Surah Al Insyirah dan Artinya: Sumber Ketenangan dan Kemudahan

Surah Al Insyirah, yang juga dikenal dengan nama Asy-Syarh atau Alam Nasyrah, adalah surah ke-94 dalam Al-Qur'an. Surah Makkiyah ini terdiri dari delapan ayat pendek namun memiliki kedalaman makna spiritual dan psikologis yang luar biasa. Diturunkan pada masa-masa sulit dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah, surah ini berfungsi sebagai suntikan harapan, penegasan janji ilahi, dan petunjuk praktis menuju ketenangan batin.

Kajian mendalam terhadap Surah Al Insyirah tidak hanya mengungkap janji-janji Allah SWT kepada Rasul-Nya, tetapi juga menyediakan peta jalan bagi setiap Muslim yang sedang menghadapi beban hidup, kesulitan finansial, kegagalan, atau tekanan mental. Inti pesan surah ini adalah kepastian mutlak bahwa 'setiap kesulitan pasti disertai kemudahan.'

I. Konteks Penurunan (Asbabun Nuzul)

Surah Al Insyirah diturunkan setelah Surah Ad-Dhuha dan sebelum Surah At-Tin. Periode ini adalah periode awal dakwah, di mana Nabi Muhammad ﷺ menghadapi tekanan hebat, cemoohan, dan isolasi sosial dari kaum Quraisy. Beban kenabian, yang menuntut perubahan drastis dalam masyarakat jahiliyah, terasa sangat berat di pundak beliau.

1. Periode Tekanan Dakwah

Pada masa ini, Nabi Muhammad ﷺ sering merasa sesak dada (dhaqas-sadr) karena kerasnya penolakan dan keraguan yang menghinggapi hati sebagian pengikutnya. Walaupun beliau adalah yang paling tabah, manusiawi jika beliau merasakan beban mental dan spiritual yang luar biasa. Surah ini datang sebagai respons langsung dari Allah untuk melegakan hati Rasulullah ﷺ, mengingatkannya bahwa Allah senantiasa membersamai perjuangan tersebut.

2. Penegasan Status Kenabian

Selain memberikan ketenangan, surah ini juga menegaskan kembali tiga karunia besar yang telah diberikan Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ: kelapangan dada, penghapusan beban, dan pengangkatan derajat. Penegasan ini sangat penting untuk memperkuat mentalitas seorang pemimpin yang sedang berada di tengah badai permusuhan.

Visualisasi hati yang lapang dan beban yang diangkat.

II. Teks Lengkap, Transliterasi, dan Terjemahan

Ayat 1

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

Transliterasi: Alam nasyraḥ laka ṣadrak

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?

Ayat 2

وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ

Transliterasi: Wa waḍa‘nā ‘anka wizrak

Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,

Ayat 3

ٱلَّذِىٓ أَنقَضَ ظَهْرَكَ

Transliterasi: Allażī anqaḍa ẓahrak

Yang memberatkan punggungmu?

Ayat 4

وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ

Transliterasi: Wa rafa‘nā laka żikrak

Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?

Ayat 5

فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا

Transliterasi: Fa inna ma‘al-‘usri yusrā

Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,

Ayat 6

إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا

Transliterasi: Inna ma‘al-‘usri yusrā

Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.

Ayat 7

فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ

Transliterasi: Fa iżā faraghta fanṣab

Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

Ayat 8

وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَب

Transliterasi: Wa ilā rabbika farghab

Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

III. Analisis Tafsir Mendalam dan Linguistik

Untuk memahami kedalaman Surah Al Insyirah, kita harus membedah setiap janji dan perintah yang terkandung di dalamnya, melihat bagaimana ulama tafsir klasik dan kontemporer menafsirkannya, serta merunut akar kata bahasa Arabnya.

1. Anugerah Pertama: Pelapangan Dada (Ayat 1-2)

A. Tafsir Kata ‘Nasyraḥ’ dan ‘Ṣadrak’

Ayat pertama diawali dengan pertanyaan retoris, "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?" Kata Nasyraḥ (نَشْرَحْ) berarti membuka, memperluas, atau meluaskan. Sementara Ṣadrak (صَدْرَكَ) merujuk pada dada, yang dalam konteks spiritual dan linguistik Arab melambangkan pusat emosi, pikiran, dan keyakinan.

Pelapangan dada yang dimaksud di sini memiliki dua dimensi utama menurut para mufassir:

  1. Pelapangan Fisik (Mukjizat): Beberapa ulama, termasuk Ibnu Katsir, merujuk pada peristiwa Syarhu As-Sadr, di mana dada Nabi ﷺ dibelah oleh Malaikat Jibril saat beliau kecil (dan diriwayatkan juga menjelang Isra’ Mi’raj) untuk disucikan dari noda-noda syaitan dan diisi dengan hikmah dan iman.
  2. Pelapangan Spiritual dan Intelektual: Ini adalah makna yang lebih luas. Pelapangan ini adalah karunia Allah yang membuat hati Nabi ﷺ mampu menampung wahyu yang berat, menghadapi penolakan yang keras, dan memiliki ketenangan serta kesabaran yang tak terhingga dalam menjalankan misi kenabian. Hati yang lapang adalah hati yang terbebas dari kekhawatiran, keraguan, dan kesempitan akibat beban dunia.

Kelapangan dada ini adalah prasyarat keberhasilan dakwah. Seseorang tidak akan mampu menghadapi tantangan besar jika jiwanya sempit dan mudah putus asa. Dengan meluaskan dada Nabi, Allah memberinya kapasitas mental dan spiritual untuk menjadi pemimpin umat.

2. Anugerah Kedua: Penghapusan Beban (Ayat 2-3)

A. Analisis Kata ‘Wizr’ (Beban)

Ayat kedua dan ketiga berbunyi, "Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, Yang memberatkan punggungmu?" Kata kunci di sini adalah Wizr (وِزْرَكَ), yang secara harfiah berarti beban berat, tas yang dipikul, atau dalam konteks syariah, dosa atau tanggung jawab berat.

Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai makna spesifik "beban" (Wizr) ini:

  1. Beban Pra-Kenabian: Sebagian berpendapat ini merujuk pada kekhawatiran dan kesulitan yang dirasakan Nabi ﷺ sebelum kenabian, atau beberapa kesilapan kecil yang secara manusiawi beliau lakukan sebelum wahyu lengkap turun, yang kemudian dihapuskan oleh Allah melalui pengampunan dan perlindungan ilahi.
  2. Beban Dakwah: Ini adalah pandangan mayoritas. Beban tersebut adalah tanggung jawab kenabian yang sangat besar untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Beban ini begitu berat sehingga digambarkan "memberatkan punggung" (*anqaḍa ẓahrak*). Allah tidak menghilangkan tugas itu, melainkan meringankannya dengan memberikan dukungan, kemenangan, dan janji pertolongan.
  3. Perlindungan dari Dosa: Sebagian mufassir juga menafsirkannya sebagai jaminan perlindungan (ismah) dari dosa besar dan pengampunan atas segala kesalahan kecil, memastikan bahwa beban moral Nabi selalu ringan.

Intinya, Allah menghilangkan rasa tertekan yang diakibatkan oleh beban tersebut, memastikan Nabi ﷺ dapat memikulnya tanpa hancur secara spiritual.

Visualisasi diangkatnya derajat (dzikrak).

3. Anugerah Ketiga: Peninggian Derajat (Ayat 4)

A. Makna Kata ‘Dzikrak’ (Sebutan/Nama)

"Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?" Kata Dzikrak (ذِكْرَكَ) berarti ingatan, sebutan, atau reputasi. Allah SWT menjanjikan pengangkatan derajat dan kemuliaan nama Nabi Muhammad ﷺ di dunia dan akhirat, sebuah karunia yang abadi dan universal.

Bagaimana Allah meninggikan nama Nabi Muhammad ﷺ? Ini terlihat dalam berbagai aspek kehidupan Muslim:

Anugerah peninggian derajat ini melampaui kehormatan duniawi. Ini adalah bentuk kompensasi ilahi atas semua penderitaan dan penolakan yang beliau terima di Makkah. Ketika manusia menolak beliau, Allah mengangkat beliau di hadapan seluruh alam semesta.

4. Pilar Utama: Janji Kemudahan (Ayat 5-6)

Dua ayat ini adalah inti motivasi Surah Al Insyirah, bahkan diulang dua kali untuk penegasan yang mutlak: "Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."

A. Analisis Linguistik yang Krusial

Kekuatan ayat ini terletak pada tata bahasa Arabnya, yang sering disoroti oleh para ahli tafsir seperti Imam Asy-Syafi’i:

  1. Kata Kesulitan (الْعُسْرِ - Al-‘Usr): Kata ini menggunakan huruf ‘Al’ (ال) yang berfungsi sebagai penentu (definite article). Dalam bahasa Arab, ini merujuk pada satu entitas spesifik. Karena diulang dua kali, ‘Al-‘Usr’ yang pertama dan ‘Al-‘Usr’ yang kedua merujuk pada kesulitan yang SAMA.
  2. Kata Kemudahan (يُسْرًا - Yusra): Kata ini tidak menggunakan ‘Al’ (indefinite article). Dalam bahasa Arab, ini merujuk pada entitas yang berbeda. Karena disebutkan dua kali, ‘Yusra’ yang pertama dan ‘Yusra’ yang kedua merujuk pada kemudahan yang BERBEDA.

Kesimpulan linguistik yang ditarik oleh para ulama adalah: Allah SWT menjanjikan bahwa Satu Kesulitan (yang spesifik) akan selalu diikuti dan dibarengi oleh Dua Kemudahan (yang berbeda). Janji ini memberikan jaminan matematis dan spiritual. Rasulullah ﷺ bersabda, "Satu kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan."

B. Implikasi Janji Ma'a (Bersama)

Kata kunci lainnya adalah Ma'a (مَعَ) yang berarti 'bersama.' Ayat ini tidak mengatakan 'setelah' kesulitan, tetapi 'bersama' kesulitan. Ini mengajarkan bahwa kemudahan tidak selalu datang setelah kesulitan berlalu, tetapi seringkali berada dalam kesulitan itu sendiri.

Janji ini berlaku universal, tidak hanya untuk Nabi. Setiap Muslim yang beriman dan bersabar akan menemukan dua kemudahan bagi setiap satu kesulitan yang ia hadapi—satu di dunia (berupa jalan keluar) dan satu di akhirat (berupa pahala dan ampunan).

5. Perintah Aksi dan Fokus (Ayat 7-8)

Setelah memberikan janji ketenangan dan kemudahan, Allah SWT menutup surah ini dengan dua perintah aktif yang sangat fundamental bagi kehidupan seorang mukmin.

A. Prinsip Produktivitas dan Perjuangan (Ayat 7)

"Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain."

Ayat ini memuat prinsip etos kerja Islam yang menolak kemalasan setelah berhasil menyelesaikan satu tugas. Kata Faraghta (فَرَغْتَ) berarti selesai atau lapang dari suatu urusan. Kata Fanshab (فَٱنصَبْ) memiliki beberapa penafsiran:

  1. Perpindahan Tugas (Mayoritas): Jika kamu telah selesai berdakwah atau dari urusan duniawi, maka bersungguh-sungguhlah dalam ibadah (shalat malam, dzikir). Ini mengajarkan keseimbangan: transisi mulus dari urusan dunia ke urusan akhirat.
  2. Kontinuitas Usaha: Jika kamu telah selesai dari satu tugas dakwah yang sulit, segera mulai tugas dakwah yang lain. Islam menuntut perjuangan tanpa henti. Seorang Muslim tidak boleh berdiam diri setelah mencapai kesuksesan.
  3. Meluruskan Niat: Jika kamu telah selesai shalat fardhu (shalat), maka berdirilah dan tekunlah dalam berdoa (berdoa dengan sungguh-sungguh).

Ayat 7 mengajarkan bahwa istirahat sejati seorang mukmin bukanlah kemalasan, melainkan transisi dari satu bentuk amal saleh ke bentuk amal saleh lainnya. Energi yang dibebaskan setelah kesulitan (Ayat 5-6) harus segera disalurkan ke dalam kerja keras baru.

B. Fokus Mutlak kepada Tuhan (Ayat 8)

"Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap."

Ini adalah klimaks spiritual surah. Kata Farghab (فَٱرْغَب) berarti berharap, berniat, atau berkeinginan. Dengan menggunakan struktur penekanan linguistik (mendahulukan objek 'kepada Tuhanmu' - *Wa ilaa Rabbika*), ayat ini membatasi fokus harapan dan keinginan hanya kepada Allah semata.

Meskipun Ayat 7 memerintahkan kerja keras dan produktivitas, Ayat 8 memastikan bahwa kerja keras tersebut tidak mengarah pada ketergantungan pada usaha manusiawi atau pujian makhluk. Seluruh kerja keras, perjuangan, dan harapan harus diarahkan kepada keridhaan Allah.

Inilah yang membedakan kerja keras seorang mukmin dengan pekerja keras sekuler. Mukmin bekerja keras untuk Allah (fanshab), tetapi hasilnya diserahkan total kepada Allah (farghab). Keseimbangan antara usaha maksimal dan tawakkal (penyerahan diri total) ini adalah resep sempurna untuk ketenangan jiwa yang dijanjikan di awal surah.

IV. Surah Al Insyirah dalam Perspektif Psikologis dan Spiritual

Surah ini seringkali dijadikan 'terapi' spiritual bagi umat Muslim modern yang menghadapi tekanan hidup (stress, anxiety, burnout). Pesan-pesannya relevan karena secara langsung menangani masalah beban mental dan spiritual.

1. Mengelola Harapan dan Kecemasan

Ayat 5 dan 6 memberikan kerangka berpikir yang kuat: kesulitan adalah fase sementara, dan kemudahan adalah hasil yang pasti. Ini melawan narasi keputusasaan. Kecemasan seringkali timbul karena kekhawatiran bahwa kesulitan akan bersifat permanen. Al Insyirah mematahkan kekhawatiran itu, mengajarkan bahwa kesulitan adalah wadah yang di dalamnya sudah terkandung kemudahan.

2. Konsep Syarḥu As-Sadr (Kelapangan Dada)

Dalam ilmu tasawuf, kelapangan dada adalah tingkatan batin yang dicapai melalui ketaatan dan pembersihan jiwa. Ketika hati bersih dan tawakkal sempurna, hati akan lapang, tidak terganggu oleh hinaan manusia, kehilangan materi, atau ketakutan akan masa depan. Kelapangan ini adalah kebebasan sejati dari penjara hawa nafsu dan ketergantungan pada dunia.

3. Penolakan Stagnasi dan Kemalasan

Perintah 'Fa iżā faraghta fanṣab' adalah resep untuk melawan depresi dan stagnasi. Seringkali, saat kesulitan berlalu, manusia cenderung menjadi lengah atau terlalu lelah untuk memulai lagi. Surah ini mendorong pergerakan konstan menuju kebaikan. Ketika satu pintu masalah tertutup, segera buka pintu amal baru. Aktivitas yang berkelanjutan, asalkan diiringi niat kepada Allah, adalah kunci kesehatan mental dan spiritual.

Visualisasi tuntunan Al-Qur'an.

V. Mendalami Makna Setiap Ayat dalam Sudut Pandang Kontemporer

Relevansi Surah Al Insyirah tidak pernah pudar. Dalam kehidupan serba cepat dan penuh tekanan saat ini, janji dan perintah surah ini menjadi panduan praktis untuk mencapai keberhasilan dunia dan akhirat.

1. Aplikasi Ayat 1-4: Kekuatan Jati Diri

Bagi Muslim modern, pelapangan dada (*Syarhu As-Sadr*) berarti memiliki ketahanan mental (resilience). Ini adalah kemampuan untuk menerima takdir, menanggapi kritik dengan tenang, dan menjaga fokus dari hiruk pikuk media sosial atau tekanan kompetisi. Beban (*Wizr*) yang diangkat bukan hanya dosa, tetapi juga beban ekspektasi yang tidak realistis dan rasa bersalah yang berlebihan. Ketika kita menyadari bahwa Allah telah mengangkat beban yang kita tak sanggup pikul, kita menjadi bebas untuk beramal. Peninggian derajat (*Dzikrak*) mengajarkan bahwa kehormatan sejati datang dari Allah, bukan dari pengakuan manusia atau jabatan.

Pelajaran: Fokus pada kualitas batin (lapang dada) dan yakinilah bahwa pengakuan sejati datang dari Pencipta, bukan ciptaan.

2. Aplikasi Ayat 5-6: Filosofi Kemudahan

Ayat ini adalah fondasi optimisme Islam. Dalam konteks ekonomi atau krisis pribadi, janji ini mengajarkan strategi ‘bertahan’. Ketika seseorang mengalami kesulitan finansial (Al-Usr), ia harus yakin bahwa ada kemudahan (Yusra) yang sedang dipersiapkan—mungkin dalam bentuk rezeki tak terduga, atau mungkin dalam bentuk kesabaran yang diganjar pahala besar. Pemahaman bahwa *Al-Usr* hanya satu dan *Yusra* adalah ganda, mengubah kesulitan menjadi investasi spiritual.

Ayat ini juga menuntut kesadaran penuh bahwa kemudahan tidak datang tanpa sebab. Justru karena kesulitan itu ada, potensi kemudahan menjadi berlipat ganda. Tanpa gelap, kita tidak akan menghargai terang.

Membedah Fenomena 'Satu Kesulitan, Dua Kemudahan'

Konsep ini memiliki implikasi luas dalam Tauhid dan Qada-Qadar. Jika kesulitan adalah ujian yang ditetapkan, maka kemudahan adalah rahmat yang melimpah ruah. Mengapa kemudahan dijanjikan dua kali?

Sehingga, meskipun kita mungkin gagal melihat kemudahan dunia secara instan, kemudahan spiritual dan akhirat sudah dijamin bersamaan dengan kesulitan yang kita pikul, asalkan kita bersabar dan bertawakkal.

3. Aplikasi Ayat 7-8: Etos Kerja Mukmin (Fanshab vs Farghab)

Dua ayat terakhir memberikan cetak biru bagi produktivitas yang berorientasi akhirat. Di era yang sangat menuntut kerja keras (hustle culture), ayat 7 membenarkan kerja keras (*Fanshab*). Namun, ayat 8 menambahkan filter ilahi yang sangat penting.

A. Fanshab: Melawan Kekosongan Tujuan

Jika seorang profesional menyelesaikan proyek besar, Al Insyirah mengajarkan: jangan berleha-leha. Segera mulai proyek kebaikan yang lain—bisa jadi mengajar, amal sosial, atau meningkatkan ibadah pribadi. Kerja keras tidak boleh berhenti, tetapi subjeknya harus berganti agar tidak bosan dan tetap bermanfaat.

B. Farghab: Meluruskan Niat (Ikhlas)

Kerja keras yang dilakukan tanpa ‘Farghab’ (berharap hanya kepada Tuhan) akan menyebabkan kelelahan mental, kekecewaan, dan putus asa ketika hasil tidak sesuai harapan. Jika kerja keras didasarkan pada keinginan meraih pujian atau harta semata, kegagalan akan terasa menghancurkan. Namun, jika kerja keras diarahkan hanya kepada Allah, hasilnya—sukses atau gagal di mata manusia—tetaplah sukses di sisi Allah karena niatnya telah lurus.

Ayat 7 dan 8 adalah pasangan tak terpisahkan: Kerja keras adalah wajib, tetapi harapan mutlak harus hanya tertuju pada Allah.

VI. Membangun Ketahanan Diri Berdasarkan Surah Al Insyirah

Membaca dan merenungi Surah Al Insyirah lebih dari sekadar mengulang ayat; ini adalah praktik nyata untuk membangun ketahanan diri (resilience) di tengah tantangan zaman.

1. Strategi Mengatasi Beban Berat

Ketika beban terasa 'memberatkan punggung' (Ayat 3), Surah Al Insyirah menyarankan agar kita kembali pada tiga hal:

2. Surah Al Insyirah sebagai Dzikir Harian

Banyak ulama menyarankan untuk sering mengulang Surah Al Insyirah, khususnya di saat-saat kebingungan atau kesulitan besar. Pengulangannya berfungsi sebagai penanaman keyakinan (tauhid) yang kuat. Mengucapkan ‘Fa inna ma‘al-‘usri yusrā, Inna ma‘al-‘usri yusrā’ bukan hanya pengakuan lisan, tetapi deklarasi iman bahwa janji Allah adalah kebenaran yang tidak bisa dibantah.

Di saat kita menghadapi tekanan pekerjaan yang menumpuk (Usr), kita harus yakin bahwa kemampuan kita untuk menyelesaikan (Yusra) atau pahala dari kesabaran kita (Yusra) akan menyertainya. Surah ini mengubah perspektif dari 'Mengapa ini terjadi padaku?' menjadi 'Pahala apa yang bisa kudapat dari kesulitan ini?'

3. Peran Doa (Raghbah) dalam Ikhtiar

Ayat 8, 'Wa ilā rabbika farghab,' adalah penutup yang sempurna. Setelah bekerja keras (*Fanshab*), langkah berikutnya adalah doa yang mendalam (*Farghab*). Doa bukan hanya pelengkap, tetapi merupakan inti dari tawakkal. Seorang Muslim berusaha sekuat tenaga, tetapi kemudian ia berharap mutlak kepada Allah, mengakui bahwa tanpa pertolongan-Nya, semua usaha akan sia-sia. Dengan demikian, ia terhindar dari kesombongan ketika sukses dan terhindar dari keputusasaan ketika gagal.

VII. Kesimpulan Utama dan Hikmah Abadi

Surah Al Insyirah adalah piagam ketenangan bagi setiap jiwa yang merasa lelah. Delapan ayat ini memberikan cetak biru yang komprehensif untuk menghadapi kehidupan yang penuh tantangan, memastikan bahwa kesulitan bukanlah akhir, melainkan bagian integral dari perjalanan menuju kemudahan.

Hikmah abadi dari Surah Al Insyirah dapat disarikan sebagai berikut:

  1. Kepastian Ilahi: Allah adalah sumber ketenangan (*Syarhu As-Sadr*) dan pelindung dari beban yang tak tertanggung (*Wizr*).
  2. Hukum Kosmik: Kesulitan (Al-Usr) adalah tunggal dan spesifik, sementara Kemudahan (Yusra) adalah ganda dan berkelipatan. Ini adalah janji matematis yang tidak akan pernah dilanggar oleh Allah.
  3. Eksistensi yang Produktif: Kehidupan seorang Muslim harus ditandai dengan kontinuitas kerja keras. Tidak ada waktu untuk berhenti total; selalu ada urusan baik yang bisa dikerjakan setelah urusan lain selesai (transisi antara dunia dan akhirat).
  4. Sentralisasi Harapan: Seluruh usaha dan kerja keras harus ditujukan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah. Ketika harapan hanya tertuju pada Allah, kerugian duniawi tidak akan pernah bisa menghancurkan jiwa.

Dengan menerapkan ajaran Surah Al Insyirah dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim mendapatkan fondasi spiritual yang kokoh, mengubah setiap cobaan menjadi tangga menuju derajat yang lebih tinggi, dan menemukan ketenangan sejati yang bersemayam jauh di dalam dadanya, seperti yang pertama kali dikaruniakan Allah kepada Rasul-Nya yang mulia.

Ayat-ayat ini adalah pengingat bahwa tidak peduli seberapa berat badai yang menerpa, cahaya kemudahan Allah pasti ada, membersamai, dan akan melingkupi kesulitan tersebut hingga ia terangkat.

Fa inna ma‘al-‘usri yusrā.

🏠 Homepage