Pendahuluan: Identitas dan Konteks Surah Al-Lahab
Surah Al-Lahab (Gejolak Api), yang juga dikenal dengan nama Surah Al-Masad (Tali Sabut), adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, terdiri dari hanya lima ayat. Meskipun ringkas, surah ini membawa muatan makna teologis, historis, dan spiritual yang luar biasa padat. Surah ini diturunkan di Makkah, pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ, menjadikannya salah satu wahyu yang paling awal yang berhadapan langsung dengan oposisi keras dari keluarga terdekat Nabi sendiri.
Posisi Historis dan Nama Surah
Surah ini merupakan surah ke-111 dalam susunan mushaf Utsmani. Kronologi turunnya (Asbabun Nuzul) menempatkannya pada momen krusial ketika dakwah mulai diumumkan secara terbuka. Nama surah ini secara langsung merujuk pada salah satu tokoh utama yang dikutuk di dalamnya, yaitu Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, yang nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Nama 'Al-Lahab' sendiri memiliki kaitan erat dengan takdir yang menantinya di akhirat: 'Api yang bergejolak'.
Keunikan surah ini terletak pada sifatnya yang prediktif dan definitif. Ia mengumumkan kehancuran duniawi dan hukuman abadi bagi Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, ketika mereka masih hidup. Kenyataan bahwa Abu Lahab meninggal dunia dalam kekafiran tanpa pernah bisa bersaksi masuk Islam—karena itu akan membuktikan Al-Qur'an salah—menjadi salah satu bukti kenabian Muhammad ﷺ yang paling kuat dan langsung.
Mengapa Surah Ini Penting?
Surah Al-Lahab tidak hanya sekadar kisah permusuhan keluarga; ia adalah prinsip fundamental dalam Islam tentang konsekuensi mutlak dari permusuhan terhadap kebenaran yang dibawa oleh Allah SWT. Surah ini mengajarkan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari murka Ilahi jika ia memilih jalan kesesatan dan menjadi penghalang dakwah. Ini adalah pemisahan total antara iman dan kekafiran, bahkan di dalam lingkaran keluarga terdekat Nabi.
Ilustrasi Simbol Api Neraka (Lahab).
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Surah)
Kisah turunnya Surah Al-Lahab terjadi pada momen kunci dalam sejarah Islam, yaitu ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memulai dakwah secara terbuka kepada kaumnya, berdasarkan firman-Nya dalam Surah Asy-Syu'ara ayat 214: “Wa andzir ‘asyiratakal aqrabin” (Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat).
Peristiwa di Bukit Safa
Nabi Muhammad ﷺ, menanggapi perintah ini, naik ke Bukit Safa yang terletak di dekat Ka'bah, tempat yang biasa digunakan untuk pengumuman penting di Makkah. Beliau memanggil suku-suku Quraisy secara umum, dan khususnya kaum Bani Hasyim. Setelah orang-orang berkumpul, Nabi ﷺ bertanya: "Jika aku memberitahu kalian bahwa ada sepasukan berkuda di balik bukit ini yang siap menyerang kalian, apakah kalian akan percaya kepadaku?" Mereka semua menjawab serempak: "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berdusta."
Kemudian Nabi ﷺ bersabda: "Maka sesungguhnya aku memperingatkan kalian tentang azab yang pedih."
Reaksi Abu Lahab
Di antara kerumunan itu adalah pamannya sendiri, Abu Lahab. Reaksi Abu Lahab sangat kejam dan menghina. Ia segera menyela Nabi ﷺ dengan makian dan kutukan. Dengan tangan teracung, ia berkata: "Tabbal laka! A li hadza jama'tana?" (Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?).
Abu Lahab tidak hanya menolak ajakan Nabi, tetapi juga melontarkan kutukan yang mendahului kutukan Ilahi. Karena perbuatan kurang ajar dan penghinaan publik inilah, Surah Al-Lahab segera diturunkan sebagai respons langsung dan penghukuman atas kekafiran dan permusuhan Abu Lahab terhadap pesan tauhid.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa setelah kutukan itu diucapkan, Jibril turun membawa Surah Al-Lahab, membalikkan kutukan Abu Lahab kepada dirinya sendiri. Surah ini menjadi deklarasi permanen bahwa dukungan keluarga tidaklah penting di hadapan kebenaran Ilahi, dan bahwa penentang akan binasa.
Tafsir Mendalam Ayat Per Ayat
Untuk mencapai kedalaman makna yang komprehensif, kita akan membedah setiap ayat, melihat perspektif linguistik, dan meninjau pandangan para mufassirin klasik dan kontemporer seperti Imam At-Tabari, Ibnu Katsir, dan Sayyid Qutb.
Ayat 1: Kehancuran Tangan Abu Lahab
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (Al-Lahab: 1)
Analisis Kata Kunci: "Tabbat" dan "Yada"
1. Tabbat (تَبَّتْ): Binasalah/Celakalah
Kata ini memiliki akar makna kehancuran, kerugian, dan kegagalan total. Dalam konteks bahasa Arab, ia bukan sekadar kutukan verbal, melainkan deklarasi Ilahi tentang kerugian yang pasti dan tidak dapat ditarik kembali. Ketika Allah menggunakan kata ini, itu berarti kerugian yang menimpa tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual dan abadi. Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa *tabab* adalah kerugian yang tidak bisa diperbaiki, kehancuran mutlak.
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini berbentuk doa/kutukan di masa lalu (*past tense*), yang dalam retorika Arab menunjukkan kepastian mutlak. Kehancuran itu sudah ditetapkan.
2. Yada Abi Lahab (يَدَا أَبِي لَهَبٍ): Kedua Tangan Abu Lahab
Mengapa Allah menyebut 'kedua tangan'? Ada dua penafsiran utama:
- Makna Literal (Peristiwa Bukit Safa): Ini merujuk langsung pada tangan yang diacungkan Abu Lahab saat mengutuk Nabi ﷺ. Ini adalah hukuman yang secara fisik terkait dengan perbuatannya.
- Makna Figuratif (Simbol Kekuatan dan Usaha): Tangan sering kali melambangkan kekuatan, usaha, kerja keras, dan cara seseorang mencari rezeki dan melakukan perbuatan. Dalam konteks ini, 'kehancuran kedua tangan' berarti kehancuran total atas semua usaha, harta, rencana, dan perbuatan yang ia lakukan untuk menentang Islam. Seluruh hidupnya, seluruh aktivitasnya, dinyatakan sia-sia dan celaka.
3. Wa Tabb (وَتَبَّ): Dan Sesungguhnya Dia Telah Binasalah
Pengulangan kata *tabb* pada akhir ayat memperkuat makna ayat pertama. Ayat pertama adalah kutukan terhadap usaha (tangannya); ayat kedua adalah penegasan bahwa dirinya sendiri, jiwanya, eksistensinya, telah binasa. Ini adalah penutup yang definitif: tidak hanya perbuatannya yang celaka, tetapi dia sendiri adalah makhluk yang celaka. Ibnu Katsir menekankan bahwa ini adalah nasib akhir baginya di dunia dan di akhirat.
Penafsiran para ulama mengenai Ayat 1 sering kali mengaitkannya dengan psikologi permusuhan. Abu Lahab adalah saudara kandung ayah Nabi, Abdullah. Ia seharusnya menjadi pelindung, sesuai tradisi Arab. Namun, ia menjadi musuh terburuk. Pilihan kata "Tabbat" mencerminkan kemurkaan Ilahi yang sangat spesifik terhadap pengkhianatan dalam ikatan keluarga dan permusuhan yang disengaja terhadap utusan-Nya. Kehancuran yang diumumkan di sini bersifat menyeluruh, mencakup kehormatan (di dunia) dan kekal (di akhirat). Dalam konteks sejarah, Abu Lahab memang meninggal dalam keadaan hina akibat penyakit kulit menular yang membuat orang-orang menjauhinya, sehingga ia tidak dimakamkan secara layak, menegaskan kehancuran duniawinya sebelum kehancuran akhirat.
Ayat 2: Sia-sianya Harta dan Kedudukan
“Tidaklah bermanfaat baginya hartanya dan apa yang ia usahakan (peroleh).” (Al-Lahab: 2)
Analisis Kata Kunci: "Maluhu" dan "Ma Kasab"
1. Maluhu (مَالُهُ): Hartanya
Abu Lahab dikenal sebagai salah satu orang kaya di Makkah. Kekayaan di Quraisy pada masa itu seringkali dianggap sebagai jaminan keselamatan, kehormatan, dan alat untuk memengaruhi publik. Ayat ini menghancurkan mitos bahwa kekayaan dapat menjadi perisai dari hukuman Ilahi. Apapun yang ia miliki—emas, perak, unta, perniagaan—semuanya dinyatakan tidak berguna dalam menghadapi takdir yang telah ditetapkan Allah.
2. Wa Ma Kasab (وَمَا كَسَبَ): Dan Apa yang Ia Usahakan (Peroleh)
Mufassirin memiliki dua pandangan utama mengenai makna dari "ma kasab" (apa yang ia usahakan/peroleh):
- Penafsiran Umum (Usaha): Segala usaha, pekerjaan, dan kekuasaan yang ia raih, termasuk kedudukannya di masyarakat Makkah, dinyatakan tidak berguna.
- Penafsiran Khusus (Anak-anak): Banyak ulama, termasuk Ibnu Mas'ud dan Aisyah, berpendapat bahwa "ma kasab" merujuk pada anak-anak Abu Lahab. Dalam budaya Arab, anak laki-laki dianggap sebagai 'kasab' (hasil usaha) terbaik seseorang, sebagai penerus nama dan pelindung. Tafsir ini sangat kuat karena salah satu anak Abu Lahab, Utbah, dikenal sangat membenci Nabi ﷺ, namun anak-anak lain, seperti Mu'attab dan Utbah, akhirnya masuk Islam setelah Fathu Makkah (meskipun pandangan ini diperdebatkan terkait nasib Abu Lahab). Namun, pada saat surah ini turun, anak-anaknya tidak mampu melindunginya dari hukuman Ilahi.
Poin utama dari ayat ini adalah bahwa seluruh sandaran duniawi—kekayaan materi dan kekuatan sosial (harta dan anak/pengikut)—adalah sia-sia ketika seseorang menolak hidayah. Kekayaan justru menjadi beban di akhirat jika diperoleh dan digunakan untuk menentang kebenaran.
Kajian linguistik pada "Maa aghnaa" (tidaklah bermanfaat) menunjukkan penolakan total. Ini adalah penolakan terhadap keyakinan Jahiliyyah bahwa kekayaan adalah tanda restu dewa atau keberuntungan sejati. Dalam perspektif Sayyid Qutb dalam *Fi Zilalil Qur'an*, ayat ini berfungsi sebagai peringatan universal bagi setiap orang kaya atau berkuasa yang menggunakan posisinya untuk menindas kebenaran. Harta yang dikumpulkan dengan rakus dan digunakan untuk menentang agama tidak hanya akan hilang, tetapi juga akan menjadi api yang membakar pemiliknya.
Pentingnya Surah Al-Lahab dalam konteks kekuasaan pada masa itu tidak dapat diremehkan. Dengan mengutuk Abu Lahab, yang notabene adalah seorang bangsawan Quraisy, Al-Qur'an menyampaikan pesan bahwa keadilan Allah melampaui hirarki suku dan status sosial. Tidak ada yang kebal dari konsekuensi perbuatan mereka.
Ayat 3: Prediksi Api Neraka yang Pasti
“Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Lahab).” (Al-Lahab: 3)
Analisis Kata Kunci: "Sayashla" dan "Lahab"
1. Sayashla (سَيَصْلَىٰ): Kelak Dia Akan Masuk
Penggunaan huruf *Sin* (سَ) di awal kata kerja menunjukkan masa depan yang sangat dekat dan pasti. Ini bukan harapan atau kemungkinan; ini adalah kepastian yang akan terjadi. Prediksi ini sangat luar biasa karena Abu Lahab masih hidup ketika ayat ini diturunkan. Surah ini secara efektif memproklamasikan bahwa Abu Lahab dijamin akan mati dalam kekafiran dan masuk Neraka.
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa kepastian ini menantang Abu Lahab. Seandainya dia hanya pura-pura masuk Islam setelah surah ini turun, dia bisa membuktikan Al-Qur'an salah. Namun, dia tidak pernah melakukannya, membenarkan ramalan Al-Qur'an dan menegaskan bahwa hidayah telah dicabut darinya secara total karena keangkuhan dan permusuhannya.
2. Naaran Dzaata Lahabin (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ): Api yang Memiliki Gejolak
Ayat ini secara retoris (balaghah) menghubungkan nasib Abu Lahab dengan namanya sendiri. Abu Lahab (Ayah Api/Gejolak) akan masuk Neraka yang memiliki *Lahab* (gejolak api). Ini adalah permainan kata yang sangat kuat yang menyatakan bahwa nasibnya selaras dengan identitasnya sebagai musuh Islam. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa api neraka yang akan membakar Abu Lahab adalah jenis api yang paling kuat dan bergejolak, yang sesuai dengan intensitas permusuhannya di dunia.
Pilihan kata ini juga memberikan gambaran visual yang mengerikan tentang sifat api yang menantinya. Ini bukan bara yang redup, melainkan nyala api yang terus-menerus dan dahsyat.
Konteks teologis dari Ayat 3 adalah penegasan terhadap keadilan Ilahi. Bagi orang-orang yang menentang kebenaran dengan segala daya upaya dan kekuasaan mereka, hukuman mereka harus setara dengan kejahatan yang mereka lakukan. Surah ini, dengan pendeklarasian hukuman neraka, memberikan penghiburan yang sangat besar bagi para pengikut Nabi yang sedang disiksa dan diintimidasi oleh Abu Lahab dan kaum musyrikin Makkah. Mereka melihat bahwa meskipun musuh mereka berkuasa di dunia, kehancuran kekal menanti mereka.
Ayat 4: Peran Istri dalam Kejahatan
“Dan (demikian pula) istrinya, pembawa kayu bakar.” (Al-Lahab: 4)
Analisis Kata Kunci: "Imra'atuhu" dan "Hammalatal Hatab"
1. Wamra’atuhu (وَامْرَأَتُهُ): Dan Istrinya
Istri Abu Lahab adalah Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan, dan dikenal dengan julukan Ummu Jamil. Ia juga seorang bangsawan Quraisy. Ayat ini menegaskan bahwa hukuman tidak hanya berlaku bagi Abu Lahab, tetapi juga pasangannya, karena ia adalah mitra aktif dalam permusuhan. Dalam Islam, tanggung jawab individu ditekankan, dan Ummu Jamil bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.
2. Hammalatal Hatab (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ): Pembawa Kayu Bakar
Ini adalah metafora yang paling kaya makna dalam surah ini. Ada dua penafsiran utama tentang makna 'pembawa kayu bakar':
- Makna Literal (Siksaan di Akhirat): Di Hari Kiamat, ia akan benar-benar membawa kayu bakar neraka di punggungnya, yang akan digunakan untuk membakar suaminya dan dirinya sendiri, sebagai bagian dari siksaan.
- Makna Figuratif (Penyebar Fitnah): Ini adalah penafsiran yang paling umum di kalangan mufassirin. Kayu bakar melambangkan *fitnah, gosip, dan hasutan*. Ummu Jamil dikenal sering melakukan dua hal:
- Menyebar fitnah keji tentang Nabi Muhammad ﷺ di antara suku-suku Makkah.
- Meletakkan duri, kotoran, dan ranting-ranting berduri di jalan yang biasa dilalui Nabi ﷺ pada malam hari untuk menyakitinya.
Penyebutan dirinya sebagai 'pembawa kayu bakar' bukan hanya deskripsi profesi, tetapi deskripsi kejahatan moralnya. Karena dia menghabiskan hidupnya untuk menyalakan api fitnah di dunia, maka di akhirat dia akan dihukum dengan membawa bahan bakar api yang sesungguhnya.
Analisis karakter Ummu Jamil memperkuat pesan bahwa permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya sering kali bersifat sinergis. Dia menggunakan status sosial dan kekayaan keluarganya untuk merendahkan Nabi secara personal. Surah ini memberikan pelajaran penting mengenai bahaya lidah dan gosip. Lidah yang digunakan untuk memecah belah komunitas dan menjelekkan para nabi memiliki konsekuensi yang sama seriusnya dengan kekerasan fisik. Oleh karena itu, hukumannya setara dengan suaminya, karena dia adalah partner in crime.
Tafsir linguistik modern menyoroti bagaimana istilah ini merendahkan statusnya. Seorang wanita bangsawan Makkah tidak pernah membawa kayu bakar. Dengan menggunakan istilah ini, Al-Qur'an secara puitis merampas kehormatan duniawinya dan menyamakannya dengan wanita pekerja kasar yang hina—sebuah hukuman simbolis yang menyakitkan bagi seorang elit Quraisy.
Ayat 5: Tali Kekang Siksa
“Di lehernya ada tali dari sabut.” (Al-Lahab: 5)
Analisis Kata Kunci: "Jiidiha" dan "Masad"
1. Fi Jiidiha (فِي جِيدِهَا): Di Lehernya
Kata *jiid* merujuk pada leher, seringkali digunakan untuk leher yang dihiasi dengan perhiasan mahal. Ini kontras tajam dengan apa yang akan dikenakan Ummu Jamil di lehernya di akhirat.
2. Hablum Mim Masad (حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ): Tali dari Sabut (Serabut Pohon Kurma)
Masad adalah tali yang dibuat dari serabut pohon kurma atau serabut pohon kasar lainnya. Tali ini kasar, berat, dan sering digunakan untuk mengikat hewan atau membawa beban berat. Tafsir ayat ini memiliki dimensi duniawi dan akhirat:
- Siksaan Akhirat: Tali *masad* ini akan menjadi rantai yang berat dan kasar di lehernya di Neraka, menyeretnya menuju api, atau digunakan untuk mengikat kayu bakar (sesuai ayat 4). Tali ini terbuat dari bahan paling keras dan kasar yang dapat menimbulkan rasa sakit luar biasa.
- Konteks Duniawi (Sindirian): Sebelum Islam, Ummu Jamil sering memakai kalung yang sangat mahal. Dikatakan bahwa ia pernah bersumpah akan menjual kalung emasnya untuk membiayai upaya menentang Nabi ﷺ. Ayat ini menyindir bahwa kalung kemewahan duniawinya akan diganti dengan tali kasar dari sabut, simbol kehinaan dan kemelaratan, sebagai hukuman yang setimpal.
Penggunaan tali sabut menegaskan kehinaan dan kerugian totalnya. Ia yang terbiasa dengan kemewahan dan sutra akan diikat dengan benda yang paling kasar dan murah. Ini adalah penutup surah yang definitif, memberikan gambaran visual yang jelas tentang hukuman fisik dan kehinaan status yang menimpa dirinya dan suaminya.
Tafsir Ayat 5 adalah klimaks dari keseluruhan surah. Keterkaitan antara Ayat 4 dan 5 sangat kuat; dia membawa beban (kayu bakar) dengan tali (Masad) di lehernya. Hal ini menunjukkan pekerjaan yang merendahkan dan hukuman yang memalukan di akhirat. Al-Baidawi menafsirkan bahwa tali tersebut adalah rantai api neraka yang dibuat menyerupai tali sabut yang kasar dan menyakitkan, dan ia akan diseret ke dalam jurang neraka karena perbuatannya yang menghasut.
Secara retoris, Surah Al-Lahab adalah masterclass dalam kesimpulan yang tegas. Dalam lima ayat, Al-Qur'an menggambarkan latar belakang historis, penyebab kutukan, hukuman duniawi, hukuman spiritual, dan hukuman fisik di akhirat, bagi dua individu yang paling vokal menentang Nabi ﷺ, menjadikannya peringatan abadi bagi semua yang berniat jahat terhadap kebenaran.
Ilustrasi Tali Belenggu di Leher (Hablum mim Masad).
Surah Al-Lahab sebagai Bukti Kenabian (Ijaz)
Salah satu aspek paling menakjubkan dari Surah Al-Lahab adalah perannya sebagai mukjizat linguistik dan prediktif. Surah ini bukanlah sekadar cerita yang diceritakan setelah peristiwa terjadi, melainkan ramalan yang diturunkan di tengah-tengah konflik.
Tantangan yang Tidak Terbantahkan
Ayat 3, yang menyatakan bahwa Abu Lahab pasti akan masuk api neraka, secara implisit menjamin bahwa dia tidak akan pernah masuk Islam. Selama sisa hidupnya (beberapa tahun setelah surah ini turun), Abu Lahab memiliki peluang emas untuk menyanggah klaim Al-Qur'an. Jika saja dia bersyahadat, bahkan secara munafik, klaim kenabian Muhammad ﷺ akan diragukan di mata banyak orang.
Namun, Abu Lahab tidak hanya menolak Islam; dia terus melanjutkan permusuhannya dan akhirnya meninggal dunia dalam kondisi hina dan kafir total sebelum Perang Badar. Tidak ada seorang pun yang bisa memaksanya untuk tetap kafir. Hanya Takdir Ilahi yang dapat memastikan bahwa ia tidak akan pernah menerima hidayah, sehingga ramalan Al-Qur'an terbukti mutlak kebenarannya. Ini adalah 'Ijaz' (kemukjizatan) yang sangat konkret dan nyata, disaksikan oleh seluruh penduduk Makkah.
Kekuatan Definisi dan Retorika
Dalam ilmu balaghah (retorika), surah ini mencapai tingkat kesempurnaan:
- Pengulangan untuk Penegasan: Penggunaan *Tabbat* dan *Tabb* menegaskan kepastian total kehancuran.
- Keseimbangan Antar Hukuman: Ayat-ayat yang mengecam Abu Lahab (harta dan diri) diseimbangkan dengan ayat-ayat yang mengecam Ummu Jamil (kayu bakar dan tali), menunjukkan keadilan sempurna dalam penghukuman pasangan yang bersekutu dalam kejahatan.
- Keselarasan Nama dan Nasib: Keterkaitan antara nama 'Abu Lahab' dan 'Naaran Dzaata Lahab' adalah gaya sastra yang luar biasa, menyelaraskan identitas seseorang dengan takdir kekalnya.
Ini menunjukkan bahwa Surah Al-Lahab tidak hanya berfungsi sebagai peringatan spiritual, tetapi juga sebagai bukti otentisitas Al-Qur'an sebagai Kalamullah.
Pelajaran Abadi dan Hikmah Spiritual
Meskipun Surah Al-Lahab merujuk pada individu spesifik yang hidup di abad ke-7, ajarannya bersifat universal dan relevan sepanjang masa. Surah ini memberikan beberapa pelajaran fundamental dalam akidah dan etika Islam.
1. Kegagalan Ikatan Darah Melawan Kekafiran
Pelajaran terpenting adalah bahwa hubungan keluarga, kekerabatan, atau keturunan, tidak akan menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika mereka memilih kekafiran. Nabi Nuh as. tidak dapat menyelamatkan putranya, dan Nabi Ibrahim as. tidak dapat menyelamatkan ayahnya. Surah Al-Lahab berfungsi sebagai pengingat yang menyakitkan bagi Nabi Muhammad ﷺ sendiri: bahwa pamannya, yang seharusnya menjadi pendukungnya, akan binasa karena menolak tauhid.
Ini mengajarkan bahwa loyalitas utama seorang Muslim adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, melampaui ikatan suku atau darah. Di hadapan kebenaran, tidak ada kompromi dengan kebatilan.
2. Harta dan Kekuasaan Tidak Menjamin Keselamatan
Ayat kedua adalah peringatan keras terhadap materialisme dan penyalahgunaan kekuasaan. Kekayaan dan status sosial, yang di mata Jahiliyyah dianggap sebagai tanda kehormatan dan jaminan, dinyatakan tidak berdaya melawan azab Ilahi. Orang-orang beriman diajarkan untuk tidak gentar atau iri terhadap kekayaan para penentang kebenaran, karena semua itu hanya kesenangan fana yang akan lenyap pada saat dibutuhkan.
Surah ini mengajarkan konsep sejati dari 'keuntungan' (*kasab*). Keuntungan sejati bukanlah harta yang dikumpulkan, melainkan amal saleh yang dibawa menuju akhirat. Harta yang digunakan untuk menentang Islam adalah harta yang akan membakar pemiliknya.
3. Bahaya Lidah dan Fitnah (Kayu Bakar)
Hukuman yang menimpa Ummu Jamil memberikan penekanan luar biasa pada bahaya fitnah, gosip, dan hasutan. Tindakan Ummu Jamil—menyebarkan kebohongan dan meletakkan duri—mewakili jenis kejahatan yang tidak melibatkan pedang, tetapi melibatkan kerusakan moral dan sosial yang mendalam. Islam sangat menekankan perlindungan kehormatan dan reputasi, dan Surah Al-Lahab menunjukkan bahwa dosa-dosa lidah memiliki konsekuensi akhirat yang sama dahsyatnya dengan dosa fisik.
4. Keadilan dalam Berpasangan
Penyebutan pasangan suami istri ini bersama-sama menunjukkan bahwa kejahatan dan kebajikan seringkali dilakukan secara berpasangan. Pasangan yang saling mendukung dalam kebaikan akan diberkahi, tetapi pasangan yang saling mendukung dalam kemaksiatan dan penentangan terhadap kebenaran akan dihukum bersama. Ayat ini merupakan pengingat bagi setiap Muslim untuk memilih pasangan yang saleh dan mendukung pasangannya dalam ketaatan.
Perbandingan Tafsir Klasik: Detail Lebih Lanjut
Untuk melengkapi kajian surah Al-Lahab, penting untuk melihat bagaimana ulama-ulama besar menafsirkan nuansa tertentu yang mungkin terlewatkan dalam ringkasan biasa.
Tafsir At-Tabari (W. 923 M): Fokus pada Kesia-siaan Usaha
Imam Muhammad bin Jarir At-Tabari, dalam *Jami' al-Bayan*, sangat menekankan pada makna "ma kasab" (apa yang ia usahakan) sebagai anak-anak. At-Tabari berpegang pada riwayat dari Ibnu Abbas dan Mujahid yang mengatakan bahwa Abu Lahab pernah berkata, "Jika apa yang dikatakan Muhammad itu benar, aku akan menebus diriku dari Neraka dengan harta dan anak-anakku." Dengan demikian, ayat kedua diturunkan sebagai respons langsung terhadap klaim kesombongannya. Penafsiran ini memberikan konteks dialogis yang kuat: Allah menolak secara eksplisit tawaran penebusan yang didasarkan pada kekayaan duniawi.
Tafsir Ibnu Katsir (W. 1373 M): Penekanan pada Prediksi Kenabian
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya yang terkenal, sangat fokus pada aspek mukjizat (Ijaz) dari Ayat 3. Beliau menggarisbawahi bahwa surah ini diturunkan sepuluh tahun sebelum Abu Lahab meninggal, dan sepanjang periode itu, Abu Lahab tidak pernah menunjukkan tanda-tanda keimanan, meskipun ia tahu bahwa dengan masuk Islam, ia akan menggagalkan wahyu tersebut. Ibnu Katsir menggunakan Surah Al-Lahab sebagai bukti tak terbantahkan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang maha tahu tentang takdir makhluk-Nya.
Tafsir Al-Qurtubi (W. 1273 M): Analisis Linguistik dan Hukuman Ganda
Imam Al-Qurtubi memberikan perhatian khusus pada penggunaan kata *Tabbat* dua kali. Menurut beliau, *Tabbat yada* (tangan binasa) merujuk pada kerugian duniawi (usaha dan kehormatan hilang), sementara *wa tabb* (dan dia binasa) merujuk pada kerugian spiritual dan kekal di akhirat. Al-Qurtubi juga menjelaskan bahwa *Masad* tidak hanya merujuk pada tali sabut, tetapi juga bisa diartikan sebagai rantai yang dibuat dari api Neraka yang membelit lehernya, menunjukkan kesengsaraan fisik yang ekstrem.
Tafsir Kontemporer: Sayyid Qutb (W. 1966 M)
Sayyid Qutb, dalam *Fi Zilalil Qur'an*, melihat Surah Al-Lahab dari sudut pandang gerakan dakwah. Beliau menekankan bahwa surah ini menunjukkan pemisahan total antara keimanan dan kekafiran, bahkan dalam konflik internal. Surah ini memberikan kejelasan bagi umat Islam saat itu bahwa permusuhan dari orang-orang terdekat harus dihadapi dengan ketegasan yang sama. Ini adalah deklarasi perang total terhadap kebatilan yang didukung oleh kekuatan suku.
Kontroversi Historis dan Nasib Keturunan
Meskipun Surah Al-Lahab secara definitif mengutuk Abu Lahab dan Ummu Jamil, nasib keturunan mereka memberikan perspektif tambahan tentang konsep rahmat dan tanggung jawab individu dalam Islam.
Kisah Anak-anak Abu Lahab
Abu Lahab memiliki beberapa anak, di antaranya Utbah, Mu'attab, dan Dura. Sebagian besar dari mereka pada awalnya menentang Islam karena loyalitas kepada ayah mereka. Namun, setelah Fathu Makkah (Pembebasan Makkah), dua putranya, Utbah dan Mu'attab, justru memeluk Islam. Riwayat sahih menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ mendoakan mereka berdua untuk keimanan dan keberkahan.
Pelajaran dari kisah ini adalah bahwa hukuman dalam Surah Al-Lahab bersifat sangat spesifik dan personal. Dosa dan kekafiran Abu Lahab tidak otomatis diwariskan kepada keturunannya. Pintu taubat dan hidayah tetap terbuka bagi siapa pun yang memiliki ikhtiar, bahkan bagi anak-anak dari musuh terbesar Nabi ﷺ.
Makna Dibalik Kematian Hina
Kematian Abu Lahab setelah Perang Badar menjadi konfirmasi duniawi atas ayat pertama. Ia meninggal karena penyakit kulit yang sangat menular dan menjijikkan yang disebut *al-'adasah* (mirip wabah pes). Masyarakat Quraisy, karena takut tertular, membiarkannya selama tiga hari. Ketika ia akhirnya dimakamkan, pemakamannya sangat hina: anak-anaknya hanya mendorong jenazahnya ke dalam lubang menggunakan kayu panjang agar tidak menyentuhnya. Ini adalah akhir yang sangat kontras dengan statusnya sebagai bangsawan, menegaskan kehinaan yang diumumkan oleh Allah SWT.
Kisah ini menutup siklus hukuman. Abu Lahab menentang Nabi secara terbuka di Bukit Safa (Ayat 1), kehilangan hartanya (Ayat 2), menderita kehinaan di dunia, dan menunggu api neraka (Ayat 3). Seluruh hidupnya menjadi studi kasus nyata tentang konsekuensi menentang kebenaran.
Penutup: Surah Al-Lahab, Peringatan Universal
Surah Al-Lahab, dengan segala kekhasan historisnya, melampaui waktu. Surah ini mengajarkan umat Islam di setiap zaman bahwa permusuhan terhadap kebenaran, pengkhianatan terhadap nilai-nilai Ilahi, dan penggunaan harta atau kekuasaan untuk menindas akan membawa konsekuensi yang pasti dan mengerikan.
Bagi orang-orang beriman, surah ini adalah sumber penghiburan yang tak terbatas, menegaskan bahwa meskipun para musuh terlihat kuat dan kaya di dunia, takdir mereka di sisi Allah telah ditetapkan. Kehancuran yang menimpa Abu Lahab dan Ummu Jamil adalah peringatan abadi bahwa tidak ada perisai yang lebih kuat dari iman dan tidak ada azab yang lebih pedih dari api yang bergejolak, api yang selaras dengan nama sang penentang itu sendiri.
Semoga kita semua dilindungi dari menjadi seperti Abu Lahab, yang kehilangan kehormatan dunia dan akhirat meskipun ia memiliki kekayaan dan ikatan darah dengan Nabi terakhir.