Surah Al-Ikhlas, sebuah surah pendek namun padat, sering disebut sebagai sepertiga Al-Qur'an karena inti ajarannya yang mendalam mengenai tauhid. Surah ini secara tegas mendefinisikan sifat-sifat fundamental Allah Subhanahu Wa Ta'ala, membedakan-Nya dari segala sesuatu di alam semesta. Puncak dari deklarasi keesaan ini terletak pada ayat keempat: وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ (Walam yakun lahu kufuwan ahad).
Ayat ini bukan sekadar penutup, melainkan sebuah penegasan teologis yang mutlak, menutup segala kemungkinan kompromi atau keserupaan dalam memahami Dzat Ilahi. Untuk memahami sepenuhnya kedalaman makna Surah Al-Ikhlas ayat 4, kita harus menelusuri akar linguistik, konteks historis, dan implikasi teologisnya yang meluas melampaui batas-batas akal dan perbandingan manusiawi.
Surah Al-Ikhlas (Kemurnian Tauhid) diturunkan sebagai jawaban definitif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin Mekah atau sebagian Ahlul Kitab (seperti yang dicatat dalam beberapa riwayat, termasuk riwayat At-Tirmidzi). Mereka menanyakan tentang 'silsilah' atau deskripsi Tuhan yang disembah Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini datang untuk memurnikan konsep ketuhanan dari segala bentuk kesyirikan dan kekeliruan antropomorfis.
Empat ayat dalam surah ini membentuk empat pilar Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah:
Ayat keempat berfungsi sebagai sintesis dan kesimpulan logis dari tiga pernyataan sebelumnya. Jika Allah itu Esa (*Ahad*), Mahamulia (*Samad*), dan tidak beranak atau diperanakkan (*Lam yalid walam yulad*), maka konsekuensi logisnya adalah tidak mungkin ada sesuatu pun yang setara atau sebanding dengan-Nya.
Memahami kekayaan ayat ini memerlukan pembongkaran setiap komponen linguistiknya, yang menunjukkan betapa kuatnya penolakan terhadap kesetaraan dalam bahasa Arab klasik.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Terjemah Standar: Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.
Huruf *Waw* (dan) di awal ayat berfungsi sebagai penyambung logis, menunjukkan bahwa ayat ini adalah kesimpulan dari ayat-ayat sebelumnya. Sedangkan *Lam* (لَمْ) adalah partikel negasi (penidak) yang digunakan untuk meniadakan sesuatu di masa lalu dan terus berlaku hingga masa kini. Penggunaan *Lam* memberikan penegasan waktu yang mutlak: tidak pernah ada, tidak sedang ada, dan tidak akan pernah ada tandingan bagi-Nya.
*Yakun* (dari kata dasar *Kana* - 'menjadi' atau 'ada') yang didahului oleh *Lam* menempatkan pernyataan ini dalam konteks keberadaan. Ini bukan sekadar larangan, tetapi penolakan eksistensial. Tidak mungkin bagi tandingan itu untuk menjadi ada atau eksis, baik secara faktual maupun potensial.
Ini adalah inti teologis dari ayat tersebut. *Kufu* atau *Kufuwan* memiliki makna: setara, sebanding, sepadan, atau tandingan. Dalam konteks sosial, *kufu* sering digunakan untuk merujuk pada kesepadanan status dalam pernikahan. Namun, dalam konteks teologis, maknanya meluas ke:
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa penolakan *Kufuwan* mencakup seluruh aspek. Jika ada makhluk yang setara dengan-Nya dalam satu aspek saja (misalnya dalam kekuasaan), maka klaim Keesaan akan gugur.
Kata *Ahad* di sini berfungsi sebagai subjek (fa’il) yang dikedepankan setelah penafian. Dalam bahasa Arab, penempatan subjek *Ahad* (seseorang/sesuatu) di akhir kalimat penafian memperkuat penolakan secara totalitas. Ini berarti ‘tidak seorang pun’, ‘tidak sesuatu pun’, dan ‘sama sekali tidak ada’ yang bisa menyamai-Nya. Penggunaan *Ahad* pada akhir ayat keempat, setelah *Ahad* pada ayat pertama, menciptakan kerangka linguistik yang solid: Allah adalah *Ahad* (Esa), maka *Ahad* (siapa pun/apa pun) tidak dapat menjadi tandingan-Nya.
Ayat ini menjadi fokus utama para teolog (mutakallimin) dan ahli tafsir, karena ia merupakan fondasi utama doktrin *Tanzih* (transendensi atau penyucian Allah dari segala kekurangan).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menolak segala bentuk analogi atau kemiripan. Beliau mengutip riwayat dari Abu Salih yang mengatakan: “Ayat ini menolak bahwa bagi Allah ada isteri, anak, sekutu, atau tandingan.” Penafian ini begitu luas hingga mencakup setiap kemungkinan keserupaan dalam pikiran manusia.
Menurut Ibnu Katsir, *kufuwan ahad* adalah penegasan bahwa Allah Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya dalam segala hal, baik dari segi entitas fisik, sifat, maupun eksistensi. Ini selaras dengan ayat lain: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) [Asy-Syura: 11]. Ayat 4 Surah Al-Ikhlas adalah penegasan yang lebih spesifik terhadap penolakan tandingan dalam hal otoritas dan keilahian.
Imam At-Tabari berfokus pada makna bahwa tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya dalam kekuasaan, keagungan, dan kemahapenciptaan. Jika seseorang mengklaim memiliki kualitas ketuhanan, maka ia harus membuktikan bahwa ia juga tidak dilahirkan, tidak berketurunan, dan merupakan tempat bergantung segala sesuatu—sebuah klaim yang mustahil bagi ciptaan.
At-Tabari menjelaskan bahwa penolakan *kufuwan* ini adalah penolakan terhadap pemahaman pagan yang meyakini adanya dewa-dewa yang setara dalam kekuatan (seperti dewa perang tandingan dewa langit). Islam meniadakan adanya kompetisi dalam domain keilahian.
Dalam ilmu Kalam, ayat ini adalah dalil naqli (dalil berdasarkan wahyu) yang paling kuat untuk sifat *Mukhalafatuhu lil-Hawadits* (Perbedaan-Nya dengan segala sesuatu yang baru/makhluk). Para teolog menggunakan ayat ini untuk berargumen bahwa:
Konsep ‘tidak ada yang setara’ membawa implikasi besar dalam memandang alam semesta, ibadah, dan kehidupan manusia.
Jika Allah memiliki tandingan (*kufuwan*), itu berarti kekuasaan-Nya terbatas atau dibagi. Keterbatasan adalah sifat makhluk dan merupakan kekurangan (naqish). Karena Allah adalah Sempurna (*Kamal*) dan Mahakaya (*Al-Ghani*), maka mustahil Dia memiliki kekurangan. Ketiadaan tandingan adalah jaminan kesempurnaan-Nya.
Dalam teologi, tandingan biasanya diartikan sebagai dua entitas yang memiliki kekuasaan yang sama. Jika ada dua tuhan yang setara, akan terjadi dua skenario yang mustahil:
Oleh karena itu, ayat وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ membenarkan pandangan bahwa hanya satu entitas yang Maha Kuat dan Maha Sempurna yang dapat mengatur alam semesta ini, tanpa dibatasi oleh entitas lain.
Penolakan *kufuwan* adalah dasar bagi pemahaman yang benar terhadap seluruh Nama-Nama Allah yang Indah (*Asmaul Husna*).
Ayat keempat ini menjaga keunikan setiap sifat Allah, memastikan bahwa sifat-sifat-Nya tidak dapat diukur dengan standar makhluk.
Ayat وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ secara langsung memerangi *tasybih*, yaitu menyamakan Allah dengan makhluk. Ketika seseorang membayangkan Allah memiliki tubuh, mata fisik, atau batasan gerak, ia telah membuat tandingan (kufuwan) bagi Allah, karena segala sifat fisik itu dimiliki oleh makhluk yang terbatas.
Tauhīd yang diajarkan oleh Surah Al-Ikhlas menuntut kita untuk mengakui sifat-sifat Allah sebagaimana adanya (isbat), namun tanpa pernah menanyakan 'bagaimana' (kaif) atau menyamakannya dengan ciptaan (tasybih). Inilah jalan tengah yang aman dalam akidah, yang sepenuhnya dilindungi oleh Ayat 4.
Tauhid bukan hanya konsep teologis, tetapi juga panduan hidup. Ayat keempat memiliki dampak besar dalam menolak kesyirikan praktis (*syirik fi al-ibadah*).
Jika seorang hamba beribadah kepada Allah tetapi niatnya dicampurkan dengan tujuan duniawi (misalnya, beribadah agar dipuji manusia, atau agar hartanya bertambah), ia telah menjadikan makhluk (pandangan manusia, harta) sebagai tandingan bagi Allah dalam hal pemenuhan keinginan. Ia telah menjadikan makhluk sebagai *kufuwan* yang patut dituju dalam ibadahnya.
Surah Al-Ikhlas menuntut *ikhlas* (kemurnian). Kemurnian hanya dapat dicapai ketika pengakuan bahwa tidak ada *kufuwan ahad* direfleksikan dalam hati, sehingga hanya Allah semata yang menjadi tujuan (ghayah) ibadah.
Ayat ini juga menjadi dasar dalam memahami *tawassul* (perantara). Menjadikan perantara sebagai pihak yang memiliki otoritas independen atau kemampuan untuk memenuhi hajat tanpa kehendak Allah adalah bentuk menjadikan mereka sebagai *kufuwan* dalam kekuasaan. Tauhid yang murni mengajarkan bahwa doa hanya ditujukan kepada Allah, sebab hanya Dia yang tidak memiliki tandingan dalam memberikan manfaat atau menimpakan mudarat.
Pengakuan bahwa tidak ada tandingan bagi Allah membebaskan manusia dari perbudakan kepada sesama manusia, penguasa zalim, atau bahkan hawa nafsu. Ketika manusia menyadari bahwa hanya ada satu Dzat yang mutlak dan tidak tertandingi, maka segala otoritas lain menjadi nisbi dan sementara. Ini adalah fondasi kemerdekaan spiritual dan moral yang dibawa oleh Islam.
Konteks turunnya Surah Al-Ikhlas, terutama ayat 4, sangat terkait dengan polemik agama yang ada pada masa Nabi ﷺ. Ayat ini berfungsi sebagai bantahan langsung terhadap berbagai pandangan:
Kaum pagan Mekah meyakini adanya tuhan-tuhan kecil, berhala, atau dewa-dewi yang memiliki kekuasaan tertentu, seperti dewi kesuburan atau dewa cuaca. Dengan mengakui mereka, kaum pagan telah menjadikan mereka *kufuwan* bagi Allah (meskipun mereka mengakui Allah sebagai pencipta utama).
Ayat وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ menghancurkan hierarki ketuhanan ini, menetapkan bahwa kekuasaan tidak terbagi. Tidak ada dewa, perantara, atau berhala yang memiliki porsi kekuasaan apa pun yang setara dengan Allah.
Meskipun Surah Al-Ikhlas ayat 3 secara eksplisit menolak konsep anak dan ayah (*Lam yalid walam yulad*), ayat 4 melengkapi penolakan itu. Konsep Trinitas, di mana tiga entitas diyakini berbagi keilahian, secara langsung bertentangan dengan *kufuwan ahad*. Jika ketiga entitas itu setara (kufu), maka konsep keesaan mutlak (Ahad) yang diyakini dalam Islam runtuh. Ayat 4 memastikan bahwa dalam Dzat dan esensi ketuhanan, tidak ada pembagian atau kesetaraan.
Penganut dualisme (seperti Majusi) meyakini adanya dua kekuatan primordial yang setara: tuhan kebaikan (cahaya) dan tuhan kejahatan (kegelapan), yang saling bertarung. Ayat 4 menolak ini secara tegas, karena jika ada dua entitas yang setara dan bertentangan yang mengatur alam semesta, maka tidak mungkin hanya satu yang menjadi *Ahad* dan *Samad*. Tauhid Islam menegaskan bahwa kebaikan dan kejahatan, cahaya dan kegelapan, semuanya adalah ciptaan Allah dan berada di bawah kekuasaan tunggal-Nya.
Surah Al-Ikhlas, khususnya ayat keempat, adalah alat meditasi spiritual yang luar biasa bagi seorang Muslim. Perenungan terhadap maknanya menghasilkan ketenangan batin dan kekuatan akidah.
Ketika seorang hamba merenungkan bahwa Penciptanya tidak memiliki tandingan, ia otomatis mengakui kelemahan dirinya sendiri. Manusia adalah bagian dari alam semesta yang diciptakan, terbatas oleh waktu, ruang, dan kematian. Pengakuan ini melahirkan kerendahan hati (*tawadhu')* dan menghilangkan kesombongan.
Jika Allah memiliki tandingan, maka pertolongan dan rezeki-Nya bisa jadi terhambat atau dipersulit oleh tandingan tersebut. Namun, karena وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ, seorang Muslim mengetahui bahwa ketika ia memohon kepada Allah, tidak ada kekuatan lain di langit atau di bumi yang dapat menghalangi terpenuhinya kehendak-Nya. Ayat ini adalah sumber keyakinan mutlak dalam doa (*tuma’ninah*) dan harapan (*raja’*).
Seseorang yang benar-benar memahami bahwa Allah tidak memiliki tandingan, tidak akan pernah menempatkan kecintaannya kepada duniawi (harta, kedudukan, popularitas) setara dengan kecintaannya kepada Allah. Kecintaan kepada makhluk bersifat nisbi, sedangkan kecintaan kepada Al-Ahad adalah mutlak. Ini adalah jalan menuju *zuhud* (asketisme positif) dan ikhlas dalam segala perbuatan.
Keindahan Surah Al-Ikhlas terletak pada kesatuan logisnya. Ayat 4 bukan sekadar penutup, tetapi penutup yang mengunci seluruh makna surah tersebut.
Jika seseorang meyakini:
Maka, mustahil secara logika dan teologi bahwa:
Ketiadaan tandingan (*kufuwan ahad*) adalah jaminan bahwa Tauhid yang diproklamasikan surah ini adalah Tauhid yang murni, absolut, dan tidak tercampuri oleh elemen kemanusiaan atau material. Ia adalah pemurnian keyakinan dari segala noda keraguan dan analogi. Inilah mengapa membaca Surah Al-Ikhlas setara dengan membaca sepertiga Al-Qur'an; sebab ia merangkum inti dari akidah Islam, yaitu pemahaman yang benar tentang Siapa Allah SWT itu sesungguhnya.
Penolakan terhadap tandingan, persamaan, atau kesetaraan ini adalah pemisahan total antara Sang Pencipta dan ciptaan. Allah SWT berdiri sendiri, Mutlak dalam Dzat-Nya, Sempurna dalam Sifat-Nya, dan Tunggal dalam Perbuatan-Nya. Inilah landasan Islam, dan inilah keagungan dari kalimat وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ.
Pentingnya pengulangan dan penegasan terhadap makna ayat ini dalam konteks kehidupan modern tidak dapat diabaikan. Di era di mana materialisme dan penuhanan terhadap teknologi atau ideologi menjadi hal umum, pemahaman yang kuat terhadap *kufuwan ahad* berfungsi sebagai benteng. Ketika manusia cenderung menganggap kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kekuasaan politik sebagai kekuatan yang setara dengan kehendak Ilahi, Ayat 4 mengingatkan kita bahwa semua itu adalah ciptaan yang fana, dan sama sekali tidak memiliki kesetaraan dengan Sang Khaliq. Menginternalisasi ayat ini adalah proses berkelanjutan untuk membebaskan akal dan jiwa dari belenggu ilusi kesetaraan makhluk.
Kajian mendalam tentang kata *Kufuwan* juga harus diperluas pada aspek keadilan ilahi. Karena Allah tidak memiliki tandingan, maka Keadilan-Nya adalah mutlak dan tidak dipengaruhi oleh pihak luar, seperti yang mungkin terjadi pada penguasa manusia yang seringkali terpengaruh oleh kepentingan seteru atau sekutu. Keadilan Allah adalah manifestasi langsung dari sifat-Nya yang Maha Sempurna dan Tidak Tertandingi. Ini memberikan kepastian moral bagi umat manusia bahwa pada akhirnya, semua akan diadili berdasarkan standar Ilahi yang tidak terhingga. Ketidakmampuan akal manusia untuk sepenuhnya memahami Keadilan Ilahi juga merupakan konsekuensi dari ketiadaan tandingan. Standar manusia bersifat terbatas, sedangkan standar Ilahi, yang berasal dari Dzat yang *kufuwan ahad*, bersifat transenden.
Selanjutnya, perenungan terhadap struktur gramatikal Arab klasik menunjukkan kekuatan retorika yang luar biasa dalam ayat وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ. Penempatan *lahu* (bagi-Nya) sebelum *kufuwan* (tandingan) menekankan bahwa tandingan itu secara khusus ditolak keberadaannya DENGAN SANG PENCIPTA. Ini bukan sekadar penolakan tandingan secara umum, tetapi penolakan tandingan secara eksklusif bagi Dzat Allah. Penekanan ini menjadikan ayat tersebut sebagai pernyataan akidah yang paling kuat dan tajam dalam menolak politeisme. Para ahli balaghah (retorika) Al-Qur'an sering menyoroti susunan kata yang dipilih secara cermat ini untuk menghasilkan efek penolakan yang mutlak dan menyeluruh.
Dalam konteks sufisme dan spiritualitas, ayat ini menjadi kunci menuju *fana'* (peleburan diri) dan *baqa'* (kekekalan). Ketika seorang sufi mencapai pemahaman sejati bahwa tidak ada yang setara dengan Allah, ia akan melepaskan keterikatan kepada ‘dirinya’ sendiri dan kepada segala hal yang fana di dunia. Pengalaman ini didasarkan pada kesadaran mendalam bahwa semua ciptaan adalah bayangan, sementara hanya Dzat Yang Tidak Tertandingi yang memiliki realitas yang abadi dan sempurna. Ini adalah esensi dari *tauhid al-khawas* (tauhid bagi kalangan istimewa), yang melampaui sekadar pengucapan lisan dan masuk ke dalam hati yang sepenuhnya memurnikan diri.
Peran ayat ini dalam Shalat juga sangat vital. Surah Al-Ikhlas sering dibaca, khususnya dalam Shalat Sunnah dan Shalat Witir, menunjukkan fungsinya sebagai deklarasi iman yang diperbaharui secara rutin. Ketika seorang Muslim berdiri di hadapan Allah dan mengucapkan وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ, ia sedang menegaskan kembali kontrak akidah bahwa dalam seluruh hidupnya, ia tidak akan pernah mengakui otoritas, kekuasaan, atau status spiritual apa pun yang setara dengan Dzat Yang Maha Kuasa. Ini adalah janji kemurnian yang harus dihayati dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari bisnis, politik, hingga interaksi sosial.
Penolakan *kufuwan ahad* juga memberikan landasan bagi konsep *Tawakkal* (bertawakal/berserah diri). Jika segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tidak setara dengan Allah, maka mencari perlindungan, rezeki, dan penyelesaian masalah hanya logis dilakukan kepada Dzat Yang Mutlak, bukan kepada yang nisbi dan terbatas. Ketergantungan penuh kepada Allah, yang tidak memiliki tandingan, menjamin bahwa tawakal itu diletakkan pada entitas yang memiliki kapasitas tak terbatas untuk memenuhi segala kebutuhan. Ini menghindarkan mukmin dari keputusasaan dan kecemasan, sebab ia tahu bahwa kekuasaan yang ia sandari tidak akan pernah habis atau dikalahkan.
Kesimpulannya, Surah Al-Ikhlas ayat 4 merupakan pilar utama Islam yang melindungi akidah dari segala bentuk penyimpangan. Ia adalah perisai linguistik, teologis, dan spiritual yang memastikan kemurnian tauhid. Dalam setiap lafaznya terkandung keagungan yang tak terhingga, menjadikannya kunci untuk memahami transendensi Allah SWT dan keunikan-Nya yang mutlak di seluruh alam semesta. Penghayatan mendalam terhadap وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ adalah esensi dari menjadi seorang Muslim sejati yang memurnikan hatinya hanya untuk Yang Maha Esa.
Kajian lebih lanjut mengenai implikasi etika dari ayat ini mengungkapkan bahwa ketiadaan tandingan bagi Allah menuntut manusia untuk menerapkan standar etika yang tertinggi. Karena manusia diciptakan untuk menjadi *khalifah* (wakil) di bumi, tindakan moral yang dilakukan harus mencerminkan sifat-sifat Allah yang tidak tertandingi dalam keadilan, kasih sayang, dan kebenaran. Ketidaksetaraan Allah dengan makhluk menempatkan Dia sebagai standar moral absolut. Etika Islam tidak bersifat relatif atau berdasarkan konsensus manusia, melainkan bersumber dari Dzat yang sempurna. Melalui penolakan *kufuwan*, kita didorong untuk menjauhi segala bentuk kezaliman dan kecurangan yang mencoba menempatkan kehendak pribadi di atas kehendak Ilahi.
Ayat 4 juga menjawab pertanyaan filosofis kuno mengenai keberadaan entitas wajib (*Wajib al-Wujud*). Hanya Dzat yang mutlak dan tidak memiliki tandingan yang dapat menjadi entitas wajib, yang eksistensinya niscaya dan tidak bergantung pada hal lain. Segala sesuatu yang memiliki tandingan adalah entitas mungkin (*Mumkin al-Wujud*), yang keberadaannya bisa ada atau tidak ada. Dengan meniadakan *kufuwan ahad*, Surah Al-Ikhlas menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya *Wajib al-Wujud*. Pemahaman ini menghilangkan kebingungan filosofis mengenai pluralitas sumber eksistensi dan memfokuskan semua realitas kembali kepada Sumber Tunggal.
Dalam konteks sosiologis, pemahaman terhadap ayat ini mendorong kesetaraan sosial di antara manusia. Karena tidak ada yang setara dengan Allah, maka semua manusia—terlepas dari ras, kekayaan, atau status—adalah setara di hadapan-Nya, hanya dibedakan oleh ketakwaan mereka. Jika ada manusia yang mengklaim status ketuhanan atau otoritas absolut atas manusia lain, ia secara tidak langsung telah menjadikan dirinya *kufuwan* bagi Allah. Islam menolak sistem kasta dan otoritas dogmatis semacam itu, menjamin bahwa otoritas tertinggi dan tak tertandingi hanya milik Allah, sehingga membebaskan manusia dari penindasan oleh sesama makhluk.
Akhir kata, mendalami Surah Al-Ikhlas ayat 4 adalah perjalanan menuju pengenalan diri dan pengenalan Tuhan yang sesungguhnya. Ia adalah deklarasi kemurnian yang abadi, memandu umat manusia menuju pemujaan yang murni dan pemahaman yang jelas bahwa di seluruh eksistensi, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, tidak ada dan tidak akan pernah ada yang dapat menandingi Kemuliaan, Kekuasaan, dan Keesaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.