I. Identitas dan Klasifikasi Surah Al-Lahab
Untuk memahami mengapa Surah Al-Lahab (Nyala Api) begitu penting meskipun hanya terdiri dari lima ayat yang singkat, kita harus mengenal terlebih dahulu identitasnya dalam tatanan Al-Qur'an.
A. Nama-nama Surah
Surah ini dikenal dengan dua nama utama:
- Al-Lahab (Nyala Api): Merujuk pada penyebutan api neraka yang menyala-nyala di ayat ketiga, dan juga merupakan nama panggilan dari tokoh utama yang dikutuk di dalam surah ini, yaitu Abu Lahab.
- Al-Masad (Sabut atau Tali dari Serat): Merujuk pada penyebutan tali dari sabut pada ayat terakhir, yang menggambarkan hukuman dan penderitaan istri Abu Lahab di neraka.
B. Klasifikasi dan Urutan
Surah Al-Lahab adalah surah Makkiyyah, yang berarti diturunkan sebelum peristiwa hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Surah-surah Makkiyyah umumnya berfokus pada penguatan akidah (tauhid), hari akhir, dan penegasan kenabian, yang sangat dibutuhkan di tengah dominasi paganisme Quraisy.
Dalam urutan mushaf Utsmani, Surah Al-Lahab berada di urutan ke-111, tepat setelah Surah An-Nashr (110) dan sebelum Surah Al-Ikhlas (112). Posisinya yang berdekatan dengan surah-surah pendek lainnya di juz 30 (Juz Amma) sering kali memudahkannya untuk dihafalkan dan dibaca.
II. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Surah) Secara Mendalam
Konteks sejarah penurunan Surah Al-Lahab adalah kunci untuk memahami kekuatan dan keunikan surah ini. Surah ini adalah satu-satunya dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit mengutuk seorang individu dari pihak musuh Nabi yang masih hidup, bahkan menjamin kehancurannya di akhirat.
A. Peristiwa Bukit Safa
Periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ sangat sulit. Setelah tiga tahun berdakwah secara rahasia, Allah SWT memerintahkan Nabi untuk berdakwah secara terbuka (QS. Al-Hijr: 94). Untuk melaksanakan perintah ini, Rasulullah ﷺ naik ke Bukit Safa, salah satu bukit tertinggi di Mekkah, dan memanggil semua kabilah Quraisy, termasuk Bani Hasyim, untuk berkumpul.
Nabi Muhammad ﷺ memulai dengan sebuah pertanyaan retoris, yang merupakan tradisi di antara orang Arab ketika ada bahaya besar:
“Wahai Bani Fihr, wahai Bani ‘Adi, bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu bahwa ada pasukan berkuda di lembah ini yang siap menyerang kalian, apakah kalian akan percaya padaku?”
Mereka semua menjawab serentak: “Ya, kami tidak pernah mendengar engkau berbohong.”
Setelah mendapatkan pengakuan penuh atas kejujurannya, Nabi ﷺ kemudian menyampaikan inti pesannya, memperingatkan mereka tentang azab yang pedih jika mereka tidak mengimani Allah SWT.
B. Reaksi Keras Abu Lahab
Di tengah kerumunan yang mendengarkan, muncul sosok paman Nabi sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muththalib, yang dikenal sebagai Abu Lahab (Bapak Api/Nyala Api). Abu Lahab adalah saudara kandung ayah Nabi, Abdullah, dan merupakan figur terkemuka di Quraisy. Namun, ia adalah musuh Islam yang paling keras dan kejam, terutama karena ia menggunakan ikatan kekerabatan untuk menghalangi dakwah Nabi.
Ketika Nabi selesai berbicara, Abu Lahab berdiri dan berkata dengan penuh penghinaan dan kemarahan:
"Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"
Dalam riwayat lain, Abu Lahab bahkan mengambil batu dan mencoba melemparkannya kepada Rasulullah ﷺ sambil mengucapkan kutukan tersebut. Penghinaan ini sangat melukai Nabi, bukan hanya karena ia paman Nabi, tetapi karena kutukan itu diucapkan di hadapan seluruh kabilah Quraisy, merusak kredibilitas dakwah di awal kemunculannya.
C. Penurunan Wahyu Sebagai Respon Ilahi
Surah Al-Lahab turun segera setelah peristiwa ini sebagai respons langsung dari Allah SWT. Ini adalah penegasan bahwa pembelaan Allah jauh lebih besar dan kuat daripada penghinaan Abu Lahab. Surah ini membalikkan kutukan Abu Lahab kepada Nabi, kembali kepadanya sendiri, bahkan dengan kekuatan yang lebih dahsyat:
تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ
(Tabbat yadá abī Lahabin wa tabb)
Yang artinya: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa."
Penurunan surah ini memiliki implikasi teologis yang sangat besar: Allah secara definitif menyatakan bahwa Abu Lahab akan masuk neraka, dan dia tidak akan pernah beriman. Fakta bahwa Abu Lahab hidup selama beberapa tahun setelah surah ini diturunkan, namun tidak pernah beriman (sampai wafatnya sebagai kafir), menjadi bukti kenabian Muhammad ﷺ. Jika saja Abu Lahab berpura-pura beriman, ia akan meruntuhkan kredibilitas Al-Qur'an, tetapi ia tidak melakukannya, menegaskan janji ilahi.
III. Tafsir Mendalam Per Ayat (5 Ayat Surah Al-Lahab)
Kelima ayat ini membentuk satu kesatuan yang kohesif, menggambarkan kehancuran total, baik di dunia maupun di akhirat, bagi Abu Lahab dan istrinya.
Ayat 1: Binasanya Kedua Tangan dan Diri
Tabbat yadá abī Lahabin wa tabb.
Terjemah: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia."
Tafsir: Kata kunci di sini adalah تَبَّتْ (Tabbat), yang berarti merugi, binasa, atau gagal total. Dalam bahasa Arab, "kedua tangan" (yadá) sering kali digunakan untuk merujuk pada segala usaha, perbuatan, atau kekuasaan seseorang. Ketika Allah mengutuk kedua tangan Abu Lahab, itu berarti semua upayanya untuk menghalangi dakwah dan menyakiti Nabi akan sia-sia dan membawanya pada kerugian abadi.
Pengulangan kata وَتَبَّ (wa tabb), yang berarti 'dan dia sungguh telah binasa,' memberikan penekanan luar biasa. Ulama tafsir seperti Qatadah dan Ibn Abbas menjelaskan bahwa bagian pertama adalah doa (semoga binasa), sementara bagian kedua adalah penegasan dari Allah bahwa kehancuran itu pasti terjadi, baik di dunia (kehilangan kehormatan, meninggal dalam keadaan terhina) maupun di akhirat (masuk neraka).
Ayat 2: Kekayaan yang Tidak Berguna
Mā aghná ‘anhu māluhū wa mā kasab.
Terjemah: "Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan (kasab)."
Tafsir: Abu Lahab, sebagai paman Nabi dan tokoh Quraisy terkemuka, adalah orang yang kaya dan memiliki status sosial tinggi. Ia bergantung pada kekayaan dan keturunan (anak-anaknya) untuk melindungi dirinya. Ayat ini secara telak menghancurkan pandangan bahwa kekayaan dapat menjadi perisai dari azab Allah.
Frasa وَمَا كَسَبَ (wa mā kasab) memiliki dua interpretasi populer di kalangan mufassir:
- Usaha dan Pekerjaan: Segala hasil usaha, perdagangan, atau status yang dia peroleh tidak akan menolongnya dari api neraka.
- Anak-anak: Menurut beberapa sahabat, ‘kasab’ di sini merujuk pada anak-anaknya. Dalam budaya Arab, anak laki-laki dianggap sebagai 'usaha' (kasab) dan warisan masa depan. Ayat ini menyatakan bahwa bahkan anak-anaknya, termasuk yang tidak beriman, tidak akan mampu melindunginya.
Pesan intinya adalah pemusnahan total terhadap sumber kebanggaan dan perlindungan diri Abu Lahab di dunia fana.
Ayat 3: Nyala Api Neraka yang Pasti
Sayaslá nāran dhāta Lahab.
Terjemah: "Kelak dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (dhāta lahab)."
Tafsir: Ayat ini adalah inti dari surah, di mana kutukan di dunia (Ayat 1) dikonfirmasi dengan azab di akhirat. Kata سَيَصْلَىٰ (Sayaslá), yang menggunakan huruf 'sa' (sin) di depannya, menunjukkan kepastian di masa depan yang dekat—suatu kepastian mutlak yang berasal dari janji Allah.
Pilihan kata نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (nāran dhāta Lahab)—'api yang memiliki nyala api'—adalah bentuk retorika yang sempurna (balaghah). Ini mengaitkan nama panggilannya, Abu Lahab (Bapak Nyala Api), dengan nasibnya: dia akan menjadi penghuni api yang sangat panas, nyala api itu seolah-olah miliknya sendiri. Ini adalah ironi kosmik: Abu Lahab yang dijuluki karena wajahnya yang bersinar atau karena sifatnya yang panas, kini dijanjikan untuk mendiami sumber nyala api abadi.
Ayat 4: Istri Abu Lahab sebagai Pembawa Kayu Bakar
Wamra'atuhū ḥammālatal-ḥaṭab.
Terjemah: "Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar."
Tafsir: Istri Abu Lahab bernama Ummu Jamil binti Harb, saudara perempuan dari Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan masuk Islam). Ia dikenal sebagai sosok yang kejam dan sangat aktif dalam memusuhi Nabi Muhammad ﷺ. Ia tidak hanya mendukung suaminya tetapi juga melakukan aksinya sendiri.
Frasa حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ (ḥammālatal-ḥaṭab), 'pembawa kayu bakar,' memiliki dua makna utama, keduanya relevan dengan hukuman neraka:
- Makna Literal (Dunia): Ummu Jamil sering membawa duri, ranting, atau kayu berduri di malam hari dan menyebarkannya di jalan yang biasa dilalui Nabi Muhammad ﷺ dan keluarganya, dengan tujuan melukai dan menghalangi langkah mereka. Dalam tafsir ini, ia adalah 'pembawa kayu bakar' penderitaan fisik di dunia.
- Makna Metaforis (Akhirat/Slander): 'Kayu bakar' secara metaforis berarti menyebar fitnah, gosip, dan hasutan. Ummu Jamil adalah seorang penebar kebencian dan kebohongan, yang bahan bakarnya adalah kata-kata buruk. Dengan membawa fitnah, ia seolah-olah membawa kayu bakar untuk menyalakan api konflik dan permusuhan.
Dengan memasukkannya ke dalam surah ini, Al-Qur'an menunjukkan bahwa azab tidak hanya menimpa pemimpin kekafiran (Abu Lahab) tetapi juga kaki tangannya (Ummu Jamil), dan bahwa hukuman di akhirat akan sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan di dunia.
Ayat 5: Tali Sabut di Lehernya
Fī jīdihā ḥablun min masad.
Terjemah: "Di lehernya ada tali dari sabut (masad)."
Tafsir: Ayat penutup ini merinci hukuman yang dialami Ummu Jamil di neraka, yang berkaitan langsung dengan gelarnya sebagai 'pembawa kayu bakar'. Kata حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (ḥablun min masad) berarti tali yang terbuat dari sabut atau serat kasar (biasanya dari pohon kurma). Tali semacam ini sangat kasar, menyakitkan, dan tidak bernilai.
Hukuman ini adalah penghinaan dan penyiksaan:
- Penghinaan: Di dunia, Ummu Jamil adalah wanita kaya yang sering memakai kalung mewah. Di neraka, kalung mahalnya digantikan dengan tali sabut yang kasar dan hina, simbol penderitaan yang memalukan.
- Penderitaan: Tali sabut tersebut, dalam konteks neraka, bukan sekadar tali, melainkan bisa jadi adalah rantai api yang digunakan untuk menyeretnya atau mengikatnya di punggung saat ia membawa kayu bakar (fitnah) ke dalam api suaminya.
Ayat ini menutup gambaran tentang kehancuran total keluarga Abu Lahab. Mereka berdua ditakdirkan untuk saling mendampingi dalam azab: Abu Lahab sebagai pemilik nyala api, dan Ummu Jamil sebagai pemasok bahan bakarnya.
IV. Analisis Linguistik dan Keindahan Retorika (Balaghah)
Meskipun Surah Al-Lahab pendek, surah ini dianggap sebagai mahakarya retorika Al-Qur'an (balaghah), terutama dalam penggunaan rima dan kesinambungan makna (munasabah) antara kata dan takdir.
A. Rima yang Mematikan (Saj')
Surah ini menggunakan rima yang kuat dan konsisten yang dikenal sebagai saj'. Mayoritas ayat diakhiri dengan huruf 'B' atau 'D' yang memiliki jeda suara tegas (قلقلة).
- Ayat 1: ...wa tabb (ب)
- Ayat 2: ...wa mā kasab (ب)
- Ayat 3: ...dhāta lahab (ب)
- Ayat 4: ...ḥammālatal-ḥaṭab (ب)
- Ayat 5: ...min masad (د)
Kesinambungan rima ini memberikan kesan irama yang mencekam, seolah-olah mengumumkan hukuman yang bertahap dan tak terhindarkan. Rima ini memperkuat pesan kehancuran dan kepastian azab.
B. Kaitan Nama dan Takdir (Munāsabah)
Aspek terindah dari balaghah Surah Al-Lahab adalah bagaimana nasib kedua karakter ini diikat dengan nama dan julukan mereka:
- Abu Lahab: Namanya (Bapak Nyala Api) terhubung langsung dengan takdirnya: nāran dhāta Lahab (api yang memiliki nyala api).
- Ummu Jamil: Dia adalah 'pembawa kayu bakar' (ḥammālatal-ḥaṭab) di dunia (penyebar fitnah), dan di akhirat, dia akan membawa bahan bakar fisik itu ke neraka, diikat dengan tali masad (sabut) di lehernya—sebagai balasan yang setimpal (jaza’an wifāqan).
Keserasian antara kejahatan di dunia dan hukuman di akhirat dalam surah ini menunjukkan keadilan ilahi yang sempurna.
C. Penggunaan Verba ‘Tabbat’
Kata kerja Tabbat (binasa/merugi) adalah pilihan yang sangat kuat. Tidak hanya merujuk pada kerugian spiritual, tetapi juga kerugian total dalam usaha duniawi. Ini adalah kebalikan dari janji Allah kepada orang-orang beriman yang usahanya diberkahi (QS. Fathir: 29). Bagi Abu Lahab, hidupnya—bahkan kekayaannya yang melimpah—adalah kerugian abadi.
V. Implikasi Teologis dan Penegasan Kenabian
Surah Al-Lahab bukan sekadar kutukan pribadi. Ia mengandung beberapa prinsip teologis mendasar yang sangat penting dalam konteks dakwah Makkiyah.
A. Bukti Kenabian (Mu'jizat)
Ini adalah salah satu mu’jizat (mukjizat) prediktif Al-Qur'an. Surah ini secara pasti meramalkan nasib Abu Lahab: ia akan mati dalam keadaan kafir dan masuk neraka. Agar ramalan ini salah, Abu Lahab hanya perlu mengucapkan syahadat (sekalipun munafik) kapan saja setelah surah ini diturunkan.
Namun, Abu Lahab tidak pernah beriman. Ia meninggal tujuh malam setelah Pertempuran Badar, menderita penyakit menular yang menjijikkan (disebut 'Adasah'), dan bahkan mayatnya ditinggalkan oleh keluarganya karena takut tertular. Kematiannya yang terhina ini membenarkan firman Allah dalam Surah Al-Lahab, menegaskan bahwa Muhammad ﷺ benar-benar utusan Allah dan Al-Qur'an adalah kalam ilahi yang mutlak kebenarannya.
B. Kekuatan Kekerabatan Vs. Iman
Surah ini mengajarkan bahwa ikatan darah tidak akan menolong seseorang di hadapan azab Allah jika tidak disertai dengan iman. Abu Lahab adalah paman Nabi, anggota Bani Hasyim, dan seharusnya menjadi pelindung terdekat Nabi. Namun, karena kekufurannya, ia dikutuk oleh Allah SWT. Ini adalah penegasan tegas bahwa dalam Islam, standar keimanan lebih tinggi daripada standar keturunan atau suku.
Hal ini juga berfungsi sebagai pelajaran bagi Nabi Muhammad ﷺ sendiri, bahwa dakwah harus disampaikan secara adil kepada semua, tanpa pengecualian keluarga, dan bahwa pertolongan sejati datang dari Allah, bukan dari perlindungan suku.
C. Bahaya Kecongkakan Harta
Ayat kedua, "Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan," adalah pengajaran tauhid yang keras. Di Mekkah, kekuasaan diukur dengan harta, jumlah anak laki-laki, dan kabilah. Abu Lahab mengira kekayaannya akan menyelamatkannya. Al-Qur'an menolak anggapan ini, menegaskan bahwa satu-satunya kekayaan yang bermanfaat adalah amal shaleh.
VI. Pelajaran Hidup dan Relevansi Kontemporer
Meskipun Surah Al-Lahab merujuk pada peristiwa spesifik di masa lalu, pelajaran moral, spiritual, dan sosialnya tetap relevan hingga hari ini.
A. Pelajaran tentang Fitnah dan Slander
Kisah Ummu Jamil menekankan bahaya menyebarkan fitnah dan gosip (slander). Dalam konteks modern, ‘kayu bakar’ dapat diinterpretasikan sebagai informasi palsu, berita bohong (hoaks), atau komentar kebencian yang disebarkan melalui media sosial. Penyebar fitnah, seperti Ummu Jamil, diancam dengan hukuman yang setimpal, karena fitnah adalah bahan bakar bagi api permusuhan di masyarakat.
B. Sikap Tegas Terhadap Kebatilan
Surah Al-Lahab memberikan izin teologis bagi orang beriman untuk mengambil sikap tegas terhadap kebatilan, bahkan ketika kebatilan itu datang dari orang terdekat. Dalam menghadapi kedurhakaan yang terang-terangan dan penghinaan terhadap nilai-nilai suci, kebenaran harus dipertahankan tanpa kompromi.
C. Pentingnya Niat dan Amal
Surah ini mengingatkan kita bahwa kehormatan di dunia ini bersifat fana. Abu Lahab adalah sosok terhormat, tetapi niatnya yang jahat dan amalnya yang buruk membuatnya terhina di sisi Allah. Sebaliknya, orang-orang miskin dan lemah yang beriman (seperti Bilal atau Ammar bin Yasir) dihormati Allah. Ukuran kemuliaan sejati adalah ketakwaan, bukan kekayaan atau status sosial.
D. Konsep Wara' dan Bahaya Kepemilikan
Ayat kedua mengajarkan konsep wara' (kehati-hatian) dalam kepemilikan. Harta yang diperoleh tidak akan menyelamatkan jika digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan kebenaran. Harta hanya bernilai jika ia disalurkan untuk kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
VII. Kaitan Surah Al-Lahab dengan Surah-surah Lain di Juz Amma
Surah Al-Lahab ditempatkan di akhir Al-Qur'an, sering kali bersamaan dengan surah-surah yang membahas tantangan akidah di Mekkah. Terdapat hubungan erat (munasabah) antara Al-Lahab dengan surah-surah sebelumnya dan sesudahnya.
A. Kaitan dengan Surah An-Nashr (Pertolongan)
Surah An-Nashr (Surah ke-110) diturunkan setelah periode Makkiyyah, setelah Fathul Makkah (Penaklukan Mekkah). An-Nashr berbicara tentang kemenangan Islam dan masuknya manusia ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong.
Munasabahnya sangat jelas:
- An-Nashr: Janji kemenangan total dan kegembiraan bagi Nabi ﷺ di akhir masa kenabiannya.
- Al-Lahab: Janji kehancuran total bagi musuh Nabi yang paling vokal, diberikan di awal masa kenabian, sebagai penegasan bahwa dakwah akan dilindungi Allah meskipun dimulai dengan intimidasi dan ancaman.
Keduanya menyajikan janji definitif Allah: kemenangan bagi yang beriman dan kerugian bagi yang menentang.
B. Kaitan dengan Surah Al-Kafirun (Orang-orang Kafir)
Surah Al-Kafirun (Surah ke-109) adalah surah deklarasi pemisahan antara kaum beriman dan kaum kafir. Sering kali, surah ini dijadikan bantahan terhadap permintaan orang Quraisy untuk berkompromi dalam peribadatan (sesekali menyembah berhala, sesekali menyembah Allah).
Al-Lahab adalah manifestasi spesifik dari Surah Al-Kafirun. Jika Al-Kafirun adalah deklarasi umum "untukmu agamamu, dan untukku agamaku," maka Al-Lahab adalah contoh nyata bagaimana pemisahan itu diterapkan, dengan menyebutkan nama musuh yang paling keras. Ini menunjukkan bahwa kompromi dalam akidah adalah mustahil, dan hasilnya adalah kehancuran bagi penentang.
C. Kaitan dengan Surah Al-Ikhlas (Memurnikan Keesaan)
Surah Al-Ikhlas (Surah ke-112) adalah deklarasi tegas tentang Tauhid (keesaan Allah). Al-Lahab dan Al-Ikhlas sering dibaca bersama karena keduanya memperkuat dasar-dasar akidah.
Ketika Abu Lahab dan Quraisy menolak keesaan Allah dan mempertanyakan kenabian Muhammad ﷺ, Al-Ikhlas menetapkan siapa Allah yang disembah (Allah Yang Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan), sementara Al-Lahab menunjukkan konsekuensi mengerikan bagi mereka yang menolak Tauhid ini.
VIII. Kisah Penuh Kepedihan Kematian Abu Lahab
Meninggalnya Abu Lahab menjadi penutup yang menyedihkan dan membenarkan janji ayat 1. Abu Lahab tidak tewas dalam Pertempuran Badar, tetapi ia tetap menderita kerugian besar karena banyak kerabat Quraisy-nya yang tewas di sana. Kabar kekalahan total Quraisy di Badar membuatnya sangat terpukul. Sejarawan mencatat bahwa ia meninggal beberapa hari setelah kekalahan itu, bukan karena luka perang, tetapi karena penyakit yang disebut al-'adasah (sejenis abses yang ganas, mirip wabah pes atau cacar yang sangat menular).
A. Kematian yang Terhina
Di Mekkah, penyakit ini dianggap sangat berbahaya dan menular. Ketika Abu Lahab meninggal, tidak ada yang berani mendekatinya. Putra-putranya menahan diri selama dua atau tiga hari karena takut tertular penyakit yang konon muncul setelah mayat membusuk. Hal ini menunjukkan betapa kehormatan yang ia junjung di dunia musnah total di saat kematian.
B. Penguburan yang Mendiskreditkan
Akhirnya, dengan menggunakan tali panjang, putra-putranya menyeret jenazahnya ke pinggir Mekkah, bersandar pada tembok, dan kemudian mereka menyiramnya dengan air dari kejauhan. Mereka kemudian melemparkan batu-batu dari jauh untuk menimbunnya hingga terkubur. Cara penguburan yang penuh kehinaan ini, tanpa upacara atau penghormatan yang layak bagi seorang pemimpin Quraisy, menjadi penutup tragis bagi kehidupan yang dikutuk oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya.
Kematiannya adalah penegasan final dari makna ayat pertama: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia." Kehancuran tersebut tidak hanya bersifat spiritual di akhirat, tetapi juga bersifat fisik dan sosial di akhir hayatnya di dunia.
IX. Kesimpulan Mengenai Surah Al-Lahab
Surah Al-Lahab, meskipun hanya terdiri dari lima ayat, merupakan salah satu surah terkuat di dalam Al-Qur'an dalam hal penegasan kenabian dan keadilan ilahi.
Ia adalah manifestasi dari janji Allah untuk melindungi Nabi-Nya dari musuh yang paling dekat dan paling berbahaya. Surah ini memberikan gambaran yang sangat jelas tentang hukuman abadi, di mana harta, kekuasaan, dan ikatan darah tidak akan mampu menolong seseorang dari konsekuensi kekufuran.
Setiap ayat dalam surah ini diukir dengan detail retoris yang mengikat kejahatan Ummu Jamil (penyebar fitnah) dan Abu Lahab (penghalang dakwah) dengan azab yang menantinya—sebuah api yang menyala-nyala diikat dengan tali sabut, simbol dari penderitaan dan kehinaan yang abadi.
Pelajaran terpenting yang diwariskan oleh Surah Al-Lahab adalah bahwa kesetiaan tertinggi harus diberikan kepada kebenaran (Tauhid), dan bahwa Allah adalah pelindung yang paling sempurna bagi para pembawa pesan-Nya. Ketika manusia merencanakan keburukan, Allah merencanakan balasan yang lebih sempurna dan adil.