Surah Al-Qadr: Tafsir Mendalam dan Rahasia Malam Kemuliaan
Pengkajian Komprehensif Mengenai Laylatul Qadr dan Makna Spiritual yang Terkandung dalam Lima Ayat Suci
Simbolisasi Wahyu dan Cahaya Ilahi
I. Pendahuluan: Keagungan Surah Al-Qadr
Surah Al-Qadr (سورة القدر), yang berarti "Malam Kemuliaan" atau "Ketetapan," adalah surah ke-97 dalam Al-Qur'an dan termasuk dalam golongan surah Makkiyah, meskipun sebagian ulama juga menganggapnya sebagai Madaniyah karena pembahasan spesifiknya mengenai puasa Ramadan yang diwajibkan di Madinah. Surah ini hanya terdiri dari lima ayat yang singkat namun padat makna, berpusat pada satu tema sentral yang monumental dalam sejarah Islam dan kehidupan spiritual umat manusia: Laylatul Qadr (Malam Kemuliaan).
Melalui surah ini, Allah SWT tidak hanya memberitahukan kepada umat Nabi Muhammad SAW tentang peristiwa bersejarah turunnya Al-Qur'an, tetapi juga menggarisbawahi keutamaan waktu tersebut, yang nilainya melampaui seribu bulan—sebuah periode waktu yang setara dengan lebih dari delapan puluh tahun kehidupan manusia. Surah Al-Qadr menjadi motivasi utama bagi setiap Muslim untuk bersungguh-sungguh mencari malam yang penuh berkah ini di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, menjadikannya puncak dari ibadah selama bulan suci.
II. Teks Lengkap Surah Al-Qadr Beserta Terjemahannya
Berikut adalah teks lengkap Surah Al-Qadr dalam bahasa Arab, transliterasi, dan terjemahan standarnya:
Ayat 1
Ayat 2
Ayat 3
Ayat 4
Ayat 5
III. Tafsir dan Analisis Mendalam (Ayat per Ayat)
Analisis kata demi kata dan penafsiran ulama klasik (seperti Ibn Kathir, At-Tabari, dan As-Sa'di) memberikan pemahaman yang komprehensif tentang kebesaran Laylatul Qadr.
Ayat 1: "إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ"
Makna Penurunan Al-Qur'an
Penggunaan kata ganti 'Kami' (إِنَّا – Innā) merujuk pada keagungan Allah SWT, menegaskan bahwa penurunan Al-Qur'an adalah tindakan ilahi yang sangat besar. Kata kerja أَنزَلْنَاهُ (Anzalnāhu) memiliki signifikansi linguistik yang berbeda dari kata nazzalnāhu.
Anzala (bentuk IV) biasanya merujuk pada penurunan secara keseluruhan atau sekaligus (jumlatu wahidah). Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an diturunkan dari Lauhul Mahfuzh (Papan yang Terpelihara) ke Baytul Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit dunia (langit terdekat) dalam satu kali waktu pada malam tersebut. Proses penurunan dari langit dunia ke Nabi Muhammad SAW berlangsung secara bertahap (melalui kata nazzala) selama 23 tahun berikutnya.
Definisi Laylatul Qadr
Kata الْقَدْرِ (Al-Qadr) memiliki tiga makna utama yang saling berkaitan dan semuanya relevan dengan malam ini:
- Kemuliaan/Kehormatan (Ash-Sharaf): Malam ini adalah malam yang mulia, istimewa, dan agung karena dipilih sebagai waktu di mana wahyu terakhir diturunkan.
- Ketetapan/Pengaturan (At-Taqdir): Pada malam ini, Allah menetapkan atau merincikan ketetapan (takdir) tahunan—seperti ajal, rezeki, hujan, dan peristiwa penting lainnya—dari takdir global (yang telah ditetapkan abadi) kepada malaikat pelaksana untuk tahun yang akan datang.
- Keterbatasan/Kesempitan (At-Tadhyiq): Malam ini disebut sempit karena padatnya malaikat yang turun ke bumi, memenuhi setiap ruang hingga bumi terasa sempit oleh keberadaan mereka.
Ayat 2: "وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ"
Gaya Bahasa Retorika untuk Pengagungan
Ayat kedua menggunakan gaya retorika yang kuat: "Dan tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan itu?" Pertanyaan ini, yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai Istifham Ta'zhim (pertanyaan pengagungan), berfungsi untuk menekankan betapa besarnya dan tak terjangkaunya nilai malam tersebut oleh akal dan pengetahuan manusia biasa.
Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa setiap kali Allah menggunakan ungkapan "وَمَا أَدْرَاكَ" (wa mā adrāka), maka Dia akan memberitahukan jawabannya di ayat berikutnya (seperti pada ayat 3). Sebaliknya, jika Dia menggunakan ungkapan "وَمَا يُدْرِيْكَ" (wa mā yudrīka), maka Dia tidak memberitahukan jawabannya, menunjukkan bahwa pengetahuan itu sepenuhnya tersembunyi dari manusia.
Ayat ini mengajak pendengar untuk merenungkan, bahkan sebelum mengetahui jawabannya, bahwa Malam Kemuliaan ini pasti mengandung sesuatu yang luar biasa, melampaui segala perbandingan yang pernah ada.
Ayat 3: "لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ"
Perhitungan Spiritual yang Tak Tertandingi
Inilah jantung Surah Al-Qadr. "Lebih baik daripada seribu bulan" (خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ). Seribu bulan setara dengan 83 tahun dan 4 bulan. Periode ini kurang lebih sama dengan usia rata-rata umat Nabi Muhammad SAW.
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat) dan Keutamaan Umat
Para ulama tafsir, termasuk Muqatil bin Sulaiman, mencatat bahwa ayat ini diturunkan karena kekhawatiran Nabi SAW terhadap usia umatnya yang lebih pendek dibandingkan umat-umat terdahulu (seperti umat Nabi Nuh yang mencapai ratusan tahun). Nabi khawatir umatnya tidak akan mampu mengumpulkan pahala sebanyak umat-umat sebelumnya.
Sebagai rahmat dan anugerah, Allah memberikan kompensasi: satu malam ibadah yang tulus di Laylatul Qadr nilainya melampaui ibadah yang dilakukan selama 83 tahun penuh tanpa terputus. Ini adalah hadiah eksklusif bagi umat Islam, yang menunjukkan keadilan dan kemurahan Allah. Keutamaan yang dimaksud di sini bukanlah hanya sekadar kuantitas, melainkan kualitas pahala dan keberkahan yang dilipatgandakan secara astronomis.
Makna "Khayrun" (Lebih Baik)
Kata khayrun (lebih baik) berarti bahwa amal ibadah, zikir, shalat, dan qiyamul lail yang dilakukan pada malam itu membawa ganjaran yang lebih besar, keberkahan yang lebih melimpah, dan pengampunan dosa yang lebih pasti daripada apa pun yang dapat dicapai dalam rentang waktu yang sangat panjang (seribu bulan) dalam kondisi biasa.
Ayat 4: "تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ"
Proses Turunnya Para Malaikat dan Ruh
Ayat ini menggambarkan aktivitas kosmis yang luar biasa pada Malam Kemuliaan. Kata تَنَزَّلُ (Tanazzal) adalah kata kerja bentuk V yang bermakna turun secara berangsur-angsur, terus-menerus, dan dalam jumlah yang sangat banyak.
1. Al-Mala'ikah (Para Malaikat): Mereka turun ke bumi untuk menyaksikan ibadah kaum Muslimin, menyampaikan salam, dan mengaminkan doa-doa. Jumlah mereka begitu besar sehingga memenuhi bumi, seperti yang diisyaratkan oleh makna 'sempit' (At-Tadhyiq) dari Al-Qadr.
2. Ar-Ruh (Ruh): Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa "Ar-Ruh" di sini merujuk secara spesifik kepada Jibril AS (Malaikat Agung). Penyebutan Jibril secara terpisah dari "Al-Mala'ikah" adalah bentuk 'athful 'aam 'alal khaash (mengkhususkan yang umum), yang menegaskan betapa istimewanya Jibril. Jibril, sebagai pembawa wahyu dan pemimpin para malaikat, memegang peran penting dalam pengaturan ilahi pada malam tersebut.
3. Min Kulli Amr (Untuk Mengatur Segala Urusan): Para malaikat turun "dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan." Ini kembali kepada makna kedua dari Al-Qadr: Ketetapan. Mereka membawa ketetapan Allah yang rinci untuk tahun yang akan datang, melaksanakannya di alam semesta. Urusan ini mencakup ketetapan rezeki, hidup, mati, dan segala peristiwa besar yang akan terjadi pada tahun tersebut.
Ayat 5: "سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ"
Malam Kedamaian dan Kesejahteraan Abadi
Ayat penutup ini menegaskan sifat Laylatul Qadr: ia adalah سَلَامٌ (Salāmun), yaitu kedamaian, kesejahteraan, dan keamanan total. Malam ini bebas dari segala bentuk keburukan atau mara bahaya.
- Kedamaian Spiritual: Malam ini dipenuhi dengan rasa tenang yang mendalam bagi mereka yang beribadah. Hati mereka terlepas dari kegelisahan duniawi.
- Kedamaian dari Siksa: Malam ini merupakan jaminan keselamatan bagi orang-orang beriman dari siksa Allah, karena pada malam ini Allah mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang bertaubat.
- Kedamaian Kosmis: Menurut sebagian tafsir, pada malam ini setan tidak dapat berbuat kerusakan atau mengganggu manusia seperti di malam-malam lainnya, karena dominasi malaikat di bumi.
Kedamaian ini berlangsung حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ (ḥattā maṭla'il-fajr), sampai terbitnya fajar, menandakan bahwa seluruh periode malam itu, dari senja hingga shalat subuh, adalah waktu yang diberkahi. Begitu fajar tiba, misi para malaikat selesai, dan ketetapan tahunan telah disampaikan.
Visualisasi Suasana Ibadah di Malam Kemuliaan
IV. Keutamaan dan Rahasia Spiritual Laylatul Qadr
Keutamaan Laylatul Qadr tidak hanya bersifat historis (penurunan Al-Qur'an) atau kuantitatif (seribu bulan), tetapi juga berakar pada aspek spiritual yang mengubah kehidupan mukmin.
A. Puncak Ibadah Tahunan
Laylatul Qadr dianggap sebagai musim panen spiritual bagi umat Islam. Muslim didorong untuk melakukan I’tikaf (berdiam diri di masjid), memperbanyak Qiyamul Lail (shalat malam), tilawah Al-Qur'an, dan terutama memperbanyak doa. Rasulullah SAW mengajarkan doa spesifik yang harus diucapkan pada malam ini kepada Aisyah RA:
“اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي”
(Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni)
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau suka memaafkan, maka maafkanlah aku."
Fokus utama ibadah di malam ini adalah memohon pengampunan, menunjukkan bahwa tujuan tertinggi Laylatul Qadr adalah penyucian jiwa dari dosa-dosa sepanjang tahun.
B. Pengampunan Dosa yang Mutlak
Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah menegaskan: "Barangsiapa yang menghidupkan Laylatul Qadr dengan penuh keimanan dan harapan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim). Ini adalah janji yang tak tertandingi; Malam Kemuliaan adalah kesempatan emas untuk memulai lembaran baru yang bersih dari noda kesalahan.
C. Dimensi Ketetapan Ilahi (Taqdir)
Sebagaimana makna Qadr adalah ketetapan, malam ini berfungsi sebagai titik balik takdir. Meskipun takdir azali (abadi) tidak pernah berubah, pada malam ini takdir tahunan (termasuk keputusan mengenai rezeki dan nasib) dirincikan dan diturunkan kepada para malaikat. Ibadah dan doa yang tulus pada malam ini diyakini memiliki kekuatan luar biasa untuk memohon perubahan dalam takdir tahunan tersebut, sesuai dengan firman Allah: "Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki."
***Elaborasi Mendalam Mengenai Konsep Taqdir***
Konsep ketetapan yang dirincikan pada Laylatul Qadr memerlukan pemahaman yang hati-hati dalam Aqidah Islam. Takdir terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkat pertama adalah Al-Qada Al-Mubram (ketetapan abadi di Lauhul Mahfuzh), yang tidak dapat diubah. Namun, Laylatul Qadr berkaitan dengan Al-Qada Al-Mu'allaq (ketetapan yang tergantung atau rinci), yang dicatat oleh para malaikat.
Pada malam ini, buku catatan tahunan dipindahkan dari 'Arsy ke langit dunia. Para malaikat, di bawah pimpinan Jibril AS, menerima instruksi terperinci mengenai siapa yang akan meninggal, siapa yang akan lahir, berapa banyak rezeki yang akan diperoleh, dan bencana apa yang akan terjadi. Ini adalah manifestasi nyata dari kekuasaan Allah dalam menjalankan manajemen alam semesta. Semangat ibadah di malam ini adalah usaha hamba untuk mendekatkan diri kepada sumber ketetapan, berharap agar ketetapan-Nya membawa kebaikan dan kemudahan.
V. Kapan Laylatul Qadr Terjadi? Pendapat Ulama dan Mencari Rahasianya
Allah SWT merahasiakan tanggal pasti Laylatul Qadr, dan hikmah di balik kerahasiaan ini sangat besar: agar umat Muslim berusaha keras dan tekun dalam beribadah selama sepuluh malam terakhir Ramadan, tidak hanya bergantung pada satu malam saja. Jika tanggalnya diketahui, dikhawatirkan umat hanya akan beribadah pada malam itu dan lalai pada malam-malam lainnya.
A. Fokus Sepuluh Malam Terakhir
Rasulullah SAW bersabda: "Carilah Laylatul Qadr di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan." (HR. Bukhari). Hadis ini menyempitkan pencarian dari satu bulan menjadi sepuluh hari.
B. Penekanan pada Malam Ganjil
Penekanan lebih lanjut diberikan pada malam-malam ganjil (ke-21, 23, 25, 27, 29). Hadis dari Aisyah RA menyatakan, "Carilah ia pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir Ramadan."
C. Pendapat Paling Kuat (Malam ke-27)
Meskipun rahasia, mayoritas ulama dan banyak riwayat menunjukkan kemungkinan terkuat jatuh pada Malam ke-27 Ramadan. Beberapa alasan yang mendukung:
- Hadis dari Ubay bin Ka'ab RA yang bersumpah bahwa malam itu adalah malam ke-27.
- Analisis linguistik Surah Al-Qadr: Kata 'hiya' (هي - itu) yang merujuk pada Laylatul Qadr adalah kata ke-27 dalam Surah Al-Qadr. Ini sering dianggap sebagai isyarat tersembunyi.
***Analisis Tanda-Tanda Malam Kemuliaan***
Para ulama juga mengajarkan tanda-tanda yang dapat dirasakan pada malam tersebut, meskipun tanda-tanda ini hanya bersifat penarik semangat dan tidak boleh dijadikan syarat mutlak ibadah. Tanda-tanda yang disebutkan dalam Hadis antara lain:
- Pagi Harinya: Matahari terbit dengan cahaya yang teduh, tidak bersinar menyilaukan, dan tampak seperti piringan tanpa pancaran sinar yang kuat.
- Malamnya: Udara terasa bersih, hening, tenang, tidak terlalu panas, dan tidak terlalu dingin.
- Spiritual: Orang yang beribadah mungkin merasakan ketenangan hati yang luar biasa, kekhusyukan mendalam, dan keindahan spiritual yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Inti dari pencarian Laylatul Qadr tetap pada kesungguhan ibadah di seluruh sepuluh malam terakhir, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW yang mengencangkan ikat pinggangnya (meningkatkan ibadah secara maksimal) di sepuluh malam terakhir.
VI. Implikasi Syariah dan Praktis dalam Menghidupkan Malam Al-Qadr
Keagungan Surah Al-Qadr mendorong umat Islam untuk mengoptimalkan ibadah pada periode ini. Implikasi praktisnya mencakup berbagai spektrum ibadah:
A. Qiyamul Lail dan Shalat Tarawih
Shalat malam (Tarawih dan Tahajud) menjadi sangat penting. Menghidupkan malam berarti mengisi sebagian besar waktunya dengan shalat, dzikir, dan munajat. Meskipun Tarawih dilaksanakan berjamaah, Tahajud dan shalat sunnah lainnya adalah ibadah personal yang puncaknya dianjurkan pada Laylatul Qadr.
B. I'tikaf (Berdiam Diri di Masjid)
I’tikaf, yang secara etimologi berarti menahan diri atau menetap, adalah sunnah yang ditekankan oleh Nabi SAW khususnya di sepuluh malam terakhir. Tujuannya adalah memutuskan hubungan sementara dengan duniawi untuk sepenuhnya fokus pada ibadah, dengan harapan dapat "menangkap" Laylatul Qadr dalam kondisi ibadah penuh.
C. Tilawah dan Tadarus Al-Qur'an
Karena Al-Qur'an diturunkan pada malam ini, membaca, mempelajari, dan merenungkan maknanya menjadi prioritas tinggi. Menghidupkan malam dengan tilawah adalah bentuk penghargaan terhadap diturunkannya kitab suci tersebut.
***Pengembangan Konsep Ibadah dalam Al-Qadr***
Para sufi dan ulama spiritual menekankan bahwa ibadah di Laylatul Qadr harus disertai dengan keikhlasan (Ikhlas) dan penghayatan (Ihtisab). Ikhlas berarti hanya mengharapkan ridha Allah, dan Ihtisab berarti meyakini sepenuhnya bahwa Allah akan memberikan pahala berlipat ganda. Ibadah yang tidak didasari oleh kedua hal ini, betapapun banyaknya, akan kehilangan nilai substantifnya. Malam ini adalah ujian kualitas iman, bukan sekadar kuantitas gerakan shalat.
Selain ibadah formal, Malam Kemuliaan juga harus diisi dengan refleksi diri yang mendalam (muhasabah), meminta maaf atas kesalahan kepada sesama, dan memperkuat hubungan silaturahim—semua elemen yang menunjang terwujudnya "Salamun Hiya" (kedamaian) di dalam jiwa dan masyarakat.
VII. Aspek Linguistik dan Balaghah (Retorika) Surah Al-Qadr
Kesejajaran dan keindahan bahasa dalam Surah Al-Qadr menunjukkan mukjizat Al-Qur'an. Meskipun singkat, surah ini penuh dengan perangkat retorika yang kuat.
A. Repetisi untuk Pengagungan
Kata "Al-Qadr" diulang sebanyak tiga kali dalam lima ayat (Ayat 1, 2, dan 3). Pengulangan ini (At-Tikrar) berfungsi untuk menekankan betapa penting, mulia, dan uniknya malam tersebut. Dalam balaghah, pengulangan nama suatu objek yang agung meningkatkan keagungan objek tersebut dalam benak pendengar.
B. Penggunaan Kata Kerja yang Sempurna
1. Anzalnāhu (Kami Menurunkannya): Penggunaan bentuk lampau (māḍī) menunjukkan kepastian dan kemutlakan kejadian tersebut, yaitu penurunan Al-Qur'an telah terjadi dan merupakan fakta historis yang menjadi dasar kemuliaan malam tersebut.
2. Tanazzalu (Terus Menerus Turun): Penggunaan bentuk sekarang/masa depan (muḍāri') dengan intensitas yang tinggi (dari bentuk V, tafa''ala) menunjukkan bahwa peristiwa turunnya malaikat dan ruh adalah kejadian yang berulang dan terjadi setiap tahun pada Malam Kemuliaan, bukan hanya pada tahun wahyu diturunkan.
C. Kontras Waktu: Malam vs. Seribu Bulan
Perbandingan antara satu malam ("Laylah") dengan seribu bulan ("alfi shahr") adalah contoh hiperbola (mubalaghah) yang memiliki makna mendalam. Ini menunjukkan bagaimana nilai spiritual melampaui perhitungan waktu material. Satu detik yang terhubung dengan keilahian lebih bernilai daripada puluhan tahun yang dihabiskan dalam kelalaian.
***Analisis Komparatif Tafsir Qadr vs Seribu Bulan***
Dalam tradisi tafsir, ada pula pandangan bahwa "seribu bulan" mungkin merujuk pada masa kekuasaan yang panjang yang dinikmati oleh raja-raja Bani Israil yang saleh. Nabi Muhammad SAW cemas umatnya tidak akan bisa mencapai masa ibadah panjang tersebut. Allah kemudian memberikan Laylatul Qadr, yang secara efektif memberikan keunggulan spiritual kepada umat Islam melalui kualitas, bukan kuantitas waktu. Ini adalah simbol keadilan ilahi; memberikan kesempatan yang setara bagi setiap umat, terlepas dari perbedaan usia biologis.
Pentingnya Rūh (Jibril): Penyertaan Jibril (Ar-Ruh) dalam ayat 4 menggarisbawahi sifat luar biasa dari aktivitas malam itu. Jibril tidak turun kecuali untuk urusan yang amat penting. Kehadirannya menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi pada malam tersebut adalah pemindahan ketetapan tingkat tertinggi, yang melibatkan Malaikat yang paling dekat dengan Allah SWT.
VIII. Penutup: Pesan Abadi Surah Al-Qadr
Surah Al-Qadr adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an namun mengandung intisari ajaran spiritual yang mendalam. Ia berfungsi sebagai peta jalan menuju pembersihan jiwa dan kesempatan besar untuk meraih pahala sepanjang hayat hanya dalam rentang waktu beberapa jam. Surah ini mengajarkan bahwa:
- Nilai Abadi Al-Qur'an: Al-Qur'an adalah sumber segala kemuliaan, dan malam diturunkannya otomatis menjadi malam yang paling mulia.
- Prioritas Kualitas: Kualitas ibadah di Laylatul Qadr melampaui kuantitas ibadah yang dilakukan sepanjang tahun.
- Rahmat Global: Laylatul Qadr adalah perwujudan rahmat Allah kepada umat Muhammad SAW, menutupi kekurangan umur mereka.
- Keamanan dan Kedamaian: Malam itu adalah waktu di mana kedamaian ilahi melingkupi bumi, menyediakan lingkungan spiritual yang optimal untuk munajat dan ibadah.
Kesimpulannya, Surah Al-Qadr adalah panggilan kepada setiap Muslim untuk bangun dan berjuang di saat orang lain tertidur, untuk mencari ketenangan batin, dan untuk merancang masa depan spiritual yang lebih baik dengan memohon ketetapan terbaik dari Sang Maha Menetapkan. Pengamalan Surah Al-Qadr bukan hanya pembacaan, melainkan implementasi semangat pencarian dan penyerahan diri total kepada Allah di malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
***Perluasan Konten: Peran Surah Al-Qadr dalam Siklus Ramadan***
Surah ini meletakkan pondasi bagi pemahaman siklus ibadah Ramadan. Bulan Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi puncaknya adalah pertemuan dengan Laylatul Qadr. Tanpa Al-Qadr, Ramadan terasa seperti sekadar latihan fisik. Dengan Al-Qadr, Ramadan menjadi transformasi spiritual. Surah ini menekankan bahwa puasa adalah persiapan—sekolah spiritual—yang puncaknya adalah mencapai malam yang menjadi titik balik kehidupan seseorang.
Ulama kontemporer juga menyoroti aspek 'kekuatan' dari kata Al-Qadr. Malam ini adalah malam kekuatan (power) spiritual, malam penentuan (decision), dan malam takdir (destiny). Seorang mukmin yang berhasil menghidupkan malam ini mendapatkan kekuatan untuk menghadapi tantangan hidup selama satu tahun ke depan, karena ia telah mengisi kembali baterai keimanannya langsung dari sumber energi kosmik, yaitu penurunan ketetapan dan keberkahan ilahi.
Ketahuilah, Laylatul Qadr adalah hadiah terindah, sebuah peluang yang datang sekali dalam setahun. Siapa yang lalai darinya, sungguh telah kehilangan kebaikan yang sangat besar. Semoga kita termasuk orang-orang yang diberikan taufik untuk menghidupkan malam mulia ini dengan penuh keimanan dan harapan pahala.