Pendahuluan: Identitas Surah dan Kedudukannya
Surah Al-Lahab (atau juga dikenal sebagai Surah Al-Masad) merupakan surah ke-111 dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Surah ini terdiri dari lima ayat yang pendek namun mengandung pelajaran teologis dan historis yang sangat mendalam. Surah ini dikategorikan sebagai Surah Makkiyyah, yang diturunkan di Makkah pada periode awal kenabian, pada saat konfrontasi antara Nabi Muhammad ﷺ dengan para pemimpin Quraisy berada pada puncaknya.
Keunikan Surah Al-Lahab terletak pada penamaannya dan sasarannya yang spesifik. Tidak ada surah lain dalam Al-Qur'an yang secara langsung menyebut dan mengutuk individu tertentu yang masih hidup pada masa wahyu diturunkan. Surah ini ditujukan kepada Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, dan istrinya, Ummu Jamil, atas permusuhan mereka yang ekstrem dan terang-terangan terhadap risalah Islam.
Surah ini berfungsi sebagai deklarasi ilahi mengenai kegagalan mutlak dan kehancuran total bagi mereka yang memerangi kebenaran dan nabi-Nya. Ini adalah jaminan kenabian yang sangat kuat, karena ia meramalkan nasib Abu Lahab—bahwa ia akan binasa dan masuk neraka—suatu prediksi yang terbukti benar, karena Abu Lahab meninggal dalam keadaan kafir tanpa pernah menerima Islam, meskipun ia memiliki waktu bertahun-tahun setelah wahyu ini diturunkan.
Nama-Nama Surah dan Maknanya
Surah ini memiliki dua nama utama yang dikenal di kalangan ulama tafsir:
- Surah Al-Lahab (Api yang Menyala-nyala): Nama ini diambil dari frasa di ayat ketiga, *nāran dhāta lahabin*, yang merujuk pada takdir Abu Lahab di akhirat. Secara ironis, Abu Lahab sendiri memiliki nama panggilan yang berarti 'ayah api' (sebab wajahnya yang tampan dan bersinar, atau karena sifatnya yang cepat marah), dan Allah menggunakan nama ini untuk mengaitkannya dengan api neraka yang sesungguhnya.
- Surah Al-Masad (Tali Sabut/Serat Palma): Nama ini diambil dari kata terakhir surah, *masad*, yang merujuk pada tali dari sabut pohon kurma yang akan melilit leher istri Abu Lahab di neraka. Nama ini menyoroti hukuman yang sangat spesifik dan menghinakan bagi Ummu Jamil.
Pemilihan nama ini menegaskan bahwa setiap aspek hukuman yang ditimpakan kepada pasangan tersebut adalah hasil yang adil dan spesifik atas kejahatan dan penghinaan yang mereka lakukan terhadap Rasulullah ﷺ dan ajaran tauhid.
Konteks Sejarah (Asbabun Nuzul)
Penurunan Surah Al-Lahab terkait erat dengan peristiwa historis yang menandai dimulainya dakwah secara terang-terangan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Peristiwa Bukit Shafa
Setelah periode dakwah secara sembunyi-sembunyi, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memulai dakwah secara terbuka kepada kaumnya. Menurut riwayat yang masyhur, Rasulullah ﷺ naik ke Bukit Shafa, salah satu bukit dekat Ka'bah, pada suatu pagi. Beliau memanggil seluruh klan Quraisy, yang segera berkumpul karena memercayai kejujuran beliau yang berjuluk Al-Amin (yang tepercaya).
Ketika semua suku—Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, dan lainnya—telah berkumpul, Rasulullah ﷺ mengajukan pertanyaan retoris: "Jika aku memberitahu kalian bahwa ada sekelompok kavaleri di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka semua menjawab serentak, "Ya, kami tidak pernah mendapati engkau berbohong."
Kemudian Nabi ﷺ berkata, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian di hadapan azab yang pedih." Beliau menyeru mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah semata.
Reaksi Abu Lahab
Di tengah kerumunan tersebut, berdirilah Abu Lahab (nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muthalib), paman kandung Nabi yang seharusnya menjadi pelindungnya. Abu Lahab segera merespons dengan penuh amarah dan caci maki. Ia berteriak, menunjukkan kebenciannya yang meluap-luap:
تَبًّا لَكَ سَائِرَ الْيَوْمِ، أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا؟
“Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?”
Tindakan Abu Lahab bukan hanya penolakan, tetapi juga penghinaan publik yang bertujuan untuk mencederai reputasi Rasulullah ﷺ di hadapan seluruh kabilah Quraisy. Dalam tradisi Arab, penghinaan dari seorang paman kandung dianggap sangat merusak dan berbahaya bagi status sosial seseorang. Setelah insiden ini, Surah Al-Lahab diturunkan sebagai respons langsung dari Allah SWT, membalikkan kutukan Abu Lahab kepada dirinya sendiri.
Api Neraka (Nar) yang melambangkan Lahab
Teks Arab dan Terjemahan Surah Al-Lahab
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
١. تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
٢. مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
2. Tidaklah berfaedah baginya hartanya dan apa yang ia usahakan (anak-anaknya).
٣. سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Lahab).
٤. وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
٥. فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
5. Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.
Tafsir Mendalam Ayat Per Ayat (Tafsir Mufradat dan Ijmali)
Ayat 1: Binasalah Kedua Tangan Abu Lahab
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Kata kunci pertama adalah تَبَّتْ (Tabbat). Kata ini berasal dari akar kata *Tabb* yang berarti kerugian, kehancuran, kekeringan, atau kebinasaan. Ketika digunakan sebagai doa atau kutukan (seperti dalam kasus ini), ini adalah pernyataan ilahi yang mengumumkan kehancuran total.
Frasa يَدَا أَبِي لَهَبٍ (Yadā Abī Lahabin), yang berarti 'kedua tangan Abu Lahab', merupakan metonimia (majaz) untuk seluruh perbuatan dan usaha Abu Lahab. Tangan sering kali melambangkan tindakan, kerja keras, dan upaya. Dengan mengutuk tangannya, Al-Qur'an mengutuk semua upaya, rencana, dan tindakan permusuhan yang dilakukan Abu Lahab terhadap Islam.
Bagian akhir ayat, وَتَبَّ (wa Tabb), adalah penegasan yang kuat. Sebagian ulama, seperti Imam Al-Qurtubi, menafsirkan *Tabbat* yang pertama sebagai kutukan (doa kebinasaan) dan *wa Tabb* yang kedua sebagai kepastian bahwa kebinasaan itu benar-benar telah terjadi atau pasti akan terjadi di masa depan. *Tabbat* adalah bentuk lampau (madhi) yang digunakan untuk menyatakan bahwa nasib buruk ini telah ditetapkan sejak awal, sementara *wa Tabb* bisa ditafsirkan sebagai pernyataan kepastian dari kebinasaannya di akhirat.
Ayat ini adalah pembalikan sempurna terhadap kutukan yang diucapkan Abu Lahab di Bukit Shafa. Allah mengambil kata-kata Abu Lahab sendiri dan mengarahkannya kembali kepadanya, namun dengan otoritas dan kepastian ilahi.
Ayat 2: Kekayaan dan Usaha yang Sia-sia
مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Ayat ini menyentuh inti kesombongan Abu Lahab: harta dan kekuasaannya. Kata مَا أَغْنَىٰ (Mā Aghnā) berarti 'tidak memberi manfaat' atau 'tidak dapat menolong'. Kekuatan finansial dan status sosial yang sangat dibanggakan oleh orang-orang Quraisy tidak akan berguna sedikit pun untuk menyelamatkannya dari azab Allah.
Frasa مَالُهُ (Māluhu) merujuk pada harta benda, perak, emas, dan kekayaan materialnya. Sedangkan وَمَا كَسَبَ (wa Mā Kasab), 'dan apa yang ia usahakan', memiliki beberapa tafsir penting:
- Anak-anak: Tafsir yang paling dominan, didukung oleh riwayat dari Ibnu Abbas dan Mujahid, adalah bahwa *mā kasab* merujuk pada anak-anak Abu Lahab. Dalam budaya Arab, anak laki-laki dianggap sebagai 'hasil usaha' (kasab) dan sumber kekuatan utama. Dengan demikian, ayat ini meniadakan pertolongan dari harta benda maupun keturunan.
- Perbuatan Baik: Sebagian ulama menafsirkan *mā kasab* sebagai segala amal perbuatan baik yang mungkin pernah ia lakukan (misalnya membantu Ka'bah), yang semuanya menjadi sia-sia karena kekafiran dan permusuhannya terhadap Nabi.
Intinya, ayat kedua menghancurkan dua pilar utama status dan keamanan Abu Lahab di dunia: kekayaan material dan pewaris keturunan.
Ayat 3: Masuk ke Api yang Menyala-nyala
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Kata سَيَصْلَىٰ (Sayaslā) adalah gabungan dari huruf *Sīn* (س) yang menunjukkan kepastian yang akan terjadi di masa depan, dan kata *yaslā* (memasuki atau terpanggang). Ini adalah jaminan takdir Abu Lahab di akhirat.
Hukuman yang spesifik disebutkan: نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Nāran Dhāta Lahabin), 'api yang memiliki nyala api yang besar'. Ini adalah puncak ironi ilahi. Julukan duniawi Abu Lahab (Ayah Api) kini menjadi deskripsi nerakanya sendiri. Api yang akan memanggangnya adalah api yang nyata dan membara, jauh lebih hebat daripada sekadar julukan duniawi. Penafsiran ini menekankan bahwa setiap tindakan penghinaan di dunia akan dibalas dengan hukuman yang setimpal dan spesifik di akhirat.
Ayat 4: Istri Abu Lahab, Pembawa Kayu Bakar
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Istri Abu Lahab adalah Ummu Jamil, Arwā binti Harb bin Umayyah, saudara perempuan Abu Sufyan. Ia adalah sosok yang setara kejahatannya dengan suaminya, dan oleh karena itu, ia dikutuk bersama suaminya.
Julukan حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammālatal Ḥaṭab), 'pembawa kayu bakar', ditafsirkan dalam dua cara utama:
- Makna Metaforis (Penyebar Fitnah): Ini adalah tafsir yang paling kuat di kalangan mufassir klasik. Dalam bahasa Arab, seseorang yang 'membawa kayu bakar' merujuk pada orang yang menyebarkan fitnah, menghasut permusuhan, dan menyalakan api perselisihan (seperti api yang dibuat dari kayu bakar). Ummu Jamil secara aktif menyebarkan kebohongan dan gosip buruk tentang Nabi Muhammad ﷺ.
- Makna Literal (Pengumpul Duri): Ada riwayat bahwa Ummu Jamil, dalam upayanya yang ekstrem untuk menyakiti Nabi, akan mengumpulkan duri dan ranting tajam di malam hari, lalu menyebarkannya di jalan yang biasa dilalui oleh Nabi ﷺ, agar beliau terluka.
Kedua tafsir tersebut menunjukkan perannya sebagai mitra kejahatan, yang tidak hanya menolak Islam tetapi juga secara aktif berupaya untuk menyakiti Rasulullah ﷺ secara fisik dan moral.
Ayat 5: Tali dari Sabut Palma
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
Ayat terakhir merincikan hukuman bagi Ummu Jamil. فِي جِيدِهَا (Fī Jīdihā) berarti 'di lehernya'. Leher adalah tempat kemuliaan dan perhiasan bagi seorang wanita bangsawan Quraisy.
Kata حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Ḥablun min Masad) berarti 'tali dari sabut yang dipintal'. *Masad* adalah serat kasar yang diambil dari batang pohon kurma. Tali dari *masad* adalah tali yang paling kasar, paling tidak berharga, dan sangat menyakitkan jika digunakan untuk mengikat atau menjerut.
Ayat ini menjelaskan bahwa Ummu Jamil, yang di dunia mengenakan kalung permata dan perhiasan mahal sebagai simbol statusnya, di neraka akan digantikan dengan tali sabut kasar yang akan digunakan untuk menyeretnya ke dalam api neraka. Hal ini melambangkan kehinaan total dan kontras yang pedih antara kesombongan duniawi dan realitas azab akhirat. Hukuman ini sangat spesifik dan menghinakan, selaras dengan sifat kejahatannya (membawa 'kayu bakar' fitnah).
Tali dari Masad (Sabut Palma)
Analisis Kebahasaan (Lughawiyyah) dan Mukjizat Surah
1. Mukjizat Kenabian (I'jaz)
Surah Al-Lahab adalah salah satu bukti terbesar kenabian Muhammad ﷺ. Surah ini memberikan ramalan yang spesifik dan publik mengenai takdir Abu Lahab dan istrinya: mereka pasti akan mati dalam keadaan kafir dan pasti akan masuk neraka.
Bayangkan risikonya: Surah ini diturunkan saat Abu Lahab masih hidup. Jika Abu Lahab, untuk mendiskreditkan Muhammad, berpura-pura masuk Islam atau bahkan mengucapkan syahadat sekali saja, seluruh ramalan surah ini akan dianggap gugur dan kredibilitas Al-Qur'an akan diragukan. Namun, Abu Lahab tidak pernah masuk Islam. Ia tetap menjadi musuh yang paling keras hingga kematiannya sekitar tujuh tahun setelah wahyu ini, meninggal dalam kesengsaraan akibat penyakit menular.
Fakta bahwa Abu Lahab tidak pernah dapat meniadakan ramalan ini, meskipun ia tahu bahwa surah ini telah diturunkan, menunjukkan intervensi ilahi. Ini membuktikan bahwa Allah telah mengunci takdir mereka berdua sebagai peringatan bagi semua orang yang secara terang-terangan memerangi kebenaran.
2. Analisis Morfologi Kata Kunci
A. Tabbat (تَبَّتْ)
Akar kata Tabb (ت ب ب) memiliki makna kebinasaan. Dalam morfologi, Tabbat adalah fi’il madhi (kata kerja lampau) yang digunakan untuk mengungkapkan harapan atau kutukan, namun karena diucapkan oleh Allah, ia memiliki kekuatan kepastian (al-inshā’ bi-sighat al-khabar). Penggunaan bentuk lampau menunjukkan bahwa kebinasaan ini seolah-olah sudah terjadi, menekankan kepastian takdirnya.
B. Lahab (لَهَب)
Kata *Lahab* berarti nyala api murni, tanpa asap. Ini adalah kata benda yang sangat spesifik yang digunakan untuk menggambarkan intensitas api. Ironi linguistiknya adalah kontras antara Lahab sebagai julukan kehormatan (mengacu pada kemuliaan atau kecerahan) dan Lahab sebagai deskripsi api neraka yang membakar habis.
C. Aghna (أَغْنَىٰ)
Akar kata *Ghaniyya* (غ ن ي) berarti kaya, cukup, mandiri. Dalam bentuk negasi (Mā Aghnā), ia menekankan bahwa kekayaan yang sangat dibanggakan oleh Abu Lahab—sumber kekuasaan dan kepercayaan dirinya di Makkah—sama sekali tidak memberikan kekayaan spiritual atau manfaat pertolongan di hadapan azab Allah.
D. Kasab (كَسَبَ)
Akar kata *Kasaba* (ك س ب) berarti berusaha, mendapatkan, atau menghasilkan. Tafsirnya yang mencakup anak-anak (al-awlād) sangat penting, sebab dalam bahasa Arab kuno, anak laki-laki adalah *kasb al-rajul* (hasil usaha seorang pria), yang merupakan bentuk kekayaan yang paling berharga. Dengan meniadakan manfaat dari *māl* (harta) dan *kasab* (keturunan), Allah meniadakan seluruh sumber keamanan duniawi Abu Lahab.
E. Hammālatal Ḥaṭab (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ)
Ini adalah struktur mubalaghah (penekanan atau hiperbola) dari kata *ḥāmilah* (pembawa). Bentuk *Hammālah* menunjukkan bahwa Ummu Jamil bukan hanya sesekali menyebarkan fitnah, tetapi ia menjadikannya profesi atau kebiasaan yang ekstrem. Dia adalah 'profesional' dalam membawa kayu bakar (menyulut permusuhan), mengaitkan perbuatan fitnahnya di dunia dengan hukuman fisik di akhirat.
F. Masad (مَّسَدٍ)
Akar kata *Masad* (م س د) secara khusus merujuk pada tali yang dipintal kuat dari serat pohon kurma. Pemilihan kata ini menunjukkan bukan sekadar 'tali', melainkan tali yang kasar dan berkualitas rendah, kontras dengan perhiasan emas Ummu Jamil di dunia. Ini menekankan hukuman yang memalukan dan membumi.
Konsekuensi Teologis dan Aqidah
1. Konsep Al-Wala’ wal-Bara’ (Loyalitas dan Pelepasan Diri)
Surah Al-Lahab mengajarkan pelajaran fundamental dalam aqidah, yaitu konsep Al-Wala’ wal-Bara’ (loyalitas dan penolakan). Meskipun Abu Lahab adalah paman kandung Nabi, ikatan darah tidak menyelamatkannya dari kutukan dan azab karena ia secara terbuka memerangi risalah Allah. Islam mengajarkan bahwa ikatan aqidah (keimanan) harus lebih kuat daripada ikatan darah atau kekeluargaan. Permusuhan terhadap kebenaran memutus semua ikatan, bahkan yang paling dekat sekalipun.
2. Pertanggungjawaban Individu
Surah ini juga menekankan pertanggungjawaban individu. Abu Lahab dan Ummu Jamil dikutuk bukan karena kekayaan atau status mereka, melainkan karena pilihan pribadi mereka untuk menggunakan sumber daya tersebut (tangan, harta, lisan) untuk melawan Allah dan Rasul-Nya. Azab adalah konsekuensi langsung dari perbuatan (kasab) mereka.
3. Kekuasaan Ilahi Atas Nasib Manusia
Surah Al-Lahab adalah pengumuman takdir. Hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan mutlak untuk mengumumkan takdir seseorang di dunia (seperti dalam kasus Abu Lahab) sebagai peringatan bagi umat manusia. Kematian Abu Lahab yang sesuai dengan ramalan surah ini menegaskan bahwa rencana manusia tidak akan pernah melampaui kehendak dan ketetapan Allah.
4. Mengatasi Kesulitan Dakwah
Bagi Rasulullah ﷺ dan para sahabat awal, surah ini memberikan penguatan mental yang luar biasa. Ketika paman Nabi sendiri menjadi musuh utama, hal itu pasti sangat menyakitkan. Surah ini datang sebagai penghiburan ilahi, meyakinkan Nabi bahwa musuh-musuh, seberapa kuat pun mereka, pada akhirnya akan binasa dan gagal total, baik di dunia maupun di akhirat.
Studi Kasus: Sifat dan Akhir Hidup Abu Lahab dan Ummu Jamil
Profil Abu Lahab
Abu Lahab memiliki posisi ganda: sebagai paman Nabi, ia seharusnya menjadi pendukung utama. Namun, ia menjadi penentang yang paling keras. Ketika pamannya yang lain, Abu Thalib, masih memberikan perlindungan kabilah kepada Nabi, Abu Lahab secara konsisten menentang. Bahkan setelah pemboikotan Bani Hasyim di Shi’ib Abi Thalib, Abu Lahab memilih memihak Quraisy, memutuskan hubungan dengan klannya sendiri demi mempertahankan tradisi paganisme dan kekuasaan klan Quraisy.
Tingkat kebencian Abu Lahab sangat ekstrem. Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Muhammad ﷺ kembali dari Thaif dalam keadaan terluka dan ditolak, Abu Lahab justru merasa gembira dan menyambut perlakuan buruk tersebut. Dia bahkan memaksa dua putranya yang telah menikah dengan putri-putri Nabi (Ruqayyah dan Ummu Kultsum) untuk menceraikan mereka sebagai upaya pelecehan dan penghinaan terhadap keluarga Nabi.
Kematian Abu Lahab
Setelah kekalahan Quraisy di Perang Badar, Abu Lahab yang tidak ikut perang karena sakit, mengalami nasib yang mengerikan. Allah menimpakan kepadanya penyakit menular yang sangat menjijikkan dan mematikan, yang disebut *Al-Adasah* (sejenis cacar air yang sangat ganas). Karena takut tertular, bahkan anggota keluarganya tidak berani mendekati atau mengurusnya. Ia dibiarkan sendirian hingga meninggal. Setelah tiga hari, barulah budak-budaknya mengurus jenazahnya dengan cara yang paling hina: mereka mendorong jenazahnya dengan tongkat hingga masuk ke dalam lubang, lalu melemparkan batu dan tanah dari jarak jauh untuk menguburnya. Kematiannya, yang terjadi dalam aib dan pengasingan, adalah pemenuhan nyata dari firman Allah: *Tabbat* (binasa dan merugi).
Profil Ummu Jamil
Ummu Jamil, istri Abu Lahab, juga dikenal sebagai musuh Islam. Ia dijuluki *Hammālatal Ḥaṭab* (pembawa kayu bakar) karena perannya yang aktif dalam memprovokasi dan menyebarkan fitnah terhadap Rasulullah ﷺ dan istrinya, Khadijah RA. Sebagai seorang wanita yang kaya raya dan terpandang, perhiasan lehernya melambangkan statusnya di Makkah.
Ketika surah ini diturunkan, ia menjadi sangat marah. Dikisahkan ia pernah mencari Nabi Muhammad ﷺ dengan membawa batu besar di tangannya, berjanji akan menghantam kepala Nabi jika ia menemukannya. Ketika ia bertanya kepada Abu Bakar tentang keberadaan Nabi, Allah melindungi Rasulullah ﷺ sehingga Ummu Jamil hanya melihat Abu Bakar. Ia mengutuk Nabi dan Al-Qur'an, dan kembali tanpa sempat melihat atau menyakiti Nabi. Ini adalah bukti perlindungan Allah terhadap Rasul-Nya, bahkan di hadapan musuh yang paling agresif.
Pelajaran Moral dan Hukum yang Dipetik dari Surah Al-Lahab
1. Kekuatan Lisan dan Akhlak
Surah ini mengajarkan bahwa perkataan (lisan) adalah senjata yang bisa mendatangkan kebinasaan. Abu Lahab menggunakan lisannya untuk mengutuk Nabi dan Ummu Jamil menggunakan lisannya untuk menyebarkan fitnah (kayu bakar). Al-Qur'an memberikan perhatian khusus terhadap azab yang menimpa lisan dan tindakan mereka. Ini mengingatkan umat Islam untuk menjaga lisan mereka dari fitnah, ghibah, dan perkataan buruk yang dapat menyulut api permusuhan di tengah masyarakat.
2. Kesia-siaan Harta Tanpa Iman
Pelajaran utama dari Ayat 2 adalah bahwa harta dan kekayaan duniawi sama sekali tidak bernilai di hadapan azab Allah jika tidak disertai dengan iman dan ketakwaan. Bagi Quraisy, harta adalah segalanya, namun surah ini membuktikan bahwa harta tidak dapat membeli keselamatan. Ini adalah penegasan terhadap ajaran tauhid bahwa hanya amal saleh dan iman yang menjadi modal di akhirat.
3. Bahaya Mendukung Kejahatan
Hukuman yang spesifik bagi Ummu Jamil menunjukkan bahaya menjadi 'mitra' dalam kejahatan. Meskipun suaminya adalah pemimpin oposisi, perannya sebagai penyebar fitnah membuatnya mendapatkan azab yang setimpal dan terpisah. Ini menjadi peringatan bahwa orang yang mendukung atau memfasilitasi kemaksiatan akan menanggung dosa yang sama.
4. Ketegasan dalam Menghadapi Kebatilan
Surah Al-Lahab memberikan izin untuk bersikap tegas terhadap permusuhan yang nyata terhadap agama. Meskipun Islam mengajarkan kasih sayang, ketika ada permusuhan yang terang-terangan dan kezaliman yang melampaui batas, Allah sendiri mengambil tindakan deklaratif untuk mengutuk pelaku. Ini mengajarkan pentingnya menjaga kemuliaan agama (izzat al-dīn).
Korelasi Surah Al-Lahab dengan Surah-Surah di Sekitarnya
Surah Al-Lahab berada dalam kelompok surah-surah pendek di akhir Al-Qur'an (Juz Amma) yang sering kali memiliki tema-tema yang saling berkaitan dan saling menguatkan.
Hubungan dengan Surah Al-Kafirun (109)
Surah Al-Kafirun mengajarkan pemisahan prinsip antara kaum Muslimin dan kaum kafir: "Bagiku agamaku, bagimu agamamu." Ini adalah pemisahan dalam hal aqidah. Surah Al-Lahab adalah langkah berikutnya; ia menunjukkan konsekuensi nyata dari pemisahan tersebut. Jika Surah Al-Kafirun adalah deklarasi damai prinsip, Surah Al-Lahab adalah deklarasi azab atas permusuhan yang agresif. Nabi telah menawarkan perdamaian prinsip, tetapi karena Abu Lahab memilih jalan permusuhan, ia menerima kebinasaan yang pasti.
Hubungan dengan Surah An-Nasr (110)
Surah An-Nasr (Pertolongan) berbicara tentang kemenangan Islam, masuknya manusia ke dalam agama Allah berbondong-bondong, dan kematian Nabi Muhammad ﷺ setelah kemenangan itu. Surah Al-Lahab justru berbicara tentang kekalahan dan kehancuran total musuh bebuyutan Nabi di periode awal dakwah. Kedua surah ini, ketika dibaca berurutan, menggambarkan spektrum lengkap nasib orang-orang Quraisy: sebagian besar masuk Islam (An-Nasr), sementara musuh-musuh yang paling keras berakhir dengan kehancuran mutlak (Al-Lahab).
Ringkasan Hubungan
Secara umum, Al-Lahab menempatkan kisah Abu Lahab sebagai contoh paripurna dari nasib akhir setiap individu yang menggunakan kekayaan, status, dan kekuasaan untuk melawan Allah dan utusan-Nya. Surah-surah pendek di akhir Al-Qur'an sering kali memberikan ringkasan yang kuat tentang dualitas kehidupan: keimanan dan pahalanya, serta kekafiran dan azabnya. Al-Lahab adalah pengukuhan akhir dari kepastian azab bagi penentang kebenaran.
Penutup dan Peringatan Universal
Meskipun Surah Al-Lahab ditujukan kepada dua individu spesifik, pesan dan peringatannya bersifat universal dan abadi. Kisah Abu Lahab dan istrinya adalah prototipe dari setiap orang yang dihadapkan pada kebenaran, namun memilih untuk menolaknya karena keangkuhan, iri hati, atau keterikatan pada tradisi nenek moyang atau kekuasaan duniawi.
Pelajaran yang paling mendalam adalah bahwa ketaatan dan kasih sayang terhadap kebenaran jauh lebih penting daripada ikatan darah atau status sosial. Surah ini menyerukan kepada setiap pembacanya untuk merenungkan: Apakah "tangan" kita digunakan untuk mendukung kebaikan atau untuk menyulut api keburukan? Apakah harta dan usaha kita akan memberikan manfaat di akhirat, ataukah akan menjadi sia-sia seperti harta Abu Lahab? Nasib Abu Lahab dan Ummu Jamil adalah penanda yang jelas: tiada tempat berlindung dari azab Allah bagi mereka yang secara sadar dan sengaja memerangi utusan-Nya dan ajarannya yang suci.
Surah ini mengajarkan bahwa kebinasaan rohani (Tabbat) datang sebelum kebinasaan fisik, dan kehinaan di akhirat akan menjadi balasan spesifik atas kesombongan dan fitnah yang disebar di dunia. Ia adalah penutup yang kuat di antara surah-surah akhir Al-Qur'an, meninggalkan pesan yang tak terhapuskan tentang keadilan dan kepastian takdir ilahi.
Perluasan Analisis Lughawiyyah Lanjutan: Fungsi Harf dan I'rab
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Lahab, penting untuk menganalisis fungsi tata bahasa (I’rab) dalam ayat-ayatnya, yang menunjukkan ketelitian dan ketegasan ilahi:
Analisis Ayat 1: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
- تَبَّتْ: Fi'il Madhi (kata kerja lampau), berfungsi sebagai kutukan. Tā' yang berharakat sukun (t) adalah tā' at-ta'nīth (untuk feminin), karena *yadā* (tangan) dalam konteks ini diperlakukan sebagai feminin ganda, atau karena kutukan itu sendiri bersifat feminin.
- يَدَا: Fā'il (subjek) dari *Tabbat*, berbentuk muthanna (ganda), yang seharusnya *yadān*, tetapi nūn telah dihilangkan karena idhāfah (konstruksi kepemilikan) dengan *Abī Lahabin*.
- وَتَبَّ: Wāw (و) di sini adalah wāw al-'aṭaf (kata sambung). Tabb kedua berfungsi sebagai penegasan dan pemastian takdir di masa depan. Pengulangannya (tawkid) memberikan bobot retoris yang luar biasa.
Analisis Ayat 2: مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
- مَا: Harf an-Nafy (kata negasi), berfungsi meniadakan segala manfaat.
- أَغْنَىٰ: Fi'il Madhi, menolong atau memberi manfaat.
- عَنْهُ: Jār wa Majrūr (preposisi dan objeknya), menunjukkan 'darinya'.
- مَالُهُ: Fā'il (subjek) dari *Aghnā*, yaitu hartanya.
- وَمَا كَسَبَ: Wāw al-'aṭaf; *mā* di sini adalah *ism mawṣūl* (kata sambung relatif) yang berarti 'sesuatu yang', menunjuk pada makna umum dari usaha atau yang diperolehnya (anak-anak).
Analisis Ayat 3: سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
- سَـ: Sīn (س), harf al-istiqbal, mengindikasikan kepastian yang akan datang (masa depan yang dekat/pasti).
- يَصْلَىٰ: Fi'il Muḍāri' (kata kerja sekarang/masa depan), yang berarti ia akan terbakar atau terpanggang.
- نَارًا: Maf'ūl bih (objek), yaitu api.
- ذَاتَ لَهَبٍ: Na't (deskripsi) dari *Nāran*, 'yang memiliki api yang menyala-nyala'.
Analisis Ayat 4 dan 5: وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ * فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
- وَامْرَأَتُهُ: Wāw al-'aṭaf. *Imra’atuhu* (istrinya) di sini bisa menjadi *maf'ūl ma'ah* (objek yang menyertai) dari kata kerja yang tersembunyi (misalnya: akan dihukum), atau ia menjadi subjek dari kalimat berikutnya.
- حَمَّالَةَ الْحَطَبِ: Ada perbedaan I'rab di sini. Beberapa ulama menafsirkannya sebagai *badal* (pengganti) atau *na't* (deskripsi) untuk Ummu Jamil. Namun, I'rab yang paling umum adalah bahwa ia adalah *maf'ūl bih* untuk kata kerja yang tersembunyi (*adhūmmu hammālata al-ḥaṭab* - aku mengutuk pembawa kayu bakar).
- فِي جِيدِهَا: Khobar Muqaddam (predikat yang didahulukan). Jār wa Majrūr.
- حَبْلٌ: Mubtadā Mu'akhkhar (subjek yang diakhirkan). Artinya, "Sebuah tali [berada] di lehernya." Ini adalah kalimat nominal yang berfungsi sebagai deskripsi azab yang akan menimpanya.
- مِّن مَّسَدٍ: Jār wa Majrūr, menjelaskan materi tali tersebut.
Analisis ini menunjukkan bahwa setiap huruf dalam Surah Al-Lahab dipilih dengan presisi yang tertinggi, dari penggunaan bentuk madhi untuk menyatakan kepastian (Tabbat) hingga penggunaan harf istiqbal (Sīn) untuk menjamin masa depan, serta penekanan pada status istri Abu Lahab melalui struktur mubalaghah (Hammālah). Ini bukan sekadar kutukan, melainkan sebuah dokumen kenabian yang terstruktur secara linguistik dan teologis.
Warisan dan Relevansi Abadi
Kisah Abu Lahab bukan hanya catatan sejarah tentang seorang paman yang jahat, tetapi sebuah model abadi. Siapa pun yang menggunakan status, kekayaan, atau kekuatan sosialnya untuk menindas kebenaran dan memerangi cahaya hidayah, ia berjalan di jalur yang sama dengan Abu Lahab. Surah ini menjadi pengingat bagi setiap individu, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan, bahwa kehormatan sejati tidak terletak pada gelar atau harta, tetapi pada penyerahan diri kepada Allah.
Pada akhirnya, Surah Al-Lahab adalah Surah Penentuan. Ia memisahkan secara tajam antara iman dan kekufuran, antara perlindungan Allah dan azab-Nya, menjanjikan kemenangan akhir bagi kebenaran dan kehinaan mutlak bagi para musuhnya yang paling keras kepala.