Surah Al-Fil, sebuah permata dalam juz terakhir Al-Qur'an, seringkali menjadi pintu gerbang pemahaman kita terhadap sejarah awal Islam dan bukti nyata kekuasaan Ilahi. Pertanyaan mendasar mengenai surah al fil berjumlah berapa ayat adalah kunci untuk membuka seluruh rangkaian narasi epik yang disajikan dalam surah pendek namun padat makna ini.
Surah Al-Fil, yang secara harfiah berarti "Gajah", adalah surah ke-105 dalam susunan mushaf Utsmani. Ia tergolong sebagai surah Makkiyah, diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Keistimewaan surah ini terletak pada fokusnya yang tunggal: menceritakan peristiwa luar biasa yang dikenal sebagai ‘Amul Fīl’ (Tahun Gajah).
Untuk menjawab secara definitif pertanyaan, surah al fil berjumlah lima (5) ayat. Meskipun jumlahnya sedikit, kandungan sejarah, teologis, dan retorikanya sangatlah kaya. Lima ayat ini berfungsi sebagai ringkasan dramatis atas intervensi langsung Allah SWT dalam melindungi Baitullah, Ka’bah, dari serangan yang tak terelakkan oleh kekuatan militer besar pada masanya.
Surah Al-Fil diturunkan setelah Surah Al-Kafirun dan sebelum Surah Al-Falaq. Peristiwa yang diabadikannya terjadi di tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, surah ini menjadi pengantar kenabian, menegaskan bahwa sebelum risalah Islam diturunkan, telah ada tanda-tanda kekuasaan Allah yang menegaskan kesucian Makkah dan rumah suci-Nya. Ini adalah bukti pendahuluan (irhas) sebelum kenabian itu sendiri diumumkan.
Visualisasi Gajah, simbol kekuatan militer yang ditaklukkan oleh kekuasaan Ilahi.
Meskipun surah al fil berjumlah sangat ringkas, setiap ayat membawa beban makna yang luar biasa, menggabungkan retorika pertanyaan, deskripsi peristiwa, dan kesimpulan teologis yang tegas.
(١) أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?"
Kata kunci di sini adalah "أَلَمْ تَرَ" (Alam tara - Tidakkah kamu lihat/perhatikan). Ini adalah pertanyaan retoris yang memiliki beberapa dimensi tafsir:
Menurut mayoritas mufasir, ‘Alam tara’ tidak selalu berarti ‘apakah kamu melihat dengan mata kepala sendiri.’ Mengingat peristiwa ini terjadi sebelum kelahiran atau di masa kecil Nabi SAW, ‘Alam tara’ di sini merujuk pada ‘tidakkah kamu mengetahui melalui laporan yang sangat terpercaya dan pasti (mutawatir)?’ Peristiwa Tahun Gajah begitu terkenal di kalangan Quraisy sehingga pengetahuan tentangnya setara dengan penglihatan langsung. Para pendengar pertama Al-Qur'an (kaum Quraisy) adalah saksi mata peninggalan dan dampak psikologis dari kejadian tersebut. Ini menempatkan pengetahuan tentang peristiwa tersebut sebagai fakta yang tidak dapat disangkal, bahkan oleh para penentang Nabi.
Penggunaan kata ‘Rabbuka’ (Tuhanmu) pada ayat ini memiliki signifikansi personal. Allah mengingatkan Nabi Muhammad dan umatnya bahwa perlindungan yang diberikan kepada Ka'bah adalah tindakan Tuhan yang memelihara (Rabb) Nabi, yang pada akhirnya akan menggunakan tempat suci tersebut sebagai pusat penyebaran risalah-Nya. Ini adalah jaminan awal bahwa misi kenabian akan dilindungi.
(٢) أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
"Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia?"
Ayat kedua menegaskan bahwa segala rencana jahat, kekuatan logistik, dan persiapan militer yang dilakukan oleh Abraha dan pasukannya telah dibatalkan total. Kata "كَيْدَهُمْ" (kaidahum – tipu daya mereka) menunjukkan bahwa serangan terhadap Ka'bah bukan sekadar tindakan perang biasa, melainkan sebuah rencana jahat yang bertujuan menghapus pusat spiritual Arab dan menggantinya dengan katedral Abraha di Yaman.
Tipu daya mereka dijadikan "تَضْلِيلٍ" (tadhlīl – sia-sia, kesesatan, atau membuat bingung). Pasukan yang awalnya berbaris dengan tertib, lengkap dengan gajah perkasa, tiba-tiba menjadi kacau balau, tidak mampu bergerak maju menuju tujuan utama. Kisah Abraha yang gajahnya (Mahmud) menolak melangkah ke arah Makkah, namun mau bergerak ke arah lain, seringkali disitir sebagai manifestasi fisik dari "tadhlīl" ini—sebuah kebingungan dan kegagalan fungsi di titik genting.
(٣) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
"Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung-burung yang berbondong-bondong (Abābil)."
Ayat ini adalah titik balik narasi, memperkenalkan agen kehancuran Ilahi. Fokus utama tafsir di sini adalah mendefinisikan "أَبَابِيلَ" (Abābil).
Para ahli bahasa Arab dan mufasir berbeda pendapat mengenai definisi pasti Abābil. Namun, kesepakatan umumnya adalah bahwa Abābil bukanlah nama spesifik spesies burung, melainkan deskripsi kondisi mereka. Tafsir yang paling masyhur menyatakan Abābil berarti:
Intinya, Abābil menekankan aspek jumlah yang masif dan organisasi yang sempurna, menunjukkan bahwa ini adalah pasukan yang diorganisir oleh kuasa transenden, bukan fenomena alam biasa.
(٤) تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ
"Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar (Sijjīl)."
Ayat ini menjelaskan aksi burung-burung tersebut dan sifat proyektil yang mereka bawa. Dua kata kunci penting adalah "تَرْمِيهِمْ" (tarmīhim – melempari mereka) dan "سِجِّيلٍ" (Sijjīl).
Sijjīl sering diterjemahkan sebagai 'batu dari tanah liat yang dibakar' atau 'batu yang keras dan padat'. Dalam konteks Al-Qur’an, kata ini juga muncul saat menggambarkan hukuman atas kaum Luth. Mufasir besar seperti Ibnu Abbas dan Qatadah berpendapat bahwa Sijjīl adalah kombinasi dari bahasa Persia (sang: batu; gil: lumpur/tanah liat), yang berarti batu lumpur yang sangat keras. Ini mengindikasikan bahwa batu tersebut telah mengalami proses (dibakar atau dipanaskan) sehingga menjadi sangat mematikan dan memiliki sifat yang spesifik.
Riwayat menyebutkan bahwa setiap burung membawa tiga batu kecil, satu di paruhnya dan dua di cakarnya. Meskipun kecil, batu-batu ini bekerja layaknya senjata presisi, menjatuhkan setiap individu yang terkena dan meninggalkan luka bakar atau penyakit yang mengerikan.
(٥) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
"Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat/binatang)."
Ayat penutup ini memberikan gambaran yang mengerikan dan sangat visual mengenai nasib pasukan Abraha. Ungkapan "كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ" (ka-’asfin ma’kūl – seperti daun/jerami yang dimakan) adalah metafora yang kuat.
'Asf merujuk pada jerami atau dedaunan kering yang tersisa setelah panen, dan ma'kūl berarti dimakan. Para mufasir menjelaskan perumpamaan ini sebagai berikut:
Kedua gambaran tersebut menunjukkan degradasi total. Pasukan yang gagah perkasa, lengkap dengan gajah perang, berubah menjadi bubur, hancur lebur, dan tidak lagi dikenali sebagai manusia atau tentara. Kematian mereka tidak mulia; itu adalah kehinaan yang cepat dan tuntas.
Memahami Surah Al-Fil tidak lengkap tanpa menyelami latar belakang sejarahnya yang masif. Peristiwa Tahun Gajah bukan hanya mitos, melainkan fakta sejarah yang tercatat dengan baik dalam literatur Arab pra-Islam dan diakui oleh sejarawan non-Muslim, meskipun dengan detail yang bervariasi.
Abraha adalah seorang wakil raja Abyssinia (Ethiopia) di Yaman. Ia melihat bahwa seluruh Arab Utara masih melakukan haji ke Ka’bah di Makkah, yang memberikannya status ekonomi dan politik yang sentral. Didorong oleh rasa iri dan keinginan untuk memonopoli perdagangan serta ibadah, Abraha membangun sebuah katedral yang megah di Sana'a, Yaman, yang dinamainya Al-Qulais.
Ia mengumumkan niatnya untuk mengalihkan haji Arab ke katedralnya. Ketika berita ini sampai ke Makkah, seorang Arab (beberapa riwayat menyebutkan dari suku Kinanah) melakukan tindakan penghinaan terhadap Al-Qulais (dengan buang air besar di dalamnya) sebagai bentuk penolakan. Tindakan ini memicu kemarahan Abraha, yang kemudian bersumpah akan meratakan Ka'bah sebagai balasan.
Abraha memimpin pasukan yang sangat besar yang terdiri dari tentara terlatih, didukung oleh logistik yang lengkap, dan yang paling menakutkan, beberapa gajah perang. Gajah perang saat itu adalah simbol kekuatan militer tak tertandingi—setara dengan tank modern. Gajah utama dan yang paling besar diberi nama Mahmud.
Ketika pasukan bergerak menuju Makkah, mereka bertemu dengan beberapa perlawanan sporadis dari suku-suku Arab lokal, yang semuanya dikalahkan dengan mudah. Mereka merampas harta benda dan ternak di sekitar Makkah, termasuk 200 unta milik kakek Nabi, Abdul Muthalib.
Ketika Abraha tiba di pinggiran Makkah, ia mengirim utusan untuk bertemu dengan pemimpin Quraisy. Abdul Muthalib, pemimpin Quraisy saat itu, datang menghadap Abraha. Pertemuan ini adalah salah satu momen paling dramatis dalam sejarah pra-Islam.
Abraha terkejut ketika Abdul Muthalib hanya meminta pengembalian untanya, bukan keselamatan Ka’bah. Abdul Muthalib mengucapkan kalimatnya yang terkenal: "Saya adalah pemilik unta, dan Ka'bah memiliki Pemiliknya sendiri yang akan melindunginya." Jawaban ini menunjukkan keyakinan Abdul Muthalib, meskipun ia bukan seorang Muslim (ia menganut agama Hanif), bahwa rumah suci tersebut dijaga oleh kekuatan transenden yang jauh lebih besar dari gajah dan tentara Abraha.
Abdul Muthalib kemudian memerintahkan penduduk Makkah untuk mengungsi ke bukit-bukit di sekitar kota, meninggalkan Ka’bah tanpa penjagaan manusia, menyerahkannya sepenuhnya kepada Pemiliknya.
Visualisasi Ababil, burung-burung yang membawa kehancuran Ilahi.
Meskipun surah al fil berjumlah hanya lima ayat, struktur bahasanya sangat teratur dan efektif dalam menyampaikan pesan yang dahsyat. Keindahan retorika surah ini terletak pada kontrasnya antara kekuatan manusia yang besar dan kelemahan yang rapuh di hadapan Allah.
Surah ini membangun kontras yang tajam antara dua jenis makhluk hidup:
Kontras ini menunjukkan bahwa Allah tidak memerlukan senjata besar atau tentara yang seimbang untuk mengalahkan musuh-Nya. Ia hanya memerlukan agen yang paling tak terduga dan lemah untuk menjalankan takdir-Nya, menghancurkan logika kekuatan duniawi.
Surah ini dibuka dengan pertanyaan retoris (Ayat 1: Alam tara...) dan dikuatkan dengan pertanyaan retoris kedua (Ayat 2: Alam yaj'al...). Struktur tanya-jawab ini berfungsi untuk:
Barulah setelah menegaskan pengetahuan historis, ayat-ayat berikutnya (3, 4, 5) memberikan detail aksi Ilahi yang menghasilkan akhir tragis tersebut.
Dua istilah ini adalah puncak dari keefektifan bahasa Al-Qur'an dalam surah ini:
Kelima ayat Surah Al-Fil bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga landasan teologis yang mendalam mengenai perlindungan Ilahi, kenabian, dan pentingnya Ka’bah.
Kehancuran Abraha membuktikan bahwa Ka’bah, yang kemudian akan menjadi kiblat umat Islam, adalah aset yang dijaga oleh Allah sendiri. Peristiwa ini berfungsi sebagai proklamasi bahwa Makkah dan rumah suci tersebut akan segera menjadi pusat cahaya Ilahi. Surah ini memberikan kenyamanan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa Tuhan yang telah melindungi Ka’bah dari serangan militer terbesar juga pasti akan melindungi risalah-Nya dari penentang Quraisy.
Kisah Abraha adalah kisah tentang kesombongan yang berakhir tragis. Abraha merasa bahwa dengan sumber daya materi dan kekuatan militernya (gajah), ia dapat mendikte pusat spiritual dunia. Allah menunjukkan bahwa keangkuhan manusia, bahkan yang didukung oleh teknologi perang mutakhir, dapat dihancurkan oleh manifestasi kekuatan alam yang paling sederhana. Ini adalah pelajaran universal bagi setiap tirani dan arogansi kekuasaan yang mencoba menghalangi jalan kebenaran.
Secara tradisional, Surah Al-Fil (105) sering dibaca berpasangan dengan Surah Al-Quraish (106). Beberapa mufasir bahkan menganggap keduanya sebagai satu surah yang terbagi karena kesinambungan tema yang sangat kuat. Surah Al-Fil menjelaskan mengapa Quraisy memiliki keamanan, sedangkan Surah Al-Quraish menjelaskan bagaimana Quraisy harus merespons keamanan tersebut.
Al-Fil: Perlindungan Tuhan yang menyediakan keamanan (penghancuran musuh).
Al-Quraish: Kewajiban untuk menyembah Tuhan Rumah ini (Ka’bah) yang telah memberi mereka keamanan dan rezeki (perjalanan dagang musim dingin dan panas).
Artinya, perlindungan luar biasa yang diberikan oleh Allah (penghancuran pasukan gajah) diberikan agar kaum Quraisy dapat hidup aman, bepergian, dan mencari rezeki. Respon yang benar terhadap anugerah ini adalah tauhid (mengesakan Allah) dan ibadah.
Meskipun surah al fil berjumlah hanya lima ayat, para ulama terus mengkaji implikasi peristiwa ini, bahkan mencoba mencari penjelasan ilmiah modern terhadap fenomena yang tercatat secara supernatural dalam teks.
Mufasir kontemporer dan beberapa penafsir klasik mencoba memahami sifat kehancuran 'Asfin Ma'kul'. Beberapa spekulasi modern mencoba menafsirkan batu Sijjīl sebagai virus atau bakteri pembawa wabah:
Namun, mayoritas ulama salaf tetap menekankan dimensi mukjizat yang eksplisit. Entitas 'Abābil' dan 'Sijjīl' adalah intervensi supranatural yang tidak dapat sepenuhnya direduksi menjadi penjelasan alamiah, karena tujuannya adalah menunjukkan Kekuasaan Allah yang tidak terbatas oleh hukum alam biasa. Keajaiban terletak pada kesempurnaan dan kecepatan kehancurannya.
Bagi Nabi Muhammad SAW, menceritakan kembali kisah Al-Fil pada masa awal dakwah di Makkah adalah strategi retoris yang cerdas. Itu bukan hanya cerita; itu adalah memori kolektif yang masih segar di benak kaum Quraisy. Setiap kali Nabi membacakan surah ini, beliau mengingatkan mereka:
Surah ini, meskipun surah al fil berjumlah sangat pendek, berfungsi sebagai peringatan bahwa perlindungan Makkah bukanlah karena kekuatan militer Quraisy, melainkan semata-mata karena kehendak Allah. Ketika Quraisy mulai menentang Rasulullah, mereka melupakan pelajaran mendasar dari sejarah mereka sendiri.
Kisah Al-Fil menggambarkan Keadilan Ilahi (Al-Qisth). Meskipun Quraisy adalah masyarakat penyembah berhala saat itu, tindakan mereka melawan Abraha adalah demi menjaga kesucian sebuah rumah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim. Allah menghukum mereka yang niatnya jahat (Abraha) untuk menaklukkan sebuah tempat suci. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan kosmik Allah melampaui batas-batas formal agama; ia menghormati niat baik dan membela apa yang ditujukan untuk kemuliaan-Nya, terlepas dari siapa penjaga sementara di bumi.
Tindakan Allah adalah proaktif. Dia melindungi Ka'bah bukan karena permohonan yang spesifik, melainkan karena Dia memiliki rencana yang lebih besar, yang akan segera diwujudkan melalui kenabian terakhir. Peristiwa Al-Fil memastikan panggung telah bersih bagi kelahiran dan pertumbuhan Islam.
Untuk memahami sepenuhnya kekayaan Surah Al-Fil, meskipun surah al fil berjumlah hanya lima ayat, kita perlu melihat bagaimana tema-tema tersebut diulang dan diperkuat melalui tafsir yang lebih luas, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama terdahulu.
Mengapa ayat pertama menggunakan 'Rabbuka' (Tuhanmu) dan bukan hanya 'Allah'? Penggunaan 'Rabbuka' menekankan hubungan khusus antara Allah dan Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini terjadi di tahun kelahiran Nabi, seolah-olah Allah menyiapkan lingkungan yang aman—sebuah ibu kota yang suci dan dilindungi—sebelum mengirim utusan-Nya. Ini adalah deklarasi pra-kenabian tentang penjagaan Ilahi terhadap Makkah, yang sangat penting untuk misi masa depan Nabi.
Para mufasir menekankan bahwa ‘tipu daya’ Abraha bukan hanya serangan fisik, tetapi juga upaya propaganda untuk mengalihkan pusat ibadah. Kehancuran tersebut harus bersifat total (fisik dan psikologis). Ketika Abraha hancur, demikian pula ambisinya dan pusat ibadahnya di Yaman, memastikan bahwa Makkah tetap menjadi kiblat yang tak tergantikan. Kemenangan ini bersifat strategis; ia menyingkirkan pesaing spiritual dan politik di Jazirah Arab.
Ketika pasukan gajah menjadi bingung dan tidak mau maju—sebagaimana banyak riwayat menyebutkan gajah Mahmud berlutut dan menolak bergerak—itu adalah kegagalan sistemik dari tipu daya mereka, sebelum hukuman fisik Abābil datang. Ini adalah dimensi ‘tadhlīl’ (kesia-siaan) yang bersifat mental dan spiritual yang terjadi terlebih dahulu.
Banyak ulama menekankan bahwa Abābil tidak muncul di Makkah sebelumnya dan tidak terlihat lagi setelah peristiwa itu. Ini menegaskan bahwa mereka adalah ‘pasukan khusus’ yang diciptakan atau dipanggil hanya untuk tujuan ini. Rincian tentang burung-burung yang datang dari laut, atau burung dengan warna hijau atau hitam yang aneh, menyoroti fakta bahwa keajaiban ini harus terlihat unik agar pesan Ilahi tersampaikan dengan jelas. Keberadaan mereka adalah bukti nyata intervensi langsung, bukan kebetulan alam.
Deskripsi ‘Asfin Ma’kūl’ (seperti jerami yang dimakan) memiliki warisan yang mendalam di Makkah. Beberapa riwayat mengatakan bahwa sisa-sisa pasukan Abraha yang sakit dan terluka parah bergegas kembali ke Yaman, menyebarkan wabah di sepanjang jalan. Bahkan Abraha sendiri meninggal dalam keadaan yang mengerikan, dengan tubuhnya membusuk secara bertahap. Ini memastikan bahwa saksi mata kehancuran kembali ke Yaman untuk menceritakan kisah kekalahan total, sehingga menjaga reputasi Makkah sebagai tempat yang dilindungi Allah selama beberapa dekade mendatang.
Sebagai kesimpulan atas analisis mendalam ini, Surah Al-Fil, yang surah al fil berjumlah tepat lima ayat, lebih dari sekadar cerita rakyat atau catatan sejarah lokal. Ia adalah proklamasi fundamental mengenai kedaulatan (Rububiyah) Allah SWT.
Dalam lima kalimat ringkas, Al-Qur'an menyampaikan pesan yang tak lekang oleh waktu: bahwa kekuatan materi, logistik, dan teknologi (diwakili oleh gajah) selalu tunduk pada kehendak Ilahi. Surah ini adalah salah satu bukti terkuat bagi kaum Quraisy di masa Nabi bahwa Ka’bah memiliki Penjaga, dan bahwa kelahiran risalah Islam telah dipersiapkan dengan intervensi langsung dari langit.
Setiap Muslim yang membaca Surah Al-Fil diingatkan tentang dua hal penting: Pertama, kekuasaan Allah tak tertandingi dan mampu menggunakan makhluk terkecil (burung) untuk mengalahkan makhluk terbesar (gajah). Kedua, kita harus bersyukur atas karunia keamanan dan perlindungan yang telah diberikan oleh Allah, sebagaimana yang ditekankan dalam Surah Al-Quraish yang mengikutinya. Keamanan Makkah adalah dasar bagi tegaknya agama tauhid.
Lima ayat Al-Fil merangkum sebuah epik: pertanyaan tajam, janji kegagalan, kemunculan kekuatan supranatural, eksekusi hukuman yang presisi, dan kesimpulan kehinaan yang total. Warisan surah ini adalah pemahaman bahwa meskipun dunia dipenuhi oleh Abraha modern dengan senjata dan ambisi yang menggelegak, pemeliharaan Allah senantiasa bekerja untuk melindungi kebenaran dan menghancurkan tipu daya, menjadikannya salah satu surah yang paling fundamental dalam pemahaman akan sejarah profetik dan janji Tuhan.