Dalam ajaran Islam, pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang dilandasi cinta dan kasih sayang, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Ar-Rum ayat 21: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." Namun, tak jarang dalam perjalanan rumah tangga, muncul permasalahan yang bisa berujung pada perceraian. Di sinilah pentingnya memahami panduan dari Al-Qur'an, salah satunya adalah Surah Al Baqarah ayat 237.
Ayat ini secara spesifik membahas mengenai kewajiban seorang suami yang menceraikan istrinya sebelum melakukan hubungan badan, namun sudah menetapkan mahar. Allah SWT berfirman:
Penafsiran yang lebih mendalam dari ayat ini seringkali merujuk pada kasus di mana perceraian terjadi sebelum hubungan intim dilangsungkan. Dalam situasi seperti ini, terdapat dua kondisi utama yang perlu dipahami:
1. Jika Mahar Telah Ditetapkan
Jika dalam akad nikah telah ditetapkan jumlah mahar, namun terjadi perceraian sebelum keduanya melakukan hubungan badan, maka suami wajib memberikan setengah dari mahar yang telah ditetapkan. Hal ini merupakan bentuk keadilan dan mitigasi kerugian bagi pihak perempuan yang telah terikat dalam pernikahan, meskipun belum terealisasi sepenuhnya. Kewajiban ini menegaskan bahwa ikatan pernikahan, sekecil apapun manifestasinya, memiliki konsekuensi finansial yang harus dipenuhi.
2. Jika Mahar Belum Ditetapkan
Apabila mahar belum ditetapkan sama sekali dalam akad nikah, maka tidak ada kewajiban bagi suami untuk memberikan mahar dalam kasus perceraian ini. Namun, dalam praktik yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, sangat dianjurkan bagi suami untuk memberikan mut'ah (hiburan) kepada mantan istrinya sebagai bentuk kebaikan dan penghormatan. Pemberian mut'ah ini sifatnya tidak wajib, tetapi sangat disukai dan mencerminkan nilai akhlak mulia dalam Islam. Ukuran mut'ah disesuaikan dengan kemampuan suami, seperti yang diisyaratkan dalam ayat lain yang juga menjelaskan tentang perceraian.
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini tidak hanya mengatur aspek hukum finansial, tetapi juga memberikan panduan moral dan etika dalam proses perceraian. Ketenangan, kebaikan, dan rasa takut kepada Allah menjadi elemen krusial yang harus selalu diperhatikan. Larangan untuk berkeras hati dalam berakad nikah sebelum masa iddah selesai juga menjadi pengingat pentingnya menjaga kehormatan dan menghindari kebingungan nasab.
Surah Al Baqarah ayat 237 mengajarkan kepada kita bahwa perceraian, meskipun merupakan pilihan terakhir, harus tetap dijalankan dengan cara yang ma'ruf (baik) dan penuh pertimbangan. Allah SWT, sebagai Maha Mengetahui segala isi hati, menuntut umat-Nya untuk senantiasa bertakwa dan menyadari bahwa segala perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Kefutuhan dan kesantunan-Nya memberikan harapan bagi mereka yang berbuat kesalahan untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Memahami dan mengamalkan ajaran dalam ayat ini akan membawa ketenangan dan keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam sebuah pernikahan, bahkan ketika harus berpisah.