari janji Yusr.
Konsistensi dalam shalat, terutama shalat malam (Qiyamul Lail), di saat-saat paling sulit, adalah bukti keyakinan bahwa Allah ﷻ hadir dan bekerja di balik layar untuk mengatur Yusr. Shalat mengajarkan bahwa meskipun dunia luar bergejolak, ada pusat ketenangan di dalam diri kita yang terhubung langsung dengan kemudahan abadi.
Setelah melakukan semua ikhtiar yang manusiawi, seorang Mukmin harus menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah (Tawakkal). Tawakkal bukanlah kepasifan, melainkan pengakuan bahwa kemampuan manusia terbatas, sementara kekuasaan Allah tak terbatas. Tawakkal adalah puncak dari keyakinan pada Ma'al 'usri yusrā.
Jika kita berusaha menyelesaikan masalah kita dengan kekuatan sendiri, kita hanya mengandalkan satu sumber kekuatan. Namun, ketika kita bertawakkal, kita membuka diri pada janji Allah yang mencakup dua kemudahan yang jauh melampaui perhitungan kita. Tawakkal adalah kemudahan itu sendiri, karena ia melepaskan beban kekhawatiran dari pundak kita.
Terkadang, kesulitan adalah konsekuensi dari kesalahan atau dosa masa lalu. Dalam kasus ini, kemudahan pertama yang dijanjikan Allah adalah hidayah untuk bertaubat dan memohon ampunan (Istighfar). Taubat membersihkan hati, yang merupakan prasyarat untuk menerima anugerah dan janji Yusr.
Taubat di tengah kesulitan menunjukkan bahwa kita menggunakan kesulitan sebagai alat refleksi dan koreksi diri. Kesulitan menjadi berkah ketika ia mengarahkan kita kembali ke jalan Allah. Proses pembersihan spiritual ini adalah kemudahan yang paling mendasar, memastikan bahwa saat kesulitan itu berlalu, kita telah menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dekat kepada-Nya.
Ridha, atau kerelaan menerima ketetapan Allah, adalah kunci untuk mengubah kesulitan menjadi Yusr. Ridha bukanlah sekadar sabar; ia adalah tingkat yang lebih tinggi di mana hati merasa puas dengan apa yang Allah tetapkan, meskipun hal itu menyakitkan.
Ketika seseorang mencapai Ridha, ia secara efektif telah memenangkan pertempuran spiritual. Kesulitan mungkin masih ada di sekitarnya, tetapi kesulitan itu tidak lagi memiliki kekuatan untuk menghancurkan kedamaian batinnya. Ketenangan batin ini adalah salah satu bentuk Yusr yang paling kuat, yang menjamin bahwa janji Allah telah termanifestasi dalam dimensi hati, bahkan sebelum ia terwujud dalam realitas fisik.
QS Al-Insyirah ayat 5 dan 6 adalah lebih dari sekadar nasihat penghiburan. Ia adalah doktrin fundamental yang merangkum hubungan antara Kehendak Ilahi dan nasib manusia. Ayat ini memberikan peta jalan yang jelas: Kesulitan adalah kepastian dalam hidup, tetapi kemudahan ganda adalah janji yang lebih pasti dari Sang Pencipta.
Melalui analisis linguistik, kita memahami bahwa kesulitan itu tunggal, terbatas, dan terdefinisi, sementara kemudahan itu ganda, melimpah, dan menyertai. Konsep Ma'a mengajarkan bahwa kita tidak pernah sendirian dalam perjuangan; Allah telah menanamkan benih kemudahan di dalam hati kesulitan itu sendiri.
Bagi setiap orang yang sedang diuji, ingatlah bahwa ujian itu bukanlah tanda kebencian, melainkan tanda perhatian. Ia adalah panggilan untuk bangkit, untuk mempraktikkan Sabar, Tawakkal, dan Ridha. Dengan keyakinan penuh pada janji yang diulang dua kali, seorang Mukmin tidak akan pernah merasa putus asa, karena ia tahu persis bahwa kekuatan Ilahi sedang bekerja untuk mewujudkan kemudahan yang lebih besar, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Janji Allah adalah kebenaran yang tidak lekang oleh waktu, kekal, dan selalu menunggu untuk diwujudkan bagi mereka yang berpegang teguh pada tali keyakinan: Fa inna ma'al 'usri yusrā. Inna ma'al 'usri yusrā.
Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk melihat kemudahan yang terselubung dalam setiap kesulitan, dan menjadikan kita hamba yang sabar dan bersyukur.