I. Pendahuluan: Keagungan Surah Al-Fil
Surah Al-Fil (Gajah) adalah salah satu surah pendek yang memiliki bobot sejarah dan teologis yang luar biasa dalam Al-Qur'an. Terdiri dari lima ayat, surah ini termasuk dalam golongan surah Makkiyah, yang diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Meskipun singkat, pesan yang disampaikan oleh Surah Al-Fil sangat padat dan fundamental: menegaskan kekuasaan mutlak Allah SWT dan perlindungan-Nya terhadap tempat suci (Ka'bah) serta rencana-Nya dalam menjaga risalah kenabian.
Peristiwa yang diabadikan dalam surah ini—penghancuran pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah—terjadi pada tahun yang sama dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekitar 570 Masehi. Oleh karena itu, peristiwa ini dikenal sebagai ‘Amul Fil (Tahun Gajah), sebuah titik balik yang penting dalam sejarah Arab dan menandai pendahuluan bagi kedatangan Islam.
Kisah ini bukan sekadar narasi sejarah; ia adalah pelajaran tentang bagaimana kekuatan materi dan militer yang arogan dapat dihancurkan dengan mudah oleh intervensi Ilahi yang paling sederhana. Ia mengajarkan tauhid murni kepada kaum Quraisy, yang saat itu masih menyembah berhala namun menyadari keajaiban yang terjadi di depan mata mereka, menegaskan bahwa pemilik sejati Ka'bah adalah Allah, bukan berhala atau suku tertentu.
II. Teks, Terjemahan, dan Transliterasi
Berikut adalah teks lengkap Surah Al-Fil dalam bahasa Arab, transliterasi, dan terjemahan resmi:
Ayat 1
Artinya: Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
Ayat 2
Artinya: Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?
Ayat 3
Artinya: Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
Ayat 4
Artinya: Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar (Sijjil),
Ayat 5
Artinya: Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
III. Konteks Sejarah: Tahun Gajah ('Amul Fil)
Untuk memahami Surah Al-Fil, kita harus menyelami latar belakang historisnya yang sangat spesifik. Peristiwa Gajah terjadi tak lama sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, menjadikannya tonggak sejarah yang begitu monumental sehingga orang-orang Arab menggunakannya sebagai penanda kalender mereka.
A. Sang Penyerang: Abrahah al-Ashram
Pemimpin pasukan gajah adalah Abrahah al-Ashram, seorang gubernur Kristen dari Yaman yang merupakan bawahan Raja Najashi dari Habasyah (Ethiopia). Abrahah adalah sosok yang ambisius. Setelah berhasil membangun gereja besar yang megah di Sana’a, Yaman, yang dinamainya Al-Qullais, ia berhasrat mengalihkan pusat ziarah Arab dari Ka'bah di Mekah ke gerejanya. Hal ini didorong oleh kekesalannya melihat bagaimana orang Arab terus memuja Ka'bah, sementara gerejanya diabaikan.
Pemicu langsung penyerangan adalah ketika beberapa orang Arab (riwayat menyebutkan dari suku Kinanah atau Quraisy) merasa terhina oleh ambisi Abrahah dan melancarkan serangan kecil atau penghinaan terhadap Al-Qullais, mungkin dengan mencemari atau merusaknya. Abrahah bersumpah untuk membalas dendam dengan menghancurkan Ka'bah, struktur yang dianggap suci oleh semua suku Arab.
B. Ekspedisi Menuju Mekah
Abrahah mempersiapkan pasukan besar, yang menurut catatan sejarah merupakan pasukan termodern saat itu, lengkap dengan tentara yang terlatih dan, yang paling mengejutkan bagi orang Arab, satu atau lebih gajah perang. Keberadaan gajah perang adalah sesuatu yang belum pernah dilihat oleh penduduk Hijaz. Gajah ini, yang dinamai Mahmud, berfungsi sebagai simbol kekuatan militer yang tak terkalahkan.
Dalam perjalanan menuju Mekah, Abrahah menghadapi perlawanan sporadis dari suku-suku Arab lokal, namun semua perlawanan itu mudah dihancurkan. Ketika mendekati Mekah, pasukannya menyita unta-unta milik penduduk Mekah, termasuk 200 unta milik kakek Nabi, Abdul Muttalib bin Hasyim, pemimpin Quraisy saat itu.
C. Pertemuan dengan Abdul Muttalib
Abdul Muttalib, dalam perannya sebagai pelayan Ka'bah, menemui Abrahah untuk memohon pengembalian untanya. Abrahah terkejut dan bertanya mengapa Abdul Muttalib meminta untanya padahal Abrahah datang untuk menghancurkan rumah suci yang menjadi agama kaumnya.
Abdul Muttalib memberikan jawaban legendaris: "Aku adalah pemilik unta, dan Rumah ini (Ka'bah) memiliki Pemilik yang akan melindunginya." Jawaban ini menunjukkan penyerahan diri total kepada kehendak Ilahi dan merupakan manifestasi awal dari tauhid meskipun dalam masyarakat pagan.
Abrahah, yang yakin bahwa tidak ada kekuatan yang bisa menghentikannya, memerintahkan pasukannya untuk maju.
D. Mukjizat Perlindungan Ka'bah
Ketika pasukan Abrahah siap menyerang, terjadi mukjizat. Gajah utama, Mahmud, menolak untuk bergerak menuju Ka'bah. Setiap kali gajah diarahkan ke selatan (menuju Ka'bah), ia berlutut dan menolak; namun, ketika diarahkan ke arah lain (Yaman atau Syam), ia bergerak dengan cepat. Hal ini merupakan tanda awal bahwa ada kekuatan gaib yang menghalangi serangan tersebut.
IV. Tafsir Ayat per Ayat: Penyingkapan Makna Surah Al-Fil
Tafsir yang mendalam membantu kita memahami terminologi spesifik dan implikasi teologis dari setiap ayat.
A. Tafsir Ayat 1: Pertanyaan Retoris Ilahi
1. Makna “Alam Tara” (Tidakkah Engkau Memperhatikan?)
Kata kerja ‘tara’ (melihat) di sini tidak harus diartikan sebagai melihat dengan mata kepala, karena Nabi Muhammad SAW baru lahir pada tahun tersebut dan tidak menyaksikan langsung kejadian itu. Para ahli tafsir sepakat bahwa ‘tara’ di sini merujuk pada: Pertama, mengetahui melalui pengetahuan yang pasti (ilmu yakin), karena kisah ini sangat masyhur dan baru saja terjadi. Kedua, melihat dengan mata hati (observasi), di mana Nabi dan para pendengarnya dapat melihat sisa-sisa kehancuran pasukan tersebut yang masih tersisa di pinggiran Mekah, menjadi bukti nyata kekuasaan Allah.
Pertanyaan retoris ini bertujuan untuk mengingatkan kaum Quraisy akan nikmat besar yang telah Allah berikan kepada mereka, yaitu perlindungan terhadap Ka'bah, yang merupakan sumber kehormatan dan mata pencaharian mereka.
2. Makna “Ashab Al-Fil” (Pasukan Gajah)
Istilah ini secara khusus merujuk pada tentara Abrahah, yang terkenal karena penggunaan gajah. Dalam budaya Arab, penyebutan gajah dalam konteks perang adalah sesuatu yang asing, sehingga julukan ini langsung mengidentifikasi siapa musuh yang dibicarakan. Hal ini juga menekankan kontras antara kekuatan militer manusia yang besar dan arogan versus kekuatan tak terlihat dari Pencipta.
B. Tafsir Ayat 2: Kekosongan Tipu Daya
1. Makna “Kaid” (Tipu Daya atau Rencana)
‘Kaid’ merujuk pada rencana jahat atau strategi licik yang digunakan oleh musuh. Dalam konteks ini, ‘kaid’ Abrahah adalah seluruh persiapan militernya, dari pembangunan gereja tandingan hingga penggerakan pasukan besar-besaran untuk menghancurkan fondasi kehormatan bangsa Arab.
2. Makna “Tadhlil” (Kesesatan atau Kesia-siaan)
‘Tadhlil’ berarti membuat sesuatu tersesat, sia-sia, atau gagal total. Allah SWT menjadikan seluruh strategi canggih Abrahah tidak berguna. Rencana besar yang didanai dan dipersiapkan matang tersebut akhirnya tidak mencapai tujuannya sedikit pun. Ini menunjukkan bahwa sehebat apapun perencanaan manusia, jika bertentangan dengan kehendak Ilahi, ia pasti akan hancur.
Para mufasir menekankan bahwa kegagalan ini datang bukan dari perlawanan militer manusia (karena Quraisy telah mengungsi ke bukit-bukit), melainkan langsung dari intervensi kosmik yang membuat mereka kehilangan arah dan tujuan.
C. Tafsir Ayat 3: Burung-Burung Ababil
1. Siapa “Thairan Ababil”?
‘Thairan’ berarti burung-burung. Yang menarik adalah kata ‘Ababil’. Para ulama berbeda pendapat mengenai makna pasti kata ini, namun mayoritas tafsir klasik menafsirkannya sebagai:
- Berbondong-bondong/Kelompok-kelompok: Makna yang paling umum. Burung-burung itu datang dalam kelompok-kelompok besar dan dari arah yang berbeda-beda, meliputi seluruh pasukan Abrahah.
- Beragam/Beraneka Warna: Beberapa riwayat menyebutkan bahwa burung-burung ini memiliki bentuk yang belum pernah dilihat sebelumnya, berbeda dari jenis burung lokal.
Burung-burung ini dikirim sebagai bala tentara Allah. Fakta bahwa Allah menggunakan makhluk yang paling lemah—burung kecil—untuk menghancurkan pasukan yang terdiri dari gajah dan tentara terlatih, adalah puncak dari demonstrasi kekuasaan Ilahi. Ini mengajarkan bahwa Allah tidak memerlukan bala tentara yang seimbang secara militer untuk menang.
D. Tafsir Ayat 4: Batu Sijjil yang Mematikan
1. Aksi “Tarmīhim” (Melempari Mereka)
Gambaran dalam ayat ini sangat visual dan mengerikan. Burung-burung tersebut melemparkan batu-batu kecil yang mereka bawa. Menurut riwayat, setiap burung membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di cakar-cakarnya. Kecepatan dan dampak lemparan itu begitu dahsyat.
2. Misteri “Sijjil”
Kata ‘Sijjil’ adalah salah satu kata yang membutuhkan analisis mendalam. Para mufasir menawarkan beberapa interpretasi:
- Tanah yang Terbakar (Tanah Liat yang Dipanaskan): Ini adalah pandangan yang paling dominan. Batu-batu itu terbuat dari tanah liat yang dibakar keras seperti batu bata atau tembikar, yang sangat padat dan panas.
- Campuran Batu dan Lumpur: Beberapa berpendapat ‘Sijjil’ adalah kombinasi dari ‘sijin’ (catatan/hukuman) dan ‘jill’ (tanah), menunjukkan batu yang dicatat untuk hukuman.
- Berasal dari Neraka: Tafsir lain menyebutkan bahwa batu-batu ini memiliki asal usul supranatural, mungkin mirip dengan jenis batu yang digunakan dalam hukuman terhadap kaum Nabi Luth, menunjukkan sifatnya yang mematikan dan bersifat penghakiman.
Meskipun batu itu kecil, dikisahkan bahwa batu itu menembus helm, tubuh, dan gajah, menyebabkan penyakit mengerikan yang membuat kulit mereka terkelupas dan daging mereka membusuk, mirip luka bakar yang parah.
E. Tafsir Ayat 5: Akhir yang Mengerikan
1. Makna “Ka’ashfim Ma’kul” (Seperti Daun yang Dimakan Ulat)
Ini adalah perumpamaan yang sangat kuat dan efektif bagi masyarakat agraris. ‘Al-Asf’ merujuk pada daun kering, batang, atau jerami dari tanaman yang telah dipanen. ‘Ma’kul’ berarti yang dimakan. Perumpamaan ini menggambarkan dua keadaan kehancuran:
- Kehancuran Total (Jerami yang Terinjak): Pasukan Abrahah diubah menjadi sisa-sisa yang hancur, tidak berharga, dan terpotong-potong, mirip jerami kering yang telah diinjak-injak oleh hewan.
- Pembusukan (Dimakan Ulat): Dampak dari batu Sijjil membuat tubuh mereka membusuk dan hancur berantakan dari dalam, seolah-olah dimakan oleh ulat atau hama. Ini menggambarkan penyakit cepat yang merubah fisik mereka menjadi bubuk.
Ayat penutup ini memberikan kesimpulan dramatis: pasukan yang megah dan arogan itu direduksi menjadi sampah biologis yang tidak berarti, menegaskan bahwa kekuasaan hanya milik Allah.
V. Analisis Linguistik dan Keindahan Bahasa
Surah Al-Fil, meskipun singkat, adalah mahakarya retorika dalam bahasa Arab, menggunakan gaya bahasa yang lugas namun sangat efektif untuk menyampaikan mukjizat.
A. Penggunaan Kata Kerja Lampau (Fi'il Madhi)
Seluruh surah menggunakan kata kerja lampau (misalnya, *fa'ala*, *ja'ala*, *arsala*). Ini menunjukkan bahwa peristiwa yang dibicarakan adalah fakta sejarah yang sudah pasti terjadi dan tidak bisa dibantah. Penekanan pada masa lampau memperkuat kebenaran narasi bagi pendengar awal.
B. Gaya Retoris 'Alam Tara'
Penggunaan pertanyaan retoris negatif ‘Alam tara’ (Tidakkah engkau melihat?) berfungsi untuk memaksa audiens untuk merenungkan dan mengakui kebenaran yang sudah mereka ketahui bersama. Ini adalah teknik yang digunakan untuk membangun konsensus spiritual dan sejarah tanpa perlu memberikan bukti baru.
C. Keunikan Kata 'Ababil' dan 'Sijjil'
Dua kata ini tidak umum dalam kosakata Arab pra-Islam, menunjukkan bahwa deskripsi yang digunakan Al-Qur'an merujuk pada fenomena yang unik dan di luar pengalaman biasa manusia. Keasingan terminologi ini meningkatkan unsur keajaiban dalam kisah tersebut.
VI. Ibrah dan Pelajaran Abadi dari Surah Al-Fil
Surah Al-Fil menawarkan sejumlah pelajaran spiritual dan teologis yang relevan sepanjang masa, jauh melampaui konteks sejarahnya.
A. Penegasan Tauhid dan Kekuasaan Mutlak
Pelajaran utama adalah penegasan kekuasaan Allah SWT (Tauhid Rububiyah). Peristiwa ini mengajarkan bahwa kekuatan manusia—sekalipun didukung oleh teknologi militer terbaik saat itu (gajah)—tidak ada artinya di hadapan kehendak Allah. Allah melindungi Ka'bah bukan karena kekuatan suku Quraisy, melainkan karena kehendak-Nya untuk memelihara Rumah itu hingga risalah terakhir datang.
Ini adalah bantahan keras terhadap mentalitas paganisme yang beranggapan bahwa dewa-dewa mereka (berhala yang ada di Ka'bah) yang melindunginya. Allah menunjukkan bahwa Dia sendiri, *Rabbul-Ka’bah*, adalah Pelindung sejati.
B. Penghormatan terhadap Ka'bah dan Tanah Suci
Peristiwa ini menetapkan Ka'bah sebagai pusat spiritual yang dijaga secara Ilahi. Bahkan sebelum Ka'bah disucikan sepenuhnya dari berhala oleh Nabi Muhammad, statusnya sebagai Baitullah (Rumah Allah) diakui dan dipertahankan oleh Allah sendiri. Ini meningkatkan kehormatan dan kesucian Mekah sebagai Haraman (Tanah Suci) yang tidak boleh diserang.
C. Sunnatullah: Hukuman bagi Keangkuhan
Kisah Abrahah menjadi contoh dari *Sunnatullah* (ketetapan Allah) bahwa kesombongan, tirani, dan agresi pasti akan dihancurkan. Abrahah adalah lambang keangkuhan kekuasaan; ia tidak hanya ingin menaklukkan wilayah, tetapi juga ingin menghancurkan identitas spiritual suatu bangsa dan menggantinya dengan kehendak pribadinya.
Pesan moralnya jelas: mereka yang bersekutu melawan kebenaran, seberapa pun besarnya kekuatan mereka, akan berakhir menjadi ‘daun yang dimakan ulat’, yaitu kehancuran total dan memalukan.
D. Mukadimah bagi Kenabian
Surah Al-Fil adalah mukadimah profetik (kenabian) yang sangat penting. Kelahiran Nabi Muhammad SAW terjadi di Tahun Gajah, seolah-olah Allah sengaja membersihkan panggung dunia dari ancaman besar (Abrahah) tepat sebelum mengutus utusan-Nya yang terakhir. Kejadian ini menegaskan bahwa masa Nabi Muhammad adalah masa yang istimewa dan dilindungi sejak awal oleh takdir Ilahi.
Peristiwa Gajah juga meningkatkan status klan Quraisy di mata suku-suku Arab lainnya. Mereka dianggap sebagai "tetangga Allah" yang rumahnya dilindungi, meskipun mereka sendiri tidak mengangkat senjata. Hal ini secara tidak langsung memuluskan jalan bagi penerimaan Nabi Muhammad di kemudian hari.
VII. Analisis Mendalam Mengenai Dampak dan Warisan Historis
Dampak peristiwa Gajah tidak hanya terbatas pada tahun itu saja, tetapi membentuk psikologi dan geopolitik Jazirah Arab selama berabad-abad.
A. Dampak Sosial dan Ekonomi
Perlindungan Ka'bah menjamin kelanjutan jalur perdagangan dan ziarah ke Mekah. Keamanan Mekah, yang dijamin secara Ilahi, meningkatkan reputasi Quraisy sebagai penjaga yang terpercaya. Hal ini berdampak langsung pada kekayaan dan pengaruh sosial mereka, yang kemudian menjadi faktor penting dalam persaingan melawan Islam di masa awal.
Kekuatan Ethiopia di Yaman merosot tajam setelah kekalahan Abrahah. Hal ini menciptakan kekosongan kekuasaan di Arabia Selatan yang kemudian diisi oleh pengaruh Persia. Gejolak regional ini menunjukkan bahwa kejatuhan satu kekuatan dapat mengubah peta kekuasaan seluruh semenanjung.
B. Kisah Abrahah dalam Sumber Lain
Kisah ini tidak hanya tercatat dalam sumber-sumber Islam. Sejarawan Kristen Bizantium dan sumber-sumber pra-Islam juga mengkonfirmasi adanya ekspedisi militer besar-besaran dari Yaman yang berakhir dengan kegagalan total, sering kali dikaitkan dengan wabah penyakit misterius atau bencana alam. Meskipun sumber-sumber non-Islam mungkin tidak menyebutkan burung *Ababil*, mereka mengkonfirmasi kehancuran massal pasukan tersebut, yang dalam pandangan Muslim diyakini sebagai manifestasi dari hukuman Ilahi melalui *Sijjil*.
C. Tafsir Filosofis: Bentuk Hukuman
Beberapa mufasir modern, seperti Muhammad Abduh, mencoba menafsirkan *Sijjil* dan *Ababil* tidak selalu sebagai burung kecil supranatural, tetapi sebagai manifestasi dari wabah penyakit menular (seperti cacar atau tifus) yang dibawa oleh nyamuk atau serangga dalam jumlah besar (mirip Ababil). Pandangan ini, meskipun minoritas, mencoba mendamaikan mukjizat dengan pemahaman ilmiah, namun esensinya tetap sama: kehancuran tersebut bersifat Ilahi, cepat, dan datang dari agen yang tampaknya lemah, yang di luar kendali Abrahah.
Namun, pandangan tafsir yang dominan dan dipegang oleh mayoritas ulama salaf adalah bahwa peristiwa ini adalah mukjizat harfiah yang luar biasa, dikirim untuk menunjukkan kekuasaan Allah yang tidak terikat oleh hukum sebab-akibat alam biasa.
VIII. Menghayati Pesan Spiritual Surah Al-Fil
Bagaimana seorang Muslim saat ini dapat mengambil manfaat dari lima ayat pendek ini?
A. Optimisme dalam Menghadapi Ancaman
Surah Al-Fil mengajarkan umat Islam untuk mempertahankan optimisme mutlak, bahkan ketika menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar dan lebih kuat. Ketika musuh terlihat tak terkalahkan, seorang mukmin harus yakin bahwa jika niatnya benar dan tindakannya untuk kebenaran, Allah memiliki cara-Nya sendiri untuk membatalkan tipu daya musuh.
B. Pentingnya Niat dan Tujuan
Peristiwa Gajah menegaskan pentingnya tujuan. Tujuan Abrahah adalah menghancurkan rumah ibadah dan mendirikan kekuasaannya sendiri, didorong oleh kesombongan. Sebaliknya, penduduk Mekah, meskipun masih pagan, secara naluriah menghormati Ka'bah sebagai rumah leluhur mereka. Allah mengutamakan perlindungan terhadap rumah-Nya dan menghancurkan niat buruk Abrahah.
C. Kekuatan Dibalik Kelemahan
Pelajarannya adalah bahwa Allah seringkali menggunakan agen yang paling tidak terduga dan lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya yang besar. Jika kita merasa lemah atau terpinggirkan, Surah Al-Fil mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati berasal dari dukungan Ilahi, bukan dari sumber daya materi kita sendiri. Seekor burung kecil dapat membawa batu neraka, sedangkan pasukan gajah hanya berakhir menjadi sampah.
IX. Perbandingan Dengan Kisah Kenabian Lainnya
Kisah dalam Surah Al-Fil memiliki kemiripan tematik dengan kisah-kisah kenabian lain di mana Allah menghancurkan musuh melalui keajaiban alam atau agen yang tidak terduga:
- Kisah Firaun dan Musa: Firaun yang memiliki pasukan besar dan kekayaan tak terbatas tenggelam di laut. Kekuatan alam (laut) menjadi penghukum.
- Kisah Nabi Luth: Kaum yang sombong dihancurkan oleh hujan batu *Sijjil*, istilah yang sama digunakan dalam Surah Al-Fil, menggarisbawahi sifat abadi dari hukuman Ilahi terhadap tirani.
Perbandingan ini menunjukkan konsistensi dalam *Sunnatullah*: ketika kesombongan dan kezaliman mencapai puncaknya, hukuman datang dalam bentuk yang tak terduga, melucuti kekuatan manusia dari martabat dan kontrolnya.
X. Memperdalam Tafsir “Ka’ashfim Ma’kul” dalam Kehidupan Modern
Frasa “seperti daun-daun yang dimakan ulat” mengandung kedalaman psikologis dan spiritual yang relevan. Dalam konteks modern, ‘daun-daun yang dimakan ulat’ dapat diartikan sebagai:
- Kegagalan Reputasi: Kekuatan besar bisa hancur bukan hanya secara fisik, tetapi juga reputasinya. Abrahah dan pasukannya, yang berambisi mengukir sejarah sebagai penakluk Mekah, justru dikenang sebagai kelompok yang secara memalukan dikalahkan oleh burung-burung kecil.
- Kelemahan Fondasi Materi: Mereka yang membangun kerajaan berdasarkan kekuatan materi, kekerasan, atau kebohongan, akan menemukan fondasi itu rapuh. Ketika intervensi Ilahi datang, seluruh struktur akan hancur dari dalam, seperti daun yang telah dimakan ulat dan hanya menyisakan serat yang tak berarti.
Inti dari surah ini adalah panggilan kepada introspeksi: apakah kita membangun kehidupan dan ambisi kita di atas kekuatan diri sendiri yang rapuh, ataukah kita bersandar pada perlindungan dan kekuasaan Allah SWT?
Kesimpulannya, Surah Al-Fil bukanlah sekadar cerita anak-anak atau dongeng sejarah yang terlewatkan. Ia adalah salah satu pondasi keimanan yang menegaskan bahwa Allah adalah pelindung umat-Nya dan rumah-Nya. Ia adalah peringatan abadi bagi setiap tiran dan kesombongan manusia bahwa akhir dari kesombongan adalah kehinaan total. Dengan mengingat ‘Amul Fil, umat Islam senantiasa diingatkan akan janji Allah untuk melindungi kebenaran dan menghancurkan kebatilan, meskipun kebatilan datang dengan kekuatan sebesar gajah.
Pengulangan dan penekanan dalam tafsir ini adalah untuk memastikan bahwa setiap dimensi historis, linguistik, dan teologis dari Surah Al-Fil telah dijelaskan secara komprehensif, memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang keagungan surah ini dalam konteks spiritual dan sejarah Islam.