Surah Al Baqarah, surat terpanjang dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak hikmah dan petunjuk bagi umat Islam. Di antara ayat-ayatnya yang mendalam, rentang ayat 111 hingga 120 memiliki signifikansi khusus yang mengajak kita merenungkan hakikat keimanan, perselisihan, dan jalan menuju kebenaran yang hakiki.
Ayat 111-113 dari Surah Al Baqarah membantah klaim kaum Yahudi dan Nasrani yang menyatakan bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang-orang dari agama mereka. Allah SWT menegaskan bahwa kebenaran bukanlah milik satu golongan saja, melainkan bagi siapa saja yang menyerahkan dirinya kepada-Nya dengan tulus (mukhlisin) dan berbuat baik. Mereka yang berbuat demikian akan mendapatkan pahala di sisi Tuhannya, dan tidak akan merasakan ketakutan maupun kesedihan.
Selanjutnya, ayat 116 menegaskan bahwa Allah tidak memiliki anak, dan semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya. Pernyataan ini menjadi bantahan telak terhadap konsep trinitas dalam Nasrani dan klaim anak Tuhan dalam Yahudi. Allah adalah Pencipta dan Penguasa tunggal alam semesta.
Ayat-ayat ini secara kuat menekankan prinsip tauhid, yaitu keesaan Allah SWT. Hanya kepada-Nya kita beribadah dan hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan. Pengakuan atas kebesaran dan kekuasaan-Nya menjadi fondasi utama seorang mukmin. Seruan untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah (Islam) sambil berbuat baik (ihsan) adalah kunci meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam konteks perselisihan antar agama atau keyakinan, ayat-ayat ini memberikan pelajaran penting. Umat Islam tidak boleh terpengaruh oleh klaim-klaim sempit yang membatasi kebenaran pada kelompok tertentu. Sebaliknya, kita ditantang untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam dengan akhlak mulia, ilmu pengetahuan, dan keimanan yang kokoh.
Ayat 118 dan 119 mengingatkan kita untuk tidak mengikuti perkataan orang-orang yang tidak memiliki ilmu dan hanya berdasarkan prasangka. Allah SWT berfirman, "Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.' Mereka menjawab, 'Bahkan kami mengikuti kebiasaan nenek moyang kami.' Apakah mereka akan mengikuti nenek moyang mereka, walaupun nenek moyang mereka tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk?"
Pesan ini sangat relevan di era modern, di mana informasi begitu mudah diakses. Kita harus kritis terhadap segala sesuatu yang kita terima, membandingkannya dengan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah, serta tidak mudah terpengaruh oleh tren atau perkataan tanpa dasar yang kuat. Kebenaran harus dicari melalui dalil-dalil yang syar'i, bukan sekadar mengikuti tradisi atau hawa nafsu.
Ayat 119 dan 120 menegaskan kembali peran mulia Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Allah. Beliau diutus sebagai pemberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan berbuat baik, serta sebagai pemberi peringatan bagi mereka yang ingkar. Tugas beliau adalah menyampaikan wahyu Allah, bukan menjadi penjamin masuk surga bagi siapa pun. Tanggung jawab akhir ada pada diri masing-masing individu dalam merespons ajaran-Nya.
Memahami ayat-ayat ini membantu kita untuk tidak terjebak dalam kesombongan golongan, menghargai perbedaan pendapat dengan bijak, dan senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni. Ketulusan beribadah, perbuatan baik, dan pencarian ilmu yang benar adalah kunci keselamatan abadi.