Surah Al-Lahab adalah salah satu surah yang paling menonjol dalam periode Makkiyah awal, periode di mana dakwah Nabi Muhammad ﷺ masih berada dalam tahap perlawanan terbuka dan penganiayaan. Keunikan surah ini terletak pada sifatnya yang eksplisit dan langsung; ia adalah satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara langsung menyebutkan nama musuh Islam dan menyatakan kehancuran totalnya—Abu Lahab, paman Nabi sendiri.
Pertanyaan mengenai urutan pewahyuan (Nuzulul Qur'an) Surah Al-Lahab adalah sebuah kajian yang mendalam dalam ilmu-ilmu Al-Qur'an. Mengetahui surah yang turun tepat sebelum Surah Al-Lahab bukan sekadar penelusuran akademis; ia membantu kita memahami perkembangan tematik wahyu, psikologi Nabi saat menghadapi penolakan keluarga terdekat, dan bagaimana Allah menyiapkan hati Nabi untuk menghadapi tantangan dakwah yang semakin keras.
Menurut mayoritas ulama yang fokus pada kronologi wahyu, terutama daftar yang bersumber dari Ibnu Abbas dan dikompilasi oleh ulama besar seperti Imam As-Suyuti dalam karyanya Al-Itqan fi Ulumil Qur'an dan Az-Zarkasyi, Surah Al-Lahab (nomor urut 111 dalam mushaf) diyakini berada di urutan ke-78 dalam kronologi pewahyuan Al-Qur'an. Surah yang diyakini turun tepat sebelum Al-Lahab, menempati urutan ke-77, adalah Surah Al-Tin (Surah ke-95).
Penentuan urutan wahyu, terutama di periode Makkiyah awal, adalah proses yang kompleks karena tidak semua surah memiliki riwayat yang jelas mengenai kapan, di mana, dan dalam peristiwa apa ayat-ayatnya turun. Ulama menggunakan beberapa metodologi kunci:
Sumber utama adalah riwayat dari para Sahabat, khususnya Abdullah bin Abbas, yang dikenal memiliki pengetahuan mendalam tentang konteks turunnya ayat (Asbabun Nuzul) dan urutan kronologis. Daftar-daftar kronologi yang paling otoritatif, seperti daftar Jabir bin Zaid dan daftar yang digunakan oleh Ibnu Ishaq dalam Sirahnya, menjadi pondasi utama.
Surah-surah Makkiyah awal memiliki ciri khas yang berbeda dari Madaniyah atau Makkiyah akhir. Mereka cenderung pendek, ritmis, penuh sumpah (قسم/qasam), dan fokus pada pondasi tauhid, Hari Kiamat, dan menantang politeisme. Surah Al-Tin, dengan sumpah-sumpah kosmiknya (Tin, Zaitun, Thur, Makkah), dan Al-Lahab, dengan ritme ancaman yang tajam, jelas masuk dalam kelompok ini.
Surah Al-Lahab diturunkan setelah Nabi Muhammad ﷺ secara terbuka menyeru kaumnya di Bukit Safa. Ketika Nabi menyeru Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, Abu Lahab berdiri dan berkata, "Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Jawaban Ilahi datang segera setelahnya dalam bentuk Surah Al-Lahab.
Untuk surah yang mendahuluinya, para ulama menyimpulkan bahwa surah tersebut haruslah surah yang telah menetapkan kebenaran dasar tauhid dan keindahan penciptaan sebelum langsung beralih ke penghukuman terhadap individu yang menentang. Di sinilah Surah Al-Tin muncul sebagai kandidat kuat.
Surah Al-Tin (Buah Tin) adalah surah ke-95 dalam urutan mushaf dan diyakini menempati urutan ke-77 dalam kronologi wahyu, tepat sebelum Al-Lahab.
Jarak tematik antara Surah Al-Tin dan Surah Al-Lahab tampak besar pada pandangan pertama. Al-Tin berbicara tentang keindahan penciptaan, martabat manusia (fitrah yang paling sempurna), dan janji pahala atau hukuman berdasarkan amal. Al-Lahab, sebaliknya, adalah kutukan yang tajam dan spesifik. Namun, dalam konteks pewahyuan, mereka memiliki kesinambungan yang logis.
1. Penegasan Martabat Manusia (Al-Tin): Al-Tin menegaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik (لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ). Ini adalah puncak potensi moral dan spiritual.
2. Kejatuhan dan Penolakan (Al-Lahab): Tepat setelah menetapkan potensi ini, Surah Al-Lahab berfungsi sebagai contoh tragis dari seseorang yang, meskipun diberikan potensi ilahi tersebut, memilih untuk merendahkan dirinya sendiri ke tingkat yang paling hina (ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ), bukan karena kelemahan fisik, tetapi karena kejahatan spiritual dan penolakan terang-terangan terhadap kebenaran yang dibawa oleh keponakannya sendiri.
Surah Al-Tin menyiapkan landasan teologis: Manusia memiliki pilihan dan martabat. Surah Al-Lahab menunjukkan konsekuensi nyata dan fatal dari penyalahgunaan pilihan bebas tersebut, bahkan oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung Nabi.
Empat sumpah dalam Al-Tin menggarisbawahi empat tempat suci yang terkait dengan kenabian, yang semuanya menegaskan keabsahan risalah yang dibawa oleh Muhammad ﷺ, yang pada saat itu tengah menghadapi ejekan masif dari kaum Quraisy, termasuk Abu Lahab:
Dengan bersumpah demi lokasi-lokasi kenabian universal ini, Al-Tin menegaskan bahwa risalah Muhammad ﷺ adalah puncak dan kelanjutan dari wahyu-wahyu sebelumnya. Sebelum Al-Lahab datang sebagai penghukuman pribadi, Al-Tin telah memberikan justifikasi universal bagi kebenaran risalah. Ini adalah penguatan spiritual yang vital bagi Nabi sebelum menghadapi konflik keluarga yang paling menyakitkan.
Surah Al-Lahab (Surah ke-111, Nuzul ke-78) diturunkan sebagai respons langsung terhadap penolakan dan penghinaan yang dilakukan oleh Abu Lahab.
Setelah periode dakwah rahasia yang berlangsung sekitar tiga tahun, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memulai dakwah secara terbuka (Surah Al-Hijr: 94). Nabi memanjat Bukit Safa dan memanggil seluruh suku Quraisy untuk berkumpul. Nabi bertanya, "Jika aku memberitahukan bahwa ada pasukan berkuda di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan percaya?" Mereka menjawab, "Kami tidak pernah mendengar engkau berbohong."
Nabi kemudian mengumumkan, "Aku datang untuk memperingatkan kalian tentang azab yang pedih."
Di tengah kerumunan itu, berdirilah Abu Lahab bin Abdul Muthalib, paman kandung Nabi dan tetangga terdekatnya. Abu Lahab, yang memiliki status sosial tinggi dan seharusnya menjadi pelindung Nabi (sesuai tradisi kesukuan), malah meludah dan berteriak: "Celakalah engkau, hai Muhammad! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"
Respons Abu Lahab ini bukan hanya penolakan, tetapi penghinaan publik yang bertujuan meruntuhkan otoritas Nabi di hadapan seluruh kaum Quraisy. Reaksi Ilahi datang segera, membalikkan kutukan Abu Lahab kepadanya sendiri, dan ini menjadi Surah Al-Lahab.
Surah Al-Lahab:
Kata kunci dalam ayat pertama, Tabbat Yada Abi Lahab (Celakalah kedua tangan Abu Lahab), adalah respons langsung yang menghapus efek penghinaan yang dilakukan Abu Lahab di Safa. Ayat ini menjamin Nabi bahwa ancaman dan kekayaan pamannya tidak berarti apa-apa di hadapan kebenaran Ilahi. Ini adalah dukungan emosional dan spiritual yang mutlak bagi Nabi pada masa paling sulit dalam dakwahnya.
Konteks historis ini menunjukkan bahwa Al-Lahab adalah titik balik dalam Sirah. Itu adalah pemisahan definitif antara Nabi dan keluarganya yang menentang. Untuk menghadapi kekejaman ini, Nabi membutuhkan penguatan iman yang universal (yang disediakan oleh Al-Tin) sebelum menghadapi penghukuman pribadi yang spesifik dan tajam (Al-Lahab).
Meskipun Surah Al-Tin adalah konsensus kuat di antara ulama kronologi (berdasarkan daftar Al-Itqan), perlu diakui bahwa penentuan urutan wahyu di Mekah sangat bergantung pada ijtihad dan ketersediaan riwayat. Beberapa daftar kronologi lain menempatkan surah-surah yang berbeda di sekitar Al-Lahab. Keragaman ini muncul karena riwayat Asbabun Nuzul terkadang tumpang tindih atau sulit dipastikan presisinya.
Beberapa daftar menempatkan Surah Al-Qariah (surah ke-101) sangat dekat dengan Al-Lahab. Surah ini sangat kuat dalam menggambarkan kengerian Hari Kiamat. Jika Al-Qariah mendahului Al-Lahab, pesannya menjadi:
1. Tahap 1 (Al-Qariah): Peringatan umum tentang konsekuensi perbuatan buruk dan Dahsyatnya Hari Kiamat bagi seluruh umat manusia.
2. Tahap 2 (Al-Lahab): Mengaplikasikan prinsip Kiamat secara spesifik kepada Abu Lahab, menunjukkan bahwa bahkan paman Nabi pun tidak luput dari ancaman api yang telah diperingatkan secara umum.
Namun, dalam kebanyakan daftar yang lebih rinci, Al-Qariah berada di urutan sedikit lebih awal (sekitar urutan 30-an atau 40-an), yang berarti Al-Tin tetap lebih dekat secara kronologis, menandakan perpindahan tematik yang lebih halus.
Surah Al-Fil (surah ke-105) adalah surah yang secara historis relevan karena berbicara tentang peristiwa tahun kelahiran Nabi (Tahun Gajah). Karena Surah Al-Fil menceritakan mukjizat Allah dalam melindungi Ka'bah dari Abrahah, beberapa ulama melihatnya sebagai pengantar logis untuk dakwah Nabi di Makkah, menempatkannya sangat awal dalam wahyu.
Namun, dalam kronologi As-Suyuti, Al-Fil (Nuzul ke-76) justru mendahului Al-Tin (Nuzul ke-77). Jika ini benar, maka urutannya menjadi: Al-Fil -> Al-Tin -> Al-Lahab. Ini menciptakan narasi yang sangat kuat:
Mengingat varian ini, kita fokus pada Surah Al-Tin sebagai yang paling kuat dalam riwayat yang menempatkannya sebagai surah yang langsung mendahului Al-Lahab, tetapi kita mengakui Surah Al-Fil sebagai surah yang berada tepat di belakang Al-Tin.
Susunan surah di sekitar Al-Lahab menunjukkan pola strategi pewahyuan yang sangat terencana. Ini menunjukkan bagaimana Al-Qur'an secara bertahap membentuk akidah dan memberikan dukungan kepada Rasulullah ﷺ.
Periode wahyu ini sering dimulai dengan tema universal—penciptaan, janji hari akhir, dan kewajiban manusia (seperti dalam Al-Tin). Namun, ketika tantangan dakwah meningkat, wahyu beralih ke penghukuman yang spesifik dan historis, seperti dalam Al-Lahab.
Transisi ini memiliki fungsi ganda:
1. Validasi Kenabian: Dengan meramalkan nasib Abu Lahab—bahwa ia pasti akan masuk neraka—ketika Abu Lahab masih hidup dan memiliki kesempatan untuk berpura-pura masuk Islam, Surah Al-Lahab memberikan bukti kenabian yang tak terbantahkan. Jika Abu Lahab pernah berpura-pura beriman setelah surah ini turun, seluruh klaim Muhammad akan diragukan. Namun, ia tidak pernah melakukannya, menggenapi ramalan tersebut.
2. Pembersihan Lingkaran Dalam: Sebelum Islam dapat berkembang, harus ada pembersihan di lingkaran terdalam Nabi. Al-Lahab memastikan bahwa tidak ada kompromi dengan orang-orang terdekat yang menentang, sebuah pelajaran yang membedakan iman dari ikatan darah.
Mengapa Nabi ﷺ perlu mendengar tentang keindahan manusia dan kesempurnaan risalah (Al-Tin) sebelum menghadapi penolakan paling menyakitkan dari pamannya (Al-Lahab)?
Saat Nabi dihina di Bukit Safa, pukulan emosionalnya pasti sangat berat. Surah Al-Tin berfungsi sebagai afirmasi ilahi: Risalahmu valid, tempat-tempat suci menyaksikan kebenarannya, dan kamu membawa pesan untuk manusia yang diciptakan dalam bentuk terbaik. Dengan fondasi kebenaran ini, Nabi siap menerima tugas berat untuk mengutuk pamannya sendiri.
Konteks yang mendalam ini, yang melibatkan analisis linguistik dan kajian tematik, membantu kita memahami bukan hanya urutan wahyu secara numerik, tetapi juga alur dukungan spiritual yang Allah berikan kepada utusan-Nya dalam menghadapi badai perlawanan awal.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang hubungan kronologis antara Surah Al-Tin dan Al-Lahab, kita harus mencermati pola linguistik yang mendominasi periode Makkiyah ke-2 (periode setelah dakwah terbuka tetapi sebelum hijrah ke Habasyah).
Dalam Surah Al-Tin, kata kunci utamanya adalah Ahsan Taqwim (bentuk penciptaan terbaik) dan Asfal Safilin (serendah-rendahnya tempat kembali). Kontras ini menunjukkan bahwa kehormatan manusia dapat hilang akibat kekufuran. Abu Lahab (Al-Lahab) adalah personifikasi dari Asfal Safilin.
Para mufassir mencatat bahwa ini adalah pola yang berulang: Al-Qur'an sering kali memberikan gambaran umum tentang keadilan dan rahmat Allah, diikuti oleh contoh spesifik bagaimana keadilan itu diterapkan atau rahmat itu ditolak. Al-Tin adalah hukum umum; Al-Lahab adalah studi kasus yang sangat spesifik dan kontroversial.
Surah Al-Tin menggunakan fawasil (rima akhir ayat) yang lembut dan lebih terbuka, seperti "Taqwim," "Azim," dan "Ghairu Mamnun." Surah Al-Lahab, sebaliknya, menggunakan fawasil yang keras dan menusuk (Lahab, Kasab, Masad). Transisi dari ritme yang tenang dan reflektif di Al-Tin ke ritme yang eksplosif dan mengutuk di Al-Lahab mencerminkan peningkatan intensitas konflik yang dihadapi Nabi saat itu.
Linguistik murni mendukung kronologi yang berdekatan. Al-Qur'an tidak akan melompat dari narasi Madaniyah yang panjang ke surah Makkiyah yang pendek ini. Kedua surah tersebut, Al-Tin dan Al-Lahab, berbagi karakteristik arsitektur ayat Makkiyah awal yang menekankan kekuasaan dan keesaan Allah dengan cepat dan padat.
Kehadiran Surah Al-Tin tepat sebelum Surah Al-Lahab memberikan dampak teologis yang signifikan dalam membentuk pemahaman awal komunitas Muslim.
Jika Surah Al-Lahab adalah wahyu yang berdiri sendiri tanpa konteks pendahulu yang berbicara tentang martabat manusia, mungkin akan muncul pertanyaan mengapa Abu Lahab dihukum begitu keras. Al-Tin menjawab ini dengan menetapkan bahwa Allah tidak pernah menciptakan manusia dalam keadaan cacat spiritual.
Al-Tin menegaskan bahwa standar keadilan ilahi didasarkan pada kesempurnaan penciptaan manusia. Abu Lahab bukan dihukum karena ia kurang mampu memahami; ia dihukum karena ia, dengan sengaja, merendahkan "bentuk terbaik" yang telah Allah berikan padanya dengan memilih kekufuran dan permusuhan terhadap kebenaran yang jelas.
Di masyarakat Quraisy, nasab (garis keturunan) adalah segalanya. Abu Lahab memiliki nasab paling mulia, setara dengan Nabi Muhammad ﷺ. Surah Al-Lahab, yang didahului oleh penekanan universal Al-Tin, mengajarkan pelajaran fundamental:
Iman mengalahkan nasab. Kedekatan darah tidak akan menyelamatkan dari api neraka jika ada penolakan terhadap Tauhid. Ini adalah pemutus ikatan sosial Quraisy yang paling radikal, karena secara efektif membatalkan sistem perlindungan kesukuan bagi individu yang menolak Allah dan Rasul-Nya.
Surah Al-Tin menetapkan martabat universal manusia (semua manusia memiliki potensi). Surah Al-Lahab menetapkan bahwa bahkan hubungan darah yang paling dekat pun tidak dapat menyelamatkan jika potensi universal itu disia-siakan. Kedua surah ini bekerja sama untuk membangun visi Islam yang universal dan tidak kompromi sejak awal dakwah terbuka.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, Surah Al-Fil (Gajah) seringkali disebutkan dalam kelompok kronologis yang sangat berdekatan dengan Al-Tin dan Al-Lahab. Analisis posisi Al-Fil (Nuzul ke-76) sangat penting untuk memahami mengapa Al-Tin (Nuzul ke-77) menjadi jembatan langsung menuju Al-Lahab (Nuzul ke-78).
Surah Al-Fil menceritakan tentang kehancuran pasukan Abrahah yang menyerang Ka'bah. Peristiwa ini terjadi pada tahun kelahiran Nabi ﷺ dan merupakan fakta sejarah yang sangat diyakini oleh kaum Quraisy.
Pesan Al-Fil: Allah adalah Pelindung Ka'bah dan tidak akan membiarkan musuh dari luar menghancurkan tempat suci tersebut.
Pesan ini ditujukan kepada Quraisy: Jika Allah melindungi Ka'bah dari kekuatan eksternal yang besar, Dia pasti mampu melindungi Rasul-Nya dan menghukum musuh internal yang jauh lebih kecil.
Surah Al-Tin kemudian bergeser dari perlindungan eksternal (Ka'bah) ke kesempurnaan internal (manusia). Ini adalah transisi dari bukti historis yang besar menuju bukti fitrah yang ada pada setiap diri manusia.
Al-Lahab kemudian mengaplikasikan konsep hukuman ini pada musuh yang paling dekat dan paling berbahaya. Rangkaian ini (Al-Fil -> Al-Tin -> Al-Lahab) merupakan narasi wahyu yang sempurna di masa krisis:
Dengan demikian, Surah Al-Tin berfungsi sebagai landasan filosofis yang penting antara pengingat sejarah yang besar (Al-Fil) dan penghukuman individu yang keras (Al-Lahab).
Kajian kronologi wahyu bukanlah hanya tentang urutan angka, tetapi tentang memahami konsistensi pesan Ilahi di tengah perubahan situasi dakwah. Para ulama, dalam menyusun daftar kronologi, mengutamakan riwayat yang paling kredibel, seperti yang dikumpulkan oleh Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dan lainnya, yang kemudian dikonsolidasikan oleh As-Suyuti.
Daftar yang paling sering dikutip menunjukkan bahwa setelah periode surah-surah awal yang sangat pendek (seperti Al-Alaq, Al-Muzammil, Al-Mudatstsir), wahyu bergerak ke surah-surah yang lebih panjang yang mengandung sumpah dan argumen (seperti Al-Tin, Al-Adiyat, Al-Qariah).
Sangat penting untuk dicatat bahwa Al-Lahab dianggap sebagai surah yang diwahyukan segera setelah Nabi mulai berdakwah secara terbuka. Ini berarti penempatan Al-Tin, sebuah surah yang menantang para penolak tauhid dengan argumen penciptaan, adalah logis karena ia harus mendahului konfrontasi pribadi yang terjadi di Bukit Safa.
Penentuan Al-Lahab sangat dipengaruhi oleh peristiwa Safa yang jelas. Karena Al-Lahab adalah respons langsung dan cepat terhadap ucapan Abu Lahab, surah yang mendahuluinya haruslah surah yang turun sesaat sebelum peristiwa Safa, yaitu surah yang menguatkan Nabi sebelum menghadapi penolakan terbuka. Al-Tin, dengan penegasannya tentang kenabian universal dan kesempurnaan manusia, memenuhi peran penguatan ini secara sempurna.
Seandainya Surah Al-Lahab turun setelah surah-surah yang jauh lebih tenang atau surah-surah yang memiliki gaya Madaniyah, konteks historisnya akan kacau. Konsistensi kronologi harus selaras dengan intensitas dan drama sejarah Sirah Nabawiyah.
Setelah meninjau berbagai sumber kronologi dan menganalisis konteks tematik, dapat disimpulkan bahwa surah yang paling kuat diyakini turun tepat sebelum Surah Al-Lahab adalah Surah Al-Tin (Surah ke-95). Secara kronologis, Al-Tin menempati urutan ke-77, mendahului Al-Lahab yang menempati urutan ke-78.
Hubungan antara kedua surah ini adalah fundamental: Al-Tin meletakkan dasar tentang martabat dan potensi spiritual yang Allah tanamkan dalam diri manusia, sementara Al-Lahab menunjukkan konsekuensi tragis ketika potensi spiritual tersebut, bahkan di dalam lingkaran keluarga Nabi, ditolak dan disalahgunakan demi kekufuran dan permusuhan.
Rangkaian wahyu di periode ini—mulai dari bukti sejarah (Al-Fil), penegasan martabat ilahi (Al-Tin), hingga penghukuman pribadi yang tajam (Al-Lahab)—membentuk narasi yang kuat bagi umat Islam awal. Ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang universal, yang menuntut iman sejati di atas segalanya, dan yang memberikan keadilan bahkan terhadap penentang yang paling dekat.
Pemahaman mengenai kronologi ini memperkaya penghayatan kita terhadap Al-Qur'an. Kita melihat bukan hanya kumpulan ayat, tetapi sebuah manual yang diwahyukan secara bertahap, memberikan bimbingan dan kekuatan kepada Nabi Muhammad ﷺ seiring dengan meningkatnya tantangan dan konflik dalam menyampaikan risalah tauhid kepada seluruh umat manusia.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa setiap ayat Al-Qur'an terikat pada waktu dan tempatnya, dan pemahaman yang tepat tentang Nuzulul Qur'an adalah kunci untuk membuka hikmah di balik susunan mushaf yang kita cintai.
***
Kajian modern dan kontemporer tentang urutan pewahyuan juga mendukung penempatan Al-Tin sebelum Al-Lahab, dilihat dari perspektif teori koherensi (nazm) dalam Al-Qur'an. Koherensi tematik ini penting karena menunjukkan bagaimana unit-unit surah yang pendek dirangkai untuk membangun argumen yang utuh sebelum menghadapi eskalasi konflik.
Ulama kontemporer sering melihat Al-Tin sebagai bagian dari kelompok surah yang bertema penciptaan dan pertanggungjawaban (seringkali mencakup Al-Adiyat, Al-Qariah). Dalam kelompok ini, Al-Tin memegang peran unik karena ia secara eksplisit menggunakan sumpah demi lokasi-lokasi geografis yang penting bagi kenabian.
Koherensi tematiknya adalah: Mengapa manusia harus bertanggung jawab? Karena ia diciptakan dalam bentuk yang sempurna (Al-Tin). Siapa yang tidak bertanggung jawab? Mereka yang menolak kebenaran, seperti Abu Lahab (Al-Lahab).
Transisi ini memastikan bahwa pembaca memahami dasar moralitas Ilahi sebelum menerima penghukuman yang spesifik, memelihara prinsip keadilan Allah yang mendahului hukuman.
Surah Al-Lahab tidak hanya menyebut Abu Lahab tetapi juga istrinya, Ummu Jamil, yang digambarkan sebagai Hammaalatul Hathab (pembawa kayu bakar). Riwayat mengatakan bahwa ia sering menyebarkan duri dan kotoran di jalan yang dilalui Nabi ﷺ.
Fakta bahwa Surah Al-Lahab mencakup ancaman terhadap pasangan ini menunjukkan bahwa surah ini diturunkan pada titik di mana penolakan bukan lagi sekadar lisan (seperti di Safa) tetapi sudah melibatkan tindakan permusuhan fisik yang disengaja. Ini memperkuat urgensi wahyu dan dukungan Ilahi yang langsung.
Penempatan Al-Tin yang menekankan kebaikan dan keindahan, kemudian diikuti oleh Al-Lahab yang menggambarkan kejahatan terorganisir dari Abu Lahab dan istrinya, memberikan kontras yang dramatis antara dua pilihan hidup: kesempurnaan atau kebobrokan.
Untuk melengkapi gambaran kronologi di sekitar Al-Lahab, penting untuk membahas Surah Al-Adiyat (Kuda yang Berlari Kencang), yang menurut beberapa ulama juga terletak di urutan yang sangat dekat dengan Al-Tin.
Surah Al-Adiyat (surah ke-100) berada di urutan ke-14 dalam mushaf, tetapi kronologi wahyu menempatkannya jauh lebih lanjut, seringkali sekitar urutan ke-30 hingga ke-40. Namun, ada beberapa riwayat yang menempatkannya lebih dekat dengan Al-Tin, terutama karena gaya bahasa dan sumpah-sumpah pendeknya.
Al-Adiyat fokus pada sifat manusia yang serakah dan tidak bersyukur, yang kemudian akan menghadapi hari perhitungan. Temanya sangat dekat dengan Al-Tin (kesempurnaan vs. kerendahan) dan Al-Lahab (kekayaan yang tidak berguna).
Rangkaian Surah Makkiyah yang pendek ini (Al-Fil, Al-Tin, Al-Lahab, dan juga Al-Adiyat) secara kolektif berupaya mencapai tiga tujuan utama sebelum periode hijrah:
Surah Al-Tin memainkan peran vital sebagai jembatan antara argumentasi umum dan respons spesifik. Itu adalah kesimpulan teologis sebelum memasuki konfrontasi yang lebih pribadi dan intens.
Konteks Surah Al-Lahab yang didahului oleh penegasan universalitas risalah (Al-Tin) memiliki konsekuensi yang jauh melampaui sejarah Makkah.
Sebagaimana dicatat oleh para teolog, Surah Al-Lahab adalah mukjizat profetik. Ayat yang menyatakan bahwa Abu Lahab akan binasa dalam api neraka (سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) adalah ramalan pasti tentang akhir hidupnya. Selama bertahun-tahun setelah wahyu ini, Abu Lahab masih hidup. Ia bisa saja membatalkan ramalan Al-Qur'an dengan mengucapkan syahadat (bahkan jika munafik), tetapi ia tidak pernah melakukannya.
Mengapa Allah menempatkan ramalan sejelas ini pada periode Makkiyah yang begitu awal, tepat setelah Nabi dikuatkan dengan Surah Al-Tin? Jawabannya adalah: untuk membuktikan kebenaran mutlak kenabian pada saat keraguan dan penolakan mencapai puncaknya. Al-Tin memastikan Nabi memiliki fondasi moral; Al-Lahab memastikan Nabi memiliki bukti profetik yang tak terbantahkan.
Dalam budaya Quraisy, perlindungan suku (proteksi Abu Lahab sebagai paman) adalah kekuatan utama Nabi. Ketika Al-Lahab turun, ia secara efektif mencabut perlindungan tersebut. Nabi ﷺ harus bergantung sepenuhnya pada perlindungan Ilahi, sebuah tema yang telah diperkenalkan oleh Surah Al-Fil (perlindungan Ka'bah dari Abrahah) dan diperkuat oleh Surah Al-Tin (martabat risalah). Perpindahan dari perlindungan fisik suku ke perlindungan teologis Ilahi adalah inti dari fase dakwah ini.
Surah Al-Tin mengajarkan bahwa nilai manusia tidak terletak pada nasabnya, tetapi pada imannya (اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحٰتِ). Ini menjadi premis logis yang membenarkan penghukuman terhadap tokoh nasab tertinggi seperti Abu Lahab.
Penggunaan kata kunci dalam kedua surah ini secara kronologis menunjukkan evolusi dalam penggunaan leksikon untuk tujuan persuasif dan ancaman.
Kata lahab (nyala api) dalam Surah Al-Lahab adalah sebuah permainan kata (pun) yang brilian. Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, namun ia dijuluki 'Abu Lahab' (Bapak Api) karena wajahnya yang berseri-seri. Al-Qur'an menggunakan nama julukannya ini untuk mengancamnya dengan api neraka yang sesungguhnya (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ), merampas konotasi positif dari julukannya dan menggantinya dengan hukuman abadi. Ini adalah balasan linguistik yang sempurna atas penghinaan yang ia lontarkan di Bukit Safa.
Al-Tin menggunakan kata-kata yang memancarkan keagungan penciptaan: Taqwim (bentuk), Sinai (tempat suci), Balad Amin (negeri aman), dan Ajrun Mamnun (pahala yang tidak terputus). Sebaliknya, Al-Lahab menggunakan kata-kata yang menunjukkan kehampaan dan kekalahan: Tabbat (celaka/binasa), Ma Aghna (tidak berguna), dan Masad (tali dari serat kasar).
Transisi linguistik dari kemegahan ke kehinaan ini menegaskan bahwa wahyu yang turun setelah Al-Tin haruslah Al-Lahab, karena surah tersebut menunjukkan titik terendah kejatuhan moral, tepat setelah Surah Al-Tin menetapkan titik tertinggi potensi moral.
Meskipun Surah Al-Insyirah (Melapangkan) turun sedikit lebih awal dalam kronologi, hubungannya dengan Al-Lahab juga relevan untuk konteks psikologis Nabi ﷺ.
Surah Al-Insyirah (Nuzul ke-12) menekankan bahwa setiap kesulitan pasti disertai kemudahan (فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا). Ini adalah jaminan awal. Namun, ketika Nabi mencapai fase Safa, jaminan abstrak tidak lagi cukup. Nabi memerlukan konfirmasi yang konkrit dan spesifik.
Penguatan umum (Al-Insyirah) berlanjut ke penguatan moral (Al-Tin) yang berujung pada penghukuman musuh spesifik (Al-Lahab). Ini menunjukkan kemajuan wahyu dari dukungan psikologis umum ke intervensi teologis yang keras. Surah Al-Tin memastikan Nabi mengingat kesempurnaan dan tujuan risalah sebelum Allah memberikan intervensi spesifik melawan musuhnya.
***
Dengan demikian, Surah Al-Tin adalah surah yang menjadi fondasi moral dan teologis yang mempersiapkan Nabi dan komunitas Muslim awal untuk menerima salah satu wahyu paling kontroversial dan provokatif, Surah Al-Lahab, yang menandai fase baru dalam perjuangan dakwah.